18. Foolishness

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 "Irene ... !"

"Irene!"

"IRENE!"

Gadis pemilik rambut hitam nan indah itu mengguncang bahu Irene yang terbaring di atas ranjang dengan kasar. Lisannya meneriakkan nama wanita yang masih memejamkan mata dengan nafas terengah.

Rhea menyadari, bulir keringat dingin sebesar biji jagung mulai merembes keluar dari pori-pori kulit gadis mungil tersebut. Wajahnya terlihat begitu ketakutan.

"Irene, bangunlah!"

Sekali lagi, Rhea mengguncang bahu Irene dengan kuat. Membuat gadis berambut putih-silver tersebut membuka matanya secara spontan.

Irene terengah. Nafasnya memburu. Ia mati rasa. Tubuhnya terasa begitu kaku, dingin, dan pucat. Iris birunya membelalak, namun memancarkan kekosongan yang sangat mendalam.

"Apa yang terjadi, Irene?" Rhea terlihat khawatir.

Namun, Irene tidak menjawab. Tubuhnya gemetar. Perlahan, ia menggerakkan telapak tangannya menyentuh keningnya. Irene menutup kedua belah matanya. Ia mulai mengatur nafas agar tidak terengah seperti habis di kejar hantu.

"H-huh ... ternyata hanya mimpi," gumamnya pelan. Namun, Rhea yang berada di dekatnya mampu mendengar ucapannya barusan.

"Astaga, ku kira kamu kenapa. Untung lah kalau hanya mimpi. Tadi, tingkahmu seperti orang kerasukan. Aku sangat khawatir, kau tahu." Rhea menghela nafas.

Tubuh Irene terasa begitu lelah. Mimpi itu sangat aneh. Seakan-akan apa yang terjadi di dalam mimpi itu adalah nyata. Bahkan, hawa dingin yang ia rasakan di dalam mimpi, masih terbawa hingga dirinya terbangun.

Langit masih sedikit gelap. Namun, di ufuk timur sudah terlihat benang putih terang. Menandakan mentari akan segera terbit.

"Dingin sekali ya?" lirih Irene. Ia merapatkan jubah yang membungkus tubuhnya.

"Kamu mau berendam air hangat? Kalau 'iya', biar kusiapkan," timpal Rhea.

"I-iya. Terima kasih."

"Tak masalah." Rhea segera bangkit, kemudian berjalan menuju ke arah pintu.

Namun, sebelum tangannya membuka pintu tersebut, kenop berputar dengan sendirinya. Dan pintu terbuka, memperlihatkan sosok yang berada di baliknya.

"Sesuatu telah terjadi." Pria berambut pirang yang seketika membuka pintu, langsung melontarkan kalimat sebelum Rhea menanyainya.

"Hah, apa maksudmu?" balas Rhea.

"Irene, apa yang kamu rasakan?" tanya Charon pada gadis yang masih duduk di atas ranjang.

Irene menatap kedua lelaki yang tiba-tiba masuk kedalam kamarnya dengan pandangan tak mengerti. "Entahlah."

"Rhea, aku sendiri yakin, kamu pasti merasakannya bukan?" Pallas ganti melirik pada gadis yang berada di hadapannya.

Rhea memalingkan pandangannya. Kini ia ganti menyelidik detail ke dalam loteng. Mata tajamnya memandang seluruh sudut ruangan. "Astaga, kenapa aku baru menyedarinya sekarang. Walaupun samar. Keberadaannya sama seperti hawa keberadaan tempat ini."

"Seakan-akan, 'dia' menjadi satu dengan dinding dan juga lantai." Pallas ikut menyelisik.

Namun, ketika kalimat itu terlontar dari mulut Pallas, pikiran Irene langsung berpacu. Ingatan tentang makhluk mengerikan yang keluar dari lantai di dalam mimpinya terpampang jelas di benaknya.

"Irene, kemarilah." Charon yang masih berada di dekat ambang pintu, memerintahkan Irene.

Irene yang masih dihantui sosok yang berada di dalam mimpinya, tanpa berpikir panjang langsung menuruti perintah pria tersebut. Ia turun dari ranjang, lalu berjalan mendekat ke arahnya.

Namun, tanpa sepemikirannya, Charon malah menyingkap jubahnya. Membuat tubuh berkulit putih mulus kehilangan pakaiannya.

Sontak, Irene kelabakan. Ia panik menutupi tubuhnya yang hanya tertutup pakaian dalam. "A-apa yang kamu lakukan?"

"Kamu berani macam-macam, bersiaplah menerima balasannya, sialan!" gertak Rhea yang juga melihat pemandangan tersebut.

"Diam dulu bodoh! Aku tidak melihat apapun." Charon memalingkan wajahnya, memperlihatkan pada Rhea bahwa kedua matanya tertutup rapat.

"Irene, coba perlihatkan punggungmu pada kami," lanjutnya.

Walau masih dengan keadaan ragu, Irene akhirnya membalikkan tubuhnya membelakangi teman-temannya. Keadaannya menyamping dengan cermin besar yang berdiri di sudut ruangan. Membuatnya bisa melihat tubuhnya sendiri dari samping.

Seketika, mata Irene dan Rhea membelalak. Mengetahui sesuatu yang terdapat di punggung gadis berambut putih tersebut.

"Se-sebenarnya, apa ini?" Irene terbata.

Goresan. Bukan, lebih tepatnya seperti cakaran dari kuku tajam dan juga besar yang mengoyak hingga dalam. Memperlihatkan daging merah, bahkan sedikit serpihan putih. Terlihat seperti luka baru, namun tak ada darah sedikitpun yang menetes dari goresan tersebut.

"Ah ya, aku mengerti." Rhea sudah berhenti terkejut. Ia melangkahkan kakinya mendekati Irene.

"Sudah cukup, jangan terus memandangnya. Dasar pria mesum!" hardik Rhea pada kedua pria yang kini berada sedikit di belakangnya.

Rhea mengambil selimut yang terdapat di atas ranjang. Kemudian memberikannya pada Irene. "Kamu, pakailah ini dulu untuk menutupi tubuhmu. Nanti aku ambilkan mantelmu."

"I-iya." Irene menurut. Ia segera menjarangkan kain tersebut membalut tubuhnya.

"Baiklah, sekarang saatnya aku menghabisi makhluk yang berada di dalam situ," ucap Rhea. Mata gadis tersebut menyorot tajam ke arah lemari kayu yang berdiri kokoh di sisi ruangan.

"Memangnya tidak apa-apa? Kita tak bisa menjamin hanya ada satu yang bersembunyi di situ." Pallas juga menatap lemari tersebut.

"Aku juga berpikir demikian. Namun, kurasa untuk membereskannya sekarang bukanlah ide buruk. Lagi pula, tempat ini dipenuhi oleh penyihir pemula seperti kita." Charon menimpali.

"Kenapa tidak kita lihat dulu saja?" Rhea tersenyum miring. Ia menggerakkan tangannya. Perlahan, benang tipis menggeliat, keluar dari dalam jubah bagian lengan. Bergerak cepat menembus udara, lalu melingkar di gagang lemari tersebut.

Semua yang ada di dalam ruangan itu terdiam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Benang tersebut menegang, menarik gagang pintu lemari. Suara berdecit yang tak sedap di dengar, masuk ke dalam indera pendengaran mereka.

Pintu lemari terbuka lebar. Namun, tak ada sosok apapun yang bersembunyi di dalamnya. Pandangan mereka bertiga jadi nampak kecewa. Rhea perlahan maju mendekati lemari tersebut. Ia mengecek bagian dalam. Namun, hasilnya nihil.

Tiba-tiba, pandangan Irene menangkap sesuatu. "Rhea, di atasmu!"

Sosok mengerikan dengan bengkak di bagian wajahnya, muncul dari atap yang seketika terlihat cair dan membentuk pusaran kecil. Kulitnya berwarna hitam kebiru-biruan. Mulutnya terbuka lebar, melompat hendak menerkam Rhea yang berada tepat di bawahnya.

Rhea dengan cepat berusaha melangkahkan kakinya menjauhi tempat ia berdiri. Namun, gerakan makhluk tersebut lebih cepat darinya. Sosok itu jatuh menimpa Rhea yang berada di bawahnya. Debu yang berada di sekitar tempat tersebut, langsung terangkat akibat hentakan monster tersebut.

Sial. Aku seharusnya sudah tahu kalau tempat ini adalah sarang mereka. Percakapan semalam dengan Lucifer ... ya, aku mengabaikan peringatan yang sudah kusadari sendiri. Dan ini, bukan karena aku yang tak cukup cepat untuk menghindar. Melainkan, karena kedua pergelangan kakiku yang mereka tahan dari bawah. Tolol!

"Draugr ... " Charon menganalisis makhluk yang baru saja dilihatnya. Walaupun hanya melihat sekilas, namun sosok tersebut sudah menjadi pengamatan sehari-hari dalam buku ayahnya yang diam-diam dibacanya.

"Makhluk itu, mereka juga bisa menggunakan energi magi seperti penyihir ya?" Pallas mengamati.

"Ya tentu saja. Astaga, sungguh merepotkan bukan? Terlebih, mereka juga kebal terhadap senjata. Kalau sihir kita sampai lebih lemah daripada milik mereka, tamat sudah."

Tiba-tiba, Rhea terlempar keluar dari pusaran debu yang sejak tadi menghalang pandangan mereka. "Kalian semua jahat ya. Melihat temannya dalam bahaya, masa tidak ada rasa simpatik gitu?"

"Kukira kamu sudah mati tercabik-cabik," ujar Charon dingin.

"Aku juga berpikir begitu. Makannya kami lebih memilih untuk diam," timpal Pallas.

Rhea melemparkan senyum getir. "Benar-benar tidak berperasaan."

"Sudah-sudah ... tak perlu diperpanjang. Lagi pula, lihatlah. Mereka sudah kalah." Irene berusaha berdiri sambil memegang selimut yang menutupi tubuhnya.

Sontak, Pallas dan Charon kembali menatap ke arah kemunculan draugr tersebut. Saat debu benar-benar telah menghilang sepenuhnya, terlihatlah dua sosok tubuh tak berkepala yang terkulai di lantai. Kepala mereka terhempas di dekat Rhea yang masih terduduk di lantai.

"Hei, Rhea. Kamu kah yang membunuh makhluk tersebut?" tanya Pallas.

"Siapa lagi kalau bukan aku? Dari tadi, kalian hanya menonton. Dasar! Tapi, sayang sekali ya. Belati kesayanganku jadi retak gara-gara tertimpa tubuh busuk mereka," keluh Rhea.

"Sihir apa yang kamu gunakan? Eh, tidak. Lebih tepatnya, siapa kamu sebenarnya?" Charon menelisik.

Rhea tersenyum simpul. Ia memejamkan kedua belah matanya. Menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya kembali. Perlahan, ia kembali berdiri dari posisi duduk tempatnya terlempar. "Hmm ... kira-kira, siapa ya?"

**☆**

31 Jan 2021

~Daiyasashi~

Halo! Tidak terasa sudah sebulan sejak pertama kali cerita ini publish. Terima kasih banyak ya buat kalian yang selalu support aku.
Oh ya, jangan lupa berikan kritik dan saran ya. Sedikit koreksi dari kalian, akan sangat bermanfaat bagi aku.

Oh ya, omong-omong, kalian tahu apa itu 'Draugr' gak?
Kalau belum tahu, aku bawa sedikit info tentang makhluk mitologi yang satu ini. Simak ya!
👇

📌Noted

Draugr adalah makhluk undead dari literatur cerita rakyat Skandinavia. Ada juga yang menyebut, bahwa draugr adalah makhluk norse mitologi.

Mereka biasanya tinggal di kuburan, dan hanya berkeliaran di sekitar tempat tersebut. Sering menjaga harta karun yang terkubur disana.

Mereka bisa membunuh manusia, dengan kesialan. Memasuki serta merusak mimpi seseorang, dan saat terbangun, akan meninggalkan bekas luka. Bisa meracuni makanan. Dan umumnya berbau busuk.

Mungkin, kira-kira seperti ini rupanya.

Ok, sekian ya.

Sampai bertemu kembali! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro