Part 13. Ditemukan (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sorkha mengibaskan tangannya menandakan ia mengusir semua dayang-dayang yang melayaninya. Tepat ketika para dayang tersebut tak terlihat lagi, sosok asap hitam berkumpul lalu membentuk sosok Sautesh dengan sebuah ramuan hitam di tangannya. Dewa tersebut menghampiri Sorkha yang tengah mengunyah buah Karh, buah surga yang diperuntukan para dewa.

"Rencana apa kali ini?" tanya Sorkha saat menatap botol ramuan ditangan Sautesh.

Bibir kiri Sautesh yang telah rusak karena luka bakar berkedut. Ia menatap dingin pada Sorkha. Detik kemudian ramuan tersebut ia letakkan di meja.
"Saatnya menguji pasukan kita," sahut Sautesh dengan suara serak.

"Takdir itu sudah dekat, Sorkha. Saatnya tiba, pasukan kita akan menjadi lebih kuat dengan ramuan itu."

"Ramuan apa ini?" tanya Sorkha mengamati cairan dalam botol tersebut.

"Kehidupan setelah kematian, ia menamakannya begitu."

"Ia?" Sorkha mengernyitkan keningnya, ditatapnya Sautesh untuk mencari jawaban.

Sautesh tersenyum. Namun, karena sebagian wajahnya rusak senyumnya menjadi lebih mengerikan.
"Ia yang tak tertandingi, akan memuluskan jalan kita berdua," ucap Sautesh penuh teka-teki.

***

Rauman bergerak menunduk hormat saat sosok agung dengan aura paling suci berdiri di hadapannya.
"Hormat dan salam kepada Sang Alam Semesta," sapa Rauman dengan penuh hormat.

Sang Alam Semesta, Cygnus, tersenyum lalu mengangkat tangannya tanda menerima hormat dari Dewa Rauman. Sosok muda dan begitu halus, itulah dia Sang Alam Semesta. Matanya memancarakan sebuah cahaya terang yang akan menerangi kehidupan manusia. Sedangkan senyumnya adalah restu. Siapa yang membuat Sang Alam Semesta tersenyum maka akan selalu damailah alam ini. Sosok welas asih yang akan memberikan semua hal untuk kebaikan para manusia. Dia, alam semesta adalah penentu dari segala dewa.

"Suatu kehormatan Anda datang secara pribadi ke tempat hamba, Yang Mulia."

Rauman membuka percakapan ketika Sang alam Semesta telah menerima salamnya.
"Aku kemari untuk membicarakan sesuatu," sahut Sang Alam Semesta, "Sesuatu yang seharusnya kulakukan sejak lama," tambahnya. Senyumnya yang lembut membuat Rauman mengerutkan dahi. Tak biasanya Sang Alam Semesta akan membicarakan sesuatu dengan para dewa, terlebih dewa takdir seperti dirinya.

Sang Alam Semesta berjalan mendekati cermin takdir. Tatapannya menelusuri garis-garis takdir yang diliputi sebuah benang beraneka warna. Benang kehidupan baru berwarna hijau, benang kemakmuran berwarna biru, benang kesejahteraan berwarna orange, benang merah untuk perjodohan, dan benang kematian berwarna hitam. Semuanya saling terhubung antara penyebab dan yang diakibatkan.

"Sampai hari ini semua terlihat seperti biasanya," ucapnya pelan. Ia kemudian kembali menatap Dewa Rauman.

"Rauman, ada satu hal yang aku minta kau harus melakukannya." Sang Alam Semesta menatap Rauman dengan serius. Meskipun kata-katanya terdengar lembut bagaikan manusia remaja, tapi dari tatapan itu Rauman tahu ada suatu hal besar yang sedang direncanakan alam semesta.

"Hamba siap mendengarkannya, Yang Mulia."

Sang Alam Semesta mendekat lalu mulai menceritakan suatu hal. Hal besar yang membuat Rauman harus menekan perasaannya. Berkali-kali ia harus menghela napas untuk menetralkan jantung yang terus berdetak-detak. Berkali-kali pula Sang Alam Semesta menceritakan hal demi hal yang membuat Rauman menggeleng tak percaya.

Pandangan keduanya bertemu, jalinan pemahaman satu sama lain. Lalu Rauman mengangguk. Ia telah siap, siap akan segala konsekuensi rencana besar alam semesta.

Sang Alam Semesta tersenyum dengan lembut. Sorot matanya penuh ungkapan terimakasih. Kemudian sosoknya berubah menjadi kabut putih dan menghilang kemudian.

Setelah kepergian Sang Alam Semesta, Rauman menatap kembali pada Cermin Takdir. Ia melihat dua nama yang terhubung dengan benang hitam dan benang hijau. Takdir yang semakin dekat, ia mungkin tak bisa mengubah takdir buruk atau takdir kematian. Namun, ia bisa memanfaatkan takdir baik seseorang meski hanya secuil untuk merubah masa depan.

***

Ketukan keras terdengar pada pintu pondok kecil yang di huni Kanna. Pondok yang dibuat oleh paman Ken dan Red khusus untuk Kanna. Pondok kecil yang Kanna tata persis mirip dengan pondok milik ibunya yang telah dibakar orang-orang misterius itu. Bahkan letak perabotan rumahpun Kanna samakan dengan dekorasi ibunya dahulu.

Gedoran itu semakin keras dan tak sabar saat Kanna yang tengah mengikat tali pakaian belum juga membukakan pintu. Kanna memang sengaja berlama-lama tidak membukanya, karena ia tahu, Merine tak pernah bisa melatih kesabaran dalam semua hal. Termasuk hal seperti ini.

"Kanna! Buka! Apakah Red bersamamu?" teriakan Merine membuat Kanna mengernyit. Ia kemudian segera menyongsong pintu pondoknya membuka gerendel pintu dan membuka pintu lebar-lebar.

"Apa Red tidak pulang semalam?" tanya Kanna langsung ketika Merine masuk lalu langsung meraih apel yang berada di meja.

Merine tak langsung menjawab, ia sibuk mengunyah apel di tangannya. Setelah menghabiskan hampir setengah buah ia baru menatap Kanna.
"Red awalnya pulang bersamaku, tapi menyadari kau tidak mungkin langsung pulang dan pasti akan membereskan sisa-sisa penyusup itu ia kemudian kembali lagi menyusulmu. Kau tidak bertemu dengannya?"

Kanna menggeleng. Pikirannya berkecamuk memikirkan sesuatu yang buruk. Red sangat ahli menyelinap dan melarikan diri. Namun, jika lawannya adalah si Licik Tuan Zeon? Oh alam! Kanna benar-benar meremehkan kekuatan Tuan Zeon.

"Aku akan mencarinya!" sahut Kanna sambil berdiri.

"Eh? Mencari kemana? Kau tahu ia pergi kemana?"

"Aku tak yakin, tapi aku tak bisa membawamu Merine."

"Mengapa?"

"Tunggulah di sini, aku hanya akan memastikan sesuatu."

Kanna mengambil sebuah belati kemudian memasukannya pada kelt pinggang. Ia memandang Merine yang menatapnya heran.
"Aku akan kembali cepat!" sahut Kanna kemudian bergerak dengan kecepatan tak terukur gadis itu terbang berkejaran dengan angin.

Tiba di hutan semalam ia melihat sudah tak ada lagi jejak-jejak perkemahan para penyusup negara Valia. Bahkan melacak jejak aura keberadaan merekapun sudah tak ada. Hanya satu kemungkinan, mereka dihilangkan atau mereka sangat ahli dalam mengelabuhi jejak.

Kanna masih bergerak mencari jejak keberadaan Red. Sampai kemudian ia melihat sebuah gelang kayu milik Red.

Arah utara. Itu berarti menuju ke arah desanya. Tapi, mengapa Merine berkata bahwa Red tak pulang semalam?

Jika memang Red tertangkap. Kanna harus mencari tempat persembunyian Zarkan Tar di hutan ini. Pria itu berada di hutan ini semalam. Kemungkinan untuk kembali istana tidak secepat itu. Melihat kasus dengan para penyusup Valia, dapat dipastikan Sang Mahadiraja pasti akan menyelidiki hutan ini lebih lama.

Kanna kembali menyusuri semak-semak yang terlihat sudah terinjak-injak. Meski kesempatannya kecil menemukan Red di sini, Kanna akan tetap mencobanya.

Konsentrasinya sangat fokus mencari jejak keberadaan Red, tak ia sadari sosok pria dengan bola mata emas terlihat mengikutinya dari belakang.

***

Putri Yeva menatap dua botol cairan berwarna hitam dan ungu yang dibawa Anpa padanya. Meski ingin bertanya, tapi urung ia katakan karena ia tak ingin lagi terlalu banyak bicara. Fokusnya sekarang hanya satu. Membuat Zarkan Tar mendapatkan balasan karena menghinanya.

"Aku akan mengubahmu menjadi salah satu orang dayang di Istana Zarkan Tar. Cairan yang ungu ini harus kau masukkan pada minuman Zarkan Tar. Ingat, kau harus memasukannya dengan cepat. Cairan ini tak berbau dan berasa. Efeknya, Zarkan Tar bisa menuruti semua perintahmu jika cairan ini terminum olehnya." Anpa terkekeh menampakkan gigi geliginya yang menjijikan. Namun kali ini Sang Putri tak menampakkan wajah jijiknya. Ia hanya mengangguk patuh.

"Lalu botol yang berisi cairan hitam ini dikhususkan untuk para pasukan kita. Tuangkan ke dalam air sumber minuman mereka. Kau mengerti?" Anpa menatap Putri Yeva. Ditatap intens seperti itu, Sang Putri merasa jengah. Ia mengangguk agar ia tak berlama-lama berhadapan dengan Anpa.

Setelah menjelaskan semua tugas-tugas yang harus dilakukan Sang Putri, Anpa menghilang tiba-tiba.

Setelah Anpa pergi, Putri Yeva bergerak ke arah sebuah dinding. Ia kemudian memindai dinding dan mencari tombol pintu. Ketika ia telah menemukannya, ditekannya tombol tersebut. Lantai berderak bergetar membuka menerbangkan debu-debu lantai. Ketika telah terbuka sempurna, belahan pada lantai terdapat susunan anak tangga yang mengarah ke bawah.

Dengan raut wajah dingin, Sang Putri turun meniti anak tangga. Ia terus membawa langkahnya menyusuri lorong-lorong yang berkelok-kelok. Sampai kemudian ia tiba pada sebuah pintu besar.

Tuas pintu yang tak dijaga itu terlihat besar, akan tetapi ketika Sang Putri menariknya itu mudah terbuka.

Suara derak pintu terbuka perlahan, cahaya dari dalam membuat Putri Yeva harus menutupinya dengan punggung telapak tangan. Saat pintu telah terbuka sempurna. Ia kemudian melangkah masuk.

Sebuah tempat yang sangat luas. Tempat yang bahkan langit mungkin tak akan mengetahuinya. Bahwa di bawah dunia Gartan terdapat tempat yang menampung pasukan-pasukan monster yang disebut Gort.

Gort merupakan makhluk yang tercipta dari rasa dengki dan semua sifat negatif manusia. Mereka merupakan makhluk dunia bawah Gartan. Keberadaannya tersembunyi. Manusia tak pernah mengetahuinya sama sekali. Bahkan dalam kalangan para dewa. Hanya sebagian dewa yang mengetahuinya, salah satunya yaitu dewa tertinggi Gartan, Sang Alam Semesta.

Sifat Gort sangat negatif, karena itu mereka tak tahan dengan keberadaan manusia baik. Mereka akan selalu memangsa para manusia. Tak lepas juga para dewa. Dewa-dewa yang lemah juga akan mereka mangsa.

Dulu bangsa Gort pernah menyerang permukaan atas. Namun, Agra Tar berhasil menaklukannya, kemudian mengusir mereka kembali ke bawah tanah. Kini, ratusan tahun berlalu, Agra Tar yang mereka takuti telah tiada. Dengan janji sang pemimpin baru, para Gort kembali berencana menyerang dunia permukaan atas.

Yeva tak tahu dan tak ingin tahu siapa yang memimpin para Gort ini. Namun, melihat rencana sempurna yang telah dijelaskan Anpa sebelumnya, sudut bibir Putri Yeva terangkat sinis. Mengingat dua nama dibenaknya membuat sorot mata hijaunya semakin mendingin dipenuhi dendam. Tangannya mencengkeram botol yang ia bawa.

Sebenarnya ia takut masuk ke tempat ini, bercampur dengan makhluk-makhluk menjijikan seperti para Gort. Tak ayal ia ingin muntah. Akan tetapi, karena dua nama yang terpatri pada dendamnya lah Putri Yeva menyingkirkan rasa jijik itu.

Dendamnya harus terbayar. Zarkan Tar, ia tak boleh meremehkannya lagi.

***

Kanna menatap sosok pria di depannya dengan lega. Red terlihat linglung, tapi tak ada sama sekali luka di tubuhnya. Ia bahkan terkekeh saat Kanna menemukannya tertidur di bawah pohon.

"Semua orang mencemaskanmu Red!" ucap Kanna dengan kesal.

"Kemana kau pergi?" tanya Kanna. Red menggaruk kepalanya yang tidak gatal binung harus menjawab apa.

"Aku tak ingat, saat melemparkan asap pengelabu itu tiba-tiba saja aku tak ingat apapun lagi. Sepertinya ada orang yang memukulku, tapi entahlah. Nyatanya aku tertidur di bawah pohon ini," jelas Red dengan mengamati sekitarnya, "hari sudah pagi, bagaimana hasil rampokan kita?"

"Semua sudah diurus Merine. Ayo! Dia menunggu kita sekarang."

Kanna berbalik lalu melangkah pergi mendahului Red. Red tak berucap apa-apa, ia mengikuti Kanna dari belakang. Namun, matanya sesekali melirik ke samping kiri yang berjejer pohon-pohon besar. Sesosok pria dengan bola mata emas yang memancarkan aura menyeramkan mengangkat telunjuk di bibirnya seakan memerintah Red untuk tidak berucap apapun perihal dirinya.

Tubuh Red bergetar ketakutan. Ia juga mendongak ke atas, dimana pria yang satu lagi duduk pada dahan pohon, memandangnya dengan penuh senyum manis tapi Red tahu terkandung kelicikan yang amat kejam. Sungguh Red tak ingin berurusan dengan mereka berdua.

Ketika ia sadar dari pingsannya, Red sudah terbelit tali sihir yang akan bekerja semakin mengeratkan ikatannya apabila Red bergerak. Pria bermata aquamarine yang suka tersenyum itu seakan senang melihat Red yang terikat. Sedangkan pria dengan bola mata emas, ia memandang Red dengan tatapan penuh aura membunuh.

Red menyangka mereka adalah salah dua dari kelompok penyusup Valia. Tetapi, ketika melihat lambang kerajaan Samhian, Red bernapas lega. Mungkin mereka orang-orang dari Sang Mahadiraja Zarkan Tar.

Pada akhirnya Red menjelaskan panjang lebar agar mereka melepaskan tali sihir yang membelit tubuhnya erat. Berbagai pertanyaan kedua orang itu dilontarkan dan Red menjawab dengan jujur. Termasuk tentang Kanna.

Red tak tahu apa hubungannya dengan Kanna. Mungkinkah salah satu mereka dilukai oleh Kanna? Yah, bisa saja. Itu pikirannya, sehingga ia menjelaskan semuanya dengan detail agar Kanna tak menjadi incaran mereka. Meskipun Kanna kuat, tapi gadis itu barus saja belajar sihir yang telah lama tersegel di tubuhnya. Menghadapi mereka Kanna tak mungkin menang. Sebagai seorang ksatria pelindung wanita, Red harus melindungi Kanna.

Tetapi, kenapa pria dengan bola mata emas itu seakan sangat membencinya ketika ia bercerita bahwa Kanna hidup dengannya? Pria itu bahkan mengangkat pedang dan menghunuskan mata tajam pedang di depan mukanya. Jika bukan karena bujukan si mata biru itu, Red yakin tak akan segan pria bermata emas itu akan membunuhnya. Sejak saat itu si mata emas sering sekali menatapnya dengan pandangan membunuh.

Red benar-benar tak bisa berpikir lebih jauh mengenai nyawanya. Akhirnya ia hanya bisa mengiyakan keinginan mereka untuk melihat desa tempat ia dan Kanna hidup. Dengan syarat, menjebak Kanna agar mencari keberadaan mereka terlebih dahulu.

Menatap punggung kecil Kanna yang berjalan di depannya. Wajah Red seakan ingin menangis dan memohon maaf. Jika ia tak menceritakan apapun, Kanna tak akan terlibat hal ini dan berurusan dengan dua orang menakutkan itu.

Mereka melintasi pembatas hutan dengan desa kecil bernama Desa Nadera. Kanna tersenyum lalu berhenti dan menoleh ke arah Red.

"Sebaiknya kau pergi membersihkan diri terlebih dahulu. Aku yakin Merine akan mememarahimu saat ini. jika kau terlihat bersih, saudaramu tak akan begitu menyulitkanmu nanti."

Mendengarkan saran Kanna, Red hanya mengangguk. Sebelum ia beranjak pergi ia menatap Kanna.

"Kanna aku meminta maaf," ucapnya pelan. Mendengar ucapan Red yang seperti anak kecil meminta maaf karena berbuat salah, Kanna tersenyum manis.

Ia mengacak-acak rambut Red, "kau seperti anak-anak, cepat sana pergi. Jangan sampai Merine menemukanmu dalam keadaan kotor seperti ini," Kanna terkikik saat melihat tubuh Red yang penuh lumpur.

"Yang Mulia...." Zeon menahan bahu Zarkan Tar saat pria itu bersiap dengan pedang yang setengah dihunusnya berniat menghampiri tempat di mana Kanna dan Red berdiri.

"Jika anda muncul sekarang, Kanna akan kembali lari. Bersabarlah sedikit saja, Anda bisa mendapatkan kembali Kanna nanti." Zeon berbisik sambil mengawasi ekspresi Sang Mahadiraja yang sudah memerah karena marah.

"Mereka sangat intim!" desisnya dengan gigi terkatup.

"Hubungan mereka tak seperti yang kau pikirkan Yang Mulia," Zeon mengulas bibirnya dengan senyum geli.

"Kanna menyentuhnya,"

"Itu hanya sentuhan seperti kepada seorang saudara,"

"Pria itu bukan saudara Kanna."

Zeon menghela napas. Ia menggedikkan bahunya, tetapi tangannya tetap menahan Sang Mahadiraja agar tak mengacaukan rencana mereka saat ini.

Kanna membuka pintu pondok mungilnya. Ia tak mendapati keberadaan Merin. Gadis itu kemungkinan telah kembali ke rumahnya. Menatap keranjang buah yang Kanna letakkan di meja sebagian isinya telah menghilang. Kanna semakin yakin bahwa si perampok memang telah pergi dari kediamannya.

"Dasar perampok," sahut Kanna sambil terkekeh.

Melepas kilt pinggangnya ia kemudian beranjak memasuki kamar berniat mengganti pakaian.

Kanna beraktifitas seperti biasa. Selesai mengganti pakaiannya ia langsung beralih ke dapur untuk memasak makanan. Siang nanti pasti kedua saudara kembar yang selalu berperang argument itu akan datang untuk makan siang di sini. Memikirkan mereka berdua, tak sadar bibir Kanna terulas senyum geli. Memiliki dua sahabat merangkap perasaan seperti saudara membuat Kanna bersyukur.

Keputusannya ia rasa tepat. Meninggalkan Zarkan Tar akan mengubah nasib mereka berdua. Ia mencintai pria itu. Pria pertama dalam hati dan akan menjadi satu-satunya. Akan tetapi, jika takdir mereka begitu buruk, maka ia tak akan pernah melibatkan diri dalam kehidupannya.

Memikirkan semua hal itu, senyum ceria Kanna terkikis. Ia mematung terdiam, bahkan niat memasaknya yang semula begitu bersemangat kembali meredup. Sayuran hijau di tangannya terlepas begitu saja. Seketika air matanya mengalir.

Ia sangat merindukan kekasih hatinya. Rindu itu seakan tak pernah mau mengalah. Semakin hari akan semakin meninggi. Bahkan jika Kanna mengalihkannya dengan berburu atau pada kegiatan lainnya. Ia tak bisa mengalihkan semuanya. Perasaan itu semakin tumbuh dengan subur.

Rasa rindunya begitu besar. Sangat besar. Sampai ia sering berhalusinasi Zarkan Tar datang padanya.

Seperti saat ini.

Kanna menatap pria bermata emas itu hadir di depannya. Halusinasi kembali.

"Mengapa aku tak bisa melupakanmu?" lirih Kanna bertanya.

"Kenapa kau berniat melupakanku? Jangan lakukan itu, Kanna!"

"Tapi aku harus melakukannya. Aku tak bisa di sampingmu. Hanya jika pada akhirnya akulah yang akan membunuhmu, aku tak ingin di sampingmu."

Tak ada jawaban. Ya benar, ini hanya halusinanya saja. Tentu tak akan bisa pria itu menjawab.

"Cintaku sangat besar. Aku akan mati jika membunuhmu, Yang Mulia. Aku tak bisa di sisimu," tangis Kanna semakin luruh. Ia terisak demikian sakit.

Tak akan pernah ada yang mengerti dirinya. Membunuh orang yang kau cintai? Takdir itu gila.

"Aku sangat mencintaimu, Yang Mulia!" Kanna kembali terisak. Ia melihat bayangan Zarkan Tar mendekatinya.

"Maka ayo kita bersama!" ucap Zarkan Tar.

Kanna merasakan pelukan hangat. Sangat hangat. Pelukan yang Kanna rindukan. Ia memejamkan matanya. Sejenak tak apa ia ingin masuk ke dalam dunia halusinasinya.

"Jangan pergi lagi, Kanna. Jangan menghindariku!" Zarkan Tar mengecup pucuk kepala Kanna.

Sesuatu yang sangat hangat. Kanna tak mengerti mengapa halusinasinya begitu nyata. Seakan pria itulah yang memang berdiri di depannya. Ia tak pernah senyata ini saat berhalusinasi. Zarkan Tar akan selalu menghilang saat Kanna menggapainya.

Tunggu. Ini begitu terasa hangat. Kanna membuka kelopak matanya. Ia terbelalak lalu mendongakan wajahnya. Mereka bertatapan dengan dua sorot masing-masing. Sorot keterkejutan Kanna dan sorot kerinduan Sang Mahadiraja.

"Ini tak mungkin," Kanna berbisik.

"Ini mungkin, Kanna! Aku menemukanmu, dan akan selalu menemukanmu kemanapun kau akan lari."

Karena aku adalah takdirmu. Baik dan buruknya takdir antara kita, semua akan kembali pada tatanan garisnya. Mereka berdua tak bisa menghindar.

Tak ada yang bisa menghindar dari takdir. Semua yang hidup akan menggenggam takdirnya sendiri. Bagaimana cara menjalani takdir itulah yang disebut dengan kehidupan.

Dan Zarkan Tar telah memutuskan, mereka berdua akan bersama menjalaninya.

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro