Part 8. Takdir yang Sebenarnya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Kau berniat kabur dariku?"

Suara serak dan berat terdengar di telinga Kanna saat dia masuk ke sebuah taman yang penuh bunga Mensori.

Bola mata emas yang memukau itu menatapnya tajam. Bibir Kanna kelu seakan tak bisa menjawab pertanyaannya.
"Yang Mulia...hamba tak berniat seperti itu."

"Tapi kau sudah melakukannya, Kanna! Diam-diam kau kabur..."

"Hamba telah meminta izin pada Tuan Zeon, beliau..."

"Aku lah penguasa di sini, Kanna! Bukan dia, jadi...jika kau ingin meninggalkan istanaku, kau harus mendapatkan izinku," sentak Zarkan Tar.

"Dan aku tak akan pernah mengizinkan hal itu," tambahnya dalam hati.

Kanna menundukkan kepalanya merasa bingung. Di hadapan Zarkan Tar, ia tak bisa melawan sama sekali. Hatinya yang telah membulatkan tekad ingin pergi dari istana ini juga kembali mencair.

"Lalu bisakah saya kembali ke desa saya, Yang Mulia?"

"Dan kau akan menghadapi para pembunuh itu sendiri? Apa kau yakin?" Zarkan Tar mendekati Kanna. Kanna terdiam mencerna ucapan pria di depannya.

"Tetaplah di sini, Kanna." Suara serak itu seakan berbisik menghipnotis Kanna. Mata mereka beradu pandang. Denyut mengasyikan itu kembali dalam diri Kanna.

"Sampai kau cukup kuat untuk menghadapi kenyataan sebenarnya, tetaplah di istana ini." bujuk suara serak yang halus itu kembali. Begitu halus hingga Kanna terbuai.

Tak sadar bahwa kepala Kanna telah mengangguk setuju. Hal yang menerbitkan garis senyum tipis tetapi manis dari sudut bibir Sang Mahadiraja.

Kelinci putih telah masuk dalam perangkapnya.

***

Sautesh menatap kabut putih yang menampakkan adegan Zarkan Tar dan Kanna di depannya. Bibir pria itu tersenyum sinis.

Ruangan gelap membuat sisi wajahnya tersamarkan. Ketika wajah itu beralih dapat terlihat wajah sisi kirinya dipenuhi bekas luka bakar yang merambat sampai ke hidung bengkoknya. Begitu mengerikan bagi siapapun yang melihat.

Luka yang ia dapat 300 tahun yang lalu.

Sautesh dulu adalah Dewa yang paling tampan di antara semua dewa. Ia ditugaskan oleh Sang alam sebagai dewa takdir buruk bagi kehidupan seluruh manusia. Pekerjaannya saling bertolak belakang dengan dewa takdir baik, Rauma, saudara kembarnya.

Meski terlihat buruk, Sautesh di anugerahi wajah paling tampan di antara semua dewa. Ia bahkan sering membuat para dewi patah hati dengan perlakuannya yang suka bergonta-ganti pasangan. Tak jarang Sautesh menjelma sebagai manusia biasa di dunia Gartan. Mengikuti hobinya ia juga sering menggoda para manusia berjenis kelamin wanita.

Hingga suatu hari, sebuah cerita tentang pertemuannya dengan seorang wanita yang mengubah dirinya. Seorang wanita manusia, dapat memporak porandakan hidupnya.

Dia adalah Norva. Wanita klan penyihir putih yang sangat mempesona. Sautesh sangat ingin memilikinya. Pernikahan antara dewa dan manusia adalah hal biasa jika itu sudah dikehendaki dewa tertentu. Dan ia berniat menikahi wanita itu.

Akan tetapi, tugas-tugas dari sang Alam semesta membuatnya sibuk di atas langit dan lama tak menemui Norva. Meski begitu, dari atas langit, ia selalu memantau perkembangan kehidupan Norva. Cermin kabutnya merupakan penghubung jarak antara ia dan wanita yang ia cintai. Setiap selesai melakukan tugasnya ia selalu berlama-lama di depan cermin tersebut untuk memandangi seluruh kegiatan Norva. Tak ada yang aneh, Sautesh pun tenang.

Cintanya pada Norva membuatnya menyalahi tugasnya yang merupakan dewa takdir buruk. Dalam buku catatan takdir, ia menghapus semua nama Norva agar wanita itu terhindar dari segala marabahaya dan bencana. Cintanya yang besar bahkan dapat mengelabuhi Sang Alam yang ingin semua hal berjalan sesuai ketentuan alam semesta.

Tapi tidak untuk Norva. Ia ingin wanita itu baik-baik saja.

Beberapa kali ia pun menghalau para pemuda yang menaruh hati pada Norva. Termasuk pria yang merupakan jodoh yang akan menikahi Norva. Ia selalu membunuh atau membuat mereka dalam bencana dahsyat yang tak akan pernah mereka inginkan. Cinta yang sangat gila bukan?

Sebuah peperangan besar dalam dunia Gartan menugaskan Sautesh dan beberapa dewa ikut andil. Ia begitu sibuk dengan tugas dari alam semesta tersebut sehingga beberapa lama ia tak mengunjungi cermin kehidupan.

Hingga...

Ketika Ia kembali dari tugas-tugasnya, Sautesh mendapati Norva telah menikah dengan Dewa Kekuatan, Agra Tar. Dewa yang banyak di puja oleh para manusia karena siapapun yang di anugerahi sang Dewa akan mempunyai kekuatan yang tak tertandingi.

Sautesh sangat terpukul, sebagai Dewa dengan peringkat rendah, ia bukanlah tandingan Agra Tar. Semakin terpukul saat ia menemukan pandangan penuh cinta dari Norva untuk Agra Tar. Saat itulah ia merasakan rasa terpuruk yang begitu dalam.

Ia kembali ke langit dengan hati yang kalut. Mengikuti hatinya yang patah ia pergi ke danau suci untuk menenangkan diri. Bayang-bayang senyum Norva untuk Agra Tar terus menerus terpatri di pikirannya.

Ketika Sautesh berjalan kembali ke kediamannya ia melihat Rauma, saudaranya sedang berjalan ke istana Agra Tar. Diantara dewa-dewa tinggi, istana Agra Tar merupakan yang terbesar. Dominasinya membuat semua dewa menundukkan diri apabila di hadapannya.

Sautesh melihat saudaranya bertemu dengan Agra Tar. Terlihat sangat akrab dan berteman dekat. Melihat hal itu kesedihan dalam hati Sautesh semakin besar.

Ia dan Rauma selalu menjadi perbandingan besar. Hitam dan putih. Rauma selalu disenangi karena berdekatan dengannya akan menyingkirkan segala bencana. Sehingga dalam kalangan dewa maupun manusia ia akan tetap di puja. Berbeda dengan dirinya, tak ada satu kuilpun yang didirikan oleh para manusia.

Hati yang buruk akan selalu memendam kebencian. Sautesh pun demikian. Meninggalkan istana Agra Tar, ia kembali ke tempatnya yang begitu sunyi dan gelap. Bahkan dewa kematian saja tak mempunyai tempat segelap dirinya.

Pandangannya kembali pada cermin kehidupan. Ternampak adegan Norva yang bergaun putih dengan berhias mensori putih di kepalanya sebagai pengantin suci. Begitu jelita, manis, dan tak tersentuh.

Sautesh hampir menerima kenyataan pahit itu. Ia ingin kehidupannya kembali normal. Asalkan melihat senyum Norva ia akan tetap bahagia meski senyum itu karena pria lain. Sampai kemudian ia menemukan kenyataan yang kembali menyakiti hatinya.

Pernikahan Norva dan Agra Tar ternyata berkat campur tangan Rauma, saudara kembarnya. Ia lah yang mempersatukan Agra Tar dan Norva. Rauma bahkan menganugerahi takdir baik untuk anak yang akan dilahirkan Norva kelak.

Ia marah. Sangat marah bahkan kemudian menyerang Rauma. Rauma tahu bagaimana obsesinya pada Norva. Rauma memahami hatinya yang sangat ingin memiliki Norva. Namun, diam-diam saudara kembarnya sendiri memberikan wanita yang ingin ia milikki pada Agra Tar.

Pertarungannya dengan Rauma membuat alam semesta marah karena berakibat timbulnya bencana besar di dunia Gartan. Ia dan Rauma di hukum dengan menyegel setengah kekuatan masing-masing.

Namun, permusuhan tak berhenti dengan penyegal kekuatan itu. Sautesh dan Rauma kini menjadi dua dewa yang tidak akan lagi saling bekerja sama.

Pola hidup Sautesh berubah seketika, kulit yang dulu bercahaya dan wajah yang sangat tampan berubah menjadi sangat pucat dengan otot-otot yang berwarna hitam tercetak jelas diantara kulitnya yang putih pucat. Bibirnya yang merah merekah biasa di sukai para dewi-dewi kini berubah hitam kelam. Semua karena cairan dari buah Kaldam. Buah neraka yang merupakan cairan candu untuk mengobati pikiran yang sakit.

Ya, Sautesh selalu meminum cairan tersebut setiap hari. Merubahnya dari seorang yang tampan menjadi pria buruk rupa.

Kebencian Sautesh semakin mendalam setiap hari, ia selalu memperhatikan Norva dari kegelapan. Tak jarang ia turun ke bumi untuk mendekatinya diam-diam ketika Agra Tar tak bersama istrinya. Sering ia mengikuti kemana Norva pergi bersama para dayangnya. Yang membuatnya sakit wanita itu begitu terlihat bahagia tanpa dirinya.

Ketika ia mendengar kehamilan Norva, rasa sakit hatinya semakin memuncak. Setitik kebaikannya terhapus menjadi hitam seluruhnya. Apalagi ketika melihat saudaranya yang dengan sukarela memberikan air abadi untuk putra Agra Tar. Kebencian itu semakin parah.

Norva, Agra Tar, Rauma, dan bayi itu harus mati. Mereka semua adalah penyebab penderitaannya. Namun, membunuh Rauma maupun Agra Tar merupakan sesuatu yang sangat sulit. Karena itu ia harus menargetkan pada Norva dan bayi yang dikandungnya.

Rencananya begitu sempurna. Malam hari Gregoria, dimana seluruh rasi bintang bergerak lurus dalam satu garis di langit. Kekuatan Agra Tar akan menurun dalam satu malam. Malam sempurna untuk membunuh wanita dan anaknya.

Sautesh turun dari langit. Menatap istana putih di bawahnya yang begitu tenang. ia tahu hari ini lah tepat anak itu akan dilahirkan. Senyum sinis dan mengerikan tercetak di bibirnya yang menghitam.

Ia turun di belakang istana Samhian. Dengan jentikan jarinya ia mengubah dirinya menjadi salah satu dayang utama yang sering bersama Norva. Bergerak cepat ia memasuki istana tersebut dengan langkah santai menuju kediaman Norva.

Pintu kamar tertutup dengan beberapa penjaga yang bertugas menjaga pintu. Para penjaga itu mengangguk saat dayang utama Sang Ratu datang, mereka membukakan pintu menyilahkan Sautesh yang menjelma sebagai dayang utama itu masuk.

Sautesh melihat kesibukan dalam kamar itu. Beberapa dayang saling hilir mudik mengganti air dalam periuk besar. Terlihat Norva yang sedang berjuang melahirkan anaknya dengan di damping Agra Tar.

Matanya menatap tajam mereka berdua.

Ia harus membunuh Norva dan anaknya, setelah itu ia akan membunuh dirinya sendiri. Sehingga di Valhalla sana ia bisa mencari dan memiliki Norva.

Rencana sempurna.

Perlahan Sautesh mendekati tempat tidur Norva. Ia menatap cemburu saat jemari wanita itu dalam genggaman Agra Tar.

"Rashka..akhirnya kau datang, ia akan tenang jika kau di sampingnya." Agra Tar berkata dengan panik. Ia melihat wajah pucat istrinya semakin memutih. Tangannya mengelus-elus lembut perut Norva.

"Lahirlah dengan selamat Nak..." ucapnya lirih.

Bibir Rashka berkedut. Adegan di depannya membuat hatinya bertambah panas. Tak pelak, tangannya terkepal erat. Ia sangat ingin sekali membunuh mereka.

Tangannya baru akan menyentuh gaun Norva saat jeritan perempuan itu mengagetkannya. Norva mengejan dengan erangan menyakitkan. Beberapa tabib perempuan yang membantu kelahiran Sang Ratu bergegas mendekatinya membuat Rashka terdesak mundur.

Jeritan terakhir Norva bersamaan dengan tangis suara bayi yang sangat kencang. Semua dayang-dayang bernapas lega saat sang pangeran mahkota terlahir dengan sempurna. Mereka bersimpuh dan bersujud menyerukan rasa syukur.

Sautesh masih berdiri memandang dengan penuh kebencian. Suara tangis bayi menambah rasa benci itu sendiri. Tak ada penghormatan ia tetap berdiri di tempatnya.

Melihat dayang utama tak bersujud para dayang-dayang lain saling melempar tatapan bertanya. Ada apa dengan Rashka? Mengapa ia terlihat tak bergeming dengan lahirnya Sang Pangeran?

Pintu kamar terbuka dari luar sosok dayang Rashka memasuki pintu dengan sebuah periuk besar di tangannya. Para dayang terkesiap melihat Rashka yang baru menutup pintu.

Sautesh menatap dayang yang baru masuk itu dengan dingin, ia kemudian mengangkat tangannya lalu melemparkan seberkas sinar berwarna merah tepat menuju dada sang dayang. Rashka terlempar dengan keras kemudian membentur tembok. Tak berhenti disitu ia berguling-guling sebelum kemudian terlalap api berwarna hitam yang langsung menghancurkan tubuhnya menjadi debu.

Para dayang yang melihat hancurnya Rashka langsung berdiri dan menatap Rashka palsu dengan tajam. Mereka bergerak mengepungnya segera. Para dayang-dayang ini terlatih dengan kekuatan sihir masing-masing. Tak ada jeritan layaknya perempuan biasa ketika melihat kematian. Mereka telah dilatih untuk menghadapi bahaya-bahaya tertentu yang yang akan mengancam hidup sang ratu. Berkaitan hari ini, pasti Rashka palsu di depannya mengincar nyawa pangeran mereka.

"Siapa kau?" tanya Agra Tar menatap Rashka palsu yang kini tengah di kepung para dayang utama Ratu.

Sautesh mengangkat bibirnya tersenyum miring. Matanya menatap Agra Tar dengan tajam kemudian beralih pada Norva yang tengah menatapnya terkejut. Senyum sinis Sautesh semakin melebar.

"Norva..." ia menyebut nama Norva dengan lembut.

"Kau harus memilih sekarang, kematian anakmu atau kematian suamimu."

"Siapa kau?" tanya Norva dengan ketakutan.

Sautesh terkekeh lalu tertawa terbahak-bahak. Tawa mengerikan yang membuat jantung setiap orang berdegup kencang.

"Aku adalah lelaki pemujamu. Kau melupakanku begitu cepat, hahahahahaa" tawa itu dilingkupi kesedihan mendalam.

Perlahan tubuh Rashka berubah menjadi sosok pria yang Norva kenali sebagai seorang pedagaang yang sering membawakannya barang-barang antik.
"Galeal? Kau..."

"Bukan Norva, aku bukan Galeal, suamimu pasti telah menebak siapa diriku. Suamimu yang sangat licik ini," ucap Sautesh menatap Agra.

"Kau masih sama gilanya seperti dulu, Sautesh!" desis Agra Tar menatap Sautesh yang kini telah berubah menjadi sosok aslinya.

"Aku kemari mengambil pengantinku, Agra Tar. Pengantin yang kau curi dariku."

"Kau sudah Gila Sautesh!"

"Dan kegilaan ini bisa membunuhmu, Agra Tar."

"Itu jika kau mampu!"

"Aku kemari tentu dengan persiapan besar, apa kau lupa malam apa hari ini? malam di mana langit akan memihakku untuk membunuh kalian semua." Sorot mata Sautesh sangat menjanjikan kekejaman. Aura tubuhnya menguar dengan kekuatan yang memuncak.

Agra Tar tahu malam ini kekuatannya akan menurun sampai ke titik ia tak bisa mengeluarkan kekuatan sihirnya, tetapi ia harus tetap melawan Sautesh demu keselamatan anaknya.

"Lindungi sang Ratu!" seru Agra Tar pada para dayangnya. Dayang-dayang yang mengililingi Sautesh sebelumnya bergerak serentak menuju Norva.

"Kau sudah siap untuk mati?" desis Sautesh kemudian bergerak melayang menyerang Agra Tar. Agra tar mengangkat tangan kanannya kemudian mengeluarka sebuah pedang besar. Ia menangkis serangan Sautesh dengan tepat waktu.

Bergerak cepat ia kembali menyerang Sautesh. Mendesak terus dewa takdir buruk itu menggiringnya keluar ruangan. Agra Tar tak ingin membuat istri dan anaknya yang baru lahir semakin terkejut.

Sesampainya mereka di pekarangan istana, Agra Tar tak ingin membuang waktu, ia terus menyerang melayangkan pedangnya.

Pertarungan itu begitu hebat. Agra Tar dengan kekuatan bela diri dan taktik bertahannya membuat Sautesh kesulitan menyerang dari berbagai sisi. Sautesh dengan kekuatan sihirnya juga membuat Agra Tar kewalahan karena ia harus tetap bertahan hanya dengan ilmu bela diri.

Jika dalam kondisi normal, Sautesh tak akan berani melawan Agra Tar. Pria itu sangat kuat sehingga membuat cemburu Sang Alam. Karena cemburu itu, Sang Alam memberikan satu malam setiap satu tahun sekali yang dapat menurunkan kekuatan Agra Tar yang disebut Malam Gregoria. Pada tahun-tahun sebelumnya, di malam itu ia akan berada di ruang perenungan sampai matahari terbit. Namun, bertepatan malam ini anaknya akan dilahirkan sehingga ia tetap berada diruang terbuka untuk menyambut anaknya.

Agra Tar semakin terdesak saat tingkat sihir Sautesh semakin meningkat. Entah berasal dari mana pria itu terus menerus mengeluarkan kekuatan sihir yang belum pernah ia lihat. Serangan, tangkisan, sangat membuat Agra Tar terpojok. Bahkan beberapa luka kini menggores tubuhnya.

***

Norva mengecup dahi anaknya yang kini tertidur lelap. Diserahkannya bayinya pada seorang dayang. Ia menatap pintu yang menghubungkannya dengan pertarungan antara suaminya dengan pria yang ia kenal sebagai Galael.

Langkahnya begitu mantap. Dayang-dayang dibelakangnya telah memohonnya untuk tidak bergerak, tetapi ia tahu, ia harus bergerak. Kekuatan suaminya sedang melemah sekarang. Menunggu sampai fajar menyingsing adalah hal yang tak mungkin. Sedangkan mengukur kekuatan pria itu, Norva tahu suaminya akan kalah.

Bergegas dengan sorot mata dingin ia berjalan dengan tegas. Saat mendekati pintu penghubung tangan kanannya terentang tiba-tiba mengeluarkan seberkas sinar biru yang membentuk sebuah pedang. Sesaat kemudian pintu terbuka dan ia melompat melayang menuju pertarungan.

Agra Tar terdesak. Ia mengeluarkan seteguk darah dan beberapa luka di bagian tubuhnya. Saat ini tubuhnya bagaikan manusia biasa. Kemungkinan beberapa pukulan lagi ia bisa dengan mudah di kalahkan.

Sautesh tertawa gembira saat melihat Agra Tar dipenuhi luka. Ia mengangkat pedang hitamnya lalu dengan kekuatan dua kali lipat dari sebelumnya ia menerjang kea rah Agra Tar.

"TRRRAANNGG!" suara dua senjata beradu. Agra Tar terbelalak saat sosok ramping bergaun warna emas muncul di hadapannya.

"Norva..."

"HHAAAAAA!" Norva mendorong pedangnya lalu memukulkan pukulan sihir tepat ke ulu hati Sautesh. Tak berhenti di situ tangan kirinya ia angkat dan dengan gerakan memutar ia membentuk buih-buih gelembung air yang perlahan-lahan semakin membesar.

Menatap tajam Sautesh ia kemudian melemparkan pukulannya dengan kekuatan penuh.

Pukulan itu meleset. Sautesh kembali menyerang dengan mengirimkan api hitam dari sabetan pedangnya.
"SWWOOSH!"

Norva yang sedang terengah-engah membelalakan matanya. Tubuhnya tiba-tiba kaku, tak sempat ia berteriak saat api hitam itu mendekat.

"AAARRGGHHH!" liputan api hitam itu seakan mengoyak seluruh sel di tubuhnya. Seperti meledak, darah keluar dari dalam mulut Norva begitu banyak.

Agra Tar menjerit, refleks ia melompat ke arah Norva. Namun, belum sampai tangannya menjangkau Norva sebuah kilatan cahaya menghantamnya. Ia terpelanting lalu terjatuh dengan suara keras di tanah. Jerat jaring yang mengantarkan kekuatan sihir kuno yang dilayangkan Sautesh tepat mengenai titik lemahnya.

Sautesh tertawa terbahak-bahak dengan kegilaan yang kentara saat melihat dua orang musuhnya terjerat sihir kuno yang ia milikki.

Matanya kemudian menatap istana dengan sorot kekejaman. Sautesh berjalan memasuki istana. Ia menendang pintu dengan sekuat tenaga.

Dilihatnya para dayang-dayang itu melindungi Sang Pangeran dengan begitu ketat. Sudut bibirnya terangkat seolah meremehkan mereka.

Sautesh melompat dan melayang menerjang kumpulan para dayang yang menghalanginya. Seakan menebas sebuah tanaman ia menebas kepala para dayang tersebut dengan begitu mudah. Wajahnya penuh percikan darah merah dari semburan leher yang terputus dayang-dayang yang dibunuhnya.

Ketika tinggal satu dayang terakhir yang sedang menggendong sang bayi, Sautesh berhenti. Dayang itu beringsut ketakutan, pelukannya pada sang bayi semakin erat.

Sorot mata dewa takdir buruk semakin melintas kekejian saat menatap bayi itu seakan menatapnya dengan mata berwarna emas. Tatapan yang sangat meremehkan. Dan penuh janji bahwa ia tak akan bisa mati.

"Kau akan mati! Kau akan mati!!!" Sautesh berteriak lantang lalu mengangkat pedangnya bergerak menuju bayi yang berada di pelukan dayang.

"SRRAAAKKK!"

"SWOOOSSHHH!"

"AAAKHHHH!!!"

Jeritan Sautesh membahana di seantero istana putih tersebut saat sebuah api suci menyerang wajah dan setengah tubuhnya. Ia berteriak kesakitan karena api itu seakan semakin menggerogotinya semakin dalam.

Pintu terbuka dengan tendangan kuat. Rauma berlari masuk. Ia menatap saudara kembarnya yang berguling-guling di lantai. Kemudian beralih menatap seorang dayang yang tengah gemetar ketakutan

"Tu..Tuan...dia, dia terbakar. Pangeran..pangeran membakarnya," ucapnya dengan terbata-bata. Ketakutan sangat terlihat di matanya.

Saat Rauma mengambil alih sang bayi ia mendengar suara jendela yang terbuka kemudian tertutup kembali. Sosok saudaranya yang terbakar tak terlihat lagi.

Hatinya gemetar karena kesedihan. Menatap sang bayi dipelukannya lalu kemudian menatap jendela yang masih meninggalkan jejak saudaranya tersebut.

***

Zeon memasuki kamar Zarkan Tar. Ia melihat Zarkan Tar sedang membuka jubahnya seakan tak menyadari kedatangan dirinya. Terlihat suasana hati pria itu begitu baik.

"Dia bertahan di sini?" tanya Zeon langsung. Persahabatannya yang telah lama membuat tak ada kecanggungan sama sekali ketika bertanya pada rajanya.

"Ia harus bertahan disini."

"Yang Mulia..." kata-kata Zeon terhenti. Ia menghela napas dengan resah.

"Kau membawa kabar buruk?" tanya Zarkan Tar.

"Entahlah..."

"Apa itu?" Zarkan Tar kali ini menatap Zeon dengan serius.

"Ramalan telah terbuka." Zeon berucap setelah terdiam beberapa lama. Ia menatap tepat pada manik mata emas Sang Raja.

"Bicaralah!"

"Hamba ingat ramalan 200 tahun yang lalu, ketika kita lolos dari para Kerr itu, kita memasuki sarang peramal Hagami. Ia mengatakan, Teratai Biru akan benar-benar muncul dengan sendirinya tanpa kau bawa. Tanpa kau cari. Tanpa kau kejar. Ia akan muncul dengan tiba-tiba, ingat kah Yang Mulia dengan hal itu?" Zeon mengamati perubahan wajah Zarkan Tar.

"Aku ingat, dan rencana kita akan membunuhnya setiba ia di istana ini." Dengan acuh tak acuh Zarkan Tar berkata, "bukankah kau sudah menyelidiki Putri Yeva?" sahutnya dengan enteng.

"Yang Mulia..." canggung Zeon menundukkan kepalanya. Diraihnya kartu yang ia selipkan dalam saku tangannya. Ia berjalan mendekati Zarkan Tar.

"Bagaimana jika Teratai Biru itu bukan Putri Yeva?" sahutnya dengan ragu-ragu.

"Apa maksudmu?" tanya Zarkan Tar.

"Bagaimana jika Teratai Biru yang sebenarnya hanyalah seorang wanita biasa?" tanya Zeon lagi.

"Apa yang kau ucapakan?" suara Zarkan Tar gemetar. Seakan telah menebak apa yang di maksud dari rangkaian kata Zeon.

"Kanna...nama itu muncul, dan itu Kanna."

"Teratai Biru yang ditakdirkan membunuhmu...dia adalah Kanna."

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro