29. Blank

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rhea berjalan dengan begitu terburu-buru. Lorong yang senyap, seketika memantulkan suara langkah yang menggema. Ia terlihat sedikit geram, telapak tangannya mengepal dengan kuat. Urat-urat di sekitar pergelangan dan lehernya menegang.

Dengan kasar, gadis bersurai hitam itu membuka pintu yang terletak di ujung lorong. Membuat sebuah gesekan yang cukup memekakkan. Tatapannya menyorot tajam ke dalam ruangan besar yang mengisi sudut pandangnya.

"Hoi, kalian berdua ada disini kan?! Keluar saja, aku sudah mengetahuinya," gertak Rhea tajam.

Tak ada jawaban. Hanya suara seliran angin yang masuk melewati celah jendela. Ruangan yang dipenuhi oleh rak-rak buku usang, terlihat sangat gelap gulita. Tak ada secercah cahaya yang mampu ditangkap oleh pupil mata. Namun, Rhea mampu merasakan hawa kedua orang yang entah mengapa terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.

"Ah, tidak mau menurut ya? Kalau begitu, biar kuseret kalian hingga ke liang kubur." Rhea lagi-lagi memamerkan senyum sadis yang terlihat sedikit geram.

Tiba-tiba, sebuah tangan menepuk pundaknya. Seketika, Rhea hampir melompat karena kejutan yang mengagetkan dirinya. "Jangan terlalu kasar, Rhea. Lagi pula, candaan di kalimat terakhirmu tadi sangat tidak lucu." Pria berambut hitam tersebut berkata datar.

"Dasar, lain kali bilang permisi dulu sebelum mengejutkanku." Rhea menoleh ke arah lelaki yang lebih tinggi darinya.

"Kalau begitu, sama saja sia-sia kejutannya." Pemuda tersebut melangkahkan kakinya, mengabaikan Rhea yang tadi menghalangi jalannya. Kemudian, mendekati salah satu rak buku yang ada di ruangan tersebut.

Rhea mengikuti langkah pria tersebut masuk ke dalam ruangan. Ia mendekati rak buku yang berbeda dengan yang dituju pria bertampang tegas itu. Tangannya mulai memilah-milah buku yang sejatinya berfungsi sebagai tuas. Buku-buku tebal yang sudah ditutupi debu berlapis-lapis, sangat membuatnya terganggu ketika kulit lengannya menyentuh benda tersebut.

"Astaga, ini sungguh menjijikkan." Ia mempertemukan antara ibu jari dengan telunjuk yang baru saja digunakannya untuk menyentuh sampul usang tersebut. Sedikit menggerak-gerakkannya dengan harapan partikel kecil itu meninggalkan kulit berwarna kuning langsatnya.

Pria yang mendengar keluhan dari Rhea, sedikit terkekeh. "Kamu sangat membenci benda kotor ya? Padahal, tanganmu sendiri sudah kotor." Ia mencela gadis yang memiliki candu berlebih tersebut.

Rhea langsung terdiam di tempatnya berdiri. Ia memandang lelaki tersebut dengan ekor matanya. Sedikit kesal akibat kalimat yang dilontarkan pria berpakaian sama dengan apa yang dikenakannya. "Terserah lah." Ia tak ingin berlarut-larut dalam keadaan emosi, dan segera mengakhiri pembicaraan. Kembali terfokus pada buku yang berjajar di rak.

Rhea menghela nafas panjang. Tangan-tangannya mulai aktif menyentuh satu persatu benda usang tersebut. Tiba-tiba saat tangannya menarik salah satu buku keluar dari rak, dinding padat yang berada di bagian belakang langsung bergetar. Terlihat bergeser membuka sebuah jalan baru.

Pria jangkung itu kembali mendekati Rhea. Mereka berdua terpaku diam, ketika ruangan tersembunyi yang mereka cari sudah berhasil ditemukan. Makhluk jell berukuran kecil, mulai mengesot di ubin. Keluar dari tempat tersebut.

"Seren?!" Rhea terkejut ketika melihat wanita dengan rambut panjang yang dikepang itu terduduk lemas di atas lantai. Sekujur tubuh gadis itu ditutupi oleh lendir berwarna hijau yang masih berdenyut hidup. Kacamata bundarnya tergeletak di ubin dingin.

"Apa yang kalian lakukan hah?" Pria yang sejak tadi berada di sebelah Irene mulai melangkah ke dalam ruangan tersebut.

"Bu-bukan kami. Di-dia yang mengacaukan semuanya. A-aku baik-baik saja. Kalian bantu saja Fay," ujar Seren terbata. Jarinya menunjuk ke arah pria berambut merah yang terkulai lemas tak sadarkan diri di sudut ruangan. Cairan kental berbau amis menyelimuti tubuhnya.

Rhea terlihat sangat geram. "Charon ya? Manipulasinya sangat baik. Bahkan, dia sudah berhasil menipu kami dengan membuat tiruan tubuh kalian berdua. Seolah-olah kalian sudah kembali, tanpa ada kendala. Ya kan, Pallas?"

Lelaki yang mulai merendahkan tubuh dengan sebelah lutut yang menjadi tumpuannya dan mengeluarkan sihir heal pada Fay, langsung melirik tajam ke arah gadis yang memberinya pertanyaan. "Aku menyesal sudah membongkar hal itu padanya. Sungguh, aku begitu bodoh sudah mempercayainya."

"Dimana pemandu kalian?" Rhea berlutut di hadapan Seren agar bisa sejajar dengan gadis itu.

"Nyonya Helene sudah dibunuhnya. Dan wujud manusianya langsung berubah menjadi setumpuk abu." Seren menjawab lirih. Sihir heal yang diberikan Rhea mulai berefek pada tubuhnya.

Tiba-tiba, derap langkah terdengar dari luar ruangan tersebut. Begitu cepat dan tidak terkontrol. Tak lama, seorang wanita berambut coklat pudar cepak terlihat dari balik dinding rak yang menjadi sekat ruangan itu. Nafas gadis itu memburu, seakan beberapa singa buas baru saja mengejarnya.

"Rhea ... Irene sudah tak berada di kamarnya. Kami sudah mencarinya hampir ke seluruh sudut kastil, namun tetap tak menemukannya. Begitu pula dengan Charon." Cordelia yang baru saja tiba, langsung mengatakan apa yang terjadi. Bahkan sebelum ia berhasil mengatur nafasnya, kalimat tersebut lebih dulu terlontar.

Seketika, ucapan Cordelia barusan membuat Rhea panas. Ia mengepalkan tinjunya dengan rapat. Pandangan kebencian tercurah dari sorot hitamnya. "Sialan! Awas saja jika dirinya berani berbuat macam-macam pada Irene." Emosinya memuncak.

"Apakah ada petunjuk, kemana mereka pergi?" Pallas berusaha tenang, mencoba tuk tetap berkepala dingin.

Cordelia menggeleng. "Bahkan Leo, Rigel, dan Richo sudah mencari ke bawah tanah. Namun, sama sekali tak mendapatkan petunjuk. Sial, di saat-saat genting seperti ini, kemana pula perginya nyonya Ceres dan lainnya?"

Rhea mulai menghirup nafas panjang. Aroma amis khas darah bercampur dengan bau aneh yang berasal dari lendir hijau tak diketahui informasinya masuk kedalam penciumannya. "Kalian, maukah melanggar aturan? Kita pergi ke kastil Scolamaginer, sekarang!" ujarnya pelan, namun tajam.

Mereka semua seketika bungkam. Antara ragu, namun ingin. Beberapa saat hanya ada suara dari sihir yang dikeluarkan oleh Pallas dan Rhea.

"Mereka berdua, bagaimana?" Cordelia akhirnya kembali membuka mulut. Mempertanyakan keadaan yang mengarah pada Fay dan Seren.

Pallas memalingkan pandangannya. "Aku akan mengantarkan pria ini ke kamar tidur. Kita berangkat sekarang."

"Baiklah, aku akan segera memberitahu yang lainnya." Cordelia langsung pergi dari tempat itu, meninggalkan mereka berempat.

Keheningan menyelimuti ruangan sempit tersebut. Cairan-cairan aneh berwarna terang, terletak dalam tabung-tabung percobaan di atas meja kayu. Beberapa diantaranya, sering kali mengeluarkan uap secara teratur. Entah apa sebenarnya ramuan itu, mereka sama sekali tak mengerti.

"Hei, Rhea. Beri tahu aku, sebenarnya kamu berada di pihak siapa?" Pallas mulai memecah keheningan. Ia bertanya tanpa menatap orang yang diajukan pertanyaan olehnya.

Rhea terdiam cukup lama. Sebenarnya, ia enggan tuk menjawab pertanyaan tersebut. Hatinya benar-benar sedang berada di ambang kebimbangan. "Entahlah, aku tak tahu."

Pallas nampak tak puas dengan jawaban tersebut. "Kalau begitu, apa tujuan kamu menuruti keinginannya?"

Tatapan Rhea seketika kosong. Gadis itu kini layaknya sebuah boneka kayu tak bertali yang menyebabkan dirinya hanya diam kaku. "Entahlah. Awalnya aku ingin menuruti permintaannya karena aku diperbolehkan untuk melakukan hobiku. Namun, setelah aku mengenal lebih dalam tentang Irene, aku jadi kehilangan keinginan awalku tersebut. Pokoknya, ini sulit tuk dijelaskan."

"Jadi, saat ini pilihan berada pada dirimu sendiri. Anggap saja kontrak itu belum terjadi, apa yang akan kamu lakukan sekarang?" Pallas mengkoreksi. Gadis yang awalnya sangat periang itu, kini benar-benar terpukul. Benar-benar seperti boneka mati yang kehilangan penarik talinya yang bersembunyi di belakang layar.

"Aku tak tahu. Sejak awal, hidupku hanyalah alat. Aku hanyalah robot penurut yang tak bisa hidup tanpa perintah."

Pallas menggeleng mendengar pengakuan Rhea. "Semua manusia berhak untuk memutuskan langkah apa yang akan diambilnya sendiri. Hidupmu adalah milikmu. Keputusan sepenuhnya berada di tanganmu."

Rhea mengenggak air liurnya dengan paksa. "Aku tak ingin mengecewakan Lucifer. Namun, aku juga tak ingin kehilangan Irene."

"Kalau begitu, putuskan. Kamu lebih memihak pada teman, atau pada kontrak?" tegas Pallas.

"Itu pertanyaan sulit. Aku tak bisa menjawabnya sekarang." Rhea mengurangi pengeluaran energi magi, ketika melihat Seren sudah pulas akibat efek samping yang sengaja Rhea berikan melalui sihirnya tersebut.

"Ah, baiklah. Aku juga tak memaksamu untuk menjawabnya." Pallas memalingkan pandangannya, menatap gadis yang pikirannya benar-benar sedang terjebak di antara dua kubangan hitam yang saling tarik menarik.

Saat itu, aku mengatakan bahwa aku hanya ingin membunuhnya. Ya, aku tidak lupa akan ucapanku waktu itu.

Tiba-tiba, senyum mengembang di wajah Rhea. Ia memandang Pallas dengan ceria walaupun terkesan sedikit berat. "Tapi, rasanya akan aneh bila seseorang bertanya pada kita dan kita tidak menjawabnya."

"Kamu sudah menemukan jawaban yang tepat?" tanya Pallas. Ia melihat wajah Rhea yang terlihat mengembangkan senyum berat penuh paksaan. Namun, sama sekali tak mengurangi aura menawan yang dipancarkan gadis suram tersebut.

"Hmm ... kalau menurutmu sendiri, apakah diriku sudah terlihat menemukannya?"

**☆**

10 Feb 2021

~Daiyasashi~

Hi guys! Bagaimana tanggapan kalian pada ceritaku di chapter kali ini? Apakah ada yang aneh? Janggal? Tidak masuk akal? Atau masih banyak kekuarangan lainnya? 

Teruntuk kalian semua, jangan ragu untuk memberiku kritik serta saran, sebab hal remeh seperti itu justru merupakan sesuatu yang sangat berharga bagiku. Terima kasih ya, all. ^^

See you, minna! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro