Part 34. Sang Esa (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Mengapa harus kuserahkan darahku untuk perjanjian yang akan merugikanku?" Kanna berkata dengan sinis.

Cygnus terkekeh lalu menarik tangannya dan mengangkat bahu. Ia lalu berjalan mendekati Zarkan Tar, membuat Kanna beranjak menjadi lebih dekat di sisi suaminya.

"Kau takut aku menyakiti suamimu?" sebelah alis Cygnus terangkat. "Aku tak sekejam itu, Kanna."

"Untuk apa aku harus mempercayai ucapanmu?" Kanna sinis berucap, "kau adalah salah satu hal yang tak akan pernah kupercayai," lanjutnya.

Cygnus mengangguk-anggukan kepalanya. "Baiklah, itu terserah padamu. Namun, aku hanya akan memberitahumu sesuatu, Zarkan Tar akan bangkit, garis takdirnya seperti itu. Akan tetapi, aku tak bisa menebak masa depannya. Kau tahu, ia terlahir istimewa." Cygnus kembali tersenyum.

"Namun ... Kanna, ada hal yang ingin kuberitahukan kepadamu."

"Jangan coba-coba menjebakku, Cygnus."

Cygnus terkekeh, ia mengangkat bahunya. "Tak ada jebakan apapun. Ini semua menyangkut Gartan. Aku tak akan pernah bermain-main. Jadi, maukah kau menjabat tanganku?" sekali lagi Cygnus mengulurkan tangannya.

Kanna masih terdiam. Kedua matanya mengamati dalam-dalam mencoba mencari kebohongan dalam mata Cygnus.

Kemudian tangan kanan Kanna terulur dan menyambut tangan Cygnus. Senyum Cygnus menyimpul lalu pancaran matanya mengunci pandangan Kanna. Sekejap angin besar menghempas Kanna dan Cygnus memasuki dimensi lain.

Suara jeritan serta panas yang amat kuat menerpa Kanna. Cygnus membawanya ke dalam inti Gartan.

"Ini adalah penjara jiwa iblis Astharot." Cygnus menjelaskan. Kanna menatap sekelilingnya dengan awas.

"Mengapa kau membawaku ke sini?"

"Kanna, apa kau percaya padaku?"

"Tidak." Dengan tegas Kanna berkata, Cygnus menghela napas jengkel.

"Aku penciptamu, dan kau tak mempercayaiku?"

"Kau dan saudaramu sama saja, hanya ingin menjebak manusia dalam lumpur dosa dan peperangan."

"Oh, percayalah, aku tak seperti itu. Kau tak lihat wajahku sangat polos seperti ini?"

"Semua itu topeng. Kembali ke hal semula, mengapa kau membawaku ke sini?"

Kedua tangan Cygnus membelai pipinya sendiri. "Apa harus kuubah wajahku agar kau percaya bahwa aku tak bersalah?"

"Baiklah, baiklah!" Cygnus terkekeh ketika melihat pelototan Kanna.

"Aku membutuhkan bantuanmu."

"Kau seorang dewa mengapa meminta tolong pada manusia."

"Karena kau bukan manusia biasa, Kanna." Cygnus mengangkat kedua tangannya lalu dengan mengibaskan sebuah cermin berkabut muncul di hadapan mereka.

"Dulu sekali sebelum alam semesta tercipta, ada satu dewa maha kuasa yang disebut sang esa. Tak ada yang mengetahui siapa dia. Dia terlahir dari inti jagat raya ini. Berdiri sendiri dan sangat kuat."

"Ia menentramkan alam raya yang carut marut karena para iblis yang menghuni di dalamnya. Peperangan terjadi, dia mengalahkan ribuan iblis dan memenjarakan raja iblis Astaroth. Seusai melemahnya iblis, ia mengambil inti mereka dan dijadikan kristal merah, kristal kematian."

"Setelah itu, ia menciptakan aku dan Calasha, masing-masing dari kami diberikan kristal. Kristal alam semesta untukku, dan kristal jiwa untuk Calasha. Kami diberi perintah untuk menjaganya."

"Sebagai penyeimbang kehidupan alam semesta ini, kristal merah diberikan pada manusia."

"Tak ada yang mengetahui di mana kristal merah tersebut, sampai kemudian aku mengetahui, kristal merah dijaga oleh klan penyihir hitam. Namun, semuanya terlambat."

"Kanna, Atheras telah mencuri kristal merah dari klan penyihir hitam. Ia pula yang mengelabuhi Calasha. Ia bermaksud membebaskan Astaroth. Dua segel telah terbuka, satu segel terakhir Astaroth akan bebas, dan Gartan beserta isinya akan menjadi budak iblis itu."

Kedua mata Cygnus menatap kejauhan. Sedangkan Kanna masih berusaha mencerna semuanya.

"Lalu, dimana sang esa?" tanya Kanna. Rasa penasaran mulai bercokol di hatinya.

Cygnus menggelengkan kepalanya, ia dengan suram berucap, "Sang esa meninggalkan Gartan. Gartan kuciptakan dengan penuh kasih sayang, akan tetapi keangkuhan para dewa dan dewi merusak sebagian tatanan yang telah kubentuk. Sang esa meninggalkan kita karena ia tak lagi berharap pada Gartan. Kanna, Gartan sedang menuju kehancuran. Kesempatan bertemu dengan sang esa sangat tak mungkin. Tak ada jejak yang pasti mengenai keberadaannya."

Cygnus menghela napas. Kelelahan secara berkala terlihat di wajah remajanya yang terlihat merajuk. Ia menggelengkan kepala lalu kembali menatap Kanna.
"Astaroth diciptakan tak bisa mati hingga jagat raya ini kiamat. Karena itu, sang esa hanya memenjarakannya. Karena itu Kanna, hanya kau yang dapat membantu kami."

"Aku?"

Cygnus mengangguk.

"Mengapa?" Kanna mengernyitkan keningnya. "Bukankah kekuatan kalian lebih hebat dari kami para manusia?"

"Tidak. Kekuatan kami tak ada artinya jika melawan kristal kematian. Atheras mencuri kristal tersebut karena ia tahu, tak ada dewa manapun yang dapat menandinginya, kecuali sang esa dan keturunan murni penyihir hitam."

Kanna tak menjawab. Bola matanya bergerak melirik pada Zarkan Tar yang masih pucat terbaring. Gejolak masygul di hatinya selalu dalam kegundahan apabila melihat ketidakberdayaan saat ini.

Cygnus melihat keraguan dalam hati Kanna. Namun, ia tak berhak mendorongnya lebih jauh. Bagaimanapun, Kanna mempunyai pilihannya sendiri.

Pria remaja itu akan kembali berucap saat Kanna kemudian mengeluarkan kristal biru dari kantong kiltnya. "Kristal alam semesta. Ini milikmu?"

Cygnus menatap bola kristal di tangan Kanna. Ia menggelengkan kepala lalu berkata, "Semua kristal merupakan milik sang esa. Kami hanya bertugas menjaganya."

"Lalu apa yang harus kulakukan?" tanya Kanna.

Cygnus menatap Kanna dalam-dalam. Seakan tak percaya dengan ucapan wanita itu. "Kau menyetujui usulku?"

"Kau menciptakanku karena hal besar ini bukan?"

"Kanna, aku tak akan memaksamu."

"Kau sudah mengucapkan semua hal ini, sebagai teratai biru, takdirku adalah pelindung alam semesta. Pelindungmu!" suara Kanna sangat datar namun membuat Cygnus menjadi tak berdaya. Sang alam semesta mengerucutkan bibirnya, khas remaja yang sedang merajuk. "Tapi aku tak mau memaksamu."

"Katakan Cygnus! Atau aku akan merubah keputusanku."

"Baiklah! Baiklah! Aku tak akan meminta banyak darahmu, aku hanya ingin kau memanggil sang esa. Satu tetes darahmu pada setiap kristal akan mengundang ia datang padamu. Hanya dia yang dapat melawan Astaroth."

"Kristal alam semesta ada di tanganmu, dan ...." Cygnus merogoh jubah putihnya lalu mengeluarkan bola kristal berwarna hijau. "Kristal jiwa," sebutnya sambil mengulurkan kristal tersebut.

"Kristal alam semesta dan kristal jiwa akan membantumu menemukan kristal kematian. Akan tetapi, kau tak bisa menyatukan mereka dalam satu tempat. Jika itu terjadi ...." Tatapan Cygnus menajam dipenuhi misteri dan ketakutan. "Gartan akan meledak," sambungnya.

Seakan kata-kata Cygnus hanya untuk menakuti anak kecil, wanita itu tak merasakan ketakutan sama sekali. Kanna hanya menatap datar pada kristal jiwa lalu dengan enteng mengambil dan memasukan kedua kristal tersebut ke dalam kantong kilt.

"Kupegang janjimu," ucap Kanna. Ia menatap tajam Cygnus.

Cygnus mengangguk-angguk laksana anak yang dengan mudah berjanji pada ibunya. Ia kemudian berbalik melihat Zarkan Tar lalu dari tangan kanannya kabut putih bergulung lalu perlahan menyibak cerah memperlihatkan jiwa Zarkan Tar yang tertidur. Dengan tiupan halus Cygnus meniup jiwa tersebut dan segera angin dingin menerpa entah dari mana saat jiwa Zarkan Tar memasuki tubuhnya.

Kedua mata Kanna menatap tubuh suaminya. Tak ada perubahan apapun. Wajah suaminya masih memucat. "Apa yang terjadi, mengapa ia tak juga bangun?" sentak Kanna memelototi Cygnus.

Cygnus meringis lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Bersabarlah wahai Yang Mulia Ratu! Aku tak bisa membangunkannya sekarang, kau tahu apa yang ada di otaknya jika melihat kita berduaan? Dia akan segera membunuhku." Cygnus berdecak lalu melipat kedua tangannya di dada.

Kanna menghela napas jengah, segera ia beranjak lalu duduk di samping suaminya. Tangan Kanna terulur kemudian memeriksa bagian nadi Zarkan Tar. Saat denyut kehidupan terasa di kulitnya, denyut jantung Kanna mulia melembut dan desahan lega keluar dari bibirnya.

"Aku tak mungkin mengingkari janjiku," gerutu Cygnus.

Kanna kemudian kembali berdiri lalu menatap Cygnus. "Kapan aku mulai melaksanakan perintahmu?"

***

Aurora menyapa Samhian untuk pertama kalinya dari semenjak perang di mulai. Sang surya kembali menapaki singgasananya bersinar gagah membangunkan rakyat Samhian untuk bersyukur dengan pagi yang indah. Semarak ragam warna kembali menghias negeri Samhian. Menyejukan mata, menentramkan hati, bagai lukisan surga nyata. Samhian kembali dengan berkah langit. Membayar segala pahitnya peperangan.

Para pengungsi di aula kastil timur akhirnya memutuskan kembali ke desa mereka masing-masing. Membangun kembali desa-desa mereka yang porak poranda. Mengembalikan kehidupan damai yang indah pada setiap orang. Saling membantu mereka bergotong royong menolong sesamanya.

Pun dengan para prajurit. Zeon, atas nama raja, memerintahkan mereka untuk membantu membangun kembali desa-desa dan memperbaiki kerusakan akibat perang. Begitupun dengan para petinggi kerajaan, mereka turun tangan untuk membantu mengeluarkan emas dan perak untuk membangun kembali benteng-benteng yang runtuh.

Serentak, kembalinya pagi hari ini membuat hati setiap orang diliputi rasa saling memiliki. Mereka membuang sikap tinggi hati untuk satu tujuan membangun kembali negeri.

Kesibukan istana pun kembali dengan perintah-perintah pada dayang-dayang dan beberapa prajurit. Menyiapkan segala keperluan raja dan ratu. Setiap hati penghuni istana bergembira menyambut bangkitnya sang raja. Mereka membersihkan setiap sudut istana dan kembali memasang panji-panji Samhian yang runtuh sebelumnya.

Di sebuah kamar tidur raja, kedua kelopak mata membuka menampilkan bola mata emas yang indah. Beberapa kali berkedip untuk menetralkan cahaya matahari yang memasuki celah tirai ranjang. Dengan satu hembusan napas Zarkan Tar terbangun lalu membalik tubuhnya untuk memeluk Kanna. Akan tetapi, tak ada sosok tubuh di sampingnya, melainkan seprei yang mendingin sebagai sambutan.

Zarkan Tar menyingkap selimut lalu segera memakai pakaiannya. Wangi aura istrinya menghilang dari kamar ini. Setelah selesai mengancing kamisolnya sang mahadiraja segera beranjak menyingkap tirai kelambu lalu beranjak mencari Kanna.

Ia membuka pintu kamar lalu segera keluar dan berderap ke arah kastil barat tempat keluarga Merine berada. Berharap, Kanna berada di sana.

Beberapa prajurit dan dayang yang memberikan salam hormat dan mengucap syukur tak ia hiraukan. Ketiadaan Kanna selalu membuatnya resah. Kanna tak akan pernah meninggalkan ranjang mereka jika Zarkan Tar belum terbangun. Karena itulah, ia merasa sedikit marah dan ingin menyeret kembali istrinya.

Di lorong terakhir menuju kediaman Ken, Zarkan Tar melihat dua paruh baya tengah bercakap-cakap. Meski lama tak menjumpainya, Zarkan Tar menebak siapa lawan bicara Ken. Raja Trev.

Sang raja Pula Suci berbalik saat derap langkah Zarkan Tar terdengar mendekat. Ia melukiskan senyum saat Zarkan Tar telah sampai di hadapannya lalu memberi hormat.

"Sang mahadiraja memberi hormat padaku, itu terasa aneh sekali." Trev terkekeh.

"Kau ayah dari istriku, aku tetap harus memberi hormatku padamu," sahut Zarkan Tar. trev mengangguk-angguk. Ia mengamati kondisi Zarkan Tar. Lalu mendesah lega.

"Untunglah kau terbangun kembali, jika tidak, putriku akan selalu berselimut sendu di matanya."

"Aku tak berani memberikan kesedihan pada Kanna ... A—ayah?" Zarkan Tar dengan canggung memanggil Trev. Trev dan Ken terkekeh melihat sang mahadiraja salah tingkah.

"Baiklah, aku tak akan menahanmu lagi, Yang Mulia! Lanjutkan perjalananmu!" sahut Trev.

"Aku akan menemui Kanna, bukankah dia ada di dalam?"

"Kanna?" Ken mengerutkan keningnya heran. " Ia tak mendatangi kami, Yang Mulia!"

"Dia tidak bersama Merine?" Zarkan Tar menatap pintu kamar Merine dengan sangsi.

"Kami belum melihat Kanna, tidakkah semalam dia bersamamu?" tanya Trev, kecemasan mulai merambati hatinya.

Degub jantung Zarkan Tar mulai tak senada. Entah mengapa kekhawatiran yang amat besar tibas-tiba merasuki hatinya.

"Dia tidak kemari?"

Ken dan Trev saling menggelengkan kepala. Bahkan wajah Trev bertambah dengan kerut kekhawatiran.

"Tak mungkin ia pergi tanpa pamit, aku akan mencarinya." Trev membalikkan tubuh lalu segera beranjak berniat mencari Kanna.

"Aku akan menemui Merine, barangkali ia mengetahui sesuatu."

"Aku tak merasakannya ...," desah sang mahadiraja. Ia menatap Ken dan bergumam, "aura Kanna tidak ada di istana ini."

***

Trev menggeram kesal. Tinjunya ia arahkan pada tembok hingga berdarah.

Ia telah mencari ke setiap sudut istana dan taman. Tak ada yang melihat Kanna, ke mana pun ia bertanya, tak ada jawaban yang tepat. Kanna seolah menghilang ditelan udara istana ini.

"Jika saja ...." Trev menggelengkan kepala. Ia tak bisa menyalahkan Yeva. Semalam ia pergi menolong Yeva yang masih terkungkung sihir Yaves dan merawat anak itu. Semua ia lakukan atas kemauan Trev sendiri. Namun, karena kealpaannya ini ia kembali kehilangan Kanna.

Trev kembali meninju tembok beberapa kali meluapkan berbagai emosi di hatinya. Langkah seseorang mendekat dan dengan takut-takut ia menyapa, "Yang—mulia, pu,putri Yeva siuman," sahut salah satu prajurit pulau suci.

Sang raja berbalik dan menatap prajuritnya yang menundukan kepala. "Kau bisa mengurusnya kan?"

"Ta, tapi ... baik, baiklah Yang Mulia! Hamba bisa mengurusnya!" prajurit ketakutan saat menatap sorot kejam di mata rajanya. Trev terkenal lembut kasih, namun jika ia ingin kejam, kekejamannya tak bisa dikalahkan apapun.

"Bagus! Urus dia dengan baik!" sang raja melangkahkan kakinya. Pikiran akan hilangnya Kanna tak bisa membuatnya tenang. Namun, baru beberapa langkah ia berhenti lalu berbalik. "Bagaimana keadaan Yeva?"

"Sang putri ... dia tak mengenal siapa dirinya, Yang Mulia."

Trev mengangguk tanda mengerti. Ia memang menghapus seluruh ingatan Yeva, termasuk jati dirinya. Ia ingin gadis itu hidup dengan kehidupan baru dan tak lagi mengganggu kehidupan Kanna.

"Urus dia!" ucap Trev lalu kembali melangkah pergi. Ia harus mencari cara untuk menemukan keberadaan Kanna. Karena menilik aura anaknya, Kanna tak lagi berada di istana ini.

***

Rauman berdiri di samping saudaranya, memandang keindahan awan dari istana langit. Tak ada yang berbicara, hanya diam dan menikmati suasana. Hal seperti ini sering mereka lakukan dulu. Saling berbagi cerita dan juga dukungan. Dulu, Rauman selalu iri dengan Sautesh yang selalu dapat bergaul dengan mudah, Sautesh yang tak pernah menggubris perkataan para dewa lain yang mengejeknya selalu membuat Rauman naik pitam, tak jarang mereka bertengkar karena Sautesh yang selalu diam ketika ejekan.

"Sudah lama," sahut Rauman membuka pembicaraan. Sautesh meiliriknya tapi tak menyahuti ucapan Rauman.

"Aku selalu datang kemari." Rauman menghirup udara segar dengan mata tertutup. "Tempat bermain kita dahulu," lanjutnya kemudian menoleh pada Sautesh.

Sautesh masih terdiam, namun kepalanya sedikit menoleh. Senyum kecil tersungging dari bibirnya. "Kau merindukanku rupanya?"

Rauman terkekeh. "Aku selalu merindukanmu, kau tahu sedekat apapun aku bersama dengan dewa lainnya, tak ada yang bisa mendekat sedekat ikatan darah. Sautesh ... aku tak pernah membencimu."

"Maafkan aku!"

"Maafkan aku!"

Bersamaan keduanya mengucapkan kalimat yang sama. Sautesh dan Raumen terkekeh lalu berubah menjadi tawa.

"Aku selalu tahu yang ada di pikiranmu." Sautesh mengejek Rauman.

"Ya, kuakui kau memang lebih kuat dariku." Rauman meninju bahu saudara kembarnya. Sautesh hanya menggelengkan kepala karena geli akan kebiasaan mereka.

"Ada hadiah yang ingin kuberikan padamu." Rauman meraih bahu Sautesh agar menghadapnya. Ia amati luka cacat Sautesh yang membuat setengah wajahnya menjadi tak sedap di pandang. Lalu, tanpa rasa jijik atau takut, Rauman mengulurkan tangannya menyentuh luka tersebut.

"Sudah lama aku ingin melakukan ini, tapi tak ada satu kesempatan. Kali ini, aku tak ingin menyia-nyiakannya lagi."

Sautesh melihat Rauman memejamkan mata kemudian suar warna orange meliputi tubuh saudaranya tersebut. Rasa sejuk telapak tangan yang menyentuh lukanya membuat Sautesh ikut memejamkan mata. Dulu mereka sering melakukan hal ini, Rauman merupakan obat penenang pikirannya.

Rauman tersenyum dan membuka kelopak matanya. Ia melihat luka bakar yang Sautesh derita telah menghilang.

"Kemari!" Rauman menyeret Sautesh menuju sebuah kolam air. Bingung, Sautesh hanya menurutinya.

"Lihat wajahmu! Cepat!" setengah mendorong ia menyuruh Sautesh. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Sautesh hanya mengikuti perintah Rauman.

Bayangan garis halus wajah Sautesh membuat dewa takdir buruk itu membelalakan mata. Ia lalu berdiri dan menatap Rauman dengan bingung.

"Kau suka hadiah dariku?"

Tangan Sautesh meraba pipinya. Tak ada lagi kerut kulit bekas luka bakar. Ia memandang Rauman yang tengah menyeringai dengan senyuman bahagia. Perlahan bibir Sautesh terkembang sempurna.

"Aku tahu, aku memang lebih tampan darimu," ujarnya yang langsung menghentikan senyum Rauman. Sautesh tertawa terbahak-bahak saat mendengar ocehan Rauman kembali.

***

Kanna menatap istana putih Samhian dari kejauhan. Pandangan matanya tak pernah berpindah. Hanya pada istana tersebut.

"Kau sudah siap?"

Suara Cygnus menyapa dari belakang wanita itu. Kanna hanya mengangguk. Matanya berkedip kemudian berbalik memindahkan bayang istana dan menghujam kedua netra Cygnus.

"Kanna, kutekan kan sekali lagi. Aku tak akan memaksamu."

"Tak ada pilihan lain kan?" sahut Kanna dengan datar.

"Ehm ... aku akan ikut denganmu!"

"Dan menggagalkan semua rencanaku?"

"Kau berhadapan dengan Atheras. Dia dewa licik, lebih licik dariku!" sengit Cygnus, merasa tak terima ada dewa yang lebih licik darinya. Kanna mendecih menatap wajah remaja yang merengut kesal itu.

"Aku harus melakukannya sendiri. Kau hanya menunggu di sini, berjaga-jaga pada pintu jalan keluar." Kanna membuka kantong kiltnya. Dua bola kristal berwarna biru dan hijau memasuki pupil matanya.

"Aku sudah siap!" Kanna menatap Cygnus.

Cygnus menganggukan kepala kemudian berbalik memunggungi Kanna. Ia angkat kedua tangannya lalu pukulan ke udara dari Cygnus membuat sebuah terowongan besar berwarna ungu.

Pintu menuju gunung Margotian.

"Kanna, aku ingatkan sekali lagi. Ketika kau sudah memasuki pintu ini, akan sulit keluar jika pikiranmu tidak bersih. Karena itu, lepaskan semua bebanmu. Jangan pikirkan apapun!" ucapan Cygnus hanya diangguki Kanna.

Wanita itu melangkah dan berhenti tepat di depan terowongan magis itu. Ia setengah menoleh dan berucap, "Aku yakin Zarkan Tar akan mengetahui keberadaanku. Karena itu, aku berharap kau bisa menahannya agar tak memasuki terowongan ini." Selesai berucap Kanna langsung melangkah memasuki terowongan dan sekejap menghilang meninggalkan Cygnus dengan wajah memucat.

"Entah mengapa, kata-katanya seperti kutukan untukku," lirih Cygnus. Ia perlahan berbalik dan menatap puncak istana Samhian.

"Mengapa aku merasa Zarkan Tar sedang menatapku saat ini, Ck!" Cygnus berdecak.

Di istana Samhian, aura dingin Zarkan Tar membuat Merine yang tengah bersimpuh, gemetar ketakutan. Meski Zarkan Tar tak menatapnya entah mengapa ia merasa gejolak kematian tengah menyambut. Bukan hanya Merine yang merasa demikian. Bahkan Red dan Ken pun merasakan hal yang sama.

Merine telah menebak, serapat apapun ia menyimpan rahasia. Di mata Zarkan Tar, rahasianya akan selalu terbongkar. Menyangkut Kanna, Zarkan Tar tak akan mungkin melepaskan begitu saja.

"Jadi, kemana ia pergi?" suaranya sangat dingin. Bahkan Trev yang tengah bersedih hatipun merasakan bekunya hati Zarkan Tar.

"Bukit Dewa," ucap Merine. Ia sendiri tak bisa menutupi kecemasannya pada Kanna. Karena itu, ia akan menjawab semua pertanyaan Zarkan Tar.

Zarkan Tar mengangkat tatapannya lalu memandang bukit tertinggi di belahan bagian barat.

'Cygnus!' ia menggeram dalam hati.

Angin berhembus menerpa Cygnus melambaikan rambut peraknya. Ia berdecak kesal memandang istana Samhian dengan jengah.

"Memang, tak ada hal yang bisa disembunyikan darimu, Zarkan Tar!"

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro