23. Weird

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rancangan arsitektur yang begitu indah, membuat Irene terpesona. Kastil tersebut bergaya klasik dan begitu megah. Membuat mereka yang tak pernah melihat tempat seelok itu, jatuh terkagum-kagum.

Keep utama kastil tersebut berada di tengah, menjulang megah ke langit biru yang luas. Di sekelilingnya, menara-menara lain juga berdiri kokoh, walau tak setinggi menara utama. Membuat suatu struktur bangunan yang cukup rumit.

Seluruh bangunan kastil itu dikelilingi oleh dinding padat setinggi dua puluh meter. Menelan hampir setengah bagian dasar bangunan. Memisahkan antara tempat dalam dengan jurang bebatuan yang curam.

Satu-satunya cara untuk mencapai kastil tersebut hanyalah dengan terbang. Tempat yang tak bisa ditempuh dengan mendaki curamnya tanah bebatuan. Selain itu, tak ada pintu di manapun dari bagian dinding tinggi yang mengelilingi bangunan tersebut. Membuat orang biasa tak akan mampu menembus masuk ke dalam daerah tersebut.

Mereka mendarat di atap kastil kosong yang mengarah langsung ke keep utama. Tempat lapang tersebut dibatasi oleh pagar pendek seperti pada benteng yang biasa digunakan untuk menembakkan meriam. Hanya saja, di area ini kosong. Tak ada benda apapun yang berdiri di atas sini.

Dari area tersebut, mereka terus berjalan menuju pintu yang berada di keep utama. Dari tempat tersebut, mereka bisa melihat banyak sekali jendela yang berjajar dari masing-masing menara. Serta penjaga yang menggunakan pakaian baja serba hitam dengan helm berjeruji yang menutupi wajah.

Hingga akhirnya, para remaja tersebut sampai di depan pintu besar yang terbuka lebar. Menampakkan karpet panjang berwarna hitam yang mengarah pada sebuah singgasana tak bertuan. Para penjaga yang seluruh tubuhnya tertutup oleh baja hitam, tampak seolah-olah tak menghiraukan kehadiran mereka di tempat tersebut.

Nyonya Ceres menoleh ke arah murid-muridnya di belakang, yang tampak ragu untuk masuk melewati ambang pintu tersebut. "Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu?" tanyanya lembut.

"A-apakah tidak salah, kita langsung masuk ke ruang singgasana?" Irene gugup. Jantungnya berdegup cepat. Keringat dingin mulai terasa keluar dari kulitnya.

"Memang hanya ini jalan masuknya. Penataan denah yang rumit mungkin bagi kalian. Namun, ini untuk menjaga perlindungan tempat ini sendiri." Nyonya Ceres mengembangkan senyum hangat sembari menatap anak didiknya.

Irene menundukkan kepala, menatap ke arah sepatu kulit berwarna hitam yang dikenakannya. Ia sangat ragu untuk memasuki tempat tersebut. Namun, tiba-tiba Charon yang berada di sebelahnya langsung menyenggolnya sambil melirik tajam.

Irene tak mengangkat kepalanya tuk merespons peringatan tersebut. Ia hanya tertunduk dalam, sambil sibuk kedalam pemikirannya sendiri. Perlahan, ia mulai melihat asap hitam yang keluar dari dasar ubin. Lama-kelamaan, gumpalan awan gelap tersebut mengambang semakin tinggi, menutupi netra beningnya.

Pandangan Irene menjadi kabur. Yang mampu ia lihat hanyalah nuansa hitam yang mengambang di depan kelopak matanya. Ia sama sekali tak bergerak dari tempatnya berdiri. Ruangan yang berada di hadapannya seketika berubah menjadi tempat yang diselimuti oleh kabut hitam di segala penjuru.

"I can see you ... "

Itu bukanlah sebuah suara. Melainkan, kalimat yang langsung berbicara ke dalam otaknya. Telinganya tak menangkap suara apapun. Namun, ia mampu mendengar kata-kata tersebut langsung menghujam benaknya.

Apa ini? Telepati? Siapa ... siapa yang mengatakannya?

"Angkatlah kepalamu. Lihatlah jauh di depan sana. Kamu akan mengerti."

Lagi-lagi, kalimat tersebut terngiang di dalam pikirannya. Irene mulai merasa ada yang tidak beres. Kalbunya bergetar mendengar suara-suara yang meraung di dalam benaknya. Memanggilnya, memerintahnya, menjerumuskannya, membuatnya merasakan gelapnya kubangan keputus asaan yang tak berdasar.

Perlahan, ia mengangkat kepalanya. Melakukan apa yang di perintahkan suara tersebut. Seketika, pandangannya terbelalak. Ia melihatnya. Ya, sosok dari king demon yang menampakkan seringai mengerikannya pada Irene.

Makhluk spirit yang mengambil bentuk seorang pria berambut hitam legam, dengan sepasang sayap gagak yang mengembang di punggungnya. Selendang gelap tersampir di tubuhnya, menunjukkan sebagian perut berototnya. Tangan kanannya bersiku di gagang singgasana, menyangga kepalanya dengan gaya angkuh seorang raja.

"Aku sudah menunggumu, Irene."

Pandangannya menyorot tajam ke arah gadis berambut putih yang sudah hampir kehilangan detak jantung akibat rasa ngeri yang mengisi dirinya. Senyum angkuh, sadis, licik, penuh kebencian, dan segala yang buruk, terpancar dari pria tersebut yang seutuhnya ditunjukkan pada Irene. Sosok tersebut menjilati sekeliling bibirnya sendiri, seakan sudah sangat menanti untuk menyantap tubuh mangsanya.

Di-dia ... mengapa aku seketika tak bisa menggerakkan tubuhku? Mengapa sekarang semua menjadi gelap? Dimana mereka semua? Mengapa hanya ada aku sendiri bersama makhluk terkutuk ini?

"Irene ... "

Setelah merasa berada di dalam kehampaan cukup lama, tiba-tiba indera pendengarnya mampu kembali menangkap suara. Walaupun sangat samar, bahkan ia hanya mengira suara tersebut hanyalah halusinasinya saja. Namun, ia yakin bahwa itu bukan suara fana yang langsung menghujam otaknya. Melainkan suara nyata yang masuk melewati daun telinganya.

"Irene."

Suara tersebut semakin nyata terdengar. Semakin kuat frekuensi getaran yang mampu dirasakannya.

"Irene!"

Sentakan tersebut seketika menghilangkan hamparan hitam yang sejak tadi menutupi pandangannya. Ia mengedipkan matanya beberapa kali. Penglihatan yang semula buram, kini telah menjadi jelas kembali.

"Irene, apa yang kamu pikirkan? Sejak tadi kamu hanya diam terbengong seperti anak tolol yang melihat badut patah tulang." Rhea yang kini berada di sebelahnya melontarkan kalimat kasar khas dirinya.

"Apa kamu baik-baik saja? Iris matamu tadi menghitam lho. Tidak biru cerah seperti biasanya." Seren ikut menimpali.

Irene segera melihat keadaan sekeliling. Para penjaga masih berdiri di sisi kusen pintu yang terbuka. Sama sekali tak menghiraukan dirinya. Teman-teman lainnya, sebagian sudah berada di tengah ruangan tersebut. Hanya tersisa dirinya, Rhea, Seren, dan Cordelia yang masih berada di luar.

Sosok tersebut tak lagi terlihat dimanapun. Singgasana yang berada di depan sana, kosong tak bertuan seperti yang ia lihat pertama kali. Ruangan tersebut terlihat terang, dengan cahaya mentari yang masuk dari atap dan jendela besar tak berkaca. Tidak gelap gulita seperti yang baru saja dilihatnya tadi.

"Ah, i-itu, entahlah. Aku juga tidak tahu. Tapi, aku merasa baik-baik saja," jawaban Irene sangat kaku. Lidahnya masih sebeku marmer. Ia merasa sulit tuk berbicara.

Rhea memegang bahu Irene dengan sedikit mengencangkannya. "Kalau kamu merasa ada sesuatu yang mengusikmu, katakan saja!" tegas Rhea.

Namun, Irene tak memandang Rhea. Tatapannya menyorot jauh kedalam ruangan. Dimana pria berambut pirang tersebut berdiri di antara teman-teman lainnya. Lelaki tersebut terlihat membelakanginya. Tetapi, sudut pandangnya tersebut melirik tajam ke arah Irene yang masih terguncang.

Apakah, Charon juga menyadarinya?

"Irene, kamu dengar tidak sih?" Rhea yang merasa terabaikan, kembali mengguncangkan bahu Irene yang pandangannya melamun entah kemana.

"Ah, i-iya. Baiklah." Irene langsung tersadar dengan Rhea yang berada di hadapannya.

"Rhea, jangan terlalu kasar." Cordelia menanggapi. Tangannya menarik lengan Rhea yang sejak tadi mengguncang bahu Irene.

"Tingkahnya berubah. Tentu saja, aku mengkhawatirkannya." Rhea tak mau mengalah.

Seren mendekati tempat Irene. "Irene, jangan remehkan apa yang kamu lihat. Kamu berbeda, kamu memiliki apa yang kami tidak miliki."

Irene terkejut. Ia langsung menatap gadis berkacamata yang baru saja melontarkan kalimat peringatan untuknya. "Seren, kamu mengetahuinya? Tentang mataku?"

Gadis kutu buku itu menghela nafas panjang. "Kamu tak bisa terus menyembunyikan sesuatu sendirian. Cepat atau lambat, kami semua akan mengetahuinya. Dan hal itu sudah terjadi."

"Ya, Seren benar. Maka dari itu, tak perlu menutup-nutupi sesuatu lagi saat bercerita dengan kita. Lagi pula, siapa lagi yang mampu kamu percaya selain teman-temanmu ini? Para iblis itu kah?" Cordelia membenarkan ucapan Seren barusan.

Seketika, Irene mengembangkan senyum geli. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Rhea yang terlihat memanyunkan bibirnya. Cemberut akibat kritikan yang dicurahkan pada dirinya. "Kamu yang mengatakannya kah?"

"Aku tak suka orang yang bahkan tidak mempercayai temannya sendiri." Rhea menjawab tak acuh. Pandangannya sama sekali tak menatap Irene.

Namun, seketika Irene terkekeh pelan. Ia mengembangkan senyum tulus tanpa paksaan ke arah teman-temannya tersebut. "Kamu benar. Aku salah. Maafkan aku ya. Mulai saat ini, aku akan memberikan kepercayaan pada kalian semua."

Mereka berempat kemudian tersenyum, menyetujui ucapan Irene. Terutama Rhea, ekspresi yang ditunjukkannya kembali terlihat ceria. Irene sendiri, mulai merasa beban yang ditanggungnya sedikit berkurang.

Betapa bodohnya aku, mampu percaya pada makhluk yang tak bisa kupercaya. Dan mengabaikan mereka yang seharusnya kuberikan kepercayaan.

**☆**

5 Feb 2021

~Daiyasashi~

Hai semua! Kali ini, aku akan mengajak kalian berkunjung ke dunia di atas awan. ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Eh, maksudnya dari cerita aku gitu, latarnya ada di atas awan.
So, jadi gimana tanggapan kalian tentang chapter kali ini? Kasih tau aku dong di kolong jembatan. Eh, di kolom komentar! Hehehe ... maaf-maaf, lagi gak bener otaknya.

Sekian.

Ja! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro