17. Scar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu tahu, aku sama sekali tidak menguping pembicaraan kalian."

Perlahan, Irene menurunkan kedua telapak tangan yang menutupi wajahnya. Ia menatap Rhea dengan pandangan bertanya-tanya.

"Aku hanya sedikit menggertak dan memancingnya saja. Maaf ya, sepertinya aku terlalu memberikan penekanan emosional padamu." Rhea tersenyum menenangkan Irene.

"Rhea ... tidak. Seharusnya, aku yang minta maaf."

Rhea menepuk halus pundak Irene. "Saat pertama mendengar kata 'witch', apa yang terlintas di pikiranmu?"

"Sosok wanita tua yang bongkok dengan membawa tongkat kayu berukir tengkorak," jawab Irene.

"Jika dalam pikiranku, seorang wanita cantik yang memakai topi runcing. Membawa tongkat pendek dan sapu terbang. Wajahnya selalu terlihat berseri-seri dan awet muda."

Rhea menatap Irene lembut. Sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum lebar yang indah. Bulu mata lentiknya membuat wajah menawannya tampak sempurna. Benar-benar seorang gadis yang jelita. "Kamu tahu apa maksudnya?"

Irene menggelengkan kepalanya sebagai respons atas pertanyaan Rhea.

"Aku yakin, suatu saat nanti kita lah yang akan menjadi penyihir tersebut. Dan saat itu, diriku lah yang menjadi penjahatnya. Sedangkan kamu adalah sosok penyihir baik. Kemudian, kita akan terikat konflik besar dan saling mengincar satu sama lain."

Perlahan, Rhea berdiri. Ia menatap jauh ke langit yang ada di balik jendela. "Namun, setelah semua itu selesai. Kita akan kembali bersama. Melakukan hal konyol bersama, menikmati indahnya dunia bersama."

Rhea kembali menatap Irene yang masih terduduk di lantai kayu. "Karena, kita ini teman. Atau, lebih dari teman. Kita saling berbeda pendapat, terlarut emosi karena hal sepele. Namun, setelah itu kita kan kembali tertawa. Menatap satu sama lain sebagai bagian terpenting."

Irene memejamkan kedua matanya. Perlahan, senyum terlukis di wajah mungilnya. "Kau benar, Rhea."

Gadis berambut hitam tersebut menampakkan senyum manis. "Tentu saja. Aku pikir, kamu pasti lelah kan? Malam semakin larut, mau tidur?"

Irene mengangguk. Ia kemudian bangkit dari posisi duduknya. Kemudian melangkahkan kakinya ke arah ranjang kayu yang berada di sudut ruangan. Entah mengapa, seketika dirinya merasa begitu mengantuk. Matanya terasa berat.

Segera Irene merebahkan tubuhnya di atas kasur yang sedikit keras. Aroma selamat tidur mulai terambu. Mengantarkannya pada lubang hitam gelap, jatuh kedalam kubangan mimpi tak berdasar.

Setelah Irene terlelap, Rhea merasakan sesuatu sedang mengawasinya. Ia mengarahkan pandangannya ke jendela. Dari kejauhan, terlihat seekor gagak hitam yang mengamati tempatnya bermalam. Dengan sigap, Rhea mengambil langkah mendekati kusen kayu tersebut.

Tanpa aba-aba, gagak tersebut langsung terbang. Melesat ke arahnya. Mata merah menyala milik sang gagak itu menyorot tajam menatap Rhea.

"Itu kamu, Lucifer?"

"Ya. Lebih tepatnya, hanya sebagian kecil magi milikku saja. Tapi, aku senang kamu selalu cepat tanggap, Rhea." Burung tersebut dapat berbicara fasih, layaknya manusia biasa.

"Kamu mendengar semuanya? Yang barusan?"

"Sedikit bagian. Tapi, aku tahu garis besarnya."

"Eris ... apa pandanganmu pada pria tersebut, Lucifer?" Rhea mengamati bulu hitam sang gagak yang terlepas dari tubuhnya.

"Biarkan saja. Dia tidak terlalu berpengaruh dalam rencana. Yang terpenting, kamu tetap menjalankan tugasmu seperti biasa. Dan jangan sampai ada yang tahu mengenai kontrak yang kita buat."

"Aku tidak merasa semuanya akan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kamu tahu, ekspektasi sering kali menghianati realita."

"Tenang saja. Selama makhluk itu masih tersegel di tempatnya, tak ada halangan yang terlalu berarti bagiku."

"Kamu percaya diri sekali. Tapi, ya sudahlah. Yang penting aku sudah melaksanakan tugasku dengan baik." Rhea menyandarkan tubuhnya pada kusen yang terasa dingin.

"Omong-omong, kamu tidak tidur lagi malam ini?"

Rhea mendengkus. Senyum getir sepintas terlukis di wajahnya. "Kamu pikir bisa, tertidur dengan nyaman di sarang monster yang berbahaya?"

"Astaga, kamu menyadarinya?"

"Tentu saja. Semenjak awal malam tadi, dua lelaki itu pergi meninggal kan tempat ini. Dan hingga saat ini, mereka belum kembali."

"Pallas dan Charon ya?"

"Ya."

"Ku yakin, mereka pasti sudah menemukan sesuatu."

Rhea memejamkan matanya. Senyum kembali mengembang di wajah berparas cantiknya. Ia menggumam. "Menarik ... "

**☆**

Irene membuka kedua matanya. Loteng tempatnya bermalam masih terlihat gelap. Sesuatu mengusik tidurnya, membuatnya terjaga dalam kegelapan malam. Udara dingin merambat di sepanjang tulang belakangnya, merayap hingga ke ubun-ubun.

Gadis itu mulai duduk di atas ranjang. Memeluk dirinya sendiri yang mulai menggigil. Jendela masih terbuka lebar, meminta angin malam untuk pergi ke dalam. Dilihatnya ranjang milik Rhea yang terletak di seberang ranjangnya. Terlihat kosong tanpa tuan.

Dasar Rhea, selalu saja pergi entah kemana di malam hari.

Irene mulai turun dari ranjang, menapakkan kaki pada lantai kayu. Telapak kakinya bagai tertusuk bongkahan es yang membuatnya tak mampu merasakan apapun selain dingin yang menyiksa. Ia meringis, menahan gerak udara yang begitu ekstrim tersebut. Tanpa disedari, setiap hembus nafas yang keluar darinya menjelma menjadi embun yang beku.

Padahal aku sering merasakan musim dingin yang mencekam. Tapi, mengapa dingin kali ini terasa begitu kuat?

Langkah kaki membawanya pada kusen kayu. Dengan segera, ia menutup jendela tersebut rapat-rapat. Berusaha memotong aliran dingin yang keluar-masuk dari pintu jendela yang terbuka lebar.

"Irene ... "

Bersamaan dengan tertutupnya jendela tersebut, sebuah suara masuk ke dalam indera pendengarannya. Walaupun sangat samar dan lirih, namun, jelas-jelas ia menyadari bahwa suara tersebut bergetar memanggil namanya. Suara seseorang yang begitu familiar di dengarnya.

Sontak Irene berbalik, memandang dengan teliti ke dalam ruangan tersebut. Namun, tak ada siapapun di sana. Hanya ia seorang yang sedang berada di loteng. Perlahan, Irene melangkahkan kakinya menjauh dari kusen jendela.

Terpaan angin mengetuk kaca jendela. Membuat kusen kayu tersebut bergetar, berderit ingin melepaskan dirinya dari himpitan dinding. Hawa dingin yang menusuk kembali hadir ke dalam ruangan melalui celah sempit kusen kayu tersebut.

"Irene ... "

Bersamaan dengan bunyi mirip seruling yang terbentuk akibat hembusan angin melewati celah kusen dan dinding, suara lirih tersebut kembali terdengar. Menggetarkan kalbu seseorang yang dipanggilnya.

Dengan cepat, Irene langsung membalikkan tubuhnya kembali menatap ke arah jendela. Seketika, mata Irene membelalak tak percaya mendapati sosok yang sejak tadi memanggil namanya. Pandangannya perlahan pecah. Netra beningnya terlihat berkaca. Ia tercekat, kesulitan untuk mengambil napas.

"Ti-Thian?"

Sosok yang sangat dikenalnya itu tersenyum samar. Walaupun terlihat sedikit transparan, namun ia sangat yakin bahwa pendapatnya tidak salah.

"Irene, kenapa kamu hanya diam? Apa kamu marah padaku?" Sosok tersebut memandang aneh ke arah Irene.

Irene menggelengkan kepalanya. "Aku tidak marah padamu."

"Ah, halo. Irene, aku bicara padamu. Aku tahu aku salah karena meninggalkanmu terlebih dahulu, tapi jika kamu marah, itu jauh lebih buruk bagiku."

Seketika, Irene merasa aneh. Ia melambaikan tangannya tepat di depan pandangan sosok tersebut. Namun, tak ada respons apapun darinya. Irene akhirnya menyadari bahwa pria tersebut tak mampu melihatnya, maupun mendengar ucapannya.

Sosok transparan tersebut hanya bagaikan vidio hologram yang diputar kembali. Semua perkataan dan gaya bicaranya, sudah pernah Irene lihat ketika masih berada di panti asuhan. Ketika lelaki tersebut meninggal kan dirinya dalam keramaian.

"Tapi, dengan hanya melihat wajahmu, aku sudah sangat bahagia." Tanpa ia sadari, bulir mulai merembes dari pelupuk matanya. Irene tersenyum, berusaha menahan perih.

"Baiklah Irene kalau kamu masih ingin diam. Maafkan aku ya." Sosok transparan tersebut menunduk lesu. Tak menunggu lama, makhluk yang menyerupai lelaki tersebut membalikkan badannya. Kemudian melangkahkan kakinya keluar, menembus jendela yang tertutup rapat.

"Tidak Thian, kumohon jangan pergi lagi. Kamu tahu, aku sangat tersiksa akibat kepergianmu. Kumohon, kembalilah. Aku ... aku sangat merindukanmu, Thian." Irene berusaha menarik lengan sosok tersebut. Namun, ia hanya menembus pergelangan tangannya tanpa mampu menyentuh sedikitpun.

"Thian, kembali. Lihatlah aku disini, aku menunggumu. Adakah yang bisa ku lakukan agar kita kembali bersama?" Irene berusaha mengejar. Sosok itu berhenti melangkah sebelum tubuhnya benar-benar habis termakan tembok jendela.

"Ku harap, kejadian seperti ini tak terulang kembali. Sungguh, aku menyesal, Irene." Suara yang menggetarkan kalbu kembali terdengar. Sosok transparan tersebut, langsung menghabiskan langkahnya. Sirna dari pandangan Irene.

"Tunggu, Thian!" Irene berlari, membuka jendela. Udara dingin menyambutnya dari luar. Melambaikan rambut putih panjangnya.

Hanya pemandangan berkabut yang menyambut penglihatannya. Tak ada sosok berwujud lelaki yang sangat dikasihinya tersebut. Iris birunya kembali mengemban lara. Netra beningnya tak kuasa menahan air mata.

Pandangannya semakin kabur. Nafasnya semakin tak beraturan. Dadanya bagaikan dihujam berjuta pedang tajam. Matanya terasa panas. Bulir mengalir deras, membasahi pipi halusnya.

"Kenapa? Kenapa semua begitu kejam?" Punggung tangannya menyambut di bawah pelupuk mata ketika air mata mengalir membasahi wajah mungilnya.

Namun, belum selesai Irene meratapi nasibnya, ia merasa ada sesuatu yang memegang pergelangan kakinya. Jemari yang berkuku panjang bertemperatur dingin terasa di sekujur kakinya. Segera, Irene mengarahkan pandangannya ke lantai.

Seketika, Irene terdiam kaku. Sosok makhluk besar yang menyeramkan, meranggah keluar dari dalam lantai. Bagaikan bajak laut yang keluar dari dalam air laut. Lantai yang menjadi tempatnya berpijak, seakan-akan menjadi cair.

Irene benar-benar hampir kehilangan kesadaran. Sosok tersebut membuka mulut besarnya bergigi runcing, berusaha menelan Irene dari bawah. Irene hampir kehilangan detak jantungnya.

Bagiku, kematian memang lebih baik. Namun, bukan kematian dengan cara seperti ini. Ini sungguh mengerikan. Kumohon, hentikan!

**☆**

28 Jan 2021

~Daiyasashi~

Halo! Apa kabar kalian? Semoga tetap dalam keadaan sehat wal'afiat ya. So, gimana tanggapan kalian sama chapter kali ini? Kasih tau aku dong!
Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan saran ya, pada penulis pemula ini!

Terima kasih ^^

Ja mata! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro