10. Mystical

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langit semakin gelap berawan. Seperti hari sebelumnya, angin berhembus kencang. Menerbangkan partikel-partikel ringan yang berada di luar kastil.

Irene berdiri di depan jendela besar. Tatapannya jauh memandang keluar dari dinding padat yang membatasinya. Di sekelilingnya terdapat rak-rak yang dipenuhi buku-buku tebal. Perpustakaan itu memenuhi lantai empat dari keep kastil tersebut.

Kehancuran ... gelap ... abadi.

Irene membalikkan badan lalu berjalan menjauhi jendela. Ia bergerak menuju sebuah rak yang menempel dengan dinding batu. Tangannya menggapai sebuah buku.

"Ternyata kamu ada disini. Memangnya kamu bisa membaca tulisan dengan huruf seperti itu?" Suara Rhea menggema di perpustakaan tersebut.

"Memang ada yang aneh dengan tulisan-tulisan ini?" Irene balas bertanya.

"Eh, kamu beneran bisa membacanya? Buku yang kamu pegang itu ... aku pernah membukanya. Huruf-huruf yang ada di dalamnya, tidak ada yang kukenal." Tangan Rhea menunjuk ke buku bersampul hitam yang berada di telapak tangan Irene.

Irene menghela nafas. Ia membalikkan buku yang dipegangnya. Matanya membaca kalimat yang tercetak timbul di cover buku tersebut.

In The Dark.

"Aku bingung mereka mencetak semua buku ini menggunakan apa? Padahal jika aku lihat selama ini, semua yang ada disini seperti dunia pada abad awal. Sebelum ditemukannya mesin apapun," ujar Irene masih menatap buku hitam tersebut.

"Jangan bodoh lah. Aku yakin, mereka mempunyai perkumpulan sendiri di dunia kita." Rhea berjalan mendekati Irene yang masih berdiri di depan rak buku.

"Padahal peradaban sudah sangat maju. Aku tidak percaya bahwa kekuatan spirit seperti ini masih ada." Irene meletakkan buku tersebut kembali ke dalam rak.

"Mereka ada. Semua yang ada disini, itu nyata. Hanya saja, terkadang manusia tak mau mempercayai keberadaan mereka." Rhea menatap buku-buku yang tertata rapi di dalam rak.

"Ya terserah. Tapi, jujur saja, keadaan disini tidak terlalu buruk," ujar Irene.

"Setidaknya, aku bukan menjadi buronan disini." Rhea terkekeh, mengingat dirinya adalah seorang pembunuh yang selalu menjadi incaran para polisi dan detektif.

"Kamu benar juga. Baiklah, lakukan saja apa yang harus kamu lakukan di dunia ini." Senyum simpul mengembang, menghiasi wajah Irene yang terlihat sedikit pucat.

Rhea membalas senyumannya. "Ayo turun! Sebentar lagi, makan malam tiba."

"Baiklah."

**☆**

Malam gelap telah menyelimuti wilayah kastil. Badai tak lagi mengamuk seperti kemarin. Semua tampak tenang, sunyi senyap. Lorong-lorong kastil nampak gelap mencekam. Hanya sinar lentera yang terpasang di setiap samping pintu ruangan yang memberikan cahaya redup.

Anak tangga berderit, menopang tubuh seseorang yang berdiri di atasnya. Langkah sangat berhati-hati. Seakan memberi isyarat, bahwa jangan sampai seorang pun mengetahuinya.

"Charon ... "

Pria yang merasa terpanggil, menghentikan langkahnya di atas anak tangga. Suara yang asing masuk ke dalam indera pendengarannya.

"Bagaimana kamu bisa menyadari kehadiranku?" Charon memutar tubuhnya, menghadap ke arah suara yang memanggilnya dari belakang. Seorang wanita berambut putih, berdiri di lantai atas.

Iris biru mata Charon melebar. Ia membelalak menatap gadis yang sedang mengarahkan pandangan kepadanya dengan lembut, namun tajam mencekam.

Di-dia, pengguna mata magi spirit rupanya.

Gadis yang merasa di limpahi pertanyaan tersebut menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tak tahu."

Charon mengedipkan kedua matanya. Ia menghela nafas sejenak, sambil menutup mata. "Apa yang kamu lakukan disini? Di waktu tengah malam begini?"

Sepertinya ia tak mengerti apa-apa. Aku harus tetap tenang.

"Aku hanya merasa lapar. Lalu berjalan ke dapur untuk mencari makanan. Dan tanpa sengaja, aku melihatmu turun." Jelas gadis tersebut.

"Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan?" lanjut gadis tersebut mengajukan pertanyaan.

Charon menggeleng. "Tidak perlu tahu."

Gadis tersebut berdehem. "Eh, namamu benar Charon kan?"

"Aku belum memperkenalkan diri padamu ya?"

"Belum. Aku hanya memanggilmu dengan sebutan itu, karena aku mendengar teman-teman yang lain mengatakan itu," jawab gadis tersebut dengan lirih.

"Panggil saja dengan nama itu." Charon melangkahkan kakinya kembali menaiki anak tangga. Hingga ia bisa sejajar di lantai atas dengan gadis tersebut. Ia menatap lekat wajah gadis yang hanya setinggi bahunya.

"Na-namaku Irene. Salam kenal." Gadis tersebut merespons dengan terbata.

Charon mendengkus. "Ya. Nanti jika sudah selesai makan, cepatlah kembali ke kamar. Masih ada banyak waktu sebelum pagi tiba."

"Tentu. Lagipula, aku sudah selesai." Senyum terpancar dari wajah pucatnya.

"Kalau begitu, cepatlah kembali!" Charon sedikit memberi penekanan pada kalimatnya.

"Ba-baiklah. Selamat malam."

"Malam," jawab Charon datar. Ia mengamati gadis tersebut yang mulai berjalan membelakanginya. Menyusuri lorong gelap. Derap langkah terdengar nyaring di koridor yang sunyi.

Setelah gadis tersebut menghilang di ujung lorong, Charon menghela nafas. Ia memasukkan tangannya kedalam gumpalan hangat jubah hitam yang dikenakannya. Lalu menutupi wajahnya dengan tudung gelap.

Irene ya? Gadis itu terlalu penurut. Bagaimana ia bisa langsung kembali begitu saja kedalam kamar setelah mencurigaiku yang pergi diam-diam ke lantai dasar?

Ia kembali melangkahkan kakinya menuruni anak tangga.

Ah, bisa saja dia memang dasarnya penurut. Charon berusaha meyakinkan dirinya. Ia meneruskan langkah hingga tiba di lantai dasar.

Sesekali, ia kembali mengarahkan pandangannya ke lantai atas. Ia tak ingin jika seseorang mengetahui apa yang akan dilakukannya.

Setelah dirasa aman, Charon kembali melangkahkan kaki. Ia berjalan di tepi aula, lalu menyelinap ke ruangan yang berada di belakang aula.

Sebuah ruang tamu besar. Dengan kursi-kursi sofa panjang yang dilapisi kain merah. Kayu yang menjadi kaki tempat duduk tersebut, dipahat oleh ukiran-ukiran aneh. Namun, menawan.

Tepat di atasnya, terdapat sebuah benda seperti lampu gantung. Namun, hanya lilin yang menjadi pencahayaannya. Karpet berwarna gelap melapisi hampir seluruh ubin di ruangan tersebut. Keadaan di ruangan tersebut sedikit lebih terang daripada di lantai atas.

Di salah satu dindingnya, terdapat panas yang membara di perapian. Pusat dari cahaya merah bercampur oranye yang menyinari hampir seluruh ruangan, berpusat pada celah kotak dengan relief pahatan.

Iris mata biru Charon berkilat ketika melihat sinar dari api yang meliuk teratur. Pikiran Charon melayang. Mulutnya sedikit ternganga. Ia seakan terhipnotis oleh gemulai yang dibawakan sang jago merah tersebut. Ia tersedot oleh gulungan memori tak berdasar.

"Aku benci kalian! Aku berharap, seharusnya aku tak pernah memiliki orang tua seperti kalian berdua. Menjijikkan," hardiknya pada pasangan yang berdiri di hadapannya.

"Apa katamu? Dasar anak tak tahu balas budi. Kamu hanyalah beban keluarga!" Pria bertubuh besar yang tak lain adalah ayahnya tersebut, mengayunkan tinju ke wajahnya. Membuatnya terjungkal ke belakang. Cairan merah berbau amis terlihat keluar dari sudut bibirnya. Ia meringis, menahan sakit yang diterimanya.

"Beri tahu aku. Gelar 'itu' palsu kan? Kalian hanya membual dengan kekonyolan. Beri tahu aku. Apa gunanya kalian menjadi 'pemburu malam'? Itu hanya pekerjaan bodoh. Yang bahkan tak mampu memberikan kita kehidupan yang layak. Kenapa? Kenapa aku harus terlahir dari keluarga yang menjijikan ini?" Matanya mulai terasa panas. Pandangannya pecah, tampak berkaca menahan bulir air mata.

"Berhentilah menghina! Ini adalah pekerjaan mulia kau tahu. Dengan adanya 'pemburu malam', keadaan di dunia ini menjadi stabil. Kamu tidak tahu, berapa banyak makhluk spirit yang sedang berusaha menghancurkan tatanan dunia."

Senyum getir terpancar di wajahnya yang sudah cukup babak belur. "Haha ... lagi-lagi kalimat yang sama, memuakkan."

"Sialan!" Pria paruh baya tersebut hendak maju, ingin memukulnya kembali. Namun, wanita disampingnya menahan tubuhnya.

"Sudahlah ... bi-biarkan saja."

Pupil mata Charon berhenti berputar. Mulutnya kembali mengatup. Ia mulai menarik dirinya keluar dari serpihan kenangannya.

"Dasar payah," umpatnya pelan.

Api merah memercik dari dalam kotak perapian. Bersamaan, Charon melangkahkan kaki mendekati perapian. Ia mengamati seluruh detail ukiran yang terpahat di batu hitam tersebut. Tangannya meraba dengan sempurna. Ia memutar sebuah pemicu, yang berupa tuas tersamarkan oleh peliknya relief.

Kotak perapian bergeser ke belakang seakan ditelan oleh dinding. Membuka sebuah jalan berupa tangga yang mengarah kebawah.

Tanpa berpikir panjang, Charon melangkahkan kakinya menuruni anak tangga tersebut. Ia tak menyadari, bahwa ada sepasang mata yang mengawasinya.

**☆**

12 Jan 2021

~Daiyasashi~

Hello! Bagaimana pendapat kalian dengan chapter kali ini? Kasih tanggapan kalian di komentar ya. Beri kritik dan saran juga!
Jadilah pembaca yang aktif, dengan spam vote dan komen. Tinggalkan jejak kalian disini! Tetap semangat untuk kita semua! >////<

Sekian and terima ginjal.

See you! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro