Part 12. Ditemukan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Suara panggilan dan teriakan dari Merine tak membuat Kanna memperlambat larinya. Ia berlari sampai ke arah sebuah padang rumput yang menghijau indah. Sisi-sisinya merupakan sebuah tebing, di mana di bawah sana terdapat aliran sungai yang berarus deras.

Kanna masih berlari saat Merine berhasil mengejar langkahnya. Kekuatan sihir gadis itu adalah elemen angin sehingga ketika Kanna tak bisa ia kejar, Merine mengumpulkan awan sebagai kendaraannya untuk mengejar Kanna.

"Kanna, berhentilah...aku akan menjelaskannya. Kumohon!" seru Merine. Kanna tak tahu mengapa, jiwanya seakan terkoyak saat mendengar penuturan ramalan Merine. Tak ingin berlarut dengan pikirannya yang kalut, kakinya telah membawanya ke padang rumput ini dengan kecepatan tinggi.

"Kanna!" seru Red, pria itu kini berada di sebelah kiri Kanna sedangkan Merine ada di sebelah kanannya.

Melihat kesungguhan mereka berdua. Kanna akhirnya menghentikan laju larinya. Red yang sama-sama melajukan kaki berlari mengejar Kanna terlihat bernapas dengan susah payah. Namun, ketika melihat gadis yang dikejarnya terlihat biasa saja ia langsung merutuki dirinya sendiri.

"Kekuatan larimu sungguh menakjubkan, aku sampai menggunakan awan untuk mengejarmu." Merine memuji Kanna sambil mengelus pundak gadis itu. Saat dilihatnya Kanna masih terdiam, ia kemudian beralih ke depan Kanna. Tangannya menyentuh dagu Kanna lalu mengangkat wajahnya.

"Kau sudah mendengar semuanya?"tanya Merine. Kanna mendongkakkan tatapannya, mata mereka saling beradu, gadis itu mengangguk yang disambut senyuman Merine.

"Takdir bisa berubah Kanna, penglihatanku akan masa depan tak harus kau percayai. Aku sendiri tidak mempercayainya." Suara ceria gadis itu tak menimbulkan reaksi apapun akan perubahan di wajah Kanna. Rasa syok dan tak percaya masih saja meliputinya.

"Oh, ayolah Kanna! Lihatlah!" Merine membalikkan tubuh Kanna agar melihat ke belakang.

"Lihat! Bagaimana hasil dari emosimu saat ini," ucap Merine menunjuk jalan yang sangat porak poranda. Tanah yang terbelah seakan gempa telah terjadi. Tanaman ilalang menjadi tinggi menjuntai. Dan yang membuat Kanna terbelalak, ia melihat air yang berasal dari sungai terdiam menjulang tinggi seakan tengah mengikutinya.

"Ap...apa yang terjadi? Mengapa semua ini seperti mengikutiku?" tanya Kanna menatap Merine dan Red bergantian. Raut ketakutan terbentuk pada rupa cantiknya.

"Itulah kenapa kami mengejarmu, saat kau lari dari rumah, angin memporak porandakan desa kita, sebagian rumah yang tidak kuat ambruk karena kekuatanmu. Kanna, apa kau belum bisa menjinakkan kekuatanmu huh?" tanya Red, wajahnya yang memerah karena berlari kini sudah kembali normal.

"Kekuatan? Kekuatan apa?" tanya Kanna dengan bingung. Merine dan Red menatap Kanna dengan pandangan aneh.

"Apa kau amnesia? Kau tak menyadari kekuatan sihirmu sendiri?" tanya Merine. Kanna menggeleng.

"Aku terlahir tanpa kekuatan sihir," ucap Kanna menatap kedua saudara kembar itu bergantian. Dahi keduanya berkerut.

"Oh, Red! Sepertinya dia memang amnesia!" lirih Merine sambil menepukkan tangannya.

"Ulurkan tanganmu ke arah mereka," sahut Merine. Kanna memandang kedua tangannya.

"Ayolah, jangan sampai penduduk desa memandangmu sebagai monster, Kanna!" sahut Merine kembali.

Kanna mengangkat tangan kanannya dengan telapak tangan menengadah ke atas.

"Ucapkan mantra perintahmu agar mereka kembali seperti asalnya." Red memandang air yang menjulang tinggi di hadapan mereka. Ia bergidik karena besarnya air itu. Jika menimpanya, ia yakin pasti tak akan selamat.

Kanna memandang air yang seperti membentuk gelombang besar di atasnya itu dengan perasaan yang aneh. Entah mengapa tiba-tiba bibirnya membuka lalu berucap tanpa sadar, "Kembalilah!"

Segera secara ajaib pemandangan di depannya kembali menyusut. Gelombang air yang sebelumnya membuncah tinggi kembali ke arah sungai dan beraktifitas seperti biasanya. Tanah yang retak tiba-tiba bergetar kemudian merapat seakan tak pernah terjadi suatu retakan apapun. Begitupun dengan ilalang dan tanaman lain yang tinggi meliuk-liuk bagai monster botanica kembali ke bentuk semestinya.

Merine dan Red menghela napas lega. Mereka menatap Kanna dengan pandangan horror. Sungguh, Kanna tak boleh menjadi musuh mereka.

"Ayo kita kembali, aku dan ayah akan menjelaskan semuanya padamu." Merine menepuk bahu Kanna dengan lembut.

***

Zarkan Tar memandangi lautan dari atas tebing istananya. Pancaran matanya yang dingin terlihat lelah dan tak bersemangat. Meski ia tetap beraktifitas seperti biasa, cara dan sikapnya mulai berbeda menanggapi orang-orang yang berada di istananya.

Kehilangan Kanna membuat temperamennya menjadi buruk. Suasana hatinya yang mudah marah semakin membuat aura dinginnya semakin menakutkan. Bahkan ketika para petinggi kerajaan ingin menyampaikan laporan-laporan, mereka akan menitipkannya pada Sang Penasehat Raja, Zeon.

Tepat sudah satu bulan Kanna menghilang. Jejaknya tak ditemukan sama sekali. Dulu ketika Kanna tinggal di desa nun jauh dari istana, Zarkan Tar masih bisa melacak auranya. Namun sekarang, aura Kanna seolah menghilang.

Dulu ketika mengetahui takdirnya yang akan mati di tangan seorang gadis. Zarkan Tar berniat membunuhnya ketika bertemu dengan gadis tersebut. Lalu, ketika alam telah mempertemukan mereka, ia tahu bahwa keinginan membunuhnya harus ditukar dengan cinta.

Ia tahu, cinta telah menemukan jalan antara dia dan Kanna. Akan tetapi, perpisahan saat ini mengingatkannya bahwa takdir yang sebenarnya bukan dari tangan alam. Mereka berdualah yang harus menciptakan.

"Yang Mulia!" Zeon memanggil Zarkan Tar yang sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Zeon mendesah, sudah sebulan ini Sang Mahadiraja selalu berlari ke tempat ini memandang ke arah lautan lepas.

"Yang Mulia, ada laporan pergerakan mata-mata kita. Mereka mengirimkan surat, bahwa negara Valia menyusupkan beberapa mata-matanya, mereka masuk dan menetap di sebuah desa terpencil di tepi hutan Luvatar."

Tak ada sahutan. Zeon menatap punggung dingin Zarkan Tar yang sama sekali tak pernah berniat berbalik.

"Yang Mulia..."

"Yang Mulia!" suara Zeon sedikit meninggi. Ia kemudian menghela napas sambil menggelengkan kepalanya tersenyum bodoh memandang Raja besar di depannya.

"Baiklah, aku akan mengatakannya dengan jelas. Desa terpencil yang dimasuki mata-mata negara Valia merupakan desa yang berbatasan dengan lautan. Lautan yang terhubung sampai tebing Luvatar di mana Kanna menghi..."

"Secepatnya kita kesana!" Zarkan Tar membalikkan tubuhnya. Jubah emasnya melambai ketika ia melewati Zeon. Zeon memutar tubuhnya menatap Zarkan Tar yang kini memasuki halaman istananya. Jika begitu mudah terbujuk ketika ia menyebutkan nama Kanna, seharusnya ia menyelipkan nama itu disetiap kalimatnya.

Zeon menatap ke atas langit. Ia tersenyum sambil memejamkan matanya.

"Ayah! Katakanlah padaku, apakah ini sebuah kebetulan?"

Tak ada jawaban, hanya desau angin yang membuat Zeon semakin tersenyum.

"Benar. Tak ada sebuah kebetulan, kau yang mengajariku seperti itu," ucapnya sambil membuka mata.

Hidup adalah serangkaian kebetulan. Dan sebuah kebetulan adalah takdir yang menyamar.

***

"Kau siap?" tanya Merine. Ia menoleh ke arah Red yang kini menggenggam tombak di tangan kanannya. Memastikan saudaranya telah siap, Merine ganti menoleh ke sebelah kirinya di mana Kanna begitu serius menatap ke depan.

"Ku dengar mereka kelompok dari negara asing. Valia namanya!" bisik Merine.

"Kudengar lagi..."

"Berhentilah mengoceh!" sergah Red ketika Merine akan kembali berceloteh. Merine mendengus, ia kemudian memegang belati kembarnya dengan erat. Mendekati Red ia berbisik, "setelah ini aku ingin bertarung denganmu, belati kembarku ini dibuat khusus oleh Kanna. Aku yakin ia lebih hebat dari tombakmu."

Red menatap Merine dengan tak percaya. Ia kemudian menatap wanita di sebelah kiri Merine yang masih mengamati perkemahan tengah hutan dengan serius.
"Mengapa dia membuatkanmu senjata sedangkan aku tidak?" dengus Red. Merine terkikik, ia menyuguhkan senyum angkuh.

"Karena aku adalah sahabat sejatinya." Merine berbisik dengan nada angkuh. Red akan kembali membantah ketika suara lembut Kanna menginterupsi pertengkaran mereka.

"Mereka bergerak!" ucapnya lirih. Kanna memberikan tanda agar mereka berpencar. Merine dan Red mengangguk lalu mengikuti instruksi Kanna.

Seminggu yang lalu ketika mereka memasuki hutan ini untuk berburu, mereka menemukan para penyelundup yang berkemah di tempat yang tak terjangkau dari cakupan para penduduk desa. Awalnya mereka ingin mengabaikannya, sampai kemudian desa mereka mulai kehilangan beberapa ternak dan bahan pokok makanan yang berada di gudang utama desa mereka.

Bertiga mereka menelusurinya, sampai akhirnya jejak para perampok itu mengarah ke perkemahan para penyusup tersebut.

"Tenda bahan makanan mereka ada di ujung barat, Red kau bisa mengatasinya?" tanya Kanna. Red mengangguk dengan mantap.

"Merine, disana ada tenda besar. Aku yakin itu adalah tenda ketua mereka, aku ingin kau membakarnya, kau bisa?" tanya Kanna. Merine mengacungkan kedua jempolnya.

"Aku akan menyerang mereka di baris depan. Kulihat mereka sedang minum-minum di bagian depan sana."

"Kau harus hati-hati," sahut Merine. Kanna mengangguk lalu bergegas melompat ke sebuah pohon. Gerakan lincahnya yang sangat ringan membuat Merine berdecak kagum. Ia kemudian menyenggol bahu Red sebagai tanda untuk bergerak.

Kanna menatap orang-orang di bawahnya dengan datar. Para penyusup ini sepertinya bukan orang biasa. Rata-rata dari mereka memiliki atribut dua elemen sihir, yang artinya Kanna tak bisa meremehkannya.

Ada sembilan orang yang berada di bawah Kanna, dua orang berada di pos penjagaan, dan tiga orang berada di belakang menjaga gudang persediaan makanan. Total ada 14 orang yang terlihat, akan tetapi Kanna tidak tahu pasti berapa pasukan lagi yang ada di hutan ini. Gelapnya hutan membuat Kanna hanya bisa menebak-nebak dengan menghitung keberadaan aura mereka yang kelihatannya sedang berjaga-jaga.

Lima orang sisi barat.

lima orang sisi selatan.

Empat orang sisi utara.

Lima orang sisi timur, tunggu! Tiga, dua, satu, tak ada aura orang-orang Valia di sisi Timur tapi ada dua aura lain yang tak bisa Kanna tebak. Mereka sepertinya sangat kuat. Apakah mereka merupakan ketua kelompok penyusup ini? jika benar, Kanna dan kedua saudara kembar harus segera menyelesaikan misi mereka.

Suara burung bercuitan. Itu merupakan tanda dari Red bahwa ia telah menyelesaikan tugasnya. Kanna melihat di sisi gudang makanan sebuah awan besar naik ke atas berisi sekelompok ternak dan beberapa bahan makanan. Kanna mengulas senyum manis. Tak lama setelahnya suara jeritan penyusup berlarian ke arah tenda yang terbakar.

Kanna turun dari pohon ketika sembilan orang yang ia awasi bergerak mengarah ke tenda yang telah di bakar. Akan tetapi, salah satu dari sembilan orang yang berlarian tiba-tiba menengok dan memergoki Kanna yang kini telah memasang kain menutupi setengah wajahnya.

"Penyusup!!!" teriaknya. Teriakan itu membuat delapan orang menengok ke belakang. Kanna mengambil anak panahnya ketika sembilan orang lawannya berkelompok menyerangnya. Ia melompat saat sebuah pukulan penuh api di arahkan padanya. Lompatan Kanna memutar kemudian menjejakan kakinya di atas kepala salah satu penyusup. Dengan gerakan lincah Kanna memasang anak panahnya kemudian menembak tepat pada setiap anggota tubuh musuhnya.

'Satu'

'Dua'

'Tiga'

'Empat'

'Lima'

'Enam'

'Tujuh'

Tujuh kepala tergeletak dengan masing-masing anak panah yang membuat kulit mereka menggelap lalu meledak seketika.

Kanna melompat dan menghunuskan pedangnya mengejar dua penyusup yang bergerak kabur. Ia melihat bahwa Merine dan Red mengirimkan tanda dengan ledakan sinar kemerahan ke atas langit. Tanda bahwa rencana mereka aman dan berhasil. Senyum licik Kanna mengembang, masih dengan niatnya ia tetap mengejar dua orang penyusup yang berusaha kabur.

Seperti mengejar buruan Kanna menembaki anak panah pada sisi pohon yang dilalui dua orang buruannya. Dua orang tersebut berkali-kali terjatuh dan tersaruk ranting dan akar pohon.

Kanna melihat mereka berdua kelelahan. Mereka bersembunyi dibalik pohon besar. Telinganya yang sensitive membuat suara napas dua orang buruannya terdengar begitu keras. Kanna mengangkat panahnya, anak panah yang ia tarik tiba-tiba mengeluarkan api.

'SSHHUUUU!'

"DDUUAARRR!'

Ledakan besar mengenai sebuah pohon besar di mana dua buruannya bersembunyi. Dua orang yang diliputi api keluar berlarian mencoba memadamkan api. Akan tetapi api yang membakar tubuhnya tak bisa dipadamkan begitu saja.

Tak ada teriakan kesakitan saat api besar itu dengan cepat menghanguskan mereka berdua menjadi abu hitam di bawah tatapan bola mata ungu yang begitu dingin.

***

Kanna kembali ke tempat perkemahan yang setengahnya habis terbakar. Dahinya mengernyit heran saat melihat mayat-mayat para penyusup yang bertambah. Ia tidak menemukan Merine maupun Red.

Mungkinkah mereka sudah kembali ke desa? Pikiran Kanna menyetujui. Ia yakin mereka berdua kembali ke desa dengan membawa barang rampokan.

Ketika Kanna akan melangkah pergi, sebuah aura dahsyat tiba-tiba datang dari arah belakangnya. Refleks Kanna mengambil anak panahnya kemudian berputar dengan sigap mengarahkan panah pada musuh di belakangnya.

"Siapa kau?" tanya orang itu.

Kanna terbelalak. wajah pria di depannya terselubung dengan cadar berwarna putih. Namun, bola mata emas yang menatapnya tajam telah menjawab tentang siapa dirinya. Bahkan jika sosok itu tertutup rapat hanya dengan menatap sorot dingin berwarna emas itu saja Kanna bisa menebaknya dengan mudah.

Zarkan Tar. Pria itu ada di sini?

Tangan Kanna yang memegang panah bergetar. Matanya menatap bola mata emas itu secara intens.

Sudah berapa lama mereka tak bertemu? Apakah Sang Mahadiraja merindukannya? Apakah Zarkan Tar tahu dirinya menghilang? Sungguh Kanna sangat rindu dengan pria di depannya ini.

Apa? Apa yang harus ia lakukan?

"Kau yang menghancurkan perkemahan ini?" tanya zarkan Tar. Matanya tak lepas dari mata ungu di depannya. Sorot mata yang sangat familiar tapi tak ia kenali.

Kanna tak menjawab. Zeon di samping Zarkan Tar pun mengernyit memandang Kanna. Ada aura familiar dari sosok berbaju hitam di depannya ini.

Suara cuitan burung terdengar di telinga Kanna. Seketika sebuah asap yang datang entah dari mana menghantam jarak antara ia dan Zarkan Tar. Kanna tahu itu adalah ulah Red. Ia secepatnya berbalik memanfaatkan sedetik kelengahan Sang Mahadiraja.

Kanna melompat lalu terbang diantara pepohonan. Ia harus bermain dengan waktu. Kekuatan Zarkan tar bukanlah tandingannya. Meski ia memiliki lima elemen sihir, Kanna tidaklah semahir Sang Mahadiraja. Jika ia berlama-lama berhadapan dengannya ada kemungkinan Sang Mahadiraja pasti akan mengetahui siapa dirinya.

Sungguh saat ini ia tak ingin ditemukan. Takdir kelam diantara mereka membuatnya tak ingin berada di dekatnya. Pada akhirnya jika jodohmu akan mati ditanganmu, bagaiamana kau akan menerima hal itu semua? Dan ya, Kanna tidak akan pernah mau menerima takdir itu.

Ia harus pergi. Pergi sejauh mungkin. Sampai takdir akan bosan dengan permainannya.

Kanna mendekati tebing pembatas hutan dengan jurang yang menghubungkannya ke area hutan lainnya, dibawah jurang terdapat aliran sungai deras. Sedikit lagi, ia hanya harus melompat melalui jurang itu dan ia akan bisa dengan mudah melarikan diri.

'HUUUPPTT'

Kanna bersiap melompat saat sebuah tangan mencengkeram bahu kanannya. Cengekaraman itu kuat menyakiti bahu Kanna. Refleks Kanna berputar dan menyerang kembali sebagai bentuk pertahanan diri. Pukulan Kanna mengenai lengan si pencengkeramnya. Namun ia kemudian terdiam saat menatap bola mata emas itu.

Ia berhasil mengejar Kanna kemari? Kanna terbelalak, dengan sekuat tenaga ia menjauhkan tangan yang mencengkeramnya. Lalu liukan tubuhnya berhasil lepas dari kukuhan tangan Sang Mahadiraja.

Akan tetapi...

'SSSRRREEETTT!'

Pakaian bagian bahu kanan Kanna terkoyak saat Sang Mahadiraja tetap bertahan mengejarnya hingga kembali menarik bahunya. Kanna menengok ke belakang melihat Zarkan Tar memandangi koyakan pakaian yang berada di tangan kiri. Melihat Sang Mahadiraja lengah, ia kemudian segera memanfaatkannya.

Kanna melompat dengan ringan menyeberangi jurang. Cahaya Atspere menerangi malam hari memperlihatkan jelas lekuk indah seorang wanita.

Zarkan Tar terpaku saat tanda di bahu belakang wanita yang ia kejar terbuka dan memperlihatkan tanda teratai berwarna biru yang bercahaya jelas tertimpa cahaya atspere.

"Teratai biru?" Zarkan Tar bergumam.

Gemerisik suara di belakangnya membuat Zarkan Tar menoleh. Ia mendapati Zeon tengah membawa seseorang yang tak sadarkan diri.

"Ia berhasil kabur?" tanyanya menatap sisi hutan yang terbentang jurang. Zarkan Tar mengangguk lalu memasukan bagian pakaian yang ia robek sebelumnya ke dalam balik jubahnya.

"Tak apa, aku telah menangkap komplotannya." Zeon terkekeh memandang Red yang sudah tak sadarkan diri.

***

Di sebuah ruangan gelap yang tak bercahaya sama sekali. Begitu dingin dan dalam dari jangkauan cahaya hangat. Di dalamnya tak terisi satupun barang-barang. Namun, di tengah ruangan terdapat sebuah penyangga perunggu. Di atasnya, sebuah bola cahaya berwarna emas bersinar begitu indah.

Sosok bergaun putih masuk dengan tenang. Senyumnya cantik memukau menatap cahaya emas yang bersinar di depannya.

Tak ada kata apapun, ia hanya menatap lama dengan pendangan penuh pemujaan.

"Agra Tar, aku merindukanmu," ucapnya penuh kelembutan. Sorot matanya seakan mengatakan segala hal. Namun kemudian, sorot lembut itu tiba-tiba mendingin lalu senyum indahnya berubah menjadi senyum yang penuh kelicikan.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro