Part 10. Permaisuri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Saat kebahagiaan datang pada seseorang, ada kebahagiaan lain yang telah direnggut. Impian yang diagung-agungkan harus pupus tanpa awal untuk memulai. Yeva merasakan hal itu.

Ia sudah tiga hari di istana Samhian. Akan tetapi, calon suami yang digadang-gadangkan tak pernah menemuinya. Beberapa kali ia mencoba masuk ke Istana kediaman Sang Mahadiraja. Namun, berkali-kali juga ia ditolak oleh para penjaganya.

Mengapa? Bukankan ibunya berkata ia akan bahagia di sini? Mengapa tak ada yang menyambutnya sama sekali.

Lalu penyihir Anpa itu, di mana dia? Ia sudah menunggu-nunggu kedatangannya tapi penyihir jelek itu tak pernah muncul di hadapannya.

Ini seperti lelucon. Ia tahu dayang-dayang di istana Samhian ini pasti menganggapnya sebuah lelucon konyol. Seorang putri Pulau Suci, tak dihiraukan oleh penguasa Samhian.

Dengan geram Putri Yeva mencengkeram keliman gaunnya.

"Mungkin dia akan jadi selir Yang Mulia, kau tahu kan siapa yang akan menjadi permaisuri? Dia putri Yeva, jika Yang Mulia menikahi Sang Putri itu artinya gadis itu hanya akan menjadi selirnya."

Suara obrolan dayang-dayang tertangkap di telinga Putri Yeva. Sang putri mendekatkan diri di tembok yang memisahkan dirinya dengan para dayang itu. Ia melihat ada dua dayang yang sedang memetik bunga-bunga mensori di taman kerajaan.

"Gadis itu mungkin akan menjadi selir, akan tetapi kasih sayang Sang Mahadiraja pasti akan selalu padanya. Kau tak mendengar Yang Mulia bahkan tak sekalipun menemui Putri Yeva. Sedangkan gadis itu dari pagi sampai malam hari selalu bersama Yang Mulia."

"Kamu benar aku pun mendengar cerita, katanya ketika Yang Mulia pergi ke pengadilan kerajaan, ia tidak diperbolehkan keluar kamar sama sekali. Kau pikir saja selama ini, mana ada gadis yang dijinkan masuk dan tidur di kamar Yang Mulia selain gadis itu."

"Sungguh gadis yang beruntung, kudengar dari dayang yang pernah bertemu gadis itu, dia sangat cantik tetapi tak mempunyai kekuatan sihir sama sekali. Entah mengapa Yang Mulia memilihnya begitu saja. Padahal kita semua masuk sebagai dayang di sini harus melalui tes kekuatan sihir yang ketat."

"Benar. Hanya karena kecantikannya di atas rata-rata dia membutakan hati Yang Mulia, ini tak adil sekali."

"Eh sudahlah, jangan berlarut membicarakannya. Kalau kita ketahuan, kau tahu sendiri akibatnya. Ayo cepat kita pergi, kurasa bunga ini sudah cukup. Lagipula, aku ingin mengintip latihan harian antara Yang Mulia dan Tuan Zeon, katanya gadis itu juga ada di sana. Ayo...kita cepat pergi juga!"

Dua dayang tersebut pergi dari taman dengan terburu-buru. Seperginya dua dayang tersebut, tubuh Sang Putri bergetar hebat. Matanya memerah menahan air mata yang menggenangi kelopak mata.

Jadi, memang dia tidak diharapkan di sini?

Kedua jemari tangannya terkepal seiring naiknya kemarahan yang bergolak dalam hati. Ia menatap dengan tajam dan penuh kebencian memandang puncak atap Istana kediaman Zarkan Tar.

***
"Beberapa hari ke depan jangan pergi kemana-mana," Zarkan Tar mengenakan jubahnya dengan dibantu Kanna.

"Baiklah..." sahut Kanna sambil menepuk-nepuk jubah tersebut.

"Kanna!" Zarkan berbalik lalu memandang Kanna dengan serius.

"Jika tak ada perintahku jangan pernah keluar dari kediamanku. Kau mengerti?"

"Aku tahu Yang Mulia,"

"Aku sudah menugaskan beberapa penjaga yang akan menjagamu di sini. Kau harus mematuhiku karena aku tak tahu kepergianku kali ini akan memakan waktu berapa lama."

Kanna menganggukan kepalanya patuh.
"Berhati-hatilah di perjalanan nanti, cepatlah kembali. Aku menunggumu di sini," ucap Kanna lirih.

Zarkan Tar tersenyum lalu memeluk Kanna dengan erat. Tatapannya sayu sekejap memejamkan mata.
"Besok malam hari kelahiranmu?" tanya pria itu. Kanna menganggukan kepalanya.

"Aku berjanji akan menebusnya ketika aku kembali, tunggu aku!"

"Tentu, Yang Mulia. Aku akan menunggumu, sekarang cepatlah keluar dari ruangan ini. jika kau memelukku terus aku yakin detik berikutnya Tuan Zeon akan menerobos masuk."

"Dia tak akan berani!"

"Kau yang lebih mengenalnya, Yang Mulia!" Kanna melepaskan pelukan pria itu, setengah mendorongnya ia kemudian memberikan kecupan di bibir.

"Pergilah!" ucap Kanna. Zarkan Tar akan kembali meraihnya saat pintu kamar dibuka oleh Zeon.

"Yang Mulia, interupsi..." kata pria itu sambil melambaikan tangannya. Zeon mengerling jahil dengan smirk khasnya.

"Baiklah, aku akan pergi! Ingat kata-kataku, jangan keluar dari istana ini!" usapan tangan Zarkan Tar pada Kanna membuat hati gadis itu menghangat. Ia melambaikan tangannya saat pria itu beranjak pergi. Lambaian dengan senyum penuh penantian.

Penantian yang akan menjadi jalan takdir keduanya.

***

Zarkan Tar dan Zeon memandang lautan luas yang disebut laut hitam oleh para penduduk Samhian. Salah satu lautan yang merupakan dominasi Sang Mahadiraja. Lautan tersebut terletak disebelah barat negeri Samhian, letaknya yang terselubungi hutan membuat keberadaan Laut tersebut tersembunyi di kegelapan.

"Jika kabar ini benar, itu artinya kita harus mempersiapkan rencana lain untuk melacak dimana tubuh Yaves berada."

Zeon membuka peta yang ia bawa, beberapa garis peta ditandai dengan tinta berwarna merah.
"Mayuta telah dibagi, apakah salah satu kerajaan yang menduduki Mayuta sekarang telah menyembunyikan tubuh itu?"

"Seperti kau tak tahu bagaimana ketamakan mereka, apa kau tak merasakan pergerakan Vaila, pasukan mereka sekarang menjadi dua kali lipat. Rencana menyerang Samhian masih menjadi rencana utama mereka selama ratusan tahun, meski sekarang gencatan senjata telah diresmikan tak ayal mereka sering mencoba berbagai taktik untuk memasuki Samhian." Zarkan Tar memandang langit. Sorot matanya sendu.

"Aku tidak bisa mati untuk saat ini. Sebelum menemukan jasad ibuku, aku tak boleh terbunuh," ucapnya menatap kelangit dengan pancaran penuh tekad.

"Aku tahu." Zeon ikut memandang ke langit, "Aku akan menemui ayahku, ia pasti mempunyai cara agar takdir kematianmu dapat di ubah."

"Jika kau kembali ke sisi ayahmu, aku yakin kau tak akan pernah menginjakkan kakimu kembali di sini." Dengan sarkastik Zarkan Tar mengerlingkan matanya.

"Itu jika ia bisa menahanku, Dewa Rauman sudah tua ia pasti akan selalu kalah melawanku." Zeon terkekeh seakan mengingat hal-hal lucu tentang ayahnya. Rauman, Dewa takdir baik.

"Tapi kau harus kembali, Zeon. Aku tak bisa membiarkanmu selalu di sisiku. Ketika kematianku datang, kau tak bisa mengabdi pada Samhian lagi. Seperti Mayuta, negara ini pasti akan terpecah."

"Bagaimana dengan Kanna?" tanya Zeon serius. Pria itu mendesah, lalu menatap ke atas langit.

"Kadang aku ingin bertemu dengan Sang Alam Semesta untuk bertanya padanya, bagaimana mungkin jodoh kita adalah malaikat kematian kita sendiri?" desah Zeon.

Lama Zarkan Tar tidak menjawab. Ia hanya memandang luasnya lautan di depannya. Kemudian pria itu menghela napas dengan hembusan perlahan.

"Saat takdirku datang, takdirnya akan berubah. Ingatannya tentangku mungkin akan terhapus. Rauman pernah berkata, jika takdir kematianku datang maka jalan takdir pembunuhku pun akan berubah. Aku tak tahu apa itu, tapi..."

Zarkan Tar menatap Zeon dengan serius, "ketika saat itu datang. Ada satu permintaanku padamu."

***

Sosok berkabut putih perlahan menyerupai seorang manusia. Ia memasuki sebuah istana hitam yang berbau wangi dupa bunga Kalama. Dupa yang selalu dikaitkan dengan bau kematian.

Dalam singgasana istana itu terdapat sosok Dewa Kematian, Atheras. Ia memandang dengan malas ketika Sautesh berjalan ke arahnya. Aula yang lengang membuat sosok dewa takdir buruk itu begitu dingin dan menjanjikan kejahatan.

"Atheras, lama tak berjumpa." Sautesh mendaki anak tangga yang terbuat dari tulang-tulang tengkorak manusia menuju singgasana Atheras.

"Ada apa kau kemari? Dewa takdir sepertimu menemui dewa rendahan sepertiku, kau berniat membuatku menyembahmu?"

"Aku tidak segila saudaraku, Atheras. Aku kemari untuk melakukan tawar menawar kesepakatan denganmu."

Atheras menatap Sautesh yang kini telah tiba di hadapannya.
"Kesepakatan apa itu?" sahutnya setelah terdiam memandangi wajah setengah buruk rupa itu. Mencoba menelaah isi hati dewa Sautesh. Namun, Atheras tak menemukan apa yang ia cari.

"Apa yang kau cari, aku telah menemukannya, Atheras!"

"Apa maksudmu?"

"Kau mencari kekuatan Agra Tar yang telah disembunyikan saudaraku beratus tahun lamanya. Apakah kau masih mencarinya saat ini?"

Atheras menatap Sautesh dengan pandangan terkejut. Tak pernah ada yang tahu rencananya selama ini, bahwa ia mencari kekuatan tak terbatas Agra Tar. Kekuatan tersebut di simpan oleh Rauman, tapi sampai saat ini meski ia mencari ke segala penjuru langit ia tak menemukan jejaknya.

Sautesh mengangkat bibirnya tersenyum miring, "apa kau pikir rencanamu selama ini tak pernah kutahu?" Sautesh terkekeh, ia menatap tajam Atheras dengan penuh sorot kedinginan, "Atheras, kita telah bekerja sama selama ribuan tahun, aku menentukan takdir buruk dan kau akan mencabut nyawa para manusia. Mungkinkan kau menganggapku bodoh dan tak pernah mengetahui maksudmu?"

Atheras menatap Sautesh dengan penuh penilaian. Bisakah ia mempercayai Sautesh?

"Apa yang kau rencanakan, aku akan mendukungmu. Namun, ada dua syarat yang harus kau lakukan untukku." Sorot licik Sautesh membuat Atheras merasa terpojok. Tetapi demi kekuatan besar yang ia impi-impikan ia bergerak mencondongkan tubuhnya.

"Kau! Katakan terlebih dahulu, di mana kekuatan Agra Tar tersimpan?"

Senyum licik Sautesh mengembang, "ini akan berhubungan dengan permintaanku padamu."

"Katakan dengan cepat!" Atheras setengah membentak ketika ia merasa Sautesh mempermainkannya.

"Syarat pertama, aku meminta roh Norva, aku yakin roh suci miliknya akan selalu abadi."

"Itu tidak mungkin, Sang Alam Semesta akan tahu jika aku mengeluarkan roh suci. Aku tak bisa menuruti syaratmu,"

"Maka kau akan kehilangan kekuatan Agra Tar. Kau tak akan pernah menemukan informasinya di manapun kau mencari."

Atheras menggeram menatap Sautesh, "lalu, jika aku menyerahkan roh suci Norva, apa kau akan menjamin Alam Semesta tak akan mengetahui hal ini?"

"Bisa. Kau bisa melakukannya, Atheras. Kau lah pemegang kekuasaan dunia kematian. Alam semesta tak memiliki hak mengganggu duniamu." Lamat-lamat suara Sautesh mengirimkan cahaya samar yang masuk ke kedua telinga Atheras.

Atheras terdiam beberapa lama kemudian menatap Sautesh kembali, "baiklah. Aku akan melakukan yang kau pinta, apa syarat keduamu?"

Sautesh tersenyum lebar dengan mata yang menjanjikan kekejaman.
"Membunuh Zarkan Tar."

***

Kanna menatap perempuan yang berdiri di depannya dengan pandangan curiga. Ia kemudian menoleh pada tiga dayang yang sebelumnya bersamanya kini berubah menjadi tiga gadis yang tak Kanna kenali. Ia kemudian membalikkan tubuhnya menatap perempuan di depannya kembali.

"Kau bingung Kanna?" ucap Putri Yeva terkekeh.

"Kau tahu namaku?" tanya Kanna.

"Pelacur Sang Mahadiraja sangat terkenal di istana, apa kau tak tahu?"

"Omong kosong, jangan sampai kata-katamu terdengar oleh Yang Mulia!" sahut Kanna dengan raut wajah kesal.

"Aku bahkan ingin dia mendengarnya. Aku ingin dia melihatnya. Perbandingan besar antara diriku dan dirimu!" dengan geram Putri yeva mendorong Kanna hingga menabrak dinding.

"Bahkan jika sekarang kau menjadi teman tidurnya, ingatlah Kanna, Aku! Akulah yang akan menjadi permaisurinya, akulah ibu negara ini, akulah yang akan melahirkan anak-anaknya kelak." Putri Yeva berteriak dengan keras.

Dari balik punggung Putri Yeva keluar tumbuhan yang meliuk-liuk bergerak cepat menyambar Kanna. Tak sempat Kanna berteriak ketika seluruh tubuhnya terbungkus rapat tak bercela. Napasnya sesak, tetapi tubuhnya tak bisa merespon dengan baik hingga pandangannya kemudian menggelap.

Hantaman keras membangunkan Kanna. Ia membuka matanya menatap hutan yang berada di sekelilingnya.

Kanna mengamati Putri Yeva yang sedang menatapnya tajam. Detak jantung Kanna mulai berdentum keras ketika tatapan membunuh dilemparkan orang-orang yang berada di balik punggung sang putri.

"Aku salut padamu, masih bisa bangun setelah terkena sihirku. Tumbuhan yang melilit tubuhmu beracun, tapi kau baik-baik saja. Namun, hatiku sedang tak baik saat ini. Selama kau tidak mati, aku akan terus membunuhmu, Kanna!" dengan ekspresi datar Sang Putri berbicara.

"Tapi...untukmu ini sangat spesial, hihihihi"

"Kau suka berburu bukan? Maka...ayo kita bermain, kami akan menjadi pemburu, dan kau adalah buruan kami," Putri Yeva berteriak dengan riang.

Kanna terbelalak ketika para prajurit berjubah putih di belakang Putri Yeva mengangkat panah dan tombak mereka. Seketika detak jantungnya berdetak cepat. Napasnya tersengal karena rasa tak percaya.

Langkah Kanna bergerak mundur. Lalu saat aba-aba terdengar kembali dari Sang Putri, Kanna segera membalikkan tubuhnya untuk berlari dengan sangat cepat. Ia memang telah berlatih kecepatan berlari. Namun dihadapkan pada ratusan anak panah yang mengejarnya Kanna benar-benar kewalahan.

Beberapa kali ia bersembunyi di balik pohon, tetapi pohon yang ia tempati sebagai perlindungan tiba-tiba terbakar.

Suara panah bersahut-sahutan ditengah hening dan gelapnya hutan.

Kanna beberapa kali harus terjatuh untuk menghindari lemparan tombak yang dilemparkan para parjurit Pulau Suci. Tak ada yang bisa ia lakukan untuk menyerang kembali. Karena saat ini ia juga tak memegang senjata.

Ia masih menerjang gelapnya hutan saat sebuah panah besar berhasil menancap betisnya. Kanna terseok dan duduk di balik sebongkah batu. Tubuhnya gemetar dengan napas yang tak beraturan, ia paksakan mencabut anak panah. Darah yang mengucur dari betisnya membuat Kanna tersedak tangis kesakitan. Ia melihat darah yang keluar berwarna hitam, itu artinya panah itu beracun. Putri Yeva tak segan-segan ingin menyingkirkannya.

Suara gemerisik daun-daun semak di belakang Kanna membuat Kanna harus menahan napasnya. Tidak ada pergerakan dari para pemburu justru membuat Kanna semakin was-was.

Bayangan tombak dan orang dari atas kepala Kanna membuat Kanna semakin awas. Ia menghitung dalam hati. Saat langkah prajurit yang membawa tombak mendekatinya, Kanna berdiri kemudian menarik jubah putih tersebut dan melompat menaiki punggungnya. Ia rebut tombak lawannya ketika pria yang menjadi lawannya ini masih dalam kondisi lengah.

Kanna berhasil melompat beberapa langkah dan sesuai yang diajarkan Zarkan Tar ia memutar tubuhnya sebelum melemparkan tombak dengan kecepatan tertentu. Tanpa suara jeritan pria berjubah putih didepannya tersungkur dengan tombak yang bersarang di lehernya.

Napas Kanna tersengal. Rasa lelah membuat pandangannya mengabur. Sepertinya racun yang berasal dari panah di betisnya mulai menyebar. Untuk mengurangi efeknya, Kanna harus berlari. Ia kemudian mengabaikan tubuhnya yang merasa kesakitan. Kanna menambah kecepatannya saat suara teriakan dari para prajurit kembali terdengar.

'SSSHHHUUU!'

'SSSHHHUUU!'

'SSSHHHUUU!'

'SSSHHHUUU!'

'SSSHHHUUU!'

Arak-arakan panah seakan membuat Kanna semakin menjadi hewan buruan utama. Dimanapun ia melangkah seakan panah-panah tersebut mengejarnya. Kakinya mulai mati rasa. Bengkak karena racun membuat sebagian tubuhnya mulai tak berfungsi.

Pandangan Kanna mulai memburam. Berkali-kali ia mengerjapkan kelopak matanya, Kanna tak bisa melihat dengan jelas.

Lalu...

'BUUGGHHHH!'

Tendangan keras membuat Kanna tersungkur di tepi tebing.

Tawa Putri Yeva terdengar jelas di telinganya, "berburu memang sangat mengasyikan. Ketika aku menjadi permaisuri nanti, aku akan selalu menemani suamiku berburu. Ini seperti untuk mengenang kematianmu, hahahahahaha!"

Kanna tersengal ketika racun dalam tubuhnya serasa mencekik tenggorokannya. Sebagian tubuhnya sudah tak bisa merasakan apa-apa lagi, terutama kakinya.

"Pengawal! Berdirikan dia!" perintah Sang Putri.

Dua pengawal di belakangnya langsung menuju Kanna, kemudian tanpa aba-aba mereka menarik Kanna dengan kasar.

"Rentangkan dia di tepi tebing. Air laut sedang pasang sekarang, aku yakin, tubuhnya akan sempurna menjadi makanan ikan-ikan," Sang putri terkekeh sambil mengangkat panahnya. Matanya mengukur mata anak panah agar segaris dengan jantung Kanna.

"Ketika aku menunggu Yang Mulia menemuiku, kau sedang asik berpeluk mesra dengannya. Ketika aku menunggu untuk makan bersamanya, kau begitu asik menggodanya. Jika kau mati hari ini, ini semua adalah kesalahanmu, Kanna!"

"Tidak ada yang boleh menyentuh milikku. Tidak ada yang boleh merebut milikku. Mereka, para dayang-dayang itu, khususnya Kau! KAU! HARUS MATI DITANGANKU!" Putri Yeva berteriak lalu dengan tarikan penuh kemarahan ia melepaskan anak panah.

Kanna terbelalak saat mata anak panah itu melesat cepat. Ia memejamkan matanya pasrah. Bayangan senyum Zarkan Tar membuatnya tak merasakan sakit saat panah Putri Yeva menancap tepat di jantungnya.

Tubuhnya terlepas, melayang, seakan tersapu angin ia tak merasakan beban berat lagi. Suara jeburan di tengah keheningan hutan membuat suasana begitu mistis. Tawa gila Sang Putri meriangkan makhluk-makhluk malam yang menunggu sebuah kematian.

Aroma kematian pekat seakan berpusat pada gelombang air laut di bawah tebing.

Tubuh Kanna melayang tenggelam dalam dinginnya air, matanya terpejam seakan kedamaian meliputinya. Bayangan-bayangan ibunya, Paman Ben, dan Zarkan Tar semakin menipis lalu menghilang.

Sebuah sinar terang keluar perlahan dari liontin yang dikenakan Kanna. Liontin tersebut bergetar seakan tak kuat lagi menahan beban. Cahaya sinar ungu semakin membesar lalu melingkupi seluruh tubuh Kanna. Pakaiannya yang telah compang-camping memperlihatkan bahu kanannya.

Samar perlahan sebuah tanda teratai muncul.

Deburan ombak lautan semakin kencang menerjang. Angin bertiup bergelombang seakan marah pada sang alam. Guntur bersahutan dari langit yang semula tenang.

Di kedalaman laut, mata yang terpejam terbuka perlahan. Sinar mata ungu menjanjikan kekejaman.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro