19. Nature

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ruas-ruas jalan di desa mulai dipadati oleh orang-orang yang berlalu lalang. Udara segar terasa memenuhi paru-paru. Suasana yang begitu damai. Sangat jarang terjadi semenjak mereka datang di dunia tersebut.

Keempat remaja berjubah hitam, berjalan menyusuri deretan kios. Banyak orang-orang yang melakukan jual beli, layaknya di dunia mereka. Semakin masuk ke tengah pasar, semakin padat manusia yang memenuhinya.

Irene terus memperhatikan keadaan sekitar. Namun, tak ada satupun yang mengusik penglihatan. Semua tampak damai, tanpa gangguan. Membuatnya sedikit melupakan kejadian yang dialaminya kala dini hari.

"Alat tukarnya menggunakan koin emas. Di mana kita bisa mencarinya?" tanya Irene setelah sekian lama hanya terdiam.

"Aku menemukan banyak di dalam laci meja yang ada di loteng. Keberuntungan kah?" Rhea merogohkan tangannya kedalam jubah. Gemericik receh terdengar.

"Kamu benar. Di tempat pemukiman yang kita tempati, banyak sekali koin emas yang tersebar. Seakan-akan, pemilik sebelumnya sengaja mencecerkannya di dalam situ." Pallas menimpali.

"Tapi, terkait draugr, aku jadi yakin bahwa pemilik sebelumnya tertimpa kesialan, atau mati mengenaskan akibat keserakahan draugr tersebut," ujar Charon.

"Eh, iya. Draugr kan makhluk yang tamak. Padahal mereka hanya revenant, tapi kenapa masih suka dengan harta sih?" Rhea terkekeh pelan.

"Kalian tahu banyak tentang mitologi ya?" Pallas yang tidak mengerti, akhirnya bertanya.

"Tentu," jawab Charon dan Rhea hampir bersamaan. Namun, ketika menyadari hal tersebut, tatapan mereka berdua langsung saling beradu tajam.

"Ya, dulu aku sama sekali tidak percaya. Namun, semenjak datang ke dunia ini, pandanganku berubah. Aku yakin, kamu pasti juga begitu kan, Pallas?" Irene berkata lirih.

"Tepat. Terlebih, dunia kita kan sudah modern. Kepercayaan kuno sudah tidak berlaku lagi. Yang ku pelajari hanya teknologi dan teknologi, kemudian sains." Pallas merespons.

"Yah, sudahlah. Yang penting malam ini kita makan enak ya!" Rhea seketika bersemangat.

"Leo dan yang lainnya pergi ke sungai ya? Kemudian Cordelia dan Seren menjaga tempat tinggal. Yah, semoga saja tidak terjadi apa-apa pada mereka." Irene menghela nafas.

"Tenang saja. Lagi pula, dari pagi hingga matahari tinggi, kita hanya berburu draugr di tempat yang kita gunakan tersebut. Kupikir, sisanya tidak terlalu banyak." Charon berkata tajam.

"Semoga saja begitu."

Mereka terus bergerak menembus kerumunan. Menghampiri salah satu kios yang berisi bumbu-bumbu dapur. Kemudian membeli semua bahan yang mereka perlukan.

Tak terasa, matahari mulai tergelincir dari tempat tertingginya. Sore mulai tiba. Langit kini berwarna jingga menenangkan. Hembusan angin khas pegunungan, menerpa tempat tersebut. Menerbangkan sebagian kecil dedaunan.

Keempat remaja itu telah beranjak keluar dari pasar yang entah mengapa semakin gelap keadaan, pasar tersebut semakin ramai pengunjung. Namun, pandangan mereka seketika tertuju pada seseorang dengan jubah hitam panjang yang menutupi seluruh tubuh. Bagian kepala orang tersebut juga tertutup oleh tudung terusan dari jubahnya.

Orang tersebut duduk di sudut pasar yang sepi, jauh dari keramaian para pengunjung. Sebenarnya, tak ada yang menarik dari sosok tersebut. Hanya saja, aura yang dikeluarkan darinya terasa sangat berbeda.

Perlahan, mereka mulai bergerak mendekati tempat dimana sosok itu terduduk diam. Niat mereka sebenarnya hanya ingin kembali melewati jalan yang berada di hadapan orang tersebut. Namun, langkah mereka sontak berhenti ketika sebuah suara datang menyapa.

"Kalian, pelajar di Scholamaginer kah?" Kalimat halus terdengar dari sosok tersebut. Begitu ramah dan acuh.

"Iya, memang benar. Anda mengetahuinya?" Rhea menyahut ramah.

"Siapa yang tidak sadar dengan kehadiran kalian? Murid dari sekolah terkenal di dunia ini. Mengambil siswa dari dunia temporal." Suara perempuan tersebut begitu halus. Namun, bagian mata wanita itu tertutup oleh kain hitam. Sehingga mereka tak dapat melihat pendar wanita tersebut.

"Mohon maaf nyonya. Tapi, mohon jawab pertanyaan saya ya." Irene menyela. Seketika, wanita itu menoleh ke arah Irene yang sedang berdiri. Walaupun sebagian wajah perempuan itu tertutup oleh kain hitam, namun mereka tetap bisa melihat rupa cantik yang dimilikinya.

"Biar kutebak pertanyaanmu. Kamu mau berkata, bahwa apakah aku manusia? Benar begitu, Irene?" Respons yang diberikan wanita itu membuat Irene terkejut.

Bagaimana bisa dia mengetahui namaku, padahal kami baru saja bertemu?

"I-iya, anda benar," jawab Irene kaku.

"Kurasa, kalian sudah mengetahui jawabannya." Wanita tersebut menampakkan senyum tulus yang mempesona.

"Kamu monster ya?" Charon berkata dingin.

Wanita tersebut mengarahkan wajahnya ke arah Charon. Hanya sebagian wajah yang terlihat dari wanita tersebut. Selebihnya tersembunyi di balik jubah hitamnya. Termasuk kulit kepalanya. "Definisi monster terlalu abstrak bagiku. Kupikir, bukan itu jawabannya."

"Anda, Medusa?" Rhea menerka.

Tiba-tiba, perempuan berpenutup mata tersebut menyunggingkan senyum lebar. Sedikit memamerkan wajah cantik yang dimilikinya. Walau hanya terlihat sebagian. "Kamu mengenalku? Aku tersanjung kamu menyebut nama itu."

"Astaga, saya benar? Pantas saja anda menggunakan penutup mata dan menyembunyikan sebagian besar tubuh anda dalam gumpalan jubah, agar tak ada yang bisa melihat rambut ular milik anda, kan?" Rhea bersemangat, meskipun tatapannya menyorot waspada terhadap wanita tersebut.

Perempuan yang merasa dilimpahi pertanyaan itu menganggukkan kepala. "Tapi, dengan begini, aku tidak mengganggu lawan bicaraku, kan?" Senyum mengembang di wajah wanita berparas cantik. Sama sekali tak bisa dipertimbangkan, apakah dia berbahaya atau tidak. Perilakunya yang sangat ramah, membuat mereka tidak bisa memprediksi.

"Itu terlalu menguntungkan kami. Jujur saja, anda sangat cantik, nona Medusa." Rhea memuji keanggunan wanita tersebut. Walaupun wujudnya serupa dengan monster, namun keramahannya benar-benar terlihat seperti biarawati.

Perempuan yang mendapatkan pujian tersebut melukiskan senyum hangat.

"Bagaimana anda bisa berada di tempat ini?" Pallas ganti bertanya.

"Hmm ... karena aku menyukai desa ini. Lembah yang jauh lebih baik, dari pada gua tempat tinggalku di gunung sana. Bahkan, letaknya dekat dengan pemukiman manusia."

Kening Pallas terlihat mengkerut mencerna jawaban wanita tersebut. "Apakah penduduk tak menyadari keberadaan anda?"

"Mereka semua mengetahui keberadaanku, juga identitasku. Dan, mereka menghargaiku. Tenang saja, aku tak akan menyerang orang-orang disini. Selama aku tidak merasa terancam, aku tak akan mengeluarkan kutukanku." Senyum yang terus mengembang di wajah perempuan tersebut benar-benar menenangkan.

"Senang bertemu dengan anda, nona Medusa. Namun, hari semakin petang. Kami harus pergi," sela Charon yang masih terkesan dingin.

"Iya, tentu saja masih banyak hal yang harus kalian lakukan. Semoga kalian bisa melewati semuanya dengan lancar."

**☆**

"Akhirnya, semua persiapan sudah selesai." Cordelia bersemangat, menyajikan ikan bakar yang terlihat lezat di atas meja kayu.

"Sejak tadi, semua berjalan lancar. Tak ada lagi draugr yang terlihat. Kemungkinan, kita sudah membantai semuanya." Seren mulai mendorong tubuhnya bersandar di kursi.

"Kalau begitu, seharusnya ujian yang dikatakan tersebut sudah usai dong?" Fay menyahut.

"Bisa jadi begitu. Setidaknya, sekarang kita bisa sedikit bersantai." Leo menimpali.

"Baiklah, kalau begitu. Selamat makan, semua!"

Sepuluh orang yang selalu saja bersama semenjak masuk kedalam Scholamaginer. Mereka merasakan kebersamaan yang begitu dekat. Kekeluargaan yang berasa, menggantikan sosok keluarga asli mereka di dunia sebelumnya.

Disebuah desa bernaung gelapnya malam. Ditemani oleh cahaya merah pekat dari sosok super blood moon yang berbentuk bundar sempurna. Purnama yang berukuran lebih besar daripada fase full moon sebelumnya.

Namun, seketika Irene nampak terusik. Di tengah hujan tawa kebersamaan mereka, ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang sangat mengerikan, telah menunggu. Mengintai mereka dari jarak yang tak cukup jauh.

"Hei, kalian semua diamlah!" Rhea tiba-tiba menghentak kan tangannya ke atas meja. Membuat suasana menjadi hening seketika.

Derit angin malam menggetarkan kusen jendela. Samar, terdengar suara auman. Sangat samar, sehingga mereka mengira hanya suara hembusan udara kelabu.

"Kamu menyadarinya juga ya, Rhea." Irene berbisik.

"Ya," jawab Rhea singkat.

"Aku juga merasakannya." Charon yang berada di seberang meja, ikut menimpali perbincangan mereka.

"Tunggu, suara apa itu?" Rigel yang mulai menyadari sesuatu yang aneh tersebut, mulai angkat bicara.

"Astaga, ini?" Seren seketika terlihat panik.

"Ada apa?" Cordelia yang berada di sebelahnya masih saja tak mengerti.

"Malam ini, gerhana bulan merah. Ku yakin, kalian semua menyadari sesuatu." Pallas berkata santai. Ia tetap tenang sambil menyantap ikan bakar miliknya.

"Gerhana bulan ya ... aku sering menemukan adanya kebangkitan makhluk-makhluk revenant pada malam gerhana di dalam buku bacaanku." Leo menimpali.

"Ujian yang sebenarnya, baru dimulai."

**☆**

1 Feb 2021

~Daiyasashi~

Hello! How are you? Gak kerasa udah masuk bulan Februari. Wkwkwkwk (≧▽≦)
Terima kasih ya untuk kalian semua! Tanpa pembaca kritis, aku tak akan bisa maju dalam kepenulisan. Pokoknya, makasih banget!
Jangan sungkan-sungkan buat kasih kritik dan saran ya, minna!

Arigatou.

Ja mata ne! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro