Part 16. Discidium

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Calasha menghentikan langkahnya ketika melihat Cygnus sedang berada di taman istana Kehidupan. Matanya memandang ragu pada Cygnus. Sang Alam Semesta terlihat tenang seperti biasanya. Namun, Calasha menebak ada sesuatu yang dipikirkan Cygnus.

"Kau datang kemari tanpa memberitahuku." Calasha mendekati Cygnus dengan langkah anggun. Cygnus menoleh dan bola mata peraknya ikut tersenyum saat bibirnya terulas senyum menawan.
"Kau dari Istana Matahari?"

Calasha mengangguk. Ia kemudian bersandar pada tiang yang dirambati bunga berwarna-warni. "Jadi kau kesini untuk bertanya hal itu?"

"Tidak, Calasha. Aku kemari dengan tujuan tertentu."

"Apa itu?"

"Jiwa Agra Tar."

Senyum Calasha lenyap. Ia menatap Cygnus dengan serius. Senyum Cygnus masih tetap seperti biasa lembut dan hangat.

"Ada apa tentang Jiwa Agra Tar?"

"Kita berdua tahu dengan baik di mana jiwa itu berada. Suatu saat ketika Zarkan Tar tahu kita menyimpan jiwa ayahnya, ia pasti akan meminta kita mengembalikannya ke Valhalla."

Calasha mengeratkan kepalan jarinya. Pandangannya menatap sebuah bunga Camara tapi pikirannya mengembara jauh.

"Jika kita mengeluarkan jiwa itu, ia akan tercium oleh musuh-musuh yang lain." Cygnus mengusap dagunya dengan pelan, "Karena itu, aku berniat untuk memusnahkannya."

Ucapan Cygnus secara terang-terangan membuat Calasha tersentak kaku. Ia menatap Cygnus dengan penuh tanya. Memusnahkan Jiwa Agra Tar? Semudah itu Sang Alam Semesta berucap. Tapi ia tak bisa berucap tidak pada Cygnus. Calasha hanya terdiam tanpa kembali menjawab niat Sang Alam Semesta.

"Bagaimana menurutmu?"

"Sang Alam Semesta lebih mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Tentu ada alasan khusus mengenai hal ini, aku akan menyetujui semua usulanmu, wahai Saudaraku!" Calasha mengangguk sebagai tanda hormat. Ia telah kembali mengulas senyum lembut dan anggun.

Cygnus menghela napas lega, ia mengangguk-anggukan kepalanya tanda terimakasih.

"Kita terlahir dari satu esensi alam, sehingga kau pasti mengetahui apa rencanaku."

"Calasha, Saudaraku! Aku berharap bahwa kau akan selalu hidup dalam damai dan tenang. Sebagai saudaramu, aku akan berbuat sesuatu agar kau selalu bahagia."

Calasha hanya tersenyum seperti biasanya. Kedua dewa dan dewi tersebut berbincang sebentar sebelum saling pamit dengan penuh hormat dan membalikkan diri masing-masing menuju istana mereka.

Wajah penuh senyum anggun mereka berubah ketika tak saling melihat satu sama lain. Sorot mata Calasha menajam disertai senyum yang berubah sinis, sedangkan senyum Cygnus meredup dengan raut wajah datar. Tak ada keramahan seperti sebelumnya. Yang ada hanya wajah penuh rencana dan perhitungan.

***

Belaian lembut pada dahi Kanna membuat Kanna terbangun dari tidurnya. Ia kerjap-kerjapkan kelopak mata agar matanya dapat beradaptasi terhadap cahaya yang ia tangkap. Pupil mata berwarna ungu itu menangkap bayangan seorang pria yang sangat ia kenali. Lalu belaian di dahinya berhenti saat Kanna sempurna membuka kedua matanya.

Senyum Kanna membuat Zarkan Tar akhirnya menghela napas dengan lega. Pria itu dua hari tak tidur karena sangat khawatir dengan kondisi Kanna. Tubuh Kanna terbilang aneh, ketika ia sakit ia harus melahap kekuatan sihir seseorang untuk mengembalikan kesehatannya. Karena itu, selain Zarkan Tar tak ada yang diijinkan mendekati Kanna karena resiko akan hal itu.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya pria itu.

"Aku baik-baik saja." Kanna beringsut menggeser tubuhnya saat Zarkan Tar membuka selimut lalu ikut merebahkan diri di sebelah Kanna.

"Aku membuatmu cemas," lirih Kanna berucap sambil memandang garis wajah Zarkan Tar dari samping. Zarkan Tar menoleh sambil melukiskan senyum menenangkan Kanna.

"Kau pun akan sepertiku, jika aku yang berada di posisimu." Zarkan Tar mengecup jemari tangan kiri Kanna.

"Kau tak mungkin bisa terluka, Yang Mulia!" Kanna menggenggam jemari Zarkan Tar dan mendekapnya ke dalam pelukan, "Anugerah keabadianmu membuat tubuhmu dapat meregenerasi semua luka. Sungguh, kau sangat dimanja oleh surga."

"Kau benar! Tak ada yang bisa melukaiku, terkecuali ...." Kalimat itu menggantung membuat Kanna mengernyit tak puas. Zarkan Tar terkekeh menatap wajah lucu itu.

"Aku tak bisa dilukai oleh orang lain, terkecuali olehmu."

Kanna terdiam. Ia menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca, "Aku tak mungkin tega melukaimu, Yang Mulia!"

Gadis itu semakin mengeratkan genggaman jemarinya pada tangan Zarkan Tar, "Tak ada niat sedikitpun untuk melukaimu. Tidak! Melukaimu juga akan melukaiku, membunuhmu sama hal nya dengan membunuh diriku sendiri."

Jika ada yang bertanya pada Kanna. Apa yang ia takutkan? Itu adalah takdir yang melingkupi Kanna dan Zarkan Tar. Ia takut akan terlaksananya takdir itu. Apa yang harus ia lakukan jika takdir itu terlaksana?

"Kanna." Jemari pria itu menghapus air mata Kanna. Tapi air mata itu terus menerus mengalir tanpa bisa Kanna hentikan. Semakin gadis itu berpikir yang tidak-tidak tangisnya semakin kencang dan membuat Zarkan Tar panik.

"Tenanglah, Kanna!" ia meraup wajah mungil di depannya kemudian perlahan mengecupi segala sisi wajahnya hingga Kanna berhenti menangis. Isakan dari bibir gadis itu masih ada saat Kanna menerima ciuman prianya.

Membicarakan takdir yang melingkupi mereka tak pernah bisa membuat Kanna tenang. Jika ia bisa membunuh dewa, ia ingin membunuh dewa yang mengutuk mereka berdua.

"Aku tak akan membiarkan takdir itu terjadi," ucap Kanna ketika ia melepaskan ciumannya, "Aku tak mau membunuhmu. Aku akan melepaskan semua senjataku jika berada di sisimu."

"Apapun yang akan terjadi di masa depan. Ingat satu hal, Kanna. Bukan kau yang membunuhku!" sahut Zarkan Tar, ia hendak mencium kembali saat tangan Kanna menghentikan bibirnya.

"Cukup, Yang Mulia! Aku tahu jika ini diteruskan kau akan membawaku kemana. Berhenti sekarang juga!" wajah Kanna bersemu merah saat mengatakannya.

"Kau tak ingin keabadian?"

"Tidak dengan cara ini."

"Yang kutahu hanya ini caranya."

Mata Kanna membulat sempurna, ia kemudian membalikkan tubuhnya membelakangi Sang Mahadiraja. Wajahnya masih tertekuk cemberut saat ia merasakan pelukan tangan pria itu.

"Kanna!"

Tak ada jawaban.

"Kanna!"

Kanna menghela napas.

"Kanna, menikahlah denganku!" Zarkan Tar meraih gadis itu dalam sekali hentakan. Kanna mendongak wajah mereka menjadi sejajar sehingga napas pria itu bisa Kanna rasakan berhembus di hidungnya.

"Aku tak ingin ada penolakan." Sergah Sang Mahadiraja saat Kanna membuka bibirnya hendak berbicara.

"Ini perintah?"

"Tergantung bagaimana kau menyikapinya, tapi aku akan tetap menikahimu."

"Kalau kujawab tidak?"

"Aku akan membuat surat perintah kerajaan."

"Kau arogan!"

"Sudah banyak yang menyebutku begitu."

"Apa keuntunganku menjadi istrimu?" niat jahil Kanna melintas di kepalanya. Zarkan Tar menegrutkan keningnya.

"Kau akan menadapatkan apapun yang kau mau! Cintaku, istanaku, apapun yang kau mau, bahkan ... nyawaku."

Bibir Kanna yang berniat akan membantah tiba-tiba terdiam. Dipandanginya wajah pria itu dengan seksama. Tak ada jejak kebohongan. Namun, itu membuat hati Kanna sakit. Segera ia memeluk tubuh Zarkan Tar yang segera disambut pria itu dengan pelukan erat.

"Aku tak meminta nyawamu! Aku tak mau itu." Tak sadar tubuh Kanna gemetar dalam pelukan. Zarkan Tar terdiam menatap langit-langit kamar. Sorot matanya tak terbaca.

"Aku tahu Kanna," ucapnya pelan. "Namun takdirlah yang menginginkannya," ia bergumam dalam hati.

***

"Bagaimana?" tanya Ratu Mazmar pada dokter istana yang baru selesai memeriksa Raja Trev.

"Yang Mulia Raja sama seperti sebelumnya. Jantungnya dalam keadaan tak berdetak, akan tetapi kondisi seluruh tubuhnya baik-baik saja. Ia seperti mati tapi tak mati."

Ratu Mazmar menoleh ke arah suaminya yang sangat pucat itu. Wajah yang dulu sangat gagah menjadi begitu kuyu dan tak ada kehidupan. Benarkan ia berpura-pura?

"Kau sudah mengecek secara mendalam? Adakah kemungkinan dia akan sadar?"

"Ampun, Yang Mulia! Hamba telah memeriksa seluruh tubuhnya bahkan terhadap otot dan kerja otak di kepalanya, tapi semua terlihat sama seperti sebelumnya. Sang Raja bagaikan hidup tetapi seakan mati. Bahkan melihat pucat dan kusam kulitnya, hamba berpikir organ dalam Yang Mulia Raja sebagian sudah tak berfungsi lagi. Maafkan hamba, Yang Mulia Ratu."

Ratu Mazmar mengangguk-anggukan kepalanya. Ia kemudian mengibaskan tangannya menandakan sang dokter harus segera pergi dari ruangan. Setelah memberi penghormatan, dokter kerajaan tersebut pergi dengan langkah tenang.

Suara pintu tertutup dan langkah kaki tak terdengar lagi, Ratu Mazmar memanggil Ram.

"Ram! kau lihat itu?"

Ram mengangguk. Sorot matanya dipenuhi kebingungan. Ia yakin sekali malam itu Raja Trev yang memukulnya di Istana kediaman selir Arneth.

"Maafkan hamba, Yang Mulia! Hamba mungkin telah berhalusinasi." Ram menundukan kepalanya.

"Jangan pernah mendatangi istana itu lagi. Kudengar seseorang yang mati dalam keadaan penuh kebencian akan selalu menghantui kediamannya. Jika kau membutuhkan tempat tinggal aku menyediakan pavilion komandan besar untukmu." Sang Ratu berkata dengan menatap wajah Raja Trev.

"Aku akan mengganti komandan pasukan Pulau Suci. Kau akan menggantikan tugas itu, Ram." Ratu Mazmar berbalik menatap Ram yang terperangah tak percaya.

Pria itu langsung bersimpuh kemudian bersujud menyembah Sang Ratu. Hatinya membuncah bahagia. Inilah cita-citanya, mempunyai pasukan dan memimpinnya. Namanya akan dikenang sebagai komandan hebat dari Pulau Suci.

"Hamba menerima perintahmu, Yang Mulia Ratu!" ucapan Ram penuh keteguhan.

Dokter kerajaan yang bersandar di balik pintu mendengar percakapan mereka berdua dengan bibir membentuk senyum sinis. Ia kemudian bergerak pergi menyusuri lorong-lorong istana yang di jaga ketat oleh prajurit-prajurit pilihan Ratu Mazmar. Saat ia telah keluar dari istana peristirahatan Raja, ia berbelok ke arah taman kecil.

Langkahnya terhenti di depan rimbunan tanaman merambat yang tak pernah diketahui siapapun. Dengan gerakan jarinya tanaman rimbun itu membelah membuka sebuah terowongan besar. Ia melangkah masuk dan seketika tanaman rimbun itu menutup kembali.

Dokter istana itu berjalan dengan obor berada di tangannya. Ia menuruni anak tangga menuju ruangan yang berada di dibawah. Pintu batu terbuka memperlihatkan ruangan di dalamnya yang penuh persenjataan. Terdapat lima orang yang tengah duduk menunggu kedatangan Sang Dokter.

"Yang Mulia!" kelima orang itu langsung memberi hormat ketika melihat Sang Dokter. Dokter istana itu tersenyum lalu wajahnya tiba-tiba berubah menjadi wajah Raja Trev.

"Yang Mulia, tak seharusnya Anda yang datang sendiri kesana. Kami sangat cemas," kata Gregore, Sang Komandan pasukan Pulau Suci.

"Tidak apa-apa, kita sudah merencanakan semua hal ini dengan matang. Mazmar juga tak mencurigaiku sedikitpun."

"Kami sangat lega, Yang Mulia! Dokter brengsek itu memang harus diberi pelajaran. Biarkan ia merasakan hidup yang tak hidup seperti yang ia lakukan selama ini terhadapmu." Issac, seorang prajurit kepercayaannya berkata dengan penuh emosi.

Saat mereka menyadari Raja mereka diberi obat aneh dengan dosis tinggi, mereka berlima sangat dipenuhi amarah. Namun, karena pengaruh Ratu Mazmar mereka tak bisa berkutik. Sampai kemudian salah satu dari mereka berhasil menyelundupkan seorang dokter dari negara lain dan mengobati Raja Trev secara diam-diam.

"Ayo kita beralih pada rencana selanjutnya. Gregore! Besok Ratu Mazmar akan mencopot kedudukanmu sebagai Komandan besar pasukan utama Pulau Suci. Kau harus berpura-pura menolaknya, lalu pergilah dari Pulau Ini, bawa dan antarkan suratku untuk seseorang di Samhian. Apa kau mengerti?"

Gregore menganggukkan kepalanya dengan tangan melintang di dada tanda menerima perintah.

"Issac, Ram akan menggantikan posisi Gregore. Saat itu berpura-pura lah menjadi tangan kanannya. Gali informasi tentang anakku dari mulutnya."

"Baik, Yang Mulia!"

"Yasha, Hart, Reth. Kalian bertiga adalah mata-mata yang telah lama berkelana ke segala penjuru negara, adakah berita tentang keberadaan tubuh Yaves?"

Mereka bertiga membuat salam hormat kemudian mengangguk secara bersamaan.

"Ceritakanlah!"

***

Yeva memasuki istana suram yang menurut Anpa merupakan istana Dewa Sautesh, Sang Takdir Buruk. Matanya bergerak ke kanan dan ke kiri menatap berbagai patung mirip manusia yang dikelilingi makhluk-makhluk aneh.

"Masuklah!" sebuah suara menggelegar membuat Yeva terlonjak kaget. Pintu besar di depannya terbuka dengan sendirinya. Masih dicekam ketakutan Yeva hanya mematung di tempat.

"Kau suruhan Anpa? Atau kau datang untuk membunuh dirimu?" suara suram dan serak itu membuat Yeva kembali ke akal sehatnya.

"Hamba adalah orang suruhan Anpa." Yeva membungkuk sebagai tanda hormat.

"Masuklah!" perintah suara itu lagi.

Tak ingin membuat suara suram itu marah Yeva segera beranjak memasuki ruangan besar mirip aula itu. Pintu dibelakangnya tertutup dengan suara debam yang sangat kuat. Yeva menengok ke belakang rasa takut dan was-wasnya masih mencekam. Ia sendirian sekarang ini. Entah apa yang akan dilaluinya nanti, ia sendiri tak bisa berpikir jernih lagi sekarang.

"Lepaskan kalung pemberian Anpa!" suara suram itu kembali memerintah. Yeva memandang ke segala penjuru ruangan. Tak ada tanda-tanda keberadaan dewa itu. Ada di mana dia?

"Kau tuli?!" suara itu menggelegar menusuk ketakutan Yeva lebih besar. Segera tangan gadis itu menyentuh liontin hitam yang berada di dadanya kemudian dengan tangan gemetar ia meloloskan kalung dari lehernya.

"Y, Yang Mulia. Ini, kalung ...." Yeva menghentikan kata-katanya ketika segumpal kabut hitam muncul tiba-tiba lalu perlahan membentuk sosok berjubah kelabu dengan wajah rusak sebelah.

Tubuh Yeva menggigil. Ini kah Sang Takdir Buruk? Ia ketakutan saat menatap setengah wajah yang buruk itu. Keberaniannya seakan menciut. Ia menundukkan kepalanya tak ingin melihat wajah itu.

Sautesh menatap tubuh gadis di depannya yang tengah menggigil. Bibirnya membentuk seringai sinis.
"Ikut aku!" sahutnya dengan dingin. Yeva mengangguk lalu mengekor di belakang Sautesh.

Mereka memasuki sebuah ruangan gelap gulita. Dingin dan sangat menakutkan. Seperti tak ada kehidupan apapun di dalamnya.

"Letakkan kalung itu di sana!" tangan Sautesh menunjuk pada sebuah meja besar di depannya. Yeva hanya mengangguk lalu berjalan ke meja tersebut. Perlahan kalung itu ia letakkan. Matanya menangkan sebuah bola kaca yang di dalamnya terdapat cahaya keunguan.

"Kau tak diijinkan memandang kemanapun kau mau!" Sautesh menggeram saat melihat Yeva menatap bola Kristal yang menahan roh Norva.

Yeva yang ketakutan segera mengangguk lalu kembali ke tempat di mana sebelumnya ia berdiri.

Sautesh langsung melangkah maju dan menatap kalung berliontin Kristal hitam. Tangannya terulur dengan gemetar. Tatapan matanya berkaca-kaca penuh segala emosi.

"Akhirnya, akhirnya aku mendapatkanmu! 300 tahun aku mencarimu." Suara Sautesh terdengar terisak.

Yeva menatap punggung Sautesh yang tengah bergetar. Ia tak mengerti apa yang dikatakan dewa itu. Sebuah kalung usang dan jelek, tapi bisa membuat dewa itu tunduk padanya. Bibir Yeva terangkat mengejek dan sinis.

"Norva! Aku merindukanmu!" tawa kecil terdengar dari bibir Sautesh. Pandangan suramnya perlahan berubah menjadi lembut.

Kenangan 300 tahun lebih lalu saat pertama kali bertemu Norva membuat Sautesh menyunggingkan sebuah senyuman. Senyuman yang dulu akan sangat digilai para dewi-dewi. Hangatnya sapaan Norva, serta gelak tawa wanita itu membuat senyum Sautesh semakin lebar. Kini, Norva berada di hadapannya. Ia akan membangkitkannya. Lalu, mereka akan hidup sesuai keinginan Sautesh. Tak akan ada lagi pengganggu. Termasuk anak Norva, Zarkan Tar.

Mengingat Zarkan Tar, Sautesh mengangkat tangannya lalu menyentuh sebelah wajahnya yang rusak. Sorot matanya menjadi dingin kembali.

"Aku tak akan pernah memaafkan anakmu yang mengubah wajahku menjadi seperti ini!" sahutnya dengan menggeram.

Tangan Sautesh terulur kembali. Wajahnya menunjukan suatu tekad kuat. Hari ini, ia harus berhasil membangkitkan Norva. Norva akan menjadi miliknya. Tak ada lagi yang akan memisahkan mereka. Sautesh akan menjadi pelindung dan suami Norva dalam kehidupan baru wanita itu.

Pikiran akan kehidupan bahagia membuat senyum itu merekah kembali. Jemari Sautesh menyentuh liontin hitam itu dengan wajah sumringah dan hati dipenuhi kebahagiaan.

"Norva ...."

"TIDAK!" suara jeritan melengking lalu disertai sebuah sinar keemasan tiba-tiba keluar dari liontin hitam tersebut menabrak dan menyerang Sautesh.

"BBBRRUUGGHH!" Sautesh terlempar dengan keras menabrak dan tersungkur di lantai. Seketika ia tak sadarkan diri.

Yeva terbelalak ngeri saat Sang Dewa Takdir Buruk terlempar dengan sangat kuat seakan ada kekuatan yang sangat besar muncul dari dalam liontin. Ia mengalihkan tatapannya dari sautesh yang kini pingsan ke arah liontin yang berada di mejanya.

Pikirannya terbersit ide gila. Liontin ini sangat kuat, seorang dewa bahkan dikalahkan dengan mudah. Itu artinya, jika kalung itu menjadi miliknya, ia bisa menjadi seorang wanita kuat. Dengan kalung ini ia akan mudah membunuh Zarkan Tar dan Kanna. Benar. Mata Yeva nyalang menatap liontin tersebut.

Segera ia melangkah terburu-buru lalu mengambli liontin itu dan mengenakannya kembali. Ia juga mengambil bola Kristal yang bercahaya ungu itu. Entah apa itu, tapi ia yakin ini pasti sebuah kekuatan yang akan membantunya membunuh Zarkan Tar.

Ia kemudian cepat-cepat keluar dari ruangan itu sebelum Sautesh sadar dan mendapati ia telah mencuri semuanya.

Dalam pelariannya, Yeva berpikir keras kemana ia harus pergi. Sampai ia teringat sesuatu. Ia berhenti sejenak lalu membuka kantong kiltnya mengambil sebuah pil berubah wujud. Pil yang Anpa berikan untuknya.

Setelah berhasil mengubah wujudnya menjadi wajah salah satu orang dayang dari Istana Samhian, Yeva kembali meneruskan langkahnya. Kali ini tujuannya dalah Istana Zarkan Tar.

***

Zarkan Tar membuka matanya dengan sorot tajam. Detak jantungnya seakan berdentum keras. Ia yakin mendengar teriakan seorang wanita. Wanita yang pernah datang ke mimpi-mimpinya kala ia kecil.

Ia menatap keluar jendela kamar Kanna. Teriakan itu nyata. Seakan ibunya berada di sini. Ia memang tengah mencari jasad ibunya.

Menurut Rauman, jasad ibunya telah menghilang saat Rauman datang ke Istana Samhian 300 tahun yang lalu. Entah siapa yang berani mengambil jasad itu, Zarkan Tar harus mendapatkan kembali jasad ibunya. Ia ingin mempersatukan jasad orangtuanya. Sehingga di Valhalla sana, ibu dan ayahnya akan bersatu kembali.

Pria itu turun dari tempat tidur dengan perlahan. Ia tak ingin membangunkan Kanna yang masih terlelap tidur. Wajah Zarkan Tar menunjukan berbagai emosi. Ia tak ingin meninggalkan Kanna, akan tetapi firasatnya sangat kuat, keberadaan jasad ibunya ada di sekitar sini.

Zarkan Tar mengambil jubah dan memasang ke tubuhnya dengan cepat, ia kemudian mengambil pedangnya. Selesai merapikan diri ia membungkuk lalu mengecup bibir dan dahi Kanna.

"Aku akan kembali, tunggulah!" ucapnya lembut, lalu dengan masih menatap Kanna ia menghilang dalam kegelapan.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro