24. Acidic

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aliran air deras alami membasahi wujud manusia yang digunakannya. Ia mulai melepas penat di bawah air terjun yang menyegarkan. Luka-luka bekas tusukkan tak lagi mengeluarkan cairan kental. Sel-sel tubuhnya sudah beregenerasi dengan baik.

Namun, seketika panca inderanya mampu merasakan kehadiran seseorang yang berada tak jauh dari tempatnya. Ia sedikit merasa terusik. Tetapi, ia berusaha mengabaikan hal tersebut.

Dahan pepohonan mulai bergerak karena keberatan menopang beban yang menimpanya. Suara gemericik aliran sungai mulai berpadu dengan suara alunan batang pohon besar.

"Huh, apa yang kamu lakukan disini?" Ia yang sudah mulai tak tahan, akhirnya melontarkan pertanyaan pada seseorang yang sejak tadi berada di sekitar tempat tersebut.

Seseorang yang merasa dilimpahkan pertanyaan, berhenti bergerak. Kemudian melangkahkan kakinya, menuruni dahan pepohonan. Lalu mendarat di tanah becek yang sering tersiram basah dari aliran air sungai tersebut.

"Ingin menemuimu. Omong-omong, apa kabar? Dilihat dari luka yang kamu terima, sepertinya dirimu sedang tidak baik-baik saja ya?" jawab orang tersebut sekaligus menanyakan balik beberapa pertanyaan basa-basi.

"Tidak. Aku baik-baik saja kok. Hanya luka tusukan biasa," jawabnya tanpa memandang ke arah orang yang memberinya pertanyaan.

"Oh. Untunglah dirimu kebal terhadap serangan seperti itu. Dasar iblis sialan," umpat seseorang yang sama.

"Tapi, yang kali ini lebih berdampak. Dasar Lucifer. Sebenarnya apa yang dia inginkan sih?" Kekesalannya terlontar. Ia membasuh tubuhnya oleh air bening yang mengalir deras dari ketinggian.

Orang yang mendengarnya sedikit menampakkan senyum miring. "Untung saja, para leluhur vampir tak ada yang melakukan hal bodoh seperti itu pada bawahannya."

"Jika aku yang menjadi rajanya, aku juga tak akan melakukan hal konyol seperti itu." Ia mulai naik ke permukaan tanah. Kembali menempelkan jubah gelap ke tubuhnya yang masih basah.

"Ya, kamu benar. Sosok iblis yang cinta damai sepertimu jika menjadi raja, mungkin akan diprotes besar-besaran oleh rakyatmu."

"Aku sendiri tak ingin menjadi raja. Untuk apa melakukan tugas yang merepotkan seperti itu? Aku, hanya ingin kebebasan." Ia sudah selesai memakai jubah hitamnya.

Pria berambut pirang yang menjadi lawan bicaranya, kini ikut termenung. "Kita akan segera mendapatkannya, kamu tahu. Gadis itu, dia lebih berhak menjadi pemimpin selanjutnya bukan?"

"Ya, tentu saja. Jika sang naga sudah bangkit, maka keputusan mutlak akan tiba."

"Luiz, aku menghargai kerja sama ini. Tapi, aku hanya ingin memperingatkan." Pria beriris merah tersebut kini mengarahkan pandangannya pada lelaki rupawan berjubah hitam tersebut.

"Apa itu?"

"Kesepakatan antar ras. Kami, para vampir, telah berunding dengan beberapa ras lainnya. Dan keputusannya sudah di ambil. Dasar para petinggi bodoh, mereka sama sekali tak mengerti keadaan."

"To the point. Keputusannya?"

"Kami bergabung, menyatukan kekuatan untuk menghancurkan ras iblis. Kemudian mengambil gadis itu. Benar-benar keputusan yang rumit bukan? Aku sendiri tak ingin mengacaukan rencana mereka. Namun, aku juga tak ingin ikut-ikutan. Sebab, aku merasa memiliki tanggung jawab pula pada gadis tersebut."

"Astaga. Merepotkan sekali ya, Eris."

"Ya. Tapi, setidaknya tolong lindungilah dia." Pria tersebut berkata mantap.

"Aku tak mengerti, mengapa kamu mengatakan rencana sefatal itu padaku. Padahal, kamu tahu aku ini adalah iblis lho." Ia menatap wajah pria vampir tersebut.

"Karena, kita sedang terjebak dalam situasi dan tujuan yang sama. Mau tak mau, aku akan mempercayaimu. Aku, juga ingin bebas."

Pria rupawan berambut hitam legam itu, tersenyum simpul. Ia melihat keseriusan di wajah lelaki vampir tersebut. "Hmm ... baiklah. Sekali lagi, mohon kerjasamanya ya, Eris."

"Aku juga ya, Luiz."

**☆**

Rhea berjalan melewati lorong panjang. Setiap kali ia berbelok, ia selalu melewati penjaga yang mengenakan helm hitam dengan tanduk yang berada di kedua sisinya. Suasana kastil tersebut tidak terlalu sepi seperti di kastil akademi. Hanya saja, makhluk spirit itu menampakkan wujudnya dengan pakaian yang persis sama. Sehingga, ia mulai bosan untuk menatap mereka.

Dan bahkan, mereka sama sekali tidak terusik akibat kehadiranku.

Rhea membuka sebuah pintu. Ruangan kali ini tampak gelap gulita. Tempat gelap yang agak tersembunyi letaknya dari koridor panjang. Tak ada jendela yang menghantarkan cahaya. Hanya beberapa lilin yang menyala di sisi tembok.

Setelah ia melangkahkan kakinya masuk kedalam ruangan tersebut, seketika pintu kembali menutup rapat. Membuat tempat tersebut begitu suram dan menyeramkan.

"Akhirnya kamu datang juga sesuai petunjukku."

Suara menggema terdengar bersamaan langkahnya yang tertahan akibat seluruh lilin yang seketika padam.

"Ada apa, Lucifer? Sampai memanggilku secara pribadi seperti ini?" Rhea tersenyum ringan.

"Gadis itu, dia ada bersamamu bukan?"

"Irene ya? Tentu saja. Kami selalu bersama," jawab Rhea. Ia mulai kembali melangkahkan kakinya mendekati dinding. Meraba-raba bagian padat tersebut.

"Tak ada yang mencurigai dirimu kan?"

Rhea mulai menunjukkan senyum sinisnya. Tatapannya meruncing. "Kamu pikir, dengan siapa saat ini kamu bicara? Sudah kubilang, kasus delapan tahun saja sama sekali tak terbongkar. Apa lagi, hanya kelakuan sekecil ini. Bisa kupastikan, tak ada yang menyadarinya."

"Baguslah kalau begitu. Tugas yang sama, kuberikan juga pada seseorang selain dirimu. Namun, dia malah membongkar semuanya." Sosok berjubah hitam dengan tudung yang menutupi kepalanya mulai muncul dari balik kegelapan.

Rhea sedikit terkejut. "Kenapa kamu tidak pernah bilang? Selain itu, siapa orang itu? Dan dia mengawasi siapa?"

"Orang yang kamu katakan, telah membuat Irene tertarik dengannya. Dan kupikir, orang yang mengawasinya, kamu bisa menebaknya sendiri."

"Charon? Memangnya dia memiliki keistimewaan tersendiri? Selain itu, siapa yang mengawasinya?"

"Jangan meremehkannya. Dia adalah putra dari sang kesatria. Dan yang masih tak kupahami adalah, hingga saat ini dia masih menyembunyikan kemampuannya. Bahkan saat dalam keadaan terdesak di arena ujian kemarin, dia sama sekali tak mengeluarkan serangan yang berarti."

"Astaga. Merepotkan jika aku harus mengawasi dua orang sekaligus. Ok, biar ku tebak, orang yang kamu percaya namun malah membeberkan semuanya, tak lain adalah Pallas bukan?" Rhea menduga hal tersebut.

"Cerdas sekali kamu ini," puji pria yang dibalut oleh jubah gelapnya tersebut.

"Hmm ... jadi, apa yang harus kulakukan padanya?" Rhea mulai memberi penawaran.

"Tidak perlu. Tidak usah melakukan apapun."

"Lalu?"

"Aku hanya ingin memintamu meningkatkan kewaspadaan. Akan berbahaya jika mereka berdua mengetahui posisimu. Sebab, bisa saja Pallas menemukan informasi lain yang mampu membongkar kedokmu." Lelaki tersebut membuka tudung yang menutupi kepalanya. Memperlihatkan wajah yang terpahat indah, dengan kesan tegas.

"Tentu saja. Aku sangat mengerti akan hal tersebut."

"Terima kasih ya. Kamu benar-benar sangat berguna bagiku."

Rhea mengembangkan senyum sadisnya. Pandangannya melirik tajam ke arah pria tersebut, ia sedikit menundukkan kepalanya. "Tak perlu berterima kasih. Aku melakukan hal ini sesuai kemauanku sendiri."

"Yaudah lah. Terserah dirimu saja. Kalau kamu butuh apa saja, langsung katakan padaku. Dengan senang hati, aku akan memberikannya padamu." Pria tersebut menawarkan imbalan.

"Heh? Beneran nih?" Rhea bersemangat.

"Lalu, yang benar saja? Masa bohong?"

Rhea terkekeh. Padahal jika orang selain dirinya yang berhadapan dengan sosok king demon, setidaknya akan berlutut ngeri atau memberikan penghormatan. Namun, hal tersebut sama sekali tak berlaku baginya.

Ya, semenjak kontrak tersebut terikat. Ia hanya menganggap Lucifer sebagai sosok iblis yang patut mendapatkan sedikit bantuan darinya. Dan dengan senang hati, ia akan diperbolehkan keluar dari kastil akademi kapanpun ia mau.

"Aku ini mengalami kecanduan lho. Dan hal yang membuatku candu sangat mengerikan. Aku bisa menjadi gila jika seminggu saja tak membunuh makhluk apapun. Dan kamu, mau menerima syarat dariku. Aku sangat senang." Rhea mulai mengingat akan kejadian waktu lampau.

"Menurutku, hobimu tak terlalu buruk juga."

"Tapi, bagi orang lain, itu adalah hal yang merepotkan."

"Ya. Jadi, hal apa yang kamu inginkan?"

Rhea tersenyum sambil menundukkan wajahnya. Tak lama, ia melepaskan tawa yang menggelegar. "Aku tak ingin apapun,"

Kemudian, ia mulai kembali mengangkat wajahnya yang tadi tertunduk dalam sambil memamerkan senyum sadis.

"Kecuali membunuhmu!"

**☆**

6 Feb 2021

~Daiyasashi~

Hai! Bagaimana tanggapan kalian terhadap chapter kali ini? Apakah ada yang aneh?
Jangan lupa, dukung penulis pemulia ini dengan banyak berikan kritik serta saran. Agar aku bisa lebih berkembang. Terima kasih.

Sampai jumpa (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro