Part 9. Sebuah Permohonan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Zarkan menatap Kanna di depannya yang berdiri dengan kikuk. Wajah gadis itu bersemu merah dengan riasan sederhana tetapi terlihat sangat anggun. Ditelusurinya gaun yang Kanna kenakan, khas gaun seorang dayang tingkat rendah.

"Mengapa kau mengenakan pakaian dayang rendahan?" sahutnya dengan dingin.

"Hamba..."

"Berhenti memanggil dengan sebutan itu Kanna," tekannya dengan tajam.

"Anda rajaku, Yang Mulia," sahut Kanna.

Zarkan Tar menatap Kanna dengan tatapan rumit. Ia menghela napas kembali lalu beranjak pergi memasuki sebuah ruangan kecil. Sekembalinya Zarkan Tar, pria itu membawa satu set pakaian berwarna emas.

"Pakai ini!" Ia menyodorkan satu set pakaian di depan Kanna.

"Apa ini?"

"Pakailah, kita akan berburu!"

"Berburu?" mata Kanna berbinar. Sejak ia memasuki istana, sudah lama ia tak berburu. Secepatnya ia meraup satu set pakaian dari tangan Zarkan Tar. Senyum di bibir pria itu terlukis indah saat melihat senyum Kanna.

Sepertinya berburu adalah hal yang paling gadis itu sukai. Jika memang begitu, ia akan selalu meluangkan waktunya untuk mengajak Kanna keluar.

Kanna keluar dengan pakaian berburu khas wanita Samhian. Padu padan warna emas dan coklat membuat kulit putihnya semakin bercahaya. Pakaian yang dikenakannya sangat pas. Entah memang ini pakaian umum anggota kerajaan ataukah memang Sang Raja khusus membuat satu untuknya.

"Sepertinya cocok ditubuhmu," ucap Sang Mahadiraja dengan lirih. Kanna kembali bersemu merah.

Zarkan Tar mendekatinya, memeriksa dari atas kepala hingga ke ujung sepatu berburu Kanna. Ia kemudian mengulurkan tangannya meraih belakang kepala Kanna.

"Jepit rambut kayu ini tak pantas untukmu," ucapnya. Zarkan Tar kemudian berdiri di belakang Kanna.

Tubuh Kanna gemetar saat Sang Raja meraih rambutnya. Entah diapakan rambutnya itu, tapi Kanna sangat menyukai belaian tangan Sang raja di rambutnya. Tangan itu terlepas saat sebuah jepit rambut lain disematkan oleh Zarkan Tar. Dengan tangannya Kanna memeriksanya.

Phoenix. Kanna mengernyit. Ia membalikkan tubuhnya menghadap Sang Raja. Seakan tahu apa yang akan Kanna tanyakan, Zarkan Tar tersenyum sambil berkata, "jepit ini yang tepat untukmu."

Pria itu menoleh pada sebuah meja yang terdapat vas bunga mensori. Tangan Sang Raja mengambil satu tangkai bunga tersebut, kemudian dipandangnya Kanna kembali. Tak ayal jantung Kanna berdegup kencang saat tangan Zarkan Tar menyematkan setangkai bunga tersebut pada sanggul rambut karya pria itu.

"Aku sudah menebaknya, bahwa bunga ini hanya akan cocok untukmu."

Mereka saling bertatapan hingga membuat wajah Kanna kembali bersemu merah. "Ayo!" ajak Zarkan Tar meraih pergelangan tangan kanan Kanna.

Kanna menatap pergelangan tangannya yang digenggam Sang Raja. Hatinya yang berbunga-bunga menerbitkan senyum indah yang membuat wajah cantiknya semakin bersinar.

Entah akan bagaimana perasaannya di masa depan kelak. Saat ini, bolehkah Kanna bahagia?

***

"Tuan Zeon!" seorang prajurit penjaga utama istana datang memberi hormat di depan Zeon.

"Berdirilah, ada apa kau melapor padaku?"

"Hamba, Tuan! Di gerbang utama ada sekelompok orang membawa tandu yang berukir lambang Pulau Suci. Mereka membawa surat resmi ini, Tuan."

Prajurit tersebut menyerahkan sebuah gulungan kertas berwarna putih ke tangan Zeon. Zeon membuka gulungan tersebut lalu membacanya dengan seksama.

"Hmmm...ayo tunjukan jalan!" Zeon kembali menggulung gulungan kertas tersebut kemudian bergerak pergi mengikuti prajurit tersebut.

Gerbang istana luar terlihat megah dan kokoh. Beberapa prajurit penjaga gerbang terlihat serius menahan tombak yang saling disilangkan. Entah tamu sepenting apapun, jika mereka tak pernah diberikan tugas untuk menerima tamu, mereka tak akan pernah membuka pintu gerbang itu. Sama hal nya dengan sekelompok orang yang mengaku berasal dari Pulau Suci. Mereka tak membukanya sama sekali.

"Bagaimana mungkin aku diperlakukan seperti ini?" gerutu Putri Yeva meremas-remas sapu tangannya. Pandangan matanya yang penuh kekesalan membuat dayang-dayang di sampingnya menunduk takut.

"Apa prajurit sampah itu belum juga datang? Kurang ajar sekali dia, jika aku sudah menikah dengan Zarkan Tar ia pasti akan kupecat. Akan kubunuh seluruh anggota keluarganya. Berani sekali dia mengabaikan seorang teratai biru di sini?" ucapannya yang keras terdengar sampai keluar gerbong.

Para prajurti yang mengawal Sang Putri saling bertatapan dengan bingung. Mereka sangat tahu tabiat Sang Putri yang tak bisa dicegah siapapun. Namun, di sini, bisakah ia semena-mena seperti di kediamannya?

Pintu gerbang berderit, kemudian terbuka dengan dorongan beberapa prajurit penjaga dari dalam. Sosok pria dengan jubah berwarna biru dengan paduan tunik berwarna putih datang dengan aura agung. Para pengawal Sang Putri menunduk hormat menyambut kedatangan pria tersebut.

"Sudahkah ia datang? Apa Yang Mulia Zarkan Tar menyambutku? Aku harus keluar sekarang. Apa? Kau berani menahanku dayang-dayang busuk?!" suara jeritan terdengar dari gerbong kereta yang berukir lambang Pulau Suci.

Zeon mengernyitkan keningnya memandang gerbong tersebut dengan aneh. Ini kah Putri Yeva? Putri yang dikenal kecantikan dan kelembutannya?

Pintu gerbong kereta dibuka paksa dari dalam, sosok wanita bergaun putih dengan mahkota yang tersemat khas riasan Pulau Suci turun dari kereta dengan wajah yang penuh amarah.

"Aku akan menulis surat pada ibuku untuk memecat kalian!" jeritanya sambil menunjuk ke dalam gerbong. Puas melepaskan kekesalannya ia kemudian menengok ke arah Zeon. Tak puas dengan apa yang dilihatnya, ia memutar pandangannya mencari-cari sesuatu.

"Kemana Yang Mulia Zarkan Tar? Mengapa ia tak ikut menyambutku?" tanyanya dengan penuh arogansi.

"Hormat kami kepada Tuan Putri," sahut Zeon memberi hormat setelah menghela napas kesekian kalinya.

"Kami tak pernah mendapatkan surat pemberitahuan bahwa putri akan datang pada hari ini, sehingga Yang Mulia Zarkan tar hari ini sedang sibuk menyelesaikan tugas-tugas kerajaan. Sudikah kiranya Tuan Putri untuk memaafkan sambutan kami yang sederhana ini?" tanyanya dengan senyum yang terukir di bibir.

Putri Yeva menatap Zeon dengan sangsi, ketika ia akan kembali menyangkal sangsiannya, ia teringat akan kata-kata ibunya, "kau harus bisa menahan rasa amarahmu, Yeva!'

Sang putri menghela napas lalu menatap Zeon dengan senyum yang tersungging di bibirnya.
"Maafkan sikap tidak sopan kami, Tuan. Kami akan mengikuti perintah Anda, Tuan..."

"Tak mengapa, Putri Yeva. Kalau begitu mari silahkan, saya akan membawa kalian ke istana untuk para tamu." Zeon merentangkan tangan kanannya tanda mempersilahkan.

"Istana tamu? Kenapa aku tidak ditempatkan di istana Yang Mulia Zarkan Tar?" tanya Putri Yeva. Kekesalannya kembali naik.

Zeon menghela napas sebelum kemudian mengukir senyum kembali.
"Untuk saat ini saya harus menemui beliau dan meminta izin terlebih dahulu. Tak bisa sembarangan memasuki istana beliau. Hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan. Jika melanggar, orang itu harus bersiap diri untuk musnah dari muka gartan ini."

Ucapan Zeon membuat Putri Yeva menjadi pucat. Ia menelan salivanya kemudian segera berbalik dan melangkah kembali memasuki gerbong kereta.

Rombongan itu kemudian memasuki gerbang istana dengan iringan beberapa prajurti istana putih. Sepeninggal rombongan orang-orang pulau suci, Zeon menatap bukit hutan di sisi timur.

"Dia pergi berburu dengan kekasihnya tepat hari ini. Anda memang mempunyai mata yang kuat Yang Mulia!" ucapnya terkekeh, kemudian segera melangkah memasuki gerbang istana kembali.

Kedatangan orang-orang pulau suci secara mendadak bukanlah suatu hal yang baik. Dan Zeon harus selalu siap dengan itu. Mata biru pria itu menatap tajam gerbong rombongan itu yang kini sudah jauh dari tempatnya.

***

Kanna melepaskan panah dengan sangat lincah. Ia bergerak berlari mengejar kelinci hutan gemuk yang terkena panahnya. Kelinci hutan masih begitu lincah bahkan panah itu telah mengenai kakinya. Senyum miring Kanna menajam saat kelinci itu berbelok.

Dengan gerakannya yang telah terlatih Kanna berlari memanjat pohon dengan sangat cekatan. Ia meraih beberapa batang pohon, memotongnya, lalu melemparkannya ke arah kelinci.

Takjub. Kelinci tersebut bisa berkelit, bahkan kini berlari semakin menjauh. Panah Kanna bahkan terlepas dengan mudah dari kaki kelinci gemuk itu.

"Tidak mungkin," lirihnya.

Tawa di belakang Kanna membuat gadis itu menoleh. Zarkan Tar melambaikan enam ekor kelinci gemuk di kedua tangannya. Kanna menghela napas kemudian tersenyum. Ia mendekati pria itu sambil mengamati buruan yang berada di tangan Sang Raja.

"Enam kelinci, sepertinya malam ini kita akan pesta daging kelinci." Kanna mengambil tiga kelinci buruan dari tangan kiri Sang Raja.

"Kau bisa memasak?" tanya Zarkan Tar.

Kanna mengangguk, "aku dan ibu selalu memasak bersama. Setelah berburu kami akan menjual hasil buruan di pasar desa. Pulangnya kami akan memasak dengan menu sederhana, paman Ben kadang datang untuk makan malam bersama kami," lirih Kanna bercerita. Pandangan matanya seakan masuk ke dimensi waktu lampau. Seluruh bayangan ibu dan paman Ben yang ceria berputar di kepalanya.

Belaian halus di pipinya membuat Kanna kembali sadar. Ia mendongak bertatapan dengan bola mata emas tersebut.

"Maafkan aku, aku membicarakan masa lalu..."

"Kau akan kuat seiring berjalannya waktu." Pria itu membelai kepala Kanna. Arah pandangannya sendu seakan ingin banyak menceritakan berbagai hal. "Aku akan mengajarimu memanah buruan hutan ini, " sahutnya kemudian menjatuhkan ke enam kelinci itu di tanah berumput.

Zarkan Tar menarik tubuh Kanna lalu membaliknya. Ia merapatkan tubuhnya dengan Kanna, lalu menarik kedua tangan gadis itu agar memegang panah dan anak panah miliknya untuk disematkan pada nock point. Tangan Kanna gemetar saat jemari pria itu menggenggam jemarinya.

"Jangan Gemetar," bisiknya pada telinga Kanna. Kanna mengangguk dengan kaku. Dengan timpaan tangan Zarkan Tar anak panah itu ditarik.

Hembusan napas pria itu di lehernya membuat Kanna terdiam kaku. Arah pandangnya goyah antara menatap ke depan dengan melirik keberadaan pria itu yang begitu dekat dengannya. Tak pernah ia sedekat ini dengan seorang pria. Wangi mensori yang menguar dari tubuh pria itu bahkan membuat Kanna harus berkali-kali mengerjap kerjapkan kedua bola mata. Ia ingin tetap sadar pada kewarasan pikirannya.

"Lemaskan tubuhmu, Kanna!" bisik pria itu, Kanna memejamkan matanya berusaha mengusir bayang-bayang aneh saat bibir pria itu bersinggungan dengan daun telinganya.

"Kau siap?"

Kanna mengangguk patuh. Terlihat kelinci berwarna coklat dengan garis putih yang keluar dari sarangnya. Kanna mengukur bidikkan garis anak panah, sedangkan pria itu membantunya menarik tali busur dengan perlahan.

"Dia targetmu, kau harus perlakukan ia sebagai musuh yang akan kau kejar."

Setelah mengatak hal tersebut, Zarkan Tar melepaskan pegangannya. Kanna masih menatap kelinci tersebut dengan tajam. Ia kemudian menutup matanya merasakan desauan angin yang menerpa wajahnya. Suara gerakkan-gerakkan tertangkap oleh telinganya. Bahkan gerakan kecil dari kelinci yang akan jadi target panah ini.

Ketika kelopak mata itu terbuka kembali. Sorot polos Kanna berubah dengan sorotan penuh tekad. Kedua tangannya yang sedang membentuk kuda-kuda memanah semakin ia kuatkan.

Satu

Dua

Tiga

Point!

'SRRREETTT' anak panah dilepaskan. Ia begitu cepat melesat bergerak seakan tahu dimana target berada.

Kanna terbelalak saat panah yang ia lepas tepat menancap pada jantung kelinci buruan. Tak ada drama pengejaran kelinci tersebut langsung tumbang. Ia bersorak lalu berlari ke arah kelinci itu berada.

Zarkan Tar memandang Kanna yang tengah berlari menuju kelinci. Tatapannya tajam menatap punggung belakang Kanna. Tangannya yang gemetar perlahan terangkat dengan busur panah yang telah disiapkan dengan anak panahnya. Titik buruan itu adalah punggung Kanna.

Pria itu menarik tali busur yang telah terselipkan anak panah dengan jari yang bergetar. Pandangannya nanar dan sendu menatap Kanna yang masih berlari menuju si kelinci. Bibirnya terbuka sedikit dengan napas yang tersengal. Dadanya sesak. Rasa kelopak matanya memanas seiring tali busur yang ia tarik.

Sisi-sisi bola mata emas memerah. Ia benci dengan pergulatan hatinya saat ini.

Tangan pria itu semakin menguatkan tarikannya pada tali busur. Giginya bergemelutuk menahan jeritan agar isi hatinya bebas.

Kanna yang telah sampai di sisi kelinci yang telah mati itu tersenyum. Kemudian ia menjongkokkan tubuhnya mengambil kelinci. Ia angkat kelinci tersebut lalu membalikkan tubuhnya, senyum cerianya terukir indah menatap Zarkan Tar yang tengah mengangkat panahnya.

Senyum Kanna lenyap saat anak panah yang ditarik itu dilepaskan.

"SSLLAASSHHH!"

"SSHHHUUU!"

Sapuan angin karena anak panah yang melayang di samping kanan Kanna mengibarkan sejumput rambut hitamnya. Kanna terbelalak kaget kemudian menoleh ke belakang. Telihat seekor ular cobra raksasa yang menggeliat-geliat dengan anak panah yang menancap di kepalanya. Beberapa detik kemudian, Sang ular tersebut terdiam dengan tubuh yang setengahnya gosong karena efek anak panah tersebut. Panah beracun.

Ia kembali menoleh pada pria yang kini tengah melangkahkan kakinya perlahan menuju ke arahnya. Kanna tersenyum dengan rasa penuh terimakasih. Mata Zarkan Tar menatapnya dengan tajam. Seakan Kanna adalah hal yang tak bisa ia lepaskan.

Zarkan tar menatap Kanna dengan perasaan hati yang penuh luka. Menatap mata yang polos seakaan mengucapkan terimakasih padanya. Tidakkah ia tahu, ia adalah awal target panah yang membunuh ular itu? Mengapa gadis ini sangat bodoh?

"Terimakasih, Yang..." belum sempat Kanna menyelesaikan kalimatnya tubuhnya ditarik ke atas hingga kakinya tak menjejak tanah. Kanna terpana dengan tindakan Zarkan Tar. Ia menatap wajah pria itu meneliti lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi.

"Katakan Kanna.."

"Kumohon katakan kau mencintaiku," bisiknya.

Kanna membelalakan matanya seakan tak percaya dengan kata-kata yang keluar dari bibir pria itu.

"Hanya kalimat itu, katakanlah...bahkan jika itu palsu, kumohon katakanlah!" suara pria itu gemetar menghiba.

Seorang raja besar yang ditakuti. Seorang Mahadiraja yang bahkan bisa mendapatkan gadis manapun di muka dunia ini, harus memohon pada Kanna.

Ia hanya ingin mengikuti isi hatinya. Melihat Kanna dalam bahaya terancam saja sudah membuat hatinya hampir mati. Bagaimana mungkin ia akan bisa hidup jika Kanna mati ditangannya?

Ia tak lagi peduli pada takdir terkutuknya. Jika keabadiannya akan direnggut oleh gadis ini, ia akan menyerahkan hidupnya.

"Kanna..."

"Yang Mulia..."

"Katakan...kumohon!"

"Kumohon jangan memohon seperti itu Yang Mulia! Tak perlu kau memohon hatiku sudah jatuh padamu, entah sejak kapan itu aku tak tahu, tetapi satu hal yang harus kau yakini, hatiku milikmu...."

Tak sempat mengutarakan semuanya, bibir mungil Kanna tertutupi oleh lembut dan hangat bibir pria di depannya. Rasa gugup dan cemas pria itu Kanna rasakan dari getaran tubuh yang tengah memeluknya. Rasa tak percaya Kanna terkikis saat kecupan lembut itu semakin dalam.

Ia tak ingin berpikir lagi. Hanya mengikuti naluri hatinya, Kanna membalas ciuman Sang Raja.

"Aku tak mengijinkan kau mencabut kata-katamu kembali," ucap pria itu usai melepaskan ciumannya.

Kanna menganggukkan kepalanya, "Tidak akan..." ucapnya yang diiringi senyum termanis yang pernah dilihat dalam hidup Zarkan Tar.

***
Raja Duyung laut hitam menatap pintu sel yang terbuka lebar dengan beberapa mayat prajuritnya yang terbunuh dengan brutal. Tangannya mencengkeram tombaknya dengan erat.

Penjara yang terbuka itu bukan penjara biasa. Banyak jebakan kematian yang dapat mengantarkan nyawa para penyusup jika melintasinya. Namun, semua jebakan itu rusak, bahkan prajuritnya pun menjadi korban penyusup itu.

Bertahun-tahun ia menjaga tahanan khusus itu dengan sepenuh kepercayaan Sang Mahadiraja. Ia tidak tahu harus bagaimana jika Sang Raja marah kepadanya karena menghilangkan kepala Raja Yaves yang telah di tahan di sini 18 tahun yang lalu.

"Laores, cepat pergi ke daratan. Antarkan suratku, kau harus menemui Sang Mahadiraja Zarkan Tar secara langsung. Ingat, hanya boleh dia yang menerima surat ini!" kata Raja Duyung laut hitam, Timutis.

"Dimengerti yang mulia!" sahut Laores.

***

Ratu Mazmar menatap kotak besar yang berada di depannya. Kotak yang telah dibawakan Ram untuknya. Tangannya gemetar ketika membelai kotak tersebut.

"Kekasihku..." ucapnya pelan sambil membelai kotak berwarna kecoklatan di depannya. Ia kemudian menyentuh tombol pembuka dari atas kotak.

Suara klik terdengar jelas. Ragu-ragu Sang Ratu menatap kotak itu kembali. Perlahan, ia buka tutup kotak yang berada di atas.

Sendu wajah Sang Ratu saat memandang kepala Yaves yang masih terlihat utuh seperti dahulu kala.

"Sudah 18 tahun, aku sangat merindukanmu."

"Kau pasti kedinginan di sana. Tapi kau bisa tenang sekarang, aku akan membangkitkanmu, setelah itu kita akan menguasai seluruh dunia ini. Bukankah kau sangat ingin kita bersatu? Setelah kau bangkit, kita akan menikah, hidup dalam cinta yang penuh kebahagiaan." Ratu Mazmar terkekeh. Ia mengecupi kotak tersebut dengan sesekali membelai-belai isi di dalamnya.

Sang Ratu begitu euphoria akan kebersamaannya dengan kotak tersebut. Tak ia sadari, di sudut kegelapan sepasang mata menatap tindakan Ratu Mazmar dengan penuh kemarahan.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro