25. Token

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tangga melingkar yang menjadi jalur panjang dari lantai menara, untuk sampai ke dasar kastil. Cukup melelahkan untuk menuruni satu demi satu anak tangga tersebut. Di sekeliling dinding, terdapat jendela tak berkaca yang melubangi bebatuan padat. Menghantarkan cahaya jingga dari langit yang mulai senja.

Aula nan luas menyapa kehadiran, ketika mereka telah berhasil menghabisi anak tangga terakhir. Terlihat indah, walau terkesan mencekam. Cahaya lilin menyala terang di atas langit-langit yang megah. Menggantung di antara peliknya relief yang terukir hidup. Dengan rantai emas sebagai penahannya.

"Baiklah, mulai dari sini, kita akan berpencar. Kalian akan diajak berkeliling ke sekitar area kastil ini oleh masing-masing pendamping yang berbeda." Suara nyonya Ceres kembali terdengar. Wanita yang mengenakan jubah hitam panjang, dengan rambut coklat gelap berombak tersebut mengembangkan senyum yang merona.

Seketika, tiga sosok hitam lainnya datang mendekat ke arah mereka semua. Namun, yang kali ini berbeda. Makhluk tersebut tidak seperti para penjaga yang memakai pakaian baja hitam di sekujur tubuh. Melainkan, mengenakan jubah yang sama dengan nyonya Ceres.

"Hmm ... karena jumlah kalian genap, kalian dipersilahkan membentuk kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan tiga orang. Dan yang satunya lagi empat orang." Nyonya Ceres memberi perintah.

Kini, mereka saling memandang satu sama lain. Mencari teman anggota untuk kelompok yang menurut mereka pantas. Namun, tak seorang pun yang berhasil membuat sebuah kelompok kecil. Mereka hanya terdiam sambil saling melempar pandangan.

"Maaf, tapi ijinkan aku bertanya. Mengapa harus dibentuk kelompok? Biasanya juga kami selalu bersama-sama." Cordelia yang merasa tak nyaman, mulai mengajukan pertanyaan.

"Untuk memudahkan mengawasi kalian. Tempat ini begitu luas. Aku tak ingin ada seorangpun yang tertinggal." Mata nyonya Ceres melirik tajam ke arah Irene, yang sering kali menyendiri dan berjalan paling belakang dari pada lainnya.

"Alasan yang masuk akal. Dan sekarang, kami tak bisa menemukan anggota yang cocok. Anda tahu, kami terlalu lekat untuk dipisahkan." Richo mengada-ada.

"Kalau begitu, biar aku yang membagi kelompoknya." Kalimat yang terlontar dari lisan wanita itu membuat semua muridnya terdiam. Mereka serempak mengarahkan pandangannya pada perempuan berwajah pucat tersebut.

Iris mata merahnya mulai bergerak, memilah anak didiknya untuk dijadikan sebuah kelompok kecil. "Pallas, Leo, Irene, dan Rhea. Kalian satu kelompok."

Telunjuknya kembali bergerak, menunjuk siswa lainnya. "Charon, Fay, dan Seren. Kelompok berikutnya."

Siswa yang merasa namanya belum disebut, langsung saling menatap. "Sisanya, kami satu kelompok?" Cordelia berkata dengan semangat.

"Tentu saja. Sekarang, biarkan pendamping baru ini menemani perjalanan kalian." Nyonya Ceres menoleh ke arah tiga makhluk yang berjubah sama dengannya.

Sosok berjubah tersebut melangkah maju. "Kalian berempat, ikutlah denganku," ucap salah satunya sambil memandang ke arah kelompok yang dibentuk pertama.

Irene yang merasa namanya berada di kelompok tersebut, langsung bergerak mendekati sosok yang mengambil bentuk pria. Dan tanpa banyak bicara, makhluk tersebut langsung berjalan meninggalkan kelompok lainnya yang masih terdiam di aula. Mereka mulai melewati ambang pintu besar, yang membawa mereka menuju tempat lainnya.

"Kalau boleh, kami harus memanggilmu siapa?" Rhea mulai memecah keheningan yang bermula semenjak mereka berjalan bersama.

"Themis. Apakah menurut kalian panggilan tersebut cocok?" Pria yang menyembunyikan kepalanya dengan tudung hitam yang dikenakannya itu menjawab.

Ruangan terbuka yang mereka masuki, mulai menunjukkan keindahannya. Tempat tak beratap, yang memungkinkan mereka dapat memandang angkasa lepas. Cahaya senja terlukis begitu merah kekuningan. Beberapa ekor burung gagak beterbangan melintasi area tersebut.

"Itu nama yang bagus." Rhea kembali merespons.

Beberapa penjaga hitam, berdiri di sepanjang sisi dinding. Entah apa yang mereka jaga. Namun, mereka sama sekali tak bergerak. Hanya bergeming di tempat mereka berpijak masing-masing dengan jarak yang sudah diatur.

"Jika sejak datang kemari kuperhatikan, mereka hanya berdiam diri. Sejauh mata memandang, aku selalu menemukan sosok penjaga yang berdiri bagai patung. Apakah mereka tak pernah merespons orang lain yang berada di dekatnya?" Leo menumpahkan rasa penasarannya. Tatapannya tak lepas memandang sosok hitam yang bergeming di seluruh penjuru.

"Mereka tak bergerak jika tak ada perintah," jawab Themis singkat. Membuat Leo tak puas akan jawaban yang didapatkannya.

"Pasti ada hal lain selain itu kan?" Leo melemparkan pertanyaan.

"Sudahlah, Leo. Mereka memang ingin menutupi sesuatu dari kita," sindir Pallas dingin. Tatapannya memandang tak acuh kearah makhluk berjubah hitam yang berjalan memunggunginya.

"Memangnya apa untungnya jika kalian mendengar jawaban yang sebenarnya?" Themis menguji.

"Tidak ada. Sudahlah, lupakan saja." Rhea ikut menimpali, mewakili perasaan teman-temannya sambil menyunggingkan senyum sinis.

Hanya Irene satu-satunya yang menyadari keganjilan tersebut. Namun, sejak tadi ia hanya diam. Belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulut gadis yang berpostur lebih pendek dari pada mereka semua. Ia membiarkan teman-temannya berada dalam lubang keingintahuan, tanpa mau ia beri tahu.

Entah mengapa, ia merasa sangat merasa lelah. Bukan, lebih tepatnya malas. Ya, ia merasa sangat malas, sampai-sampai menolak untuk mengeluarkan suara. Bahkan, gerakannya dalam berjalan menjadi lebih lambat dari pada biasanya.

Tatapannya kosong. Mengarah ke depan, tanpa mengetahui arah tujuan. Irisnya mulai terlihat menghitam, walaupun ia tak menyadarinya. Namun, orang yang berada di sekitarnya mampu menyadari perubahan yang terjadi padanya. Ia hanya berjalan, mengikuti langkah orang-orang yang berada di sekitarnya.

"Irene, kamu baik-baik saja?" Rhea yang merasa aneh akan pergerakan Irene, mulai melontarkan pertanyaan.

Irene menoleh dengan malas. Kelopak matanya terasa begitu berat. Seakan ada yang menimpa pendar mata, memaksa agar dirinya menutup kedua belah indera penglihatannya tersebut. "Hmm, penjaga itu kosong. Tak ada roh yang bersemayam di dalamnya. Oleh sebab itu, mereka tak bergerak ataupun merespons keadaan yang terjadi."

Irene meracau. Kalimat jawabannya melenceng jauh dari apa yang ditanyakannya. Ia tak ingat, apa yang dikatakan Rhea barusan. Pikirannya hanya menangkap percakapan terakhir tentang Leo yang menanyai apa yang sebenarnya terjadi dengan para penjaga tersebut.

Namun, perkataannya barusan membuat Themis tertegun. Pria tersebut menghentikan langkahnya. Kemudian menoleh ke arah Irene yang tampak seperti orang mabuk. "Mengagumkan," gumamnya.

Rhea yang benar-benar tak mengerti apa yang terjadi pada Irene, langsung menepuk bahu gadis tersebut. Ia mengguncangkan tubuh Irene. "Hoi, kamu ini bicara apa sih?!" gerutunya.

Irene sedikit terkejut. "Eh, kamu tadi ngomong apa?" ujarnya bingung.

"Kamu kena amnesia kah?" Leo memiringkan kepala, menatap Irene yang terlihat diselimuti kebingungan.

"A-aku sepertinya melamun tadi. Aku tak menghiraukan apa yang kalian ucapkan. Hehe, maaf." Senyumnya hambar. Ia kembali tersadar. Pikirannya mulai mencerna hal apa saja yang terjadi disekitarnya.

"Astaga. Parah sekali kamu. Ya sudah lah kalau begitu." Rhea yang tadi sedikit mengkhawatirkan Irene, kini mulai kembali tenang. Lantaran, iris biru gadis tersebut kembali terpancar di matanya seiring kembalinya akal sehat di dalam kesadarannya.

Pallas yang menyadari sosok berjubah itu mulai kembali melangkah, meninggalkan mereka yang masih sibuk berbincang. Ia langsung ikut mengambil langkah, mengejar ketinggalannya. "Kalian cepatlah, mau tertinggal di tempat luas ini?" hardiknya kasar.

"Iya, kami datang!" Rhea menyahut. Ia langsung berjalan memperpendek jarak antara dirinya dan sosok berjubah hitam tersebut.

"Ayo, Irene." Leo mengarahkan pandangannya ke arah gadis yang masih terpaku di tempatnya berdiri.

"Ba-baiklah." Irene menerima ajakan pria yang tersenyum simpul tersebut. Walaupun dirinya agak kaku karena tak begitu dekat dengan lelaki bernama Leo itu, namun ia bisa merasakan sesuatu yang aneh sedang bergejolak di dekatnya.

Mengapa, diriku jadi seperti ini? Apakah ini merupakan sebuah pertanda? Atau hanya halusinasiku?

**☆**

8 Feb 2021

~Daiyasashi~

Ehh ... halo! Aku kembali. Bagaimana cerita chapter kali ini guys? Kasih tau aku dong! >\\\\<
Jangan lupa kasih kritik dan saran juga ya. Biar aku tau dimana saja letak kesalahan dan kekeliruan aku.

Dadahh! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro