33. Evanescent

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kedua telapak tangan Sorkha mengepal. Pupil mata merahnya beradu dengan mata kelabu Sautesh. Bibirnya terkatup erat mendengar penuturan sang dewa takdir buruk itu. "Jadi, kau menyerah?"

"Ini lah yang sebenarnya!"

"Lalu mengapa kita sudah sejauh ini pada akhirnya kita tak bisa menghancurkan Samhian?"

"Karena kita adalah dewa. Sudah saatnya kembali pada tugas kita masing-masing."

"Tugas masing-masing?" Sorkha dengan sinis menatap tajam Sautesh.

"Kau takut kalah?"

"Bukan. Sudah kukatakan, karena kita adalah dewa. Kita bukan manusia yang selalu menuruti hawa nafsu, kekuatan kita lebih tinggi dari mereka, bahkan jika ingin kita bisa menghancurkan Gartan. Namun, pernah kau berpikir, setelah itu apa yang kita dapat? Kita hidup karena sembah dan pengabdian manusia, begitu sebaliknya, mereka hidup karena berkah dari dewa. Meneruskan perang ini, tak ada keuntungan untuk kita."

"Zarkan Tar telah menghancurkan kita. Apa kau lupa itu? Dia juga membunuh kekasihku." Sorkha mendesis dengan gigi terkatup. Kemarahan masih begitu kental pada sorot matanya.

Sautesh menghela napas lelah. Haruskah ia mengatakan hal yang sejujurnya, bahwa dibalik semua kemalangan yang menimpa mereka adalah campur tangan dari Calasha. Sorkha adalah dewa pemarah dengan emosi yang selalu berapi-api. Jika ia mengatakan sejujurnya, akan ada pertempuran kembali. Dan langit kembali akan menjadi timpang.

"Sorkha, aku lah pencipta kekacauan ini." Sautesh menatap dalam mata Sorkha yang membelalak terkejut.

"A—apa maksudmu? Kau ...," ucap Sorkha dengan gemetar, "apa kau tengah bercanda?"

Sautesh hanya diam. Kedua mata kelabunya hanya menatap Sorkha dengan datar. Seakan mengakui semuanya satu gelengan Sautesh membuat Sorkha naik pitam. Kedua tangannya refleks mengeluarkan api lalu memukulkannya pada Sautesh.

"Kau membunuh Mesilia!"

"KAU –" Sorkha kembali menyerang dengan Sautesh. Tak ada perlawanan dari Sautesh, ia hanya menerima serangan demi serangan dari Sorkha.

Dewa matahari begitu brutal dalam melakukan serangan. Kemarahan akibat kehilangan Mesilia selalu ia tahan karena ingin dilampiaskan pada si pembunuh, Zarkan Tar. Akan tetapi, mendengar penuturan Sorkha, layar tipis penghalang semua amarahnya terbakar hangus hingga membuatnya meledak.

"CUKUP!!!" Calasha menangkis serangan Sorkha yang akan kembali pria itu layangkan untuk Sautesh. Sorkha terlempar dan menabrak tembok akibat angin yang dipukulkan Calasha.

Calasha melihat Sorkha yang merintih kesakitan tapi segera bangkit dan menatapnya dengan dingin. "Yang Mulia, jangan ikut campur dengan urusan kami. Sautesh pantas untuk kubunuh."

"DIAM KAU!" bentak Calasha. Begitu dingin dan sinis hingga membuat Sautesh harus mengikuti perintahnya. Bagaimana pun, Calasha adalah dewi tertinggi. Tak patut ia melawannya. Dengan sinis Sorkha mendengus menatap Sautesh yang terbatuk-batuk.

Calasha beranjak berniat membantu Sautesh bangkit. Namun, tangan pria itu terangkat dengan tanda menghentikan Calasha agar tidak mendekatinya. Melihat hal tersebut, Calasha merasa sesuatu yang sakit merasuki hati yang terdalam. Penolakan Sautesh

Tertatih, Sautesh bangkit lalu mendongakkan wajahnya. Ia lalu menatap Sorkha yang masih diliputi kemarahan besar.

"Aku akan membayar kematian Mesilia, apa yang kau inginkan?"

"Mesilia tak bisa dinilai dengan apapun."

"Batu kegelapan," ucap Sautesh. Sorkha terbelalak terkejut. Ia mengamati mimik wajah Sautesh yang pucat, tak ada tanda-tanda kebohongan.

Batu kegelapan adalah batu kekuatan yang dapat membuat seorang dewa menaiki peringkat. Kekuatan mereka pun akan bertambah. Batu itu hanya akan dimiliki oleh dewa-dewi berkekuatan tinggi. Selama ini ia tak menyangka bahwa Sautesh memilikinya. Menilik kekuatan mereka, jika Sautesh menggunakan batu kegelapan, Sorkha tidak yakin akan berhasil menyerang.

"Tidak," sergah Calasha menatap Sautesh. "Jangan berikan batu kegelapan milikmu."

Sautesh tak menjawab. Pria itu hanya menatap Sorkha yang terlihat bimbang. Sautesh tahu bahwa Sorkha sangat ingin memiliki batu kegelapan tersebut.

"Aku akan menyerahkannya, asal kau melupakan semua dendam dan tak akan mengungkit-ungkit hal ini lagi."

"Mengapa kau sangat ingin membantu Zarkan Tar? Dia musuhmu. Dia yang membuat wajahmu rusak, dia pula ...."

"Kau menerima penawaranku atau tidak?"

Sorkha menatap Sautesh dengan tak percaya. Apa yang terjadi pada sahabatnya ini? Ia membuang muka lalu mendengus kasar.

"Aku adalah orang yang tahu diri. Lagipula, jika aku ingin memiliki batu kegelapan, aku akan mendapatkannya sendiri." Ia menghela napas lalu berucap, "Bukit naga utara, istana bunga, akan menjadi milikku. Kau pun tak akan menempati istana yang khusus kau buatkan untuk Norva itu."

Sautesh mengangguk setuju tanpa kata-kata penolakan. Lagipula, tak ada gunanya ia terus mengosongkan istana tersebut. Setelah mendapat anggukan persetujuan Sautesh, Sorkha segera pergi dengan kabut berwarna api yang menyelubunginya.

Calasha masih tercenung akan apa yang terjadi. Ia mendengar semua pembicaraan Sautesh dan Sorkha dari balik pintu. Niat sang dewi kemari untuk mengakui semua perbuatannya pada Sorkha, akan tetapi Sautesh telah mendahului. Di awal ia mengira Sautesh akan menceritakan semuanya. Namun, hati Calasha semakin nyeri kala mendengar semua pengakuan Sautesh. Apakah Sautesh telah melindunginya? Bisakah ia berharap begitu?

"Sautesh, bisakah kita bicara?" Calasha segera membuka suara saat ia melihat Sautesh akan beranjak.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanpa menatap Calasha, Sautesh bertanya dengan suara yang amat dingin.

Dingin yang merasuk pula pada hati Calasha. Ia tak ingin diperlakukan seperti ini oleh Sautesh.

"Aku, aku meminta maaf atas semua perlakukanku padamu. Semuanya, semua dosa yang telah membuatmu terluka, semua derita yang telah kau alami. Semua jejak penderitaan yang kau lalui, dan entah apalagi perbuatanku yang membuatmu menderita."

"Aku ..., aku tak pandai berkata-kata. Hanya saja aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menyesalinya. Sangat menyesali semua perbuatanku padamu." Calasha menitikkan air mata, tapi sama sekali Sautesh tak mempedulikannya.

"Kau tak pantas meminta maaf. Hanya aku saja yang terlalu lemah dan bodoh. Aku akan menemui dewa perjodohan, kukabulkan keinginanmu untuk menghapus benang jodoh antara kita."

Seusai berkata-kata, Sautesh langsung beranjak pergi. Tangan Calasha terulur hendak menahan punggung yang kian menjauh itu. Namun, apa daya rasa hatinya sangat tak pantas ia menghentikan Sautesh. Ini semua adalah hukuman untuk dirinya. Dewi tertinggi? Untuk apa kebanggaannya itu jika ia terus merusak tatanan takdir. Ia memang pantas untuk ditinggalkan.

Tangis Calasha terdengar sepanjang jalan di telinga dan jiwa Sautesh. Dulu ketika Calasha menutup benang jodoh mereka, ia tak pernah merasakan apa yang dirasakan wanita itu. Sekarang, ia merasakan semua perasaan Calasha. Termasuk keengganannya memutus perjodohan mereka. Namun, masihkah ia bisa memberi kesempatan pada wanita itu?

***

Langkah kaki Kanna memasuki aula yang di tempati para prajurit. Mereka yang terluka tengah diobati para pengungsi. Ada temu haru antar suami dan istri, anak dan ibunya, juga antar kekasih. Meski begitu, sorot bahagia begitu terlihat pada binar mata mereka semua. Dan Kanna bahagia melihat semua ini.

Senyum di bibirnya terkembang ketika berucap lirih, "Yang Mulia Mahadiraja, rakyatmu sudah aman sekarang." Setitik bening menetes. Tak sempat ia menghapusnya, serombongan para pengungsi bergerak mendatanginya.

Kanna terhenyak dan menatap wajah mereka satu per satu. Sebagian ia mengenali wajah-wajah itu sebagai orang yang sebelumnya menentang dirinya. Apakah ada masalah kembali?

"Ada apa? Apakah ada masalah?"

Mereka semua menatap Kanna lalu serentak bersimpuh bertopang lutut.

"Yang Mulia Ratu. Hormat kami kepadamu, sungguh hanya Anda lah yang berhak menjadi Ratu Samhian."

Olimpa berdiri lalu berjalan dengan kotak hitam di tangannya. Pria paruh baya itu lalu mengulurkan tangannya dan dengan penuh hormat memandang Kanna.

"Sesuai janjimu Yang Mulia, mahkota ini hanyalah milik Anda. Tak ada yang berhak memakainya selain Ratu Kanna dari Samhian."

Kanna tersenyum lalu mengambil kotak yang terulur tersebut, ia mengelusnya kemudian mengangguk penuh rasa terimakasih. "Kau menjaganya dengan baik, Tuan Olimpa. Terimakasih!"

"Kami lah yang berterimakasih Yang Mulia, jika bukan karena strategimu, kami tak akan menerima semua kemenangan ini. Sikap rendahan kami pasti menyakitimu, mohon maafkan sikap kami!" serentak semuanya bersujud. Kanna menyeret langkahnya mundur, lalu dengan tangan sebelah memeluk kotak hitam tangan sebelahnya lagi terulur memberikan tanda menerima hormat mereka.

Kanna akan mengeluarkan sepatah kata ketika matanya menumbuk pada mata pria paruh baya di barisan belakang para pengungsi. Bola mata berwarna almond yang Kanna lihat memimpin bangsa Nev.

Mata mereka bertatapan dengan dalam dan suatu rasa yang tak Kanna ketahui merasuki hati dan membuatnya ingin segera mendekati pria paruh baya tersebut.

***

"Kau sudah sebesar ini." Trev mengamati Kanna dengan gejolak haru dan penyesalan. Di depannya, Kanna memandangi Trev secara dalam-dalam. Tak ingin seinci pun ia melewati wajah pria paruh baya itu.

"Dapatkah kau memaafkanku, Nak?" suaranya serak membuat hati Kanna semakin ditelusupi rasa rindu. Ingatannya akan sosok Liz kembali berkelebat hingga memunculkan riak-riak gelombang bening pada pelupuk mata.

"Seharusnya aku tak pergi kala itu, kau tak akan melalui semua penderitaan ini, Kanna!"

"Jika ada yang harus kau salahkan, aku lah yang patut disalahkan. Aku meninggalkan Arneth tanpa perlindungan kuat dan membuatmu harus mengalami penderitaan. Liz dan Ben yang melindungimu tak harus mengorbankan nyawa mereka. Katakan, apakah aku masih pantas untuk menjadi ayahmu?"

"Tidak ...." Suara serak karena pedih yang bergulung di tenggorokan membuat Kanna tercekat. Ia mengangkat tangan lalu menghapus tetesan air mata. Di tatapnya kedua bola mata almond pria paruh baya itu. Pria tersebut menundukan kepala dengan pasrah.

Ayahnya. Ayah, sosok yang selalu Kanna inginkan. Sosok yang tak pernah ia sangka akan datang di kehidupannya.

Suatu rasa yang kembali menghantam kuat hati Kanna. Rasa ingin dilindungi juga rasa menemukan tempat untuk mencurahkan segala hal. Kanna mengerti, ia tidak sendiri lagi.

"Ayah," ucapnya pelan. Sangat pelan, tetapi panggilan itu terdengar di telinga sang raja Pulau Suci.

Wajah Trev mendongak, tatapannya terkunci pada dua bola mata yang persis istrinya, Arneth. Kanna meraih tangan kanan Trev lalu mengecupnya sebagai tanda hormat anak pada orangtuanya.

"Ayah," ucapnya lagi, kali ini dengan tegas.

Trev terkekeh mengangguk-angguk. Namun, air mata haru mengalir dari dua bola mata bening yang tengah memancarkan kebahagiaan. Ia lalu meraih Kanna dan mendekap erat ke pelukannya. Pelukan pertama antara ayah dan anak dengan berbagai emosi masing-masing.

Di balik pelukan itu, wajah Kanna menjadi sendu. Ia memeluk erat ayahnya. Sangat erat hingga Trev mengira Kanna takut akan perpisahan kembali.

"Aku tak akan meninggalkanmu, Nak." Trev menepuk-tepuk punggung Kanna menenangkan.

Kanna mengangguk percaya sepenuhnya akan perkataan Trev. Namun, sorot mata Kanna suram. Seakan ini akan menjadi pelukan terakhir mereka.

***

Merine tengah duduk di ranjang saat Kanna melangkah masuk. Melihat Kanna mendekat, Merine menghentikan suapan dari Red lalu menyunggingkan senyum padanya.

"Kau baik-baik saja?"

"Aku sangat baik, Yang Mulia." Merine menepuk salah satu dadanya. Dengan bangga memberitahu Kanna bahwa ia telah sehat. Namun, belum sempurna senyumnya terkembang jeritan kuat ia lontarkan saat Red menyentuh bekas lukanya.

Merine langsung memukul bahu Red dengan geram. Red tertawa terbahak-bahak dan menangkis serangan Merine.

"Kau benar-benar menjengkelkan," sergah Merine ketika Red kembali berkelit. "Awas saja kau! Tunggu aku pulih seutuhnya, aku akan mencincangmu."

"Melihat kau bisa berteriak seperti itu, aku yakin kau sudah sehat." Kanna duduk di sebelah Merine. Tangan kirinya merangkul bahu gadis itu.

"Tentu saja, hanya Red yang melihatku sebagai pesakitan. Lagipula, dengan adanya ayahku aku akan bisa sembuh total."

"Kau selalu berkelit jika harus meminum ramuan, ayah pasti akan menambah dua kali pahitnya ramuan itu." Red bersungut-sungut. Tangannya mengemasi peralatan makan bekas Merine.

"Obat itu pahit sekali," bisik Merine ketika Red menuangkan sebuah botol ramuan coklat pekat ke dalam sebuah cangkir.

"Bayangkan kau meminum cairan gula, kau tak akan merasakan pahitnya." Kanna mengambil cangkir yang Red sodorkan.

"Tetap saja itu bukan gula," dengus Merine sambil menutup hidungnya.

"Cepat minum!" kata Red sambil tersenyum jahil. Ia sangat menikmati wajah menderita Merine ketika meminum obat.

"Tidak, itu pahit sekali."

"Ayolah! Semakin lama kau akan semakin sulit menelannya." Kanna menyodorkan cangkir tersebut.

Dengan enggan Merine mengambil cangkir obat, menatap sebentar sebelum kemudian memejamkan mata dan menenggaknya hingga tandas.

Kanna dan Red terkekeh ketika Merine menjulurkan lidahnya karena rasa pahit dari ramuan yang ia minum. Red bahkan tertawa terbahak-bahak, sampai Merine membalasnya dengan melemparkan bantal.

Tawa ketiganya bergaung di dalam ruangan penuh rasa persahabatan erat. Kedua bola mata Kanna mengamati interaksi keduanya. Sahabat yang ia anggap sebagai saudaranya sendiri. Mungkinkah mereka akan terus bersama dalam kehidupan ini?

Mereka bertiga masih dalam suasana canda ria, ketika tangan Merine menyentuh tangan Kanna gadis itu tiba-tiba terdiam. Kanna yang tidak merasakan perubahan Merine masih terus tertawa. Sampai ia melihat Merine yang menatap dirinya dengan mata berkaca-kaca.

"Kanna ... kau, tidak! Tidak mungkin!"

Netra mereka berdua saling memandang dalam-dalam. Kanna terlebih dahulu menarik pandangannya kemudian menunduk.

"Red, bisa kah kau keluar?" sahut Merine dengan serius. Tak ada nada humor lagi dari bibirnya. Melihat keseriusan itu, Red hanya mengangguk lalu tanpa kata-kata lagi ia segera pergi dengan nampan yang berisi mangkuk dan cangkir.

"Bagaimana mungkin?" tanpa basa-basi lagi, Merine langsung menatap Kanna.

"Yang Mulia!"

"Aku harus melakukannya, Merine!"

"Yang Mulia!" Merine terisak. Tangan Kanna gemetar ketika Merine menggenggamnya.

"Kau begitu ketakutan seperti ini," lirih Merine.

Kanna menarik tangannya kemudian menangkup tangan Merine. Gadis itu menatap Kanna dengan kecemasan yang tergambar di wajah. "Aku tak apa-apa."

"Apa kau tahu apa resikonya?"

"Merine, bisa kah kau menjaga rahasia ini?"

"Tidak ...."

"Merine!"

"Yang Mulia!"

"Sebaik apapun kau bersembunyi, takdir akan tetap menemukanmu."

"Hanya satu jalan Merine. Jika tidak, dunia ini akan kiamat."

Merine langsung merengkuh Kanna di pelukannya. Ia meraung dengan tangisan menyayat hati. Seakan esok memang tak ada hari kembali. Berbeda dengan Kanna, getar ketakutan di hatinya bahkan tak terlihat dalam kedua mata. Ia hanya mendesah beberapa kali agar air mata tak jatuh menggagalkan semua rencana.

***

Zeon berderap dengan langkah cepat ketika melihat Kanna yang tengah berjalan sendiri di koridor. Cepatnya langkah Zeon menimbulkan gaung di tengah kesunyian istana hingga membuat Kanna mendongak. Melihat Zeon yang terlihat begitu tergesa-gesa membuat detak jantung Kanna menjadi tak karuan. Ia selalu takut melihat hal-hal yang dibuat tergesa-gesa. Seakan sebuah penghakiman, hal itu membuat Kanna akan diliputi kecemasan.

"Ada apa?" tanya Kanna ketika Zeon telah sampai di hadapannya.

"Yang Mulia, cepatlah ke ruangan Yang Mulia Zarkan Tar!"

"Ap—apa yang terjadi?" cemas hati Kanna membuat wanita itu berkata dengan gemetar. Ketakutan merayap di hatinya.

"Yang Mulia ...."

"Keajaiban terjadi ... Sang Mahadiraja kembali, ia kembali dari kematian!" kedua mata Zeon berbinar, kabar bahagia ini pasti akan membuat sang ratu bersorak dan secepatnya berderap pergi ke pelukan suaminya. Namun, tak ada perubahan besar pada raut wajah Kanna. Sang ratu hanya mendesah lega dan tersenyum simpul.

"Syukurlah ...." Tanpa sadar Kanna bergumam lirih. Zeon memandang Kanna dengan tak mengerti. mengapa tak ada jejak euphoria pada sang ratu. Seakan ini adalah hal biasa.

"Tolong kau kabari para rakyat Samhian. Raja mereka telah kembali."

"Samhian, akan terlindungi selamanya," ucap Kanna penuh teka-teki, kemudian berbalik dan berjalan menuju lorong kamar sang mahadiraja.

Zeon masih termangu di tempat hingga Kanna menghilang dari pandangannya. Entah mengapa ada sesuatu yang lain pada sikap sang ratu. Ia menggelengkan kepala berusaha menjernihkan prasangkanya kemudian berbalik pergi untuk melaksanakan perintah ratu.

***

Pintu besar di depan mata Kanna terbuka perlahan. Langkah kakinya pelan dan anggun memasuki singgasana pribadi sang mahadiraja. Kabut tipis terlihat menyelimuti kamar ini, tetapi aura sang mahadiraja begitu kuat terasa. Aura yang menghentakan jantung agar bekerja lebih cepat mengalirkan darah ke seluruh tubuh.

Gelenyar hati Kanna mengembang dengan rona merah menghias pipi. Kelopak mata sang ratu berkedip menetralkan cahaya temaram yang masuk ke pandangannya. Ia menghirup napas dalam-dalam ketika pandangannya bersibobrok dengan mata emas di depan sana.

Lambaian tirai kelambu tak mengaburkan sesosok tubuh yang tengah bersila tegap. Dengan pancaran sinar yang membias, sosok tersebut terlihat diselimuti kegelapan.

"Mendekatlah!" suara serak yang Kanna rindukan membuat langkah Kanna semakin cepat. Setengah berlari ia berderap. Lalu saat kedua tangan sang mahadiraja terentang Kanna mendesakkan diri ke dada bidang suaminya.

Tangis Kanna meledak. Segala emosi yang berputar di kepala dan hatinya meletus berbentuk air mata. Tak dapat dipungkiri, melihat sang kekasih hati, kebahagiaan Kanna membuncah. Erat ia memeluk Zarkan Tar hingga tak ingin lagi melepaskan.

"Maaf," ucap Kanna.

"Maafkan aku," bisik Kanna di tengah tangisnya.

Zarkan Tar mengurai pelukan mereka. Ia menarik Kanna ke pangkuannya lalu dengan begitu lembut mengecup kening sang istri. "Mengapa kau meminta maaf?" ia membelai wajah Kanna, mengusap bulir air mata dan mereguk harumnya pipi wanita itu.

"Seandainya dulu aku tak bertemu denganmu ...." Ucapan Kanna terhenti ketika bibir sang suami menahannya.

"Apa kau menyesal menjadi pendampingku?"

"Tidak, aku bahagia menjadi pendampingmu."

"Maka, jangan pernah ucapkan kata-kata itu!"

"Jika saja aku lebih kuat," lirih Kanna kembali memeluk suaminya.

"Semua bukan kesalahanmu, sudah usai semua sekarang. Kita hanya harus menyongsong masa depan berdua, jika kau tak ingin di Samhian, kemanapun kau pergi aku akan mengikutimu."

"Yang Mulia, aku mencintai Samhian juga rajanya, ini tempatku. Ke mana lagi aku pergi?"

"Maka tetaplah selalu di sisiku!"

Kecupan lembut Zarkan Tar membuat Kanna memejamkan mata. Ia menutup pendengarannya akan semua hal yang akan terjadi esok hari. Tentang Cygnus dan segala penjelasannya. Kanna ingin membuang semua pikiran itu. Ia hanya ingin mengisi isi kepalanya dengan kenangan indah, tentang sosok suaminya. Segalanya.

Jika hanya malam ini madu dari mawar yang bisa ia berikan untuk suaminya. Maka biarkan ia mengabdi sepenuhnya. Biarkan suaminya mereguk cinta mereka dalam kemanisan. Biarkan Kanna mengambil semua penawar masa pahit yang mereka lalui.

***

"Kita bertemu lagi ... Kanna!"

Cygnus tersenyum sambil melambaikan tangan. Seakan Kanna adalah teman dekatnya yang telah lama berpisah.

Kanna menatap awas pada sosok Cygnus, bayangan mimpinya berkelebat hingga membuat matanya membelalak saat menyadari sosok di depannya itu.

"Jangan sentuh suamiku!" desis Kanna.

"Tidak! Aku tak menyentuhnya. Aku hanya ...."

"Ada apa kau menemui kami?"

"Tidak. Aku tak bermaksud menemui Zarkan Tar, aku hanya ingin bertemu dirimu." Cygnus terkekeh. Wajah halus remajanya terlihat menggemaskan, tapi tidak untuk Kanna. Wajah yang terlihat halus dan polos itu penuh berbagai trik dan tipuan. Kanna tak akan mau mempercayai Cygnus begitu saja.

"Katakan! Apa tujuanmu?"

"Kanna, kau begitu dingin padaku. Percayakah kau jika aku kemari untuk membantumu?"

Kedua bola mata Kanna menatap tajam Cygnus.

"Ck, kau mirip dengan ibumu, ketika aku menemuinya dulu ia pun menatapku seperti itu. Ia bahkan memakiku karena memberikan takdir pada anak yang dikandungnya. Bukankah seharusnya itu anugerah? Sang alam semesta memberikan keberkahan besar untuk kandungannya."

"Ibuku tahu apa yang terbaik, jadi tak mungkin ia salah memaki orang lain." Suara Kanna sangat dingin, matanya melirik kondisi Zarkan Tar yang berada di belakang Cygnus.

"Ah, kau mencurigaiku rupanya, baiklah! Baiklah!" Cygnus mengangkat tangannya kemudian beranjak menjauhi keberadaan Zarkan Tar.

Meski wajahnya penuh senyum tapi Kanna tak merasakan senyum tulus dari sang alam semesta. Pria remaja itu mendekat pada Kanna, ia mengulurkan tangan kanannya dengan telapak tangan menengadah ke atas.

"Kanna, aku menciptakanmu dengan suatu tujuan besar. Semua berkaitan dengan perubahan di Gartan."

"Zarkan Tar, kujadikan ia pasanganmu, karena hanya ia yang pantas bersanding dengan dirimu. Begitu baik aku padamu, bukan?" Cygnus tersenyum ceria hingga matanya menyipit. Namun, sedetik kemudian senyum itu lenyap dan digantikan seringai dengan sorot misterius hingga membuat Kanna semakin awas menatapnya.

"Kanna, katakan padaku! Jika aku menghidupkannya kembali, maukah kau menulis perjanjian darah denganku?"

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro