11. Actually

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Irene diam mematung di tempatnya berdiri. Ia benar-benar menjaga agar keberadaannya tidak diketahui oleh pria yang baru saja masuk kedalam sebuah tempat yang tersembunyi. Perlahan, kotak perapian kembali bergeser tertutup. Menelan lelaki yang sudah memasuki tempat tersebut.

Mengapa dia enggan memberi tahu kemana dia akan pergi?

Setelah Irene merasa tak ada lagi orang yang berada di ruangan tersebut, ia segera berjalan mengendap masuk kedalam ruang tamu. Namun, ketika tubuhnya melewati ambang pintu, sekelebat bayangan menembus dirinya.

Irene hampir melompat kaget. Bayangan hitam yang berwujud seperti asap tersebut melesat dari dalam ke luar. Yang entah sengaja atau tidak, sosok tersebut menabrak Irene.

Bulu kuduk Irene meremang. Ketika bayangan tersebut menembus dirinya, ia merasakan dingin yang luar biasa. Kehampaan total, sampai-sampai ia tak bisa merasakan detak jantungnya sendiri.

Bersamaan dengan itu, sebuah penglihatan menyapa kedua belah matanya. Pemandangan di ruang tamu yang awalnya nampak tenang dan biasa saja, kini tampak dipenuhi bercak darah. Beberapa mayat yang terlihat sudah mulai membusuk terduduk di atas sofa. Beberapa mayat lainnya, ada yang menggantung di langit-langit ruangan tersebut. Menampakkan mulut yang menganga dan mata cekung yang melotot menyeramkan.

Nyala api yang semula menerangi ruangan, kini warnanya mulai berubah menjadi biru keungu-unguan. Kobarannya mulai menjelma menjadi bentuk seekor naga yang ganas. Dari dalam perapian, terdengar suara raungan yang mengerikan. Seketika, mayat-mayat yang berada dalam ruangan tersebut menoleh ke arah Irene dengan serempak. Mengarahkan pandangan mata yang kosong, sekosong jiwa mereka.

Irene tercekat. Ia langsung menarik mundur dirinya, keluar dari ruangan tersebut. Nafasnya memburu. Ia terengah seperti habis dikejar oleh monster.

Namun, seketika dingin yang sejak tadi menyelimuti dirinya. Kini telah hilang sempurna. Ia kembali bisa merasakan hangat dari balik jubah panjangnya. Perlahan, Irene kembali memandang bagian dalam ruangan tersebut. Anehnya, semua telah kembali seperti semula. Tak ada mayat, tak ada bercak darah, tak ada naga biru yang meraung mengerikan.

Apa? Sebenarnya, apa yang terjadi barusan itu?

Irene kembali memberanikan diri untuk masuk ke ruangan itu. Tak ada yang terjadi. Tak ada hal yang aneh. Semua terlihat biasa saja seperti saat ia mengamati Charon yang masuk ke ruang tersebut.

Kini, pandangan Irene berganti mengamati perapian. Tubuhnya bergerak perlahan, mencoba melakukan apa yang tadi dikerjakan oleh Charon. Ia meraba ukiran yang terpahat pada dinding batu perapian tersebut. Saat dirinya menemukan tuas, dengan segera ia berusaha memutarnya.

Sayangnya, perapian tersebut tidak bergeser untuk membukakan sebuah jalan. Irene terus memutar-mutar pemicu tersebut. Namun, hasilnya tetap nihil. Tiba-tiba, api tersebut berkobar membentuk sosok burung yang melayang di dalam kotak batu. Memercikkan bara pada tubuh Irene.

Irene yang terkejut langsung melangkahkan sebelah kakinya untuk mundur. Namun, tempat kakinya memijak tersebut malah turun ke dalam, membuat seakan-akan ubin tersebut merupakan pemicu lainnya. Irene yang masih memijak di lantai tersebut, berinisiatif memutar tuas yang berada di kotak perapian.

Dinding batu hitam yang didalamnya terdapat kobaran api tersebut, bergeser mundur menjorok ke dalam dinding. Sebuah celah dengan tangga padat, mengarah ke bawah tanah. Tampak mencekam gelap gulita.

Irene menenggak air liurnya membasahi tenggorokan. Ia mulai melangkahkan kakinya menuruni anak tangga. Saat mencapai anak tangga kelima, tiba-tiba batu padat kembali bergeser menutupi celah tersebut. Keadaan menjadi semakin mencekam, tanpa adanya cahaya penerang.

Irene yang masih kebingungan, ia hanya terus melangkahkan kakinya turun. Namun, anehnya ia bisa mengetahui keadaan sekitar walaupun keadaannya yang gelap gulita.

Aku penasaran. Apa yang ia lakukan hingga pergi ke tempat ini, di tengah malam seperti ini.

   **☆**

Langit malam tampak cerah tak berawan. Bulan penuh menampakkan dirinya di angkasa raya. Memancarkan cahaya putih redup. Sesekali, makhluk bersayap terbang melewati wilayah tersebut.

Rhea menjaga keseimbangannya. Ia berjalan di ujung atap sambil merentangkan tangannya. Hembusan angin malam menerpanya. Membuat rambut hitam panjang yang tergerai  dan dress hitam yang dikenakannya nampak melambai indah. 

Malam ini adalah terakhir kalinya purnama akan bersinar. Besok, akan hadir bulan cembung yang tidak bulat sempurna. Sungguh indah.

Rhea menengadahkan wajahnya menatap langit. Mata hitamnya berkilau terkena bias cahaya rembulan. Mulutnya tersenyum seakan menandakan ia merasa puas.

"Ah, kamu ada disini ternyata." Sebuah suara masuk kedalam indera pendengarannya dari arah belakangnya. Rhea segera memalingkan wajahnya, menghadap pada sumber suara tersebut.

"Halo. Ada apa datang menemuiku?" Rhea tersenyum simpul. Namun, pendar matanya menatap tajam pada seseorang yang baru saja berbicara.

"Dari mana kamu mendapatkan gaun itu?" Pria yang berada di hadapannya mengajukan pertanyaan.

"Ini pakaian favoritku. Tentu saja dari duniaku sendiri. Apa kamu lupa, saat pertama kali kamu membawaku kemari, aku juga menggunakan gaun ini." Senyum mengembang di wajah berkulit kuning langsatnya.

"Mungkin aku tidak memperhatikannya saat itu. Baiklah, langsung saja. Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu." Jubah hitam yang menutupi seluruh tubuh lelaki tersebut, ikut melambai tertiup angin.

Rhea tetap diam sambil menunjukkan senyum acuh. Ia merapatkan kedua tangannya ke belakang tubuhnya. Menunjukkan bahwa dirinya menunggu pria tersebut melanjutkan pertanyaan.

"Apa yang terjadi padanya?" 

Iris hitam Rhea melebar. Ia tertarik pada pertanyaan yang diajukan pria tersebut.

"Sesuai perhitunganku. Dia sepertinya pergi mengikuti Charon ke ruang bawah tanah. Sejak awal aku memang sudah menduga bahwa dia tertarik pada pria tersebut. Haha … sungguh konyol."

"Masuk ke dalam sana dengan keinginan sendiri. Mengagumkan." Pria tersebut menggumam.

"Kamu sendiri kan yang bilang ingin menguji kemampuan mata magi spiritnya."

"Ya, memang benar. Kamu bekerja dengan baik Rhea. Tapi, apa kamu memberi tahu pria tersebut tentang apa yang kuinginkan?"

"Charon maksudmu?"

"Siapa lagi kalau bukan dia?"

"Tidak sama sekali. Aku memang sering memperhatikan pria itu mengendap-ngendap turun ketika tengah malam. Tapi aku tidak peduli sih apa yang ingin dilakukannya setiap malam di bawah tanah," ucap Rhea enteng.

"Eh, iya kah? Aku tak pernah mendapatkan komplain dari penjaga bawah tanah bahwa ada seseorang yang masuk kesana."

"Bawah tanah itu adalah jalur khusus untuk sampai ke tempat itu kan? Mengapa kamu begitu bodoh dengan menempatkan iblis rendahan sebagai penjaganya. Yah, walaupun mereka lebih kuat dari pada manusia. Namun, mereka tetap saja mudah ditipu."

Pria tersebut menunduk memikirkan ucapan Rhea barusan. "Ya, kamu benar. Terlebih, Charon memang bukan manusia biasa. Dia juga butuh pengawasan khusus, sama seperti Irene."

"Untuk Irene, serahkan saja dia pada pengawasanku. Percayalah, pasti dia akan aman terkendali." Rhea mengedipkan sebelah matanya.

"Kamu memang tak pernah mengecewakan, Rhea." Pria itu hendak berbaik untuk pergi.

"Hei, tunggu. Kamu masih ingat kan tentang kesepakatan yang kita buat?" ucapan Rhea menghentikan langkah pria berjubah hitam tersebut.

"Tentu saja. Kamu hanya perlu mengawasi dan menjaganya. Kemudian melaporkan hasilnya secara berkala apabila aku datang," jawab pria tersebut.

Rhea mulai menampakkan senyum sadisnya. "Ya, tentu saja. Tapi, aku sarankan sebaiknya kamu tak melakukan apapun padanya."

"Maksudmu?"

"Tidak ada yang boleh menyakitinya. Sebab, tugasku adalah menjaganya. Dan apabila dia terluka, aku harus membereskan siapa pelakunya." Tatapan Rhea kembali mengkilap, bagaikan perak yang terkena pantulan cahaya.

"Tentu saja. Tetapi, aku memiliki wewenang tersendiri untuk mengurusnya," bantah pria tersebut.

"Haha … kamu kira, kamu bisa menjadikanku bidakmu sepenuhnya? Aku bukanlah sosok anjing yang selalu menuruti kata majikannya lho," tegas Rhea sembari memicingkan pandangannya. Menatap pria tersebut dengan sinis.

"Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?"

Rhea kembali tersenyum. Ia menundukkan kepalanya. Kemudian terkekeh pelan. "Hihi … entahlah. Aku bisa merasakan sesuatu saat bersama dengannya. Perasaan yang sebelumnya tak pernah merasuki jiwaku. Rasa senang, nyaman, gembira, kagum, dan segala yang positif seperti bercampur jadi satu. Jadi, sejak saat itu aku membuat kesimpulan. Bahwa, dia adalah seseorang yang berharga bagiku."

"Kamu jangan gila! Lagipula, apa untungnya kamu melindunginya?"

"Sejak awal aku memang sudah gila. Apa untungnya? Entahlah. Gadis tersebut telah membuat sosok sepertiku mampu merasakan apa yang disebut dengan 'hidup' itu. Ya, sebuah tujuan. Setiap makhluk hidup pasti memiliki tujuan bukan?" Rhea melebarkan senyumnya. Ia kembali mengadahkan kepalanya menatap bulan.

"Aku tak mengerti." Pria tersebut menatap Rhea dengan tajam. Iris merahnya menipis akibat terpapar sinar rembulan.

"Lupakan. Aku terlalu berlarut pada perasaan bahagiaku. Malam purnama memang lebih sering membuatku gila."

**☆**

14 Jan 2021

~Daiyasashi~

Hai guys! Aku comeback nih. Kemarin emang sengaja gak update sih. Keasikan nonton anime, hehe. Dan aku kasih tau aja ya, aku sama sekali gak nyetok darf. Jadi, ini murni bener-bener baru diketik. Maklum banyak yang salah-salah. Soalnya sama sekali belum di edit.
Ok, jangan lupa kasih kritik dan saran ya! (◠‿・)—☆

Ja mata! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro