Part 11. Domino

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Anpa menatap Putri Yeva dengan tajam. Tongkatnya diketukkan pada lantai tanda kemarahannya yang memuncak. Namun, seakan memandang remeh Anpa tak ada raut takut pada wajah Sang Putri.

"Sudah kukatakan, turuti rencanaku. Mengapa kau menyeret Kanna ke hutan Luvatar? Tak tahu kah kau hutan apa itu?"

"Kau! Jangan pernah menudingkan jarimu padaku! Kau pikir aku seperti ibuku yang akan bergantung padamu? Aku bisa mengerjakan semuanya sendiri."

"Kau benar-benar bodoh, Putri!"

Putri Yeva mengeratkan cengkeramannya pada pedangnya. Ia sangat ingin sekali membunuh penyihir jelek di depannya ini. Namun, ia masih ingat apa yang dikatakan Sang Ratu. Kekuatan Anpa sangat kuat, ia maupun sang ibu bukanlah tandingannya. Karena itu, ia hanya bisa menyalurkan kebenciannya lewat tatapan mata.

"Aku menunggu kedatanganmu beberapa hari ini, tapi kau tak pernah muncul. Sedangkan hari yang tepat adalah malam ini ketika Sang Mahadiraja tidak ada di kediamannya. Lagipula, terbunuhnya satu nyawa apa yang akan merusak rencanamu? Ada tidak adanya dia, aku tetap akan menjadi permaisuri."

Anpa memelotoi Sang Putri yang mengangkat dagunya dengan congkak.

"Ingatlah kau kesini dengan dua tujuan besar, Putri Yeva!"

"Dan salah satu tujuanmu kini sudah tak bisa kau laksanakan lagi."

Anpa mendesis dengan senyum keji melintas di bibirnya. Sorot mata tua itu membuat Yeva gemetar.

"Apa maksudmu?"

"Kau seharusnya belajar kesabaran dari ibundamu. Bagaimana cara bermain dengan musuh, tapi karena kebodohanmu itu, kau menjauhkan darah obat yang kau inginkan." Anpa terkekeh. Kekehannya berubah menjadi tawa menjijikan yang akan membuat pendengarnya ingin menutup telinga.

"Katakan dengan jelas, apa maksudmu?"

"Teratai biru. Darah teratai biru adalah darah obat yang kau butuhkan. Namun sekarang kau telah menjauhkan darah obat itu sendiri," Anpa mendengus, "dari awal aku sudah memperingatkanmu, jangan pernah lakukan tindakan apapun diluar rencanaku. Tapi kau...." Anpa memukulkan tongkatnya kembali dengan raut wajah diliputi amarah.

"Aku tidak yakin, sekembalinya Sang Mahdiraja, apakah ia akan meminangmu ataukah membunuhmu?"

"Ap...apa? Apa maksudmu sebenarnya? Siapa teratai biru? Aku...aku mempunyai tanda teratai biru itu. Aku lah teratai biru. Ibuku telah memastikan kelahiranku pada garis bintang Halianus, kau jangan mengada-ada!" mata Sang Putri memerah karena menahan kebencian pada wanita tua di depannya.

"Kau? Teratai biru?" Anpa tertawa.

Tawa Anpa bergaung dalam ruang kamar tersebut. Masih terkekeh, ia mengangkat jarinya menunjuk wajah putri Yeva.
"Barangkali sihirku waktu itu juga telah merusak sebelah otakmu, wahai putri!" Anpa terkekeh kembali.

"Malam itu, malam dimana bintang Halianus bersinar paling terang di atas langit. Malam yang ditakdirkan dalam ramalan, akan datangnya seorang putri teratai biru yang lahir dengan membawa takdir besar untuk mengubah dunia ini. Seorang teratai biru yang dikhususkan untuk Maharaja Zarkan Tar. Gadis yang membawa sebongkah takdir kematian dan sebongkah kehidupan."

"Teratai biru membawa takdir kutukan kematian pada ibunya. Itu telah tercatat dalam ramalan. Apakah ibumu mati, wahai Putri?"

Hening. Putri Yeva menyoroti Anpa dengan rasa tak percaya sekaligus benci.

"Tidak! Aku tidak percaya padamu! Aku mempunyai tanda teratai pada pundakku." Tangan sang putri meraih gaun yang menutupi pundak kanannya. Dengan keras suara robekan gaun terdengar, nampak sebuah tanda bunga teratai yang tergambar indah pada bahu kanannya.

"Lihat! Lihat! Ini adalah tanda itu."

"Ck,ck,ck,ck... kau benar-benar telah dipermainkan ibumu. Ketahuilah, tanda yang kau miliki akulah yang membuatnya, dengan menukar kaki dan wajah cantikmu, aku memberikan tanda itu pada bahumu. Aku masih ingat, betapa senangnya ibumu waktu itu," ucap Anpa dengan senyum menjijikan terukir menampakan gigi geliginya yang hitam.

Kelopak mata Putri Yeva berkaca-kaca, "tidak! tidak! Ibuku tidak mungkin melakukannya...." lirih Sang Putri dengan bibir bergetar. Ia tidak ingin mempercayai ucapan Anpa. Ibunya tak mungkin melakukan semua ini padanya.

"Kelahiranmu yang dipaksakan membuat tubuhmu lemah bahkan hampir mati. Tak ada tanda teratai di tubuhmu membuat ibumu panik. Ia mencariku untuk meminta pertolongan, akan tetapi, sebuah jasa tentu membutuhkan sebuah harga. Ibumu meminta hidupmu dan tanda teratai biru, sebagai gantinya aku menginginkan kecantikan serta kaki indahmu. Karena itu, kusisakan satu mata untukmu, dan kuganti kakimu dengan kaki kuda. Hahahahahaa....apa kau tahu? ibumu sangat berterimakasih kepadaku."

Anpa tertawa terbahak-bahak saat melihat pucat pias rupa sang Putri. Ia semakin tertawa saat Sang Putri tak bisa menahan keseimbangannya hingga terjatuh dengan seluruh tubuh bergetar.

"Tidak! Tidak! Tidak mungkin! TIDAK!!!" jeritan sang putri diiringi tawa jahat Anpa.

***

Kanna melangkahkan kaki terus menerus dan merasa tubuhnya terhuyung karena lelahnya berjalan. Di mana dia? Kanna seakan tak melihat ada arah yang tepat. Ia berseru kesakitan melihat darah yang mengucur dari kakinya yang tak beralas. Luka di kakinya terasa semakin sakit. Dan sekarang ia sendiri seperti tengah berada dalam dimensi lain.

Air matanya telah mengering. Rasa sakit yang dirasakan seluruh tubuh sangat menguras tenaganya. Kanna meraba dada atas jantung memeriksa bekas panah Putri Yeva yang seakan masih membekas dengan rasa sakit yang luar biasa.

Tak kuat lagi berjalan. Kanna ambruk dengan mata yang terpejam seakan memilih kedamaian.

Harum dupa bunga Kamaya masuk ke penciuman Kanna. Ia ingat, dupa ini sering dibakar oleh ibunya ketika Kanna sedang sakit. Ibunya bilang aroma dupa Kamaya akan membuat kesehatannya meningkat.

"Ibu..." ucapnya dengan lirih. Matanya terpejam dengan damai. Rasa sakit tubuhnya berkurang karena aroma dupa tersebut. Ibunya benar, dupa kamaya memang bisa menyembuhkan.

Tiga sosok manusia memandang Kanna yang masih terbaring di tempat tidur dengan wajah penasaran. Dua orang pria dan seorang wanita.

"Ia menyebut-nyebut kata...seperti 'ibu'," bisik wanita yang berada ditengah-tengah mereka.

"Merine, diamlah!" sahut pria yang sebaya dengannya. Wajah mereka serupa, dapat dipastikan mereka saudara kembar. Merine mendengus lalu menyikut saudaranya.

"Ayah, apakah dia akan sadar hari ini?" tanya wanita yang bernama Merine.

"Seharusnya seperti itu. Ini sudah empat hari, aura sihirnya tidak mereda sedikitpun. Kita tak bisa mengobatinya sama sekali, setiap menyentuhnya, aura itu akan menyerap kekuatan kita. Kita hanya bisa menggunakan dupa Kamaya untuk membantu memulihkan kesadarannya."

Sang ayah yang berada di samping kanan gadis itu masih memandang Kanna. Ia menemukan Kanna di pinggir pantai dengan keadaan yang tak sadarkan diri. Awalnya ia menyuruh anak buahnya untuk mengangkat Kanna. Namun, anak buahnya tiba-tiba menjerit dan langsung tak sadarkan diri. Ketika ia melihat lebih detail, aura gadis yang ditemukannya ini membawa aura lima elemen sihir. Pada akhirnya ia yang harus membawa Kanna meski seluruh tubuhnya hampir melepuh karena terbakar.

"Sebaiknya kita tunggu diluar," ucap sang ayah kemudian melangkah keluar dari kamar yang disusul anak lelakinya. Sedangkan Merine masih memandangi Kanna. Ia menatap Kanna dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kemudian, matanya menumbuk sinar ungu dari liontin kalung yang dikenakan gadis yang terbaring tak sadarkan diri itu.

Sorot matanya mengartikan arti tertentu, ia kemudian membalikkan diri lalu keluar dari kamar.

***

Rauman masih menatap cermin takdir di ruangannya saat sesosok cahaya keunguan mendekat, melambat, lalu menjelma sebagai wanita cantik dan anggun. Sang Dewa Takdir baik menoleh lalu membungkukkan tubuhnya untuk memberi salam pada Dewi Kehidupan, Calasha.

Calasha tersenyum, bibir merah alami dan kulit seputih susu dengan tanda teratai di tengah kedua alis membuatnya sangat cantik. Kecantikan abadi yang tidak bisa di imbangi apapun.

"Kau masih mencari-cari cara untuk menghindarkan takdir buruk Zarkan Tar, Rauman?" tanyanya, suara lembut dan riang. Seakan tak pernah ditemui dosa-dosa dalam setiap katanya.

Dewi Calasha merupakan dewi utama dalam dunia Gartan. Ia banyak dipuja oleh para manusia, semakin banyaknya pemujaan maka limpahan keabadian dan kekuatan seorang dewa akan semakin tinggi. Tak dapat dipungkiri kecantikan dan kekuatannya pun berasal dari doa dan puja dari para manusia.

"Benar, Dewi! Aku belum menemukan cara bagaimana menghentikan takdir itu."

"Kau tak pernah bertemu dengan saudaramu?" tanyanya lagi dengan lembut. Rauman tersenyum sedih kemudian menggeleng.

"Mengapa? Kau bisa meminta bantuannya untuk menyingkirkan takdir kematian itu, Rauman."

"Aku tak bisa, Dewi! Takdir tak bisa dipermainkan, bagaimana cara kita menghadapinya itu lah yang harus kita cari penyelesaiannya."

"Lalu kau akan membiarkan Zarkan Tar menemui takdir kematiannya? Apa kau yakin?" Calasha mengernyitkan dahinya.

"Aku hanya bisa membiarkan takdir itu, Dewi! Biarkan alam bekerja dengan caranya, karena dengan hanya itu lah kita akan tahu jawaban dari semuanya."

"Ck, kau mirip seperti saudaraku. Baiklah, aku tak akan mengganggumu berlama-lama. Aku kemari hanya ingin menyampaikan satu hal, aku adalah Sang Dewi Kehidupan, aku bisa membangkitkan Zarkan Tar kembali ketika ia telah menemui takdir kematiannya. Kau bisa meminta tolong padaku kapan saja Rauman, " ucapnya dengan suara ceria seakan kematian dan kehidupan bukanlah perihal yang sulit.

Selesai mengatakan kata-kata itu Sang Dewi terselubungi cahaya ungu pekat lalu menghilang tanpa jejak. Rauman menatap kepergian Calasha dengan ekspresi datar. Sudut bibirnya terangkat sinis, ia kemudian kembali menatap cermin takdir yang tengah menggambarkan takdir-takdir nama-nama seseorang atau dewa di dalamnya.

Rauman membelalakan matanya terkejut ketika menatap nama Kanna pada sebuah tempat. Aura merah dan ungu yang bercampur membentuk putaran gelombang, kehidupan dan kematian.

"Dia telah bangkit," desahnya tanpa sadar.

***

Suara jeritan bergaung di istana Zarkan Tar. Mencekam dan penuh kebengisan.

Sejumlah dua ratus prajurit pulau suci mati dengan bagian-bagian tubuh terpisah dengan keadaan mengenaskan. Aroma darah dan kematian tersulut tanpa ingin berhenti. Zarkan Tar, dengan pedang merah berlumuran darah menatap tajam lautan darah di depannya.

Di seberang ruangan. Putri Yeva menatap para prajuritnya yang telah tak bernyawa dengan anggota tubuh becereran. Namun, tak ada jeritan ketakutan. Ia hanya menatap dengan dingin. Sorot matanya yang biasa penuh manja dan tamak berganti dengan sorot mata lain. Dingin dan penuh perhitungan.

Zarkan Tar menatap wanita bergaun putih dengan rambut tergerai lepas tanpa jepit atau sanggul. Aura kemarahannya tidak mereda sedikitpun, bahkan semakin tinggi. Menatap wajah Putri Yeva, tangan dan pedangnya bergetar seakan menuntut darah.

"Aku tahu, kau marah padaku Yang Mulia." Sang putri perlahan berjalan. Darah berkecipak ketika ia melangkah, gaun bawahnya menyerap warna merah darah para prajurit yang mengalir dari potongan-potongan tubuh.

"Aku bersedia mati di tanganmu, sangat bersedia Yang Mulia!" ucapnya seakan berpuisi.

"Hari ini adalah hari yang sangat kunanti-nantikan, bertemu denganmu! Meski harus mengorbankan 200 ratus nyawa prajuritku, tak mengapa, pada akhirnya aku bertemu denganmu." Suaranya bergetar. Kelopak matanya berkaca-kaca, bukan karena kehilangan 200 prajuritnya, namun bertemu Sang Mahadiraja membuat haru di hatinya timbul semakin tinggi. Bahkan jika ia terbunuh, tak apa, asalkan impiannya tercapai.

Zarkan Tar tak membalas kata-kata Sang Putri, sorot matanya begitu dingin dan penuh aura pembunuh. Namun, seakan tak takut, atau memang sudah berserah diri pada nasibnya Sang Putri tetap melangkah mendekatinya.

"Aku bahagia bertemu denganmu wahai Yang Mulia." Dengan lirih Putri Yeva berkata ketika ia sudah berada di hadapannya. Kedua tangannya terangkat seakan ingin meraup wajah Zarkan Tar, tetapi tangan itu tiba-tiba bergetar. Putri Yeva merasa seperti ada api yang membakar kedua tangannya dari dalam, tangan tersebut berasap, melepuh dan terlihat panas membara.

"AAARGGGHHH!" sang Putri menjerit, ia mundur kemudian beringsut ke tembok menahan tubuhnya agar tak terjatuh dalam genangan darah prajurit-prajuritnya. Rasa sakit dan panas membuatnya menggigit bibirnya. Air mata kini telah mengalir berjatuhan.

"Aku sangat ingin membunuhmu! Akan tetapi, pedangku tak pantas dihunuskan untuk mengoyak tubuh dan jiwamu. Aku hanya akan memberikan hukuman pada kedua tanganmu yang telah mengangkat panah pada permaisuriku, merasakan api seumur hidupmu!"

"Jika bukan karena rasa hormatku pada ayahmu, kau dan seluruh penduduk Pulau Suci akan kubuat penuh bencana yang tak akan pernah kalian bayangkan," ucapan itu sangat dingin. Penuh janji yang pasti akan ditepati.

Kini rasa takut menelusup ke dalam hati Sang Putri. Rasa takut diiringi dengan rasa benci yang tumbuh perlahan pada pria yang membakar kedua tangannya. Harga dirinya yang tinggi mengikis rasa cintanya perlahan dan diganti dengan kebencian.

Zarkan Tar kemudian membalikkan tubuhnya, kakinya melangkah melewati genangan darah. Ajaib, genangan darah di bawahnya seakan membuka jalan untuk Sang Mahadiraja, jejak yang ia lewati tak tersentuh sedikitpun darah dari para korban. Bahkan tak ada sedikitpun darah yang memercik ke tubuhnya meski ia telah membunuh 200 manusia.

Sepeninggal Zarkan Tar, Anpa muncul begitu saja seolah-olah datang dari udara tipis. Ia terkekeh memandang kemalangan yang menimpa Putri Yeva. Sang putri hanya terdiam ketika mendengar tawa menjijikan Anpa.

"Masihkah kau tak ingin menerima uluran tanganku, Wahai Putri Pulau Suci?" tanya Anpa dengan suara seraknya.

Rasa panas di tangan Putri Yeva seakan semakin berkobar. Ia ingin menjerit tapi ia berusaha menahan. Ia tak tahu mengapa pikirannya seakan kacau, rasa sakit, cemburu, benci, dendam kini seakan membayangi hatinya. Ia ingin menjernihkan pikirannya tetapi semakin ia mencoba kabut hitam seakan mulai menutupi akal sehat.

Rasa sakit seakan menjalar ke seluruh tubuh. Panas membakar tulang dan darahnya. Ia ingin berteriak saat merasa darahnya seakan mendidih bergolak. Namun suaranyapun seakan menghilang.

"Sambut uluran tanganku, Putri! Maka kau akan baik-baik saja. Aku berjanji akan hal itu." Anpa kembali terkekeh saat melihat seluruh tubuh Sang Putri seakan terbakar dari dalam akibat kekuatannya yang diam-diam ia serang masuk dari lubang panca indra sang putri.

Sang Putri tak bisa menahan lagi rasa panasnya. Ia segera menganggukan kepala kuat-kuat khawatir Anpa tak melihat anggukannya. Anpa tertawa terbahak-bahak, lalu detik berikutnya dengan tongkat kayu hitam di tangan kanan keluar suar merah kekuningan mengarah ke tubuh Sang Putri.

Ajaib, rasa panas itu menghilang tiba-tiba. Dengan napas yang tak beraturan, Putri Yeva memeriksa kondisi dirinya. Setelah tak ada hal yang aneh ia kemudian memandang Anpa.

"Aku hanya bisa mengobati panas di seluruh tubuhmu, namun, panas yang ada di kedua tanganmu tak bisa kucabut karena ada segel langit yang menguasainya. Mantraku tak bisa menembusnya, tetapi tak mengapa, aku bisa menghilangkannya untuk sementara."

Putri Yeva menatap kedua tangannya yang kembali halus. Seakan rasa terbakar sebelumnya tak pernah terjadi. Ia mengangkat pandangannya menumbuk dua mata jelek Anpa.

"Apa yang harus kulakukan untuk rencanamu?" tanyanya, rasa bencinya pada Zarkan Tar membuatnya mengambil keputusan untuk bekerjasama dengan Anpa. Entah siapapun, jika ia bisa sedikit saja melukai Zarkan Tar, ia akan bekerjasama dengannya.

Anpa terkekeh senang, "aku akan membawamu pergi dari sini," ia kemudian mengeluarkan sebuah liontin berwarna hitam.

"Dalam liontin ini ada jasad seseorang, kau harus menjaganya. Pada saatnya nanti, Zarkan Tar akan mengejarmu untuk merebut liontin ini. Ketika hal itu tiba, tawarlah kesepakatan dengannya, dengan liontin ini kau bahkan bisa memiliki Zarkan Tar untuk menyembahmu."

Putri Yeva menatap liontin batu hitam di depannya. Liontin berbentuk batu bulat halus berwarna hitam pekat. Dalam pupil matanya yang dipenuhi kebencian, sinar hitam liontin tersebut membayang. Seakan meyakini rencana tersebut, bibir sang putri terbuka perlahan lalu tawa mengerikan keluar darinya.

***

Kanna menatap wanita di depannya yang memiliki warna mata biru sebiru langit, rambut ikal sebahu dan senyum manis yang tersungging di bibirnya sejak wanita itu memasuki kamar yang ditempati Kanna. Ia mengecek keadaan tubuhnya. Luka-luka tubuhnya menutup seakan tak ada bekas luka sama sekali, padahal ia yakin telah mengalami banyak luka.

"Kau heran karena luka-luka tubuhmu tak berbekas? Ya, aku pun sangat penasaran mengapa luka-lukamu sembuh dengan sendirinya. Padahal kami tak pernah mengobatimu. Ayahku yang ahli obat-obatanpun tak pernah memberikan obat untukmu, jadi kekuatan apa itu?" tanyanya dengan antusias.

"Merine!" tegur seorang pria yang berdiri di samping Merine. Merine mendengus kemudian menatap Kanna kembali.

"Jangan pedulikan ucapannya, sekarang makanlah dulu makanan yang kami bawa. apakah kau sudah kuat berjalan? Jika iya, Ayah menyuruh kami membawamu keluar dari kamar. Udara di luar bagus untuk kesehatanmu," ucap pria itu dengan senyum yang sama menawannya dengan Merine.

"Sungguh, rayuanmu sangat klise Red! Pantas gadis desa ini tak ada yang mau bersamamu." Merine memelototi saudaranya dengan pandangan aneh.

Kanna tersenyum menyaksikan perdebatan mereka. Ia kemudian menyendok makanan yang berada di depannya. Perdebatan dua orang saudara kembar ini bahkan berlanjut hampir beradu kekuatan. Jika Ayah mereka tak datang, Kanna yakin mereka akan mulai bertarung.

"Cukup! Jika kalian ingin saling membunuh, pergilah ke padang sana. Jangan rusak rumahku!" ucapan pria yang mereka panggil ayah itu ajaib membungkam keduanya.

Perlahan pria paruh baya itu mendekati Kanna, ia mengecek denyut nadi pada tangan kiri Kanna kemudian mengangguk-anggukan kepalanya. Kanna menatap pria paruh baya di depannya dengan pandangan takjub. Mengapa pria ini mirip dengan Paman Ben?

"Ada apa?" tanya pria paruh baya itu.

"Anda mirip dengan seseorang, orang yang selama ini merawatku." Kanna mengamati garis-garis wajah pria di depannya itu. Hanya warna mata saja yang tak sama,pria didepannya memiliki mata berwarna almond sedangkan Paman Ben memiliki warna mata abu-abu, tetapi garis wajah itu persis seperti milik Paman Ben.

"Aku bisa menebak siapa itu?" pria paruh baya itu terkekeh, "namaku Ken, kau bisa panggil Paman Ken. Seingatku tak ada orang yang mirip denganku selain saudara kembarku, Ben. Apakah kau mengenalnya?"

Mata Kanna berkaca-kaca ketika melihat senyum Paman Ken yang sangat persis dengan Paman Bennya. Ia menganggukan kepala sebagai jawaban, "ibuku dan paman Ben bersahabat dekat. Paman Ben pun ikut merawatku sedari bayi. Mereka berdua bagai ibu dan ayahku sendiri. Aku sangat merindukan mereka. Tapi ..." Kanna terisak. Air matanya tumpah saat mengingat peristiwa terbunuhnya dua orang yang ia sayangi.

"Jangan teruskan! Aku mengetahuinya, saudara kembar mempunyai jiwa yang saling terhubung. Aku sudah tahu, Nak!" suara Ken sedikit bergetar, ia lalu memandang Kanna kembali.

"Ibumu bernama Liz?" tanya Ken, Kanna menganggukan kepalanya. Ken kemudian menghela napas.

Setelah berbicara beberapa kalimat lagi ia kemudian mengajak kedua anaknya keluar. Di luar rumah yang ditempati Kanna, Ken menatap ke langit. Senyum di bibir tuanya bergetar seakan rasa sakit saudaranya ketika menjemput ajal masih tetap ia rasakan.

Kembali ia memandangi rumahnya, raut wajahnya seakan menyimpan banyak hal. Terutama ketika ia menatap jendela kamar yang memperlihatkan Kanna sedang menyantap makanannya.
"Arneth, anakmu membawa takdir besar. Aku tahu kaulah yang menggiringku untuk menemukannya, aku tak tahu apakah kami bisa melindunginya atau hanya akan memberikan bencana untuknya." Ken berucap dalam hati. Matanya tetap mengawasi jendela kamar Kanna.

Keesokan harinya Kanna terbangun ketika siang telah menjelang. Obat-obatan yang diberikan Paman Ken membuatnya tertidur terus menerus. Namun, pagi ini ia merasakan tubuhnya mulai ringan untuk ia bawa beraktifitas.

Kanna segera duduk kemudian menyingkap selimut lalu berjalan untuk membuka jendela kamar. Ia menatap di kejauhan. Bukit Istana putih terlihat dari jendela kamarnya ini. apakah Sang Mahadiraja telah kembali? Kanna merasakan keraguan di hatinya, apakah ia harus kembali atau tetap di sini?

Tak ingin memikirkan lebih jauh, Kanna kemudian keluar dari kamarnya. Ia mendengar percakapan dari ruang dapur yang merangkap meja makan. Sudah ia tebak, bahwa paman Ken dan dua anaknya pasti sedang membicarakan suatu hal. Bibir Kanna terulas senyum manis, ia kembali langkahkan kakinya menuju tempat mereka. Tetapi, ia kemudian berhenti melangkah saat namanya disebut.

"Kanna memiliki takdir Teratai Biru, aku sudah memastikan itu Ayah. Saat aku membantu mengganti pakaiannya, tanda itu ada. Lalu ketika tak sengaja menyentuhnya, kilasan adegan demi adegan masuk ke dalam pikrianku. Membuatku menggigil dan ketakutan," Merine berucap sambil meremas jari jemarinya.

Ia mempunyai kekuatan melintasi dimensi masa depan yang pasti akan terjadi. Sudah lama kekuatannya ini tak pernah ia gunakan, karena ia tak pernah ingin tahu bagaimana nasib orang-orang yang ia lihat di masa depannya. Namun, ketika ia menyentuh tanda teratai berwarna biru pada tubuh Kanna, kekuatan itu terlepas tanpa ia minta.

"Kapan itu akan terjadi?" tanya Red. Jarang sekali mereka terlibat obrolan dengan serius.

"Aku tak tahu, kilasan masa depan itu masih samar. Namun aku melihat perang, kemarahan, kebencian, bayangan kekuatan besar yang meledak, lalu ..." Merine beringsut, ia mengambil gelas minumannya meneguknya segera untuk mengurangi rasa gemetar yang melingkupi hati.

"Apa itu?" tanya ayahnya. Merine menahan napasnya, ia menatap satu persatu wajah ayah dan saudaranya.

"Aku melihat ..." Merine kembali menghela napasnya yang tercekat. Jemarinya gemetar membuat gelas yang ia pegangpun ikut bergetar.

"Kanna ... dia membunuh Sang Mahadiraja,"

"Takdir yang tak bisa ia hapus, Sang Ratu harus membunuh Sang Raja,"

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro