22. Be

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hello, welcome back."

Sapaan ramah dari nyonya Bianca terdengar ketika sekelompok penyihir muda yang baru saja menyelesaikan ujiannya, masuk melewati ambang gerbang.

Seminggu sudah berlalu semenjak kejadian di lembah itu. Mereka, terutama Irene dan Rhea, sama sekali tak terkejut oleh ujian yang diberikan oleh para pengurus Scolamaginer itu, sebab peringatan yang diberikan oleh Luiz melalui perantara Eris.

Setelah masuk melalui gerbang utama yang saat ini sudah dibuka lebar, tak seperti biasanya yang selalu tertutup, mereka langsung disajikan makanan berupa daging rebus, andalan utama para juru masak akademi tersebut. Buah-buahan segar juga selalu tersaji di atas meja. Entah dari mana para makhluk shadow tersebut mendapatkannya.

Sehari penuh, mereka semua dibebaskan dalam beraktifitas. Kebanyakan menggunakan waktu free tersebut untuk beristirahat, melepas penat sepulang dari area bertahan hidup yang selama seminggu mereka hadapi di lembah antah berantah itu.

Sudah lebih dari tiga bulan mereka tinggal di kastil tersebut. Rutinitas mereka benar-benar terjadwal dengan teratur. Dan mereka sendiri sudah mulai terbiasa dengan keadaan di tempat tersebut. Melupakan sedikit kehidupan di dunia asalnya.

Waktu terus bergulir dengan cepat. Tak terasa, sehari di kastil setelah kepulangan mereka itu kini sudah berlalu. Hari pelantikan untuk kenaikan kelas mereka, akhirnya tiba.

"Akhirnya, tibalah waktu dimana kalian bisa memegang benda yang seharusnya dimiliki oleh setiap penyihir." Suara nyaring nyonya Ceres terdengar. Pembimbing baru yang kini mengajari mereka semua.

Satu persatu dari mereka dipanggil, untuk diberikan tongkat sihir dan juga sapu terbang. Sebuah papan nama terpampang jelas di mantel hitam khas akademi tersebut yang dikenakan oleh setiap siswanya.

"Saya berjanji, akan menggunakan benda ini dengan sebaik-baikknya." Irene berkata mantap ketika tiba gilirannya. Ia menerima benda-benda berharga tersebut, dengan tatapan tajam. Matanya tak lepas menyoroti satu persatu sosok yang menjaga seluruh ruangan.

Upacara tersebut berjalan lancar hingga selesainya. Kini, mereka sudah bukan lagi penyihir pemula. Melainkan, penyihir kelas menengah yang telah diakui.

Pembelajaran yang dimulai, kini tak lagi berada di ruangan tertutup. Mereka harus belajar di tanah lapang yang terbuka. Untuk bisa terbang sempurna, dan mengendalikan arah terbang mereka dengan sapu ajaib tersebut.

Mereka juga mulai di ajak berpetualang kedalam hutan yang dulu menjadi tempat seleksi pertama mereka untuk belajar menggunakan tongkat sihir dengan energi yang lebih besar. Walaupun tempat tersebut kembali mengingatkan Irene, akan lara yang menimpa. Tentang semua yang membuatnya bisa bertahan hingga saat ini, dan memiliki sebuah tujuan untuk terus hidup.

Ya, Thian. Aku telah menemukan alasan tersebut. Kamu tahu, aku ingin menjadi lebih kuat. Lalu, menghindari semua rencana keji yang sudah disiapkan untukku. Kemudian, aku akan pulang. Ya, pulang. Kembali ke tempat yang dulu mempertemukan kita.

Mereka semua saat ini diijinkan untuk mendaki gunung yang menjulang tinggi untuk berkunjung ke kastil iblis utama, jika persiapan mereka sudah siap. Sebab, medan yang akan di tempuh cukup sulit jika tanpa sapu terbang. Begitu curam, tanpa pengaman. Bahkan, setelah mengendarai sapu ajaib tersebut, mereka tetap harus tetap terombang-ambing oleh kuatnya hembusan angin.

Selama sebulan penuh, mereka terus-terusan belajar menggunakan benda yang sudah diberikan. Hingga pada akhirnya, mereka sudah cukup mahir untuk menggunakan benda-benda tersebut.

Kini, saatnya keberangkatan mereka. Menuju kastil utama iblis, yang berada di puncak tertinggi. Di atas awan gelap yang selalu menghantarkan kilat putih, menggelegar.

Tunggu saja. Aku pasti bisa melalui semua ini.

**☆**

Pemandangan indah yang sebelumnya tak pernah dilihat oleh Irene membuatnya terpana. Dari atas sana, ia bisa melihat hamparan putih terang yang hampir menutupi seluruh permukaan.

"Indah bukan? Dari bawah sana, kita melihatnya selalu berwarna kelabu. Namun, dari atas sini warnanya putih cerah bagaikan kapas." Rhea yang terbang di sebelahnya, tersenyum memandang keindahan alam.

"Kamu benar. Jujur saja, aku baru melihatnya secara langsung kali ini." Irene ikut tersenyum simpul.

"Pertama kali? Kalau aku sih, enggak. Dari jendela pesawat, aku juga sudah sering melihatnya." Rhea terkekeh setengah mengejek. Membuat Irene memanyunkan bibirnya kedepan.

"Tapi, tetap saja jika kita melihatnya tanpa kaca, ini lebih terasa nyata," ujar Rhea kembali setelah berhenti terkekeh.

"Ya, kamu benar. Lihatlah, di depan sana puncak gunungnya sudah terlihat." Irene menatap lurus ke depan.

"Pandanganmu tajam. Aku tak bisa melihatnya. Tapi, syukurlah kalau itu benar. Aku sendiri masih tak percaya, kita bisa terbang lebih dari delapan ribu kaki dari permukaan tanah. Bahkan tanpa oksigen yang membantu kita bernafas." Rhea terlihat sangat terkesima.

"Ah, i-iya. Kamu benar sekali. Ini benar-benar hal yang spektakuler." Irene menanggapi.

Rhea ikut tersenyum melihat temannya itu mengembangkan senyum. Ia terlihat lebih bersemangat. "Baiklah, aku duluan ya. Jangan sampai tertinggal lho, Irene."

Irene yang memang pada awalnya berada di belakang teman-temannya, hanya mengangguk menyetujui. Setelah itu, Rhea langsung mempercepat laju terbangnya. Meninggalkan Irene, menyusul kelompok remaja yang sudah mendahuluinya.

Setelah Rhea menjauh darinya, perlahan senyum yang tadi ia kembangkan, sirna. Ia menundukkan kepalanya. Seakan meragukan langkah yang sudah di ambilnya tersebut.

Kastil utama ... artinya, Lucifer tinggal di dalam kastil tersebut. Sang King Demon, yang mengincar diriku.

Irene memejamkan matanya. Berusaha meredam kegelisahan yang berkecamuk jauh di dalam lubuk hatinya. Ia menghela nafas panjang. Kemudian, kembali membuka kedua belah pendar matanya.

Hamparan seputih kapas yang membentang ke seluruh penjuru, menyapa pengelihatannya kembali. Angin dingin seketika kembali menerpa wajahnya ketika ia mengarahkannya ke depan.

Mengetahui gadis yang berada di belakangnya sedang gelisah, Charon yang juga memisahkan diri dari kelompok tersebut, memperlambat laju terbangnya. Hingga akhirnya menyamai sejajar dengan wanita tersebut.

"Tenanglah. Ku pikir, semua akan baik-baik saja." Charon membuka mulut.

Irene sedikit berpaling. Seolah-olah, ia menghindari kontak mata dengan pria tersebut.

"Mengapa kamu seyakin itu? Tak ada jaminan bukan?" ujar Irene lirih.

"Karena, kita sama. Asal kamu tahu, bukan hanya dirimu yang menjadi incaran mereka. Tapi, aku juga." Charon berkata tegas.

Sontak, Irene menatap wajah pria tersebut. Sejuta pertanyaan terpancar dari sorot matanya. "Kenapa? Memangnya apa yang terjadi padamu?"

"Aku belum pernah membicarakan ini pada siapapun. Dan sungguh, aku tak ingin membicarakannya."

Irene terlihat kecewa. "Baiklah kalau kamu tak ingin mengatakannya. Maaf telah membuatmu mengingat sesuatu yang harusnya kau lupakan."

Charon memalingkan wajahnya ke arah depan. Tatapan tajamnya menyorot ke arah kastil yang mulai terlihat dari tebalnya awan. "Tapi, aku sebenarnya tak keberatan untuk mengatakannya."

Irene memandang wajah pria tersebut lekat-lekat. Iris biru cerahnya tampak menyorot tajam. Rambut pirangnya sedikit berantakan karena tertiup angin. Kulit putihnya melekat di wajah rupawannya. Hidung mancung, lancip sempurna. Dengan rahang tegas yang mengatup rapat. Dia benar-benar tampan.

"A-apa itu?" tanya Irene agak gugup akibat pemikirannya yang mulai tertarik pada pria tersebut.

Charon menutup kedua belah matanya dengan rapat. Ia menarik nafas cukup panjang. Secercah kenangan pahit, kembali menghujam ingatannya. Pria itu menggigit bibir bawahnya sendiri, meredam umpatan akibat memori yang dilihatnya.

"Aku ... sebenarnya adalah putra sang kesatria."

**☆**

4 Feb 2021

~Daiyasashi~

Hi, aku datang! Apa kabar kalian? Boleh kuminta tolong, kasih kritik dan saran pada cerita aku? Hehehe. Kalian baik kok, aku sayang kalian. Jangan sungkan ya buat krisar karya aku. (◡ ω ◡)

Ok, sekian.

Bye, sampai kita ketemu lagi! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro