14. Resident

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Three months later ...

Kicauan burung-burung terdengar indah. Dipadukan dengan gerakan teratur dari dahan pepohonan yang tertiup angin. Menjadikan nuansa alam yang begitu kental.

Pemandangan ini tidak asing. Cordelia tersenyum melihat pemandangan indah tersebut.

"Akhirnya aku bisa bernafas lega. Ini benar-benar seperti desa di virtual game." Richo nampak bersemangat ketika melihat pemandangan di lembah tersebut.

"Hey, kamu benar. Omong-omong, kamu gamer ya?" Cordelia tiba-tiba menyahut.

"Iya. Kamu juga kah?" Richo balik bertanya.

"Hahaha ... tentu saja. Astaga, aku ternyata bisa menemukan seseorang dengan hobi yang sama di dunia ini."

"Bukan hanya aku, Leo juga. Iya kan?" Richo melirik ke arah pria berambut hitam yang baru saja keluar dari rimbunnya pepohonan, berjalan ke arah mereka berdiri.

"Eh? Ada apa? Kenapa?" Leo yang merasa dirinya sedang dibicarakan, langsung menyahut.

"Siang, Leo sang pro-player." Richo memiringkan senyumnya, menatap Leo yang nampak kebingungan.

"Jangan menganggap seperti itu lah. Aku hanya pemain biasa." Leo nampak tak nyaman.

Cordelia dan Richo terkekeh melihat keanehan Leo.

Di sisi lain, Irene nampak tenang mengamati desa yang berada di bawah bukit tempatnya memijak. Iris birunya menyelidik detail apa saja yang ada di bawah sana.

Tiba-tiba, seorang pria berambut pirang berjalan mendekat ke arah Irene berdiri. Lalu menghentikan langkahnya tepat disebelah Irene. "Bagaimana? Apa kamu melihat sesuatu?" bisiknya lirih.

"Tidak ada yang aneh," balas Irene singkat. Ia sama sekali tak menengok ke arah pria yang mengajaknya bicara. Posisi mereka yang berada memisahi teman-teman lainnya, membuat tak ada seorangpun yang mendengar perbincangan mereka.

Pria tersebut juga hanya memandangi keadaan desa dari kejauhan. Ia sama sekali tak mengambil pandangan dari gadis berambut putih yang berada di sebelahnya.

"Hei, Irene. Ternyata kamu disini." Tiba-tiba, Rhea datang menghampiri mereka. Charon yang menyadari bahwa ada orang lain yang mendekat, langsung berbaik pergi menjauhi Irene. Kembali bergabung dengan teman-teman yang lainnya.

Rhea memandang pria tersebut dari belakangnya dengan tatapan aneh. "Kenapa dia itu?"

"Entahlah. Pria yang aneh bukan?" balas Irene kini ganti menatap gadis yang sudah berdiri di sampingnya. Senyum simpul menghiasi wajah teduhnya.

"Akhir-akhir ini, dirimu juga makin aneh, Irene." Mata Rhea beradu pandang dengan Irene. Iris hitamnya menatap Irene dengan tajam. Menandakan kalimat yang barusan dikatakannya benar-benar serius.

Tiba-tiba, senyum mengembang di wajah gadis tersebut. "Jangan diambil hati. Aku bercanda," ujar Rhea.

"Astaga, ku kira kamu beneran." Irene yang tadi sempat membelalak, kini kembali tersenyum hambar.

"Tapi bo'ong," lanjut Rhea. Dan kini, wajahnya terlihat sangat serius.

"Hal apa yang membuatmu berbeda Irene? Kamu bukan seperti Irene yang aku kenal," desak Rhea. Irene terpaku. Ia mengambil nafas panjang sambil memejamkan kedua matanya.

"Aku baik-baik saja. Aku tetaplah aku. Tidak ada yang salah kan?" Senyum manis mengembang di wajah putih Irene. Kulitnya sudah tak lagi terlihat pucat seperti dulu.

"Oh, ok. Aku hanya ingin bilang, kalau ada yang mengganjal di pikiranmu, jangan sungkan untuk bercerita denganku. Kamu tahu, kita ini teman kan?" Rhea kembali terlihat bersemangat seperti biasanya.

"Tentu saja," timpal Irene menyetujui. Namun, sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, terbesit sebuah keraguan.

Semoga saja memang benar begitu.

**☆**

Semua pasti akan berubah. Dan dengan perubahan tersebut, akan menunjukkan bahwa waktu terus berjalan.

Charon melangkahkan kakinya menuruni tangga kayu. Anak tangga yang menopangnya terdengar berdecit. Sebuah rumah tua yang berdiri di pemukiman tersebut menjadi tempat mereka bermalam.

"Mau kemana kamu, Charon? Aku sering sekali melihatmu mengendap-ngendap pergi di tengah malam." Suara Pallas terdengar dari belakang.

"Oh, jadi selama ini kamu mengetahuinya ya?" Charon masih membelakangi Pallas, dan sama sekali tidak menunjukkan wajahnya pada pria tersebut.

"Ya, sejak kita di tempatkan sekamar." Pallas menatap punggung Charon yang masih terpaku di atas anak tangga.

Terdengar suara gumaman samar. "Beruntungnya kamu. Kalau seandainya saat ini kita berada di luar, aku pasti akan langsung membunuhmu."

"Hah, apa maksudmu? Jangan bercanda Charon!"

"Walaupun kita terlihat seperti teman. Namun, aku tak pernah menganggap dirimu teman. Kalau kamu menghalangiku, aku tak akan ragu untuk membunuhmu," ujar Charon tajam.

Pallas memaparkan senyum setengah miring. Ia mengambil nafas dalam. "Kamu terlalu cepat menyimpulkan ya. Asal kamu tahu, aku bisa dengan mudahnya membeberkan semua tingkahmu pada Lucifer. Tapi, bahkan hingga detik ini, aku sama sekali tak mengatakan apapun padanya. Sekarang, bisakah aku mendengar penjelasan langsung darimu, Charon?"

"Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?" Charon mulai membalikkan tubuhnya menghadap pria berambut hitam legam yang berdiri di lantai atas.

"Bukan hal penting. Hanya sebuah 'kebenaran' bagiku," jawab Pallas.

Charon memandang wajah lelaki tersebut dengan dalam. "Baiklah. Tapi, bisa kita bicara di luar?"

"Cuaca malam ini cukup bersahabat. Namun, asal kamu tahu saja, aku tak bisa kamu habisi dengan mudah lho."

"Itu tergantung situasi. Lagi pula, siapa yang akan tahu hasilnya apabila tak ada yang mencobanya?"

"Astaga, jangan terlalu memandang rendah orang lain ya. Kamu tak tahu apa yang orang tersebut sembunyikan darimu. Jika kamu tidak merubahnya, hanya akan ada penyesalan yang datang kemudian hari."

"Berhentilah menceramahiku. Kamu bahkan tak lebih dari seorang rekan."

Pallas kembali menunjukkan tampang dinginnya. Ia melangkah menuruni anak tangga, hingga akhirnya sejajar dengan Charon. "Seorang anak yang terlahir dari kebencian dan kekerasan, selalu menganggap bahwa hal apapun bisa dilakukannya sendirian. Merasa bahwa dirinya tak membutuhkan bantuan orang lain. Benarkah begitu, Charon?" bisiknya lirih, namun tajam.

Mata Charon membelalak mendengar ucapan Pallas. Bayangan tentang masa lalu yang kelam kembali menghujam ingatannya. "Dasar anak laknat! Seharusnya kamu enyah saja dari dunia ini!" Pekikan penuh emosi kembali terngiang dalam benaknya.

"Bagaimana kamu bisa tahu, tentang hal itu?"

Pallas tak menjawab. Ia terus melewati Charon dengan santai hingga kakinya membawa dirinya ke lantai dasar.

"Aku bertanya padamu, sialan!"

Pallas memasukkan pergelangan tangannya ke dalam kantong mantel panjangnya. Ia berbalik, menatap Charon yang masih terpaku di atas anak tangga. "Mari keluar. Lihatlah, malam ini bulan purnama menampakkan sinar pucatnya. Benar-benar indah bukan?"

Charon mengamati Pallas yang sudah sampai di bawah. Tanpa berfikir panjang, ia mulai melangkahkan kakinya. Menyusul pria yang kini sudah mendahuluinya. "Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu sih?"

"Aku hanya ingin melihat, kebenaran itu sebenarnya berada dimana?" Tangan Pallas mulai bergerak mengangkat kayu yang menjadi pengunci pintu utama tersebut.

"Padahal yang disebut 'kebenaran' itu, pada tiap-tiap sudut pandang manusia berbeda kedudukannya."

"Aku hanya mengukurnya sesuai kehendak pribadiku. Lagi pula, aku tak ingin dikatakan sebagai 'penghianat' oleh seseorang yang menyebutku sebagai 'rekan'. Tenang saja, aku menggali informasi darimu bukan karena aku ingin menjebakmu." Pintu mulai bergerak terbuka. Hembusan angin malam yang dingin menyambut kehadiran mereka di luar.

Charon menatap pria yang tengah berteduh di bawah sinar pucat bulan purnama. "Apakah kamu melindungiku? Memangnya apa untungnya buatmu?"

"Kamu sadar kan, bahwa dirimu sedang di awasi. Ya, dirimu. Dan gadis itu. Sedangkan aku? Ah, aku hanya memuaskan diriku sendiri. Lagi pula, hari-hari tanpa konflik akan terasa sangat membosankan."

Charon mengikuti Pallas yang mulai berjalan keluar dari area rumah yang mereka tempati. Jalan-jalan yang sunyi dengan kabut tipis menyapa pandangan mereka. "Gadis itu. Kamu tahu siapa yang mengawasinya?"

"Sayangnya, aku tidak tahu. Lucifer menutup semua informasi dengan rapat. Dan dia membuatku tak bisa menolak kontrak dengannya. Sungguh ironis."

"Kontrak?"

"Ya, kerjasama dengan iblis."

**☆**

23 Jan 2021

~Daiyasashi~

Hi, I am come back setelah time skip! (≧▽≦) Jangan lupa kasih kritik dan saran ya. Krisar alur juga gapapa.
Thanks all!

See you! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro