30. Trouble

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pintu utama kastil tersebut, terbuka secara misterius ketika mereka berdua menginjakkan kaki di lantai terasnya. Benar-benar terkesan sepi tak berpenghuni. Bahkan, keberadaan roh penjaga yang biasanya selalu berkeliaran di sekitar tempat itu, kini lenyap sepenuhnya.

Irene mengekor di belakang Charon yang sudah lebih dahulu masuk ke dalam kastil yang gelap gulita. Pilar-pilar kokoh berdiri sejajar menyambut kedatangan mereka. Setelah beberapa kali kaki mereka berjalan ditelan oleh kastil tersebut, daun pintu seketika menutup rapat. Derap langkah mereka menggema di seluruh penjuru aula yang baru saja mereka datangi. Memperlihatkan aura mistis yang begitu kental.

Keduanya hanya membisu sambil terus melangkahkan kaki, mengitari lantai satu yang cukup luas. Setelah tiba di dekat tangga, mereka langsung berjalan memutar ke arah belakang. Membuka sebuah pintu yang menjadi tempat keberadaan kotak perapian yang sejatinya merupakan jalan untuk masuk ke dalam labirin bawah tanah.

"Ada apa, Irene? Jalanmu lambat sekali," ujar Charon yang menyadari keberadaan gadis itu masih berada di ambang pintu ruangan. Tangannya mulai menekan tuas, sehingga api yang sedang berkobar langsung mundur membelah dinding. Namun, pandangannya tetap mengarah tajam ke arah wanita yang berada bersama dirinya.

"Tidak apa-apa." Irene tak acuh. Ia langsung melangkahkan kakinya, mengikuti Charon yang mulai masuk menuruni anak tangga. Rambut putih sepanjang punggungnya terlihat sedikit menutupi wajah. Tetapi, ia tak mempedulikan penampilan tersebut.

"Kalau begitu, cepatlah." Charon memperingati. Pria itu langsung memalingkan wajah, menghadap ke anak tangga yang akan dilaluinya. Tak menunggu lama, kakinya kembali bergerak menuruni pahatan batu tersebut.

"Ya," respons Irene pelan. Pemandangan seperti saat pertama kali ia memasuki ruangan tersebut sudah menjadi kebiasaan. Ia tak lagi merasa syok atau terkejut. Baginya, melihat mayat dalam keadaan seperti itu, adalah hal yang biasa.

Aku bisa melihatnya. Namun, mereka tidak bisa. Ya, aku memiliki penglihatan yang tidak dimiliki orang lain.

Secara otomatis, setiap jalan yang sudah mereka lalui, pintunya pasti tertutup dengan sendirinya. Benar-benar nuansa gotik yang beraura magis kental. Penataan ruangannya yang mendekati kata sempurna untuk sebuah kastil abad pertengahan. Seakan membawa mereka yang memasukinya sedang berada di masa lampau.

Mereka berdua terus berjalan menyusuri lorong yang terkesan tak memiliki ujung. Selalu saja dihadapkan dengan jalan bercabang, yang membuat orang awam tersesat di tempat tersebut. Namun, hal itu tak berlaku lagi untuk mereka. Koridor-koridor panjang berdinding batu padat yang terlihat sudah menjadi makanan sehari-hari. Akibat pertemuan rahasia yang sering mereka lakukan di tempat aneh itu.

Beberapa kali mereka berbelok, mengambil pilihan dari beberapa jalur yang diberikan. Melewati pintu-pintu kayu sejajar yang sama ukurannya. Mendengar suara-suara menggeram atau raungan yang mengerikan. Terbesit juga sesekali suara rintihan dan kepakkan sayap yang cukup membuat bulu kuduk orang yang mendengarnya jadi meremang.

Untungnya, hal-hal tersebut sama sekali tak memberikan efek yang berarti bagi mereka. Bagi mereka berdua, semua keganjilan itu hanya dibuat untuk memberikan rasa takut bagi mereka yang sejatinya memang penakut. Tak ada wujud yang dapat diambil makhluk-makhluk itu, selama seseorang terus berjalan di bagian lorongnya. Kecuali, jika orang tersebut membuka pintu tempat mereka bersemayam.

Hingga pada akhirnya, langkah Charon dan Irene berhenti dengan anak tangga di hadapan mereka yang kembali mengarah ke bawah. Dan sesuatu yang mengherankan berupa hembusan angin dapat terasa di sekitar area tersebut walaupun keberadaan mereka sedang di bawah tanah. Selain itu, hampir tak ada celah yang melubangi dinding bebatuan padat yang dapat menghantarkan udara. Benar-benar aneh.

Sebuah pintu di ujung anak tangga yang sangat mereka kenal, seakan sudah lama menanti kedatangan mereka. Daun pintu yang sedikit terbuka, menandakan jika di dalamnya terdapat seseorang. Suara desis yang samar, terdengar dari balik tembok pembatas ruangan. Membangkitkan rasa takut sekaligus penasaran jika saja yang mendengarnya adalah seorang awam.

Tanpa berfikir panjang, tangan Charon menjulur menyentuh pintu. Kemudian langsung mendorongnya hingga suara berdecit terdengar mengganggu pendengaran. Ruangan yang berada di sebaliknya kini bisa terlihat, walau dalam keadaan gelap gulita. Hembusan angin seketika berhenti menerpa mereka.

Dengan terhuyung-huyung, Irene mengikuti Charon yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam ruangan tersebut. Pemandangan yang sama kembali menyapa penglihatan. Sesuatu yang berbeda hanyalah tidak ada lagi peti mati yang terletak di tengah ruang. Dan tentu saja, secara otomatis pintu yang baru saja mereka masuki langsung tertutup rapat.

Gelap. Namun, aku masih dapat melihat dengan sempurna.

Mereka mengitari ruangan tersebut sambil memegangi dinding yang mengelilinginya. Bebatuan dingin terasa menusuk lantaran jemari mereka yang menyentuhnya. Hampir terasa seperti bongkahan es yang tidak mengeluarkan embun akibat suhu beku yang dimuatnya. Tak ada cahaya. Kegelapan lah yang menyelimuti sekaligus memeluk mereka berdua.

"Kalian benar-benar datang kemari ternyata. Mengejutkan," ujar sebuah suara yang entah bersumber dari mana. Suara yang tak asing bagi Irene.

Sontak, pandangan mereka berpaling. Mencari dari mana asal suara yang menggema di ruangan tersebut. Dan dengan sendirinya, sosok yang mereka cari langsung menampakkan wujudnya. Seorang pria berjubah hitam panjang dengan senyum samar yang tersungging di wajah rupawannya.

Charon memalingkan pandangannya ke arah lelaki bersurai hitam yang baru saja menyapa mereka. "Ada apa kamu memanggil kami?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Ini sulit. Sangat sulit, kamu tahu?" Luiz, pria beriris merah pekat tersebut memberikan sorot tajamnya ke arah Charon. Wajah berkulit putih pucatnya tampak begitu serius. Ia sedang dalam keadaan tak main-main.

"Aku tak akan mengerti bila kamu tak mengatakan masalahnya," balas Charon dingin.

Luiz sedikit memandang Irene yang berdiri tak jauh dari pria berambut pirang itu. Tatapannya mengisyaratkan bahwa sebenarnya keberadaan gadis bermantel hitam sangat mengganggu pertemuannya tersebut. "Aku tak ingin menyakiti perasaanmu sih, tapi– "

Sebelum makhluk itu menyelesaikan kalimatnya, tembok padat yang berada di sekitar mereka seketika bergetar. Membuat ketiga orang yang sedang berada di dalamnya, hanya terdiam tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mereka saling membuang pandangan dan memperhatikan dinding yang mulai bergerak perlahan.

"Ada apa ini?" Irene berusaha mencari penyebab keanehan tersebut. Seluruh sudut ruangan itu disapu bersih oleh sorot waspada yang terpancar dari matanya. Iris birunya melebar akibat pengamatan yang dilakukannya. Memaksa otot matanya bekerja dua kali lebih berat.

Namun, seketika pandangannya menangkap sekelebat tubuh yang berlari cepat di luar ruangan. Tidak begitu besar, hanya seukuran manusia biasa. Yang menjadi masalahnya adalah tentang siapa makhluk itu dan bagaimana ia bisa berada di labirin bawah tanah tersebut?

Luiz dengan cepat menggerakkan tangannya, mengeluarkan sedikit energi magi untuk membuka pintu ruangan yang tertutup rapat. Daun pintu kembali berdecit memekakkan telinga, dan seketika langsung membukakan sebuah celah lebar diantara padatnya dinding batu. "Siapa tadi itu?" tanya pria tersebut pada Irene dengan lirih.

"Aku kurang yakin untuk menjawabnya," balas Irene tajam. Pandangannya ikut terarah pada cahaya oranye yang berasal dari luar ruangan gelap. Obor yang tertempel di sepanjang koridor, benar-benar terlihat terang di jalur bawah tanah tersebut. Bersamaan dengan pemandangan itu, getaran yang semula terasa sekejap sirna.

Suara langkah-langkah yang bergema dari area luar ruangan, mulai memasuki indera pendengaran mereka. Dari ritme teraturnya, dapat ditentukan bahwa sosok yang sedang berjalan adalah seorang manusia. Atau apapun yang sedang dalam wujud manusia. Ketiga orang yang berada di ruangan gelap tersebut, hanya diam menunggu siapa yang akan muncul di balik pintu.

Perlahan, sosok tersebut mulai menampakkan diri. Tampang yang memancarkan pesona, terlukis indah di pahatan wajahnya. Menatap ke arah mereka yang masih mematung, sibuk dengan pikiran masing-masing. "Ah, ternyata kalian. Kupikir siapa. Maaf saja ya," lontar pria tersebut ketika menyadari siapa saja mereka yang berada di dalam ruangan.

"Eh, bagaimana kamu ... ah lupakan. Apa yang kamu lakukan disini?" Luiz membalas dengan melemparinya pertanyaan.

"Tidak. Hanya melakukan sedikit pengamatan. Lagipula, aku sedang tidak sendirian disini. Ku peringatkan, mereka sudah mulai melakukannya." Pria tersebut menjawab tak acuh. Rambut pirangnya berpadu dengan iris merah yang menatap kosong.

"Sungguh? Kamu serius?" tanya Luiz yang masih tak percaya dengan apa yang dikatakan pria tersebut barusan. Terbesit pandangan mengambang dari sorot pandangnya.

"Iya," jawabnya.

"Apa yang kalian bicarakan sih?" Charon yang sejak tadi tak mengerti, langsung melontarkan pertanyaan. "Selain itu, dia vampir kan? Bagaimana bisa kamu menerimanya begitu saja kehadirannya disini?" lanjutnya.

Tatapan Irene memandang tersentak ke arah pria yang masih berada di ambang pintu. Seakan, ia masih tak percaya dengan bayangan dari sosok yang masuk ke dalam netra beningnya. "Eris, apa yang kamu lakukan disini?"

"Ah, sungguh ini menyusahkan."

**☆**

10 Feb 2021

~Daiyasashi~

Jadi, aku cuma mau mengingatkan, kalian bebas mengekspresikan perasaan kalian disini. Boleh spam komen serta vote jika berkenan. Tapi, yah itu kembali pada kalian masing-masing. Aku tidak pernah memaksa. Thanks all. ^^ Semoga kalian tidak bosan dengan cerita yang aku bawakan.

Jane! (✿^‿^)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro