26. Spot

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Charon melangkahkan kakinya dengan hati-hati. Langkahnya menimbulkan gema di lorong panjang nan senyap. Fay dan sosok berjubah itu berjalan selangkah di depannya. Sementara tak jauh di sebelahnya, terlihat Seren yang menundukkan kepala. Mengarahkan kacamata bundarnya ke lantai ubin pijakannya.

"Tidak menyenangkan bila kalian hanya saling diam." Sosok tersebut mengeluarkan suara besar yang terdengar seperti lengking wanita. Langkahnya seketika berhenti. Namun, ia sama sekali tak menoleh untuk melihat dua orang yang berjalan di belakangnya.

Charon terlihat malas untuk merespons. Sedangkan Seren tampak sangat gugup. "Lagi pula, mengapa tempat sebesar ini sangat sunyi? Bahkan tak ada satupun penjaga yang berkeliaran. Mereka hanya diam mematung di tempatnya berdiri," ujar Fay memecah kebisuan.

"Area disini hanya diisi oleh para warga kerajaan. Raja, jendral, menteri, dan tatanan lainnya yang tak kalian mengerti." Suara melengking tersebut kembali terdengar.

"Aku tak mengerti. Mengapa kita disuruh datang ke tempat aneh ini?" Lagi-lagi Fay mengambil kesempatan tuk berbicara.

Sosok berjubah hitam tersebut menghela nafas. Ia mulai menoleh ke arah sang pemberi pertanyaan. "Kalau itu, aku sendiri tak tahu. Aku hanya menjalankan perintah."

Disela-sela perbincangan mereka berdua, Charon hanya diam memperhatikan. Gerak gerik wanita itu sama sekali tak terlihat mencurigakan. Wajah pucat berbibir sensual, dengan daerah kepala yang ditutupi oleh terusan dari jubah gelap yang dikenakannya. Surai kelabu terlihat samar dari balik tudung kepalanya.

Koridor yang mereka tempuh, berbeda dengan arah yang tadi di ambil oleh kelompok pertama. Tempat yang kini mereka tuju adalah sebuah perpustakaan di lantai dua. Membuat mereka kembali menaiki anak tangga yang berbeda.

Setelah sampai di lantai dua, mereka melihat di ujung lorong tersebut sudah berdiri pintu kokoh yang sedikit melengkung tertutup rapat. Langkah-langkah mereka semakin melambat ketika mendekati pintu tersebut. Dan mereka, hanya saling membisu dalam keheningan yang mencekam.

"Hei, apa yang diperintahkan kepadamu? Dan siapa yang memerintahkan hal tersebut?" Dengan ragu, Seren akhirnya mengumpulkan segelintir keberanian yang tersisa di dalam kalbunya untuk mengekspresikan rasa penasaran yang membakar pikirannya.

"Aku diperintahkan oleh para petinggi yang memegang akademi Scolamaginer, untuk mengajak kalian berkeliling mengenali tempat ini. Jelas?" Wanita tersebut menjawab. Iris merah sepekat darah itu menyorot ke arah Seren dengan tajam. Suaranya sama sekali tak terdengar ramah sebagaimana sapaan hangat nyonya Bianca maupun pencerahan dari nyonya Ceres.

"Te-tentu saja. Te-terima kasih jawabannya, nyonya- " kalimat yang dilontarkan Seren tiba-tiba berhenti. Ia kebingungan untuk melanjutkan, bagaimana ia harus menyebut sosok yang berada di hadapannya tersebut.

Melihat tingkah Seren yang tampak kebingungan, sosok tersebut seakan menyadari suatu hal. "Ah iya, benar juga, aku belum memperkenalkan diri. Kalian bisa memanggilku Helene," ucapnya tak acuh.

"Baiklah. Terima kasih nyonya Helene," ulang Seren sambil menundukkan kepalanya, kaku.

"Bukan masalah." Mereka kembali melangkahkan kaki. Tangan panjang milik nyonya Helene mulai menyentuh bagian kusen pintu. Seketika, pintu besar yang mungkin jika dilihat sekilas, tak akan mungkin bisa untuk dibuka hanya dengan dorongan kecil. Benda tersebut nampak sangat berat dan saling bergesek tajam dengan ubin.

Namun, gerakan nyonya Helene mematahkan anggapan mereka. Kini, pandangan keempat orang tersebut menangkap sebuah ruang baca lengkap dengan meja kursi di tengah area, dan lemari-lemari kokoh yang berdiri di sekelilingnya, sejajar dengan dinding batu. Jendela yang terlihat di seberang sana, membiaskan cahaya orange terang. Menembus masuk ke dalam perpustakaan tersebut.

"Helene, apakah pengelompokkan ini adalah sebuah ujian tersendiri?" Charon tiba-tiba melontarkan pertanyaan secara tidak sopan. Sorot biru dari matanya, menatap tajam sosok wanita berbalut kain hitam tersebut. Kalimat sebeku es, kembali terlepas dari bibir tipisnya.

Wanita yang merasa diberi pertanyaan, langsung menghentikan langkah. Ia merasa terusik akibat lontaran kalimat yang menusuk dirinya. "Apakah itu penting?"

"Sangat penting, bagiku." Charon membungkam mulut wanita tersebut dengan jawaban yang diberikannya.

"Jika kubilang, 'tidak' kamu akan tetap percaya?" Perempuan itu memutar lehernya, tanpa membalikkan tubuhnya. Melebarkan pandangannya ke arah pria yang baru saja merespons pertanyaan darinya. Bagai burung hantu yang memutar kepala sampai seratus delapan puluh derajat. Sangat mengerikan.

Fay dan Seren yang melihat hal tersebut, seketika langsung bergidik ngeri. Suara retakan tulang leher memekakan ruangan yang dipenuhi oleh bau tinta dan juga aroma khas kertas buku. Pendar mata wanita tersebut melotot hingga penuh. Seakan-akan bola matanya akan meloncat keluar akibat tekanan yang diberikannya sendiri.

Namun, Charon hanya berdiri tenang. Menatap wanita yang berusaha membuat lawan bicaranya membuka titik lemah. Sayangnya, perempuan bernama Helene itu salah sasaran. "Asalkan ada keterangan yang jelas, mungkin aku akan percaya," kalimat dingin kembali menghujam sosok iblis berwujud cewek mengerikan.

Suara patahan tulang mulai menghilang. Kini, wanita tersebut ikut membalikkan tubuhnya, mengikuti kepalanya yang sudah terlebih dahulu menghadap ke arah murid-murid akademi tersebut. "Jelas saja tidak. Karena kelompok-kelompok kecil ini dibuat untuk mempermudah kami mengawasi kalian. Kalian akan tinggal di kastil ini selama beberapa hari. Oleh karena itu, tak boleh ada seorangpun dari kalian yang tersesat karena denah yang tidak beraturan ini. Aku akan sangat bersyukur jika kalian bertiga mengerti poin yang aku sampaikan."

Charon bergumam lirih. "Oh, menarik." Namun, tak seorangpun kecuali dirinya yang mampu mendengar kalimat tersebut.

"Aku mengerti. Sungguh, penjelasanmu cukup rinci juga ya, Helene." Charon merespons.

"Cobalah untuk bertingkah lebih sopan." Pandangan wanita tersebut nampak mencurahkan kemuakkan pada wajah Charon yang terkesan sedingin puncak pegunungan Himalaya.

"Dan yang lebih penting untuk kalian ketahui, tujuanku mengajak kalian ke ruangan ini bukan hanya untuk menunjukkan buku-buku tebal ini." Helene melanjutkan penjelasannya. Seakan-akan sudah berhenti berbicara dengan Charon yang masih menunjukkan tatapan setajam elang pemangsa kepada dirinya.

"Melainkan, untuk memberitahu kalian tentang adanya pintu tersembunyi di salah satu bagian tempat ini," lanjutnya sambil memalingkan tubuh, memandang ke sekitar rak yang berjajar di sepanjang dinding kokoh.

Terus terang, itulah yang kusuka dari sikap anehnya. Charon berkata dalam hati.

"Memangnya, kenapa kita harus mengetahui pintu tersembunyi itu?" tanya Fay.

"Itu akan memudahkan kalian untuk mengetahui lebih dalam tentang percobaan sihir." Wanita tersebut menjawab.

Seren kembali terlihat ragu. Ia berdehem, sehingga pandangan mereka tertuju padanya. "Semacam laboratorium uji coba, begitukah?"

"Iya. Itu benar."

**☆**

Langkah demi langkah mulai memberikan bekas pijakkan pada tanah berlumpur yang dilaluinya. Suara menggelegar dari halilintar datang saling sahut menyahut. Sebuah pusaran muncul dari tengah permukaan danau yang sejak tadi terlihat tenang di bawah amukan badai petir dahsyat.

Pandangannya terarah pada pusaran yang makin membesar tersebut. Rintik-rintik air mulai berjatuhan dari langit yang tertutup awan gelap pekat. Membasahi seluruh tubuh serta sayap hitam legam yang bertengger di punggungnya.

Tak lama, seorang wanita nan jelita muncul dari balik pusaran air yang sudah sangat kuat arusnya. Membentuk gelombang raksasa yang bisa menyeret apapun ke dalam pusat putarannya. Perempuan berpakaian transparan tersebut masih dalam keadaan menutup kedua belah mata indahnya.

Sepersekian detik kemudian, perempuan tersebut mulai membuka kelopak netranya. Memandang lurus ke arah dirinya yang masih berdiri tegak di tepi danau yang mengamuk bersama badai yang menerpa. "Ada gerangan apakah hingga tuanku datang kemari?" tanya wanita tersebut dengan sopan.

"Aku senang dirimu masih ingat padaku. Walaupun kekuatan milikmu jauh lebih besar, namun, mengapa kamu masih mau memberikan rasa hormatmu kepadaku?"

Wanita tersebut melayang, melewati gelombang yang mematikan tersebut. "Aku tak lupa pada siapa yang telah membuatku menjadi sosok sekuat ini."

Ia tersenyum simpul menerima tanggapan halus dari wanita cantik berambut putih yang panjangnya hingga mata kaki. Sebuah mahkota dari mutiara, melingkar di atas kepala perempuan anggun tersebut. "Baiklah, langsung saja. Apakah dirimu bersedia menyerahkan kekuatan besar itu padaku?"

Tatapan wanita tersebut seketika berubah menjadi tajam. Iris birunya terlihat tak menyukai pertanyaan yang dilontarkan untuk dirinya. "Maaf, tapi aku hanya akan memberikan kekuatan ini pada mereka yang memang tertulis untuk menggunakannya."

Seketika senyum yang tadi terpancar di wajah tegasnya, sirna. Digantikan oleh tatapan muak dan penuh kecewa, serta kebencian. Menjadikannya sosok yang paling mengerikan. Sayap gagaknya mengembang dengan ganas. "Sampai kapan kamu mau terikat oleh ramalan itu?"

"Sampai kapanpun. Sebab, ini adalah tugasku. Untuk melindungi kekuatan perintis dari mereka yang tidak bertanggung jawab."

**☆**

8 Feb 2021

~Daiyasashi~

Hehehe ... Lagi-lagi ya. Sebagai ganti kemarin aku gak up. (≧▽≦)
Aku cuma mau bilang doang, jangan sungkan kasih krisar pada karya aku ini!

Ok, see you guys! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro