21. Hopes

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

 "Mereka sengaja memberikan tempat strategis bagi kita. Tepat berada di tengah-tengah pemukiman. Namun, tujuan sebenarnya adalah untuk mengepung kita. Kita memang tak bisa lari. Tetapi, ada cara agar kita bisa selamat dari serangan kali ini."

Irene melepaskan sihir penyerang ke arah kumpulan para manusia serigala yang ganas tersebut. Cahaya besar berbentuk bulat bersarang, merobohkan mereka dengan mudah.

"Jika pemicunya berasal dari alam. Maka, tentulah gerhana bulan yang menjadi tersangka." Leo menimpali ucapan Irene barusan.

"Jadi, cara tersebut adalah ... "

"Menunggu gerhana berakhir," tukas Rhea mantap.

Mereka sudah berada di luar. Udara dingin yang begitu mencekam, tak membuat mereka gentar. Serbuan dari para werewolves tersebut, membuat mereka mampu merasakan pertempuran yang sesungguhnya.

"Saat ini, kita tak perlu menang. Kita hanya perlu bertahan." Irene menambahi.

Ini memang antara hidup dan mati. Namun, sejak awal kami diseret dalam dunia ini, kami memang selalu dihadapkan oleh dua pilihan tersebut. Dan sekarang, kami semua sudah memutuskan untuk tetap hidup.

Pallas memperhatikan pergerakan rekan-rekannya. Di sampingnya, Charon menunjukkan wajah berkerut. Ia sangat serius memfokuskan pikiran untuk melindungi semuanya.

"Kamu terlalu banyak menggunakan sihir, Charon," tegur Pallas melihat keadaannya.

"Mereka juga sama, bukan? Mengeluarkan terlalu banyak energi magi untuk menyerang." Charon menjawab dengan dingin, seperti biasa. Walaupun keringat sebesar biji jagung mulai merembes keluar dari pori-pori kulitnya. Ia terlihat kelelahan.

"Tapi, dengan menggunakan dua sihir besar secara bersamaan, itu terlalu berlebihan bukan?"

"Shield area, dan heal. Karena hanya aku yang mengerti konsepnya, apa masalah kalau aku menggunakan keduanya?"

"Tidak. Tapi ... "

"Kalau kamu ingin membantuku, kenapa tidak salurkan saja energi magi milikmu padaku?" Charon mengarahkan pandangan tajamnya pada pria yang menatapnya cemas.

"Memangnya bisa?"

"Mengapa tidak? Coba saja."

Pandangan Pallas mendelik. Ia merasa tak nyaman bila Charon memberinya tatapan seperti itu. Namun, ia tetap mencoba melakukan apa yang tadi diminta oleh temannya.

Perlahan, ia mulai mengeluarkan energi magi yang tersimpan dalam dirinya. Ia memfokuskan pikirannya. Berusaha tenang di tengah hiruknya pertempuran. Berpikir, seolah-olah sedang tidak terjadi apapun. Hingga sampai ke titik terdalam, dimana sumber kekuatan itu bersemayam. Damai.

Namun, tanpa disadari, seekor werewolves berlari ke arah mereka berdua. Gerakan gesit dari sang monster, melesat menembus lingkaran pertahanan yang dibentuk oleh kelompok penyihir pemula yang masih berusia remaja tersebut. Langsung berusaha menyerang titik buta, yang berada dipusat lingkaran.

Manusia serigala mengayunkan lengan besarnya, berusaha menerkam Pallas dan Charon yang masih fokus tuk melaksanakan tugasnya. Mulut dengan jajaran gigi taring tersebut menganga lebar. Melompat di udara dengan jarak yang tak terlalu jauh dari mereka berdua.

Untung saja, tepat sedetik sebelum monster tersebut berhasil mendarat tuk melancarkan serangan, sebuah lubang hitam muncul di udara. Rhea langsung keluar dari kubangan hitam tersebut, menebas leher sang werewolves. Menyelamatkan mereka berdua.

"Hei, kamu tahu, itu sia-sia. Mereka terus berdatangan entah dari mana. Padahal, kita sudah menggunakan sihir shield area, serta menyerang mereka habis-habisan. Seharusnya sihir itu bisa menahan agar yang dari luar tidak masuk, dan yang dari dalam tidak keluar. Namun, mengapa jumlah mereka sama sekali tidak berkurang?" ujar Rhea setelah berhasil menumbangkan werewolves tersebut.

"Kamu benar. Ada yang aneh bukan?" Irene seketika menghadap ke arah mereka. Melupakan arena pertempuran yang telah diatur sedemikian rupa untuk pertahanan mereka.

Charon menghela nafas panjang. Ia memejamkan kedua belah matanya. Kemudian mulai jatuh berlutut, membiarkan dirinya bertumpu pada tanah. Pikirannya kacau. Kendalinya pada sihir yang ia lancarkan sebelumnya, seketika melemah. Ia menengadahkan kepalanya ke arah langit.

Perlahan, ia kembali membuka pendar matanya. Menatap langit malam yang masih dinaungi warna merah pekat akibat sinar dari blood moon. Seketika, pikirannya meluap, mengambang ditelan gelombang hampa. Tatapannya terlihat kosong, seakan mulai terhipnotis. Iris birunya melebar, menutupi netra putih di sekelilingnya. Mulutnya mulai sedikit terbuka.

"Charon, apa yang kamu lakukan?" Pallas menatapnya dengan aneh sekaligus bingung.

"Aneh. Tapi, aku tak bisa mengendalikan diriku sendiri." Mulut Charon terlihat bergetar. Kalimat yang terdengar sangat lirih itu keluar dari lisannya.

Sontak, Rhea yang tubuhnya dipenuhi oleh lumuran darah segar, langsung menendang pria tersebut hingga terjungkal mencium tanah. "JANGAN LIHAT REMBULANNYA, TOLOL!" sentaknya kasar.

"I-ini, kutukan." Charon seketika mampu mengambil alih dirinya kembali. Ia sudah terlihat normal.

Namun, dari arah yang tak jauh dari mereka, terdengar suara rintihan yang memilukan. Begitu samar di antara suara-suara auman dan sihir yang sedang dilancarkan teman-teman lainnya.

Irene segera menyadari suara siapakah itu ketika ia mengarahkan pandangannya ke arah werewolves yang baru saja ditebas oleh Rhea. Urat-urat lehernya tampak menegang.

"Di-dia, menangis?" Irene tercekat. Ia melihat pendar mata yang hampir ditutupi oleh bulu lebat tersebut, meneteskan bulir air mata.

"Hen-ti-kan ... "

Suara itu masuk kedalam indera pendengar Irene. Sangat lirih, dan memilukan. Segera, ia bergerak mendekati tubuh monster yang kepalanya hampir lepas akibat tebasan pedang Rhea.

"Kesadaran mereka mulai kembali rupanya," celetuk Leo yang mulai bergabung dengan mereka. Ia ikut mendengarkan rintihan tersebut.

Purnama mulai kehilangan sinar merahnya. Gerhana perlahan pergi, digantikan oleh sinar pucat biasanya. Raungan mengerikan, mulai sirna dari sekitar mereka. Digantikan oleh suara silir angin yang berhembus dingin.

"Sudah selesaikah?" Seren yang tampak kelelahan, mulai melangkah mendekat ke arah mereka. Meninggalkan formasi yang tadi sudah diatur.

"Semoga saja begitu." Pallas mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Menanggapi adanya hal yang ganjil.

Tiba-tiba, pandangan Pallas terpaku pada sosok berjubah yang berdiri di atas bangunan. Menatap ke arah para remaja yang terlihat kelelahan di bawah sana. Wanita yang sama dengan dilihatnya kala senja tadi. Perempuan berpenutup mata, yang selalu mengembangkan senyum di wajahnya.

Sedangkan di sebelah wanita tersebut, berdiri sosok monster manusia serigala dengan dua kaki berbulu hitamnya. Masih tetap dalam bentuk werewolves-nya, ikut mengarahkan pandangan kepada para penyihir pemula yang berada di bawahnya.

Wanita yang dikenal dengan nama Medusa tersebut, mengangkat kedua tangannya. Memberikan applause kecil pada mereka. Senyum manisnya, kini malah terasa seolah-olah mengejek. "Wah, mengagumkan."

"Apa yang kau lakukan diatas sana, wanita sialan!?" Pallas yang mulai tersulut emosi, melontarkan kalimat kasar. Seluruh mata kini mengarah ke atas. Menatap perempuan yang menatap mereka.

"Astaga, mana sopan santunmu yang kamu tunjukan seperti tadi sore?" Senyum simpul masih menghias wajah yang sebagiannya tertutup oleh kain hitam tersebut.

"Peduli setan!" umpatnya.

Seketika, wanita tersebut terkejut dengan respons yang diberikan oleh Pallas. Namun, setelah memperlihatkan wajah yang kurang mengenakkan, senyum lembut kembali terpancar. "Kamu sepertinya tak suka basa-basi ya."

Werewolves yang berdiri di sebelahnya, langsung menurunkan kedua tangannya juga menyentuh atap. Kini, manusia serigala tersebut semakin terlihat mirip anjing. Wanita berjubah hitam itu langsung menunggangi punggung monster tersebut.

Makhluk berbulu itu melompat dari ketinggian. Kemudian, langsung mendarat di tanah dengan keempat ruas gerak yang menjadi tumpuannya. Membuat wanita yang menunggang di punggungnya sama sekali tak terguncang.

"Aku tidak melakukan apapun, kamu tahu. Aku hanya menjadi penonton. Tak lebih. Alamlah yang telah merubah mereka. Mengaktifkan sel genetik yang berada di dalam tubuh mereka masing-masing. Ya kan, Willy?"

Wanita tersebut menginjakkan kakinya di tanah. Turun dari punggung monster. Sang werewolves mulai berdiri kembali dengan dua kaki, layaknya manusia. Perlahan, wujudnya mulai berubah. Dari sosok serigala yang mengerikan, menjadi seorang pria rupawan.

"Jangan mengajakku berbicara," desis pria yang baru saja melakukan transformasi itu. Mata setajam hunusan pedang, menatap mereka dengan mendetail. Sebelum akhirnya berbalik, pergi meninggalkan semua yang berada disitu.

"Ah, ya sudahlah. Sepertinya dia menutup rapat rahasia ras manusia serigala." Medusa mengembangkan senyum halus.

"Huh, baiklah kalau begitu. Semoga saja kamu tidak berbohong." Pallas yang masih terlihat geram, langsung memalingkan pandangannya dari wanita tersebut.

"Aku tidak berbohong."

**☆**

"Tuan ... "

Pria yang merasa terpanggil, segera memalingkan wajahnya. Menatap sang pemilik suara yang menyebut julukannya.

"Lupakan mangsanya. Dia sudah berada di luar kendali kita."

"Ta-tapi, kita masih belum terlambat untuk menangkapnya."

Pria tersebut seketika merasa geram. Dia langsung berbalik, lalu mencekik seseorang yang mengajaknya bicara.

"Sudah kubilang, 'LUPAKAN'!"

Pria tersebut menghempaskan tubuh yang tadi dicekiknya ke tembok hingga retak.

"Sejak awal, aku memang tak yakin untuk bisa menangkapnya. Bahkan malam, dimana kita bisa menggunakan kekuatan kita sepenuhnya, kita masih juga gagal. Para iblis itu tidak bodoh. Mereka tak mungkin melepaskan seseorang yang bernilai mulia tanpa persiapan. Entah apa yang sudah diajarkan para iblis pada anak didik Scolamaginer, namun tentu saja mereka bukan tandingan kita," lanjutnya mengalah.

**☆**

3 Feb 2021

~Daiyasashi~

Halo! Bagaimana cerita aku chapter kali ini? Kasih tau tanggapan kalian dong. ( ╹▽╹ )
Jangan sungkan tuk memberikan kritik dan saran. Kalian bebas mengekspresikan emosi disini!

Sampai jumpa ya! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro