15. Attic

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udara malam terasa dingin. Lembah yang letaknya sangat jauh dari tempat akademi mereka berada tersebut memiliki iklim yang dingin - basah. Untuk perkiraan geografisnya sendiri tak diketahui dengan pasti. Sebab hampir sepenuhnya perjalanan mereka hanya menjelajahi hutan. Dan kemudian sebuah portal teleportasi menelan mereka, lalu melemparkan mereka semua ke tempat antah berantah tersebut.

Kupikir di dunia ini tak ada yang namanya manusia. Namun, sepertinya aku salah. Pemukiman ini dipenuhi oleh manusia. Dan aku hanya merasakan sedikit hawa keberadaan monster disini.

Irene menyandarkan tubuhnya pada kusen kayu. Jendela loteng tempatnya bermalam tersebut dibiarkan terbuka lebar. Mengalirkan hawa dingin yang menusuk tulang. Jubah hitamnya sedikit melambai tertiup angin.

"Malam purnama yang indah bukan?" Mata Irene membelalak hampir tak percaya ketika ia mengetahui siapa sosok yang mengatakan hal tersebut padanya.

"E-Eris? Bagaimana kamu bisa berada di sini?" Pandangan Irene menatap lurus ke depan, melihat pria bermata merah yang tanpa disadari sudah melangkah masuk melewati kusen jendela.

"Sederhana sih. Kamu tak perlu tahu. Yang lebih penting, apakah sekarang kamu sudah mengenal lebih dalam tentang dunia ini?"

Irene mencoba tuk menjaga jarak. Sudut pandangnya menusuk tajam kearah pria rupawan tersebut. "Ya, mungkin. Apa yang kamu inginkan hingga datang ke tempat ini?"

"Jangan menatapku begitu. Apa kamu sudah lupa siapa yang menolongmu waktu itu?" Eris seakan berusaha mengelak dari tatapan Irene.

"Kamu seharusnya paham situasinya sedang bagaimana," balas Irene.

"Iya-iya. Dengarkan aku dulu. Aku tak akan lama-lama berada di sini." Eris kini duduk di atas kusen jendela. Irene berhenti menelisik pria tersebut. Ia memilih untuk mencoba mendengarkan apa yang akan disampaikan lelaki itu.

"Apa?" ujar Irene singkat.

Dia benar-benar berubah ya. Dia sudah mengetahui potensi yang dimilikinya, kemudian mengambilnya dengan sangat baik. Dia bahkan mengetahui ancaman yang menunggunya di depan sana. Sungguh luar biasa.

"Pesan dari Luiz. Jangan sampai kamu mati dalam ujian kali ini," jawab pria berambut pirang tersebut. Iris mata merahnya melebar menatap Irene. Seakan menunjukkan bahwa ia mulai tertarik pada gadis yang berada di sebelahnya.

"Ujian? Kukira ini kecelakaan."

"Ini sudah direncanakan. Ketika kalian diberi kesempatan untuk menjelajah dunia luar kastil, mereka sudah mengatur portal teleportasi. Dan tujuan kalian disini, tak lain adalah untuk kembali melakukan ujian bertahan hidup."

"Benar-benar tak masuk akal. Bagaimana bisa? Bukankah seharusnya mereka menetapkan aturan sepuluh murid?"

"Itu kepercayaan. Hanya kepercayaan. Kalian manusia, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi kan?"

"Astaga, merepotkan. Padahal selama berada disini, semua terlihat normal. Tak ada tanda-tanda akan adanya bahaya. Bertahan hidup dari apa?" Irene memandang keadaan di luar melalui jendela yang terbuka. Bulan pucat yang utuh terlihat bersinar di angkasa. Jalan di sekitar area tersebut tampak diselimuti kabut tipis.

"Karena mereka tidak terdeteksi. Monster yang ada di wilayah ini sangat samar. Mereka beraktivitas seperti manusia normal. Mereka berbaur selayaknya orang-orang pada umumnya. Namun, ada masa dimana mereka akan menunjukkan sisi lainnya." Eris menjelaskan.

"Seperti dirimu kah?"

"Tidak. Vampir dan iblis masih dapat dirasakan hawa keberadaannya. Namun, mereka berbeda. Sungguh, mereka itu adalah musuh alami bagiku. Kekuatan mereka setara dengan vampir."

Kini pandangan Irene menatap pria yang mengajaknya bicara. "Makhluk seperti apa 'mereka' itu? Kamu bercanda kah? Bukankah seharusnya ras vampir adalah salah satu ras terkuat di dunia ini?"

"Itu tidak salah. Namun, tidak sepenuhnya benar. Ras iblis lebih kuat lagi. Dan pertanyaanmu, mereka itu apa? Kamu akan mengetahui jawabannya kelak, jika kamu bertemu dengannya."

Setelah kalimat tersebut keluar, mereka berdua membisu. Ya, diam yang sangat menyiksa lagi-lagi datang menghampiri.

"Hei, kenapa kamu menyampaikan hal itu kepadaku?" ucap Irene setelah cukup lama menahan pertanyaannya.

"Sudah kukatakan di awal bukan? Ini pesan dari Luiz."

"Luiz? Kamu mengenalnya? Tunggu, otakku tak sampai untuk mencernanya. Bukankah selama ini ada perselisihan antara iblis dengan vampir?"

"Khusus untuk kami berdua, perselisihan itu tak berlaku. Tapi, tetap saja aku tak bisa membantumu jika ujian itu tiba. Jujur saja, aku juga ingin mengatakan hal berinti yang sama dengan Luiz, namun berbeda kalimat."

"Katakan saja."

"Baiklah. Tetaplah hidup, Irene."

Seketika Irene membelalak bersamaan dengan masuknya ucapan tersebut ke dalam pendengarannya. Jantungnya berdegup tak teratur. Kepingan memori kembali tersangkut dalam benaknya.

Lagi-lagi kalimat yang sama. Mengapa pria ini sikap dan perilakunya mirip sekali dengan dia? Sampai-sampai saat hari pertama kita bertemu, aku sempat memiliki pemikiran bahwa lelaki ini adalah perwujudan reinkarnasi dari dia. Thian ...

"Ada apa?" Eris menatap Irene yang terlihat shock dengan tajam.

"Tidak ada. Terima kasih ya, sudah mengatakannya." Kini, senyum tersungging manis di wajah gadis tersebut. Iris mata birunya menatap pria yang berada di sampingnya.

Ini pasti hanya kebetulan yang tidak disengaja. Namun, kenapa dia terlihat begitu serupa? Kenapa jika sedang bersamanya, aku merasa nyaman?

"Tidak masalah," lirih Eris.

Kebisuan kembali menghampiri mereka. Irene memanglah seorang introvert yang lebih sering memilih untuk diam. Namun, entah mengapa jika sedang berada bersama Eris, ia merasa bahwa hening sangat menyiksanya.

"Kamu itu ... sebenarnya ada di pihak siapa?" tanya Irene tanpa mengambil pandangan untuk menatap pria berkulit pucat tersebut.

"Menurutmu sendiri?" Eris balik bertanya.

Irene terdiam cukup lama. Pandangannya menatap kosong keadaan di luar sana. "Aku tidak tahu."

Eris menghela nafas. Pria rupawan tersebut memejamkan kedua belah matanya. "Kalau begitu, aku juga tidak tahu."

"Hah, apa maksudmu?"

"Anggap saja aku hanya membantu. Jujur, awalnya aku menginginkan dirimu. Namun, kini sudah tak lagi begitu. Lagi pula, aku sudah hidup lama di dunia ini. Aku merasa sudah cukup puas untuk menjadi diri sendiri."

Irene melihat kebawah. Tempat kedua tangannya terlipat di balik gumpalan jubah tebal. "Aku aneh ya? Sebenarnya, siapa aku itu? Mengapa mereka yang berada di dunia ini selalu berusaha mendapatkanku, menjadikanku sebagai wadah. Sebenarnya darah siapa yang mengalir dalam tubuhku ini?"

"Aku sendiri tak mengerti. Tapi, itu adalah darah suci. Maka dari itu, aku yakin para monster yang tinggal di sekitar sini, akan tertarik karena kehadiranmu."

"Menjadikanku tumbal. Haha, lucu sekali."

"Meski begitu, tetaplah hidup Irene." Kedua kalinya pria tersebut menyatakan hal serupa. Membuat bulu kuduk Irene merenggang.

Sebuah ucapan ternyata bisa lebih mengerikan daripada sosok hantu. Irene merapatkan tangannya pada tubuh mungilnya yang mulai menggigil. Antara gelisah, takut, khawatir, dingin, semua bercampur memenuhi dirinya. Namun, di sudut hati kecilnya, terdapat sebuah perasaan yang menghangatkan.

"Aku mengerti. Tentu saja aku tak akan mati semudah itu." Senyum teduh terpancar di wajah halusnya. Ia memandang pria tersebut dalam-dalam. Pupil birunya melebar dan sedikit kilat akibat bias sinar rembulan terpancar di matanya.

Eris secara bersamaan juga mengarahkan tatapannya pada gadis tersebut. Mereka beradu pandang cukup lama. Seakan-akan, mereka mampu mendengar suara antar hati kehati.

Namun, suara berdecit terdengar merusak suasana. Pintu kayu tersebut seketika terbuka lebar. Gadis berambut hitam melangkah masuk kedalam kamar, memergoki dua orang yang berada di dalamnya.

"Maaf mengganggu waktu bermesra-mesraannya tuan dan nyonya. Tapi, waktu sudah menunjukkan bahwa ini adalah saatnya untuk istirahat." Senyum simpul terlukis di wajah menawannya.

"Rhe-Rhea?" Irene tercekat.

"Astaga, ternyata ada sosok yang bukan manusia berada di sini ya. Bahkan berada sedekat itu dengan Irene. Aku jadi tertarik, hal apa saja yang kalian bicarakan sebelum ini." Gadis berambut panjang yang hitam legam tersebut tersenyum miring. Tatapannya mengarah tajam pada Eris.

"Maaf, aku akan segera pergi." Eris segera bangkit lalu berbalik menghadap ke arah luar.

Namun, Rhea menggerakan tangannya. Seketika, jendela dan pintu tertutup rapat. Loteng tersebut seketika menjadi ruangan tak bercelah.

"Kamu kira semudah itu untuk pergi?" Senyum sinis kembali terpancar di wajah Rhea. Ia meraba jubahnya, lalu mengambil benda yang tersimpan di dalamnya.

Sebuah belati perak yang dingin berada di genggaman gadis tersebut. "Aku hanya perlu mengincar jantungmu bukan?"

"Rhea, hentikan!" tegas Irene. Namun, Rhea tak mengindahkannya. Tanpa berfikir lama, ia langsung melesat ke arah vampir itu berdiri.

"Kubunuh kau!"

**☆**

24 Jan 2021

~Daiyasashi~

Hi, ketemu lagi. Bagaimana tanggapan kalian mengenai prat kali ini? Kasih tau aku ya.
Jangan sungkan untuk beri kritik dan saran. Aku akan sangat berterima kasih! (✯ᴗ✯)

Ok, sekian saja.

Sampai jumpa kembali! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro