Part 18. Sang Dewa Takdir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sautesh membuka matanya kemudian langsung duduk dan melihat sekelilingnya. Pintu kamar terbuka, ia melihat Sorkha masuk lalu menghampirinya dengan terburu-buru. Wajah Sorkha terlihat kusut dan suram.

"Gadis itu membawa kalung batu hitam. Sudah kucari, dan dia berada di istana Samhian." Sorkha mendengus sambil mendudukan dirinya pada sebuah kursi.

Sautesh memegang dadanya yang masih terasa sakit akibat pukulan yang keluar dari kalung liontin hitam. Ia masih tak percaya akan semua ini. Mengapa kalung itu mengeluarkan sinar yang dapat melumpuhkannya seketika? Apa yang terjadi sebenarnya?

"Kalung liontin hitam itu, kau dapat dari siapa?" Sautesh bertanya sambil menatap tajam Sorkha.

Sorkha terdiam seakan berpikir, "Aku tak tahu, waktu itu ketika aku mencari keberadaan jasad Norva, ada seseorang yang menyerahkannya padaku. Ia bilang, apa yang kucari ada di sana. Ketika aku memeriksanya, benar jasad itu ada di dalamnya. Apa kau tak melihatnya?"

Sautesh menggelengkan kepalanya dengan pelan. Masih terbayang rasa kaget dan sakitnya pukulan yang ia rasakan. Seakan Norva mengetahui niatnya dan menolak semua usaha untuk menghidupkannya kembali.

"Apakah aku harus mengejar Yeva?" tanya Sorkha.

Lama Sautesh terdiam, ia menimbang segala pikiran dan tidak menjawab pertanyaan Sorkha sama sekali. Kemudian, matanya melihat segumpal kabut putih yang muncul tiba-tiba di ruangannya. Kabut yang perlahan berubah menjadi sosok anggun Dewi Calasha.

Calasha tersenyum lalu berjalan mendekati Sorkha dan Sautesh. "Kudengar kau terluka," Calasha memandang Sautesh. Ia kemudian beralih menatap Sorkha dengan pandangan sedih.

"Mengapa kau kemari? Tak takutkah bila Cygnus mengetahui rencana kita?" Sorkha bertanya sambil berdiri kemudian melakukan salam penghormatan.

Calasha tersenyum sinis, "Tak akan ada yang luput dari mata Sang Alam Semesta, begitu juga rencana kita. Dia pasti sudah mengetahuinya sejak lama."

"Lalu, dia tidak menghentikan?" Sautesh yang jarang berbicara langsung dengan Calasha akhirnya bertanya. Calasha menggeleng dengan senyum anggun yang masih tetap tersungging di bibirnya.

"Dia tak akan menghentikannya, karena dengan rencana kita pun dia tak akan dirugikan sama sekali. Bahkan, seharusnya ia berterimakasih," Calasha menatap Sautesh, "Kau tetap ingin membangkitkan Norva?"

Sautesh kembali terdiam. Mengingat apa yang dilaluinya ia sendiri mulai bimbang untuk membangkitkan Norva.

"Jangan goyah Sautesh, akan selalu ada jalan untuk merebut kebahagiaanmu." Calasha berkata dengan bijak. Ucapannya lembut menenangkan sel-sel pada tubuh Sautesh, entah mengapa keraguan dihatinya mulai lenyap. Ia menyadari, segala ucapan dari Calasha selalu sanggup ia patuhi. Seakan resonansi suara itu tersambung pada otaknya yang harus selalu patuh.

"Baiklah," ucap Sautesh. Dewa itu kemudian menutup matanya mencoba mencari jejak keberadaan roh dan jasad Norva. Ketika ia melihat istana Samhian, ia kembali membuka mata.

"Gadis busuk itu membawanya ke kediaman Zarkan Tar." Sautesh mendecih, ia lalu menatap Sorkha.

"Seret kembali gadis itu kehadapanku!"

Sorkha mengangguk. Ia hampir mengucapkan kata pamit ketika Calasha berucap, "Kau belum mengetahui sesuatu? Tentang kekasihmu, Mesilia?"

Sorkha mengernyit heran. Tak ada yang tahu tentang hubungannya dengan Sang Dewi Bunga. Namun, Calasha sepertinya mengetahui apa yang ia sembunyikan.
"Ada apa dengan Mesilia?"

Calasha menatap iba pada Sorkha, tangannya ia letakkan di dada sebagai tanda sebuah keprihatinan. "Zarkan Tar membunuh Mesilia. Pria itu bahkan membumi hanguskan kediaman dewi tak berdosa itu." Setitik air mata jatuh di kedua pipi Calasha.

Sorkha terhenyak. Matanya melotot tak percaya. Ia menggelengkan kepalanya sebagai tanda tak ingin mempercayai cerita Calasha. "Tidak Mungkin. Tidak! Mesilia tak bersalah apapun, MENGAPA DIA HARUS MEMBUNUHNYA?" Sorkha berteriak. Matanya memerah tanda amarah kini telah menguasai hati dan pikirannya.

"Aku juga tidak menyangka, kemarahannya padamu membuatnya melampiaskan semua ini pada Mesilia." Calasha menyusut air matanya dengan selendang. Tak ada yang mengetahui bibirnya tersungging sinis ketika melihat Sorkha telah penuh kobaran api dendam.

"Aku akan membunuhnya, aku akan membunuhnya. Aku berjanji akan membunuhnya ... AAARGGGHH!" Sorkha dilingkupi api besar. Calasha membelalakan matanya terkejut, tak berbeda dengan Sautesh. Mereka berdua akhirnya mengeluarkan kekuatan masing-masing agar terhindar dari panasnya Sorkha.

"Tenanglah Sorkha! Aku kemari bukan saja untuk memberitahumu berita ini, tetapi aku menemukan cara untukmu membalaskan semua dendammu. Tenanglah!" Calasha berucap penuh perhatian.

Sorkha terengah-engah. Air mata terlihat di pelupuk matanya. Bertahun-tahun ia mengejar sang dewi Mesilia. Pada akhirnya, dewi itu baru mau membuka hatinya beberapa tahun ini. Mereka berdua saling mencintai.

Zarkan Tar.

Zarkan Tar.

"Jika aku tak bisa membunuhmu, maka seumur hidupku aku tak akan pernah tenang." Gemuruh di hati Sorkha tak bisa dipadamkan sama sekali.

Calasha mendekati Sorkha, senyum tulus dan sucinya membuat Sorkha lebih tenang. Salah satu kekuatan Dewi Kehidupan adalah menenangkan pikiran.

"Aku melihat takdir kematian itu telah semakin dekat, Sorkha. Saat itu kau bisa melampiaskan dendammu. Namun sekarang, kau harus menuruti semua rencanaku."

***

Rasa dingin belati di leher Kanna membuat Kanna mengukur tingkat ketajamannya. Belati sebesar ini pasti dikhususkan oleh para pemburu yang sering berkeliaran di tengah hutan. Apakah penyusup ini salah satu anggota Scorpion King yang dulu di bunuh Zarkan Tar?

Kanna membuka bibirnya, ia meniupkan udara yang kemudian berubah menjadi sebuah gumpalan kabut. Kabut tersebut melesat lalu bercampur dengan air, sehingga air mulai menguap. Kepulan uapnya memenuhi seluruh ruangan kolam pemandian.

Melihat ruangan yang tiba-tiba penuh kepulan uap si penyusup melonggarkan pegangan pada pergelangan tangan Kanna. Celah sedikit itu Kanna gunakan dengan menabrakan diri ke belakang. Pegangannya terlepas ia kemudian menendang dengan gerakan memutar. Senyum Kanna terlukis ketika tepat kakinya menendang dada.

Gadis itu kemudian terbang dan bergantung pada tirai-tirai kolam, dengan kekuatannya ia melempar tirai-tirai tersebut. Tirai kemudian membelit salah satu tangan si penyusup.

Kanna menarik tirai yang membelit tangan itu dengan sepenuh kekuatan kemudian membantingnya agar terlempar ke tembok. Akan tetapi gerakan si penyusup ternyata lebih cekatan. Tangan yang terbelit kain itu kembali ia tarik sehingga Kanna tertarik dan hampir tertangkap kembali.

Dengan deburan keras, Kanna melompat ke dalam kolam lalu memukulkan telapak tangannya. Air kolam membuncah lalu menyerang si penyusup yang terseret dan masuk ke dalam kolam.

Hening.

Kanna mengamati seisi kolam. Tak ada tanda-tanda si penyusup. Ia juga berbalik dan mengamati sekitar atas tapi tak ada tanda keberadaan orang yang menyerangnya. Lalu, saat ia mengamati kolam kembali. Tiba-tiba suara desau angin menyibak rambut Kanna. Tirai-tirai dari atas meluncur lalu membelit kedua tangannya, Kanna memukul akan tetapi lilitan tersebut semakin kuat lalu menarik tubuh Kanna ke atas.

Suara air membuncah dari kolam, air terciprat kemana-mana sampai membuat Kanna harus menutup mata. Sosok penyusup muncul lalu melompat terbang mengejar Kanna.

Kanna membuka matanya kemudian dengan geram menatap si penyusup.

"Sambutan yang sangat baik, Yang Mulia Zarkan Tar!"

Zarkan Tar terkekeh. Ia kemudian merapikan rambut basah Kanna yang menempel di pipinya.

"Kekuatanmu meningkat pesat." Pujinya sambil membelai pipi gadis itu. Kanna mendengus, lalu menggerakkan tangannya. Kain-kain yang membelit kedua tangannya terlepas begitu saja. Secepat kilat Zarkan Tar meraup pinggang Kanna sebelum tubuh gadis itu meluncur turun.

"Pergi tanpa meninggalkan pesan lalu datang dengan menyerangku. Yang Mulia Zarkan Tar memperlakukan kekasihnya sangat baik sekali," Kanna berucap dengan kesal. Bibirnya mengerucut dan matanya tak mau menatap Zarkan Tar.

"Kau marah?" pria itu tersenyum lembut. Kanna tak menjawab, ia membalikkan tubuhnya masih dengan wajah tertekuk cemberut.

"Maaf!" Zarkan Tar melingkarkan tangannya memeluk Kanna dari belakang. "Ada hama yang harus kubasmi, jadi kupikir tangan permaisuriku tak harus ikut membasminya."

"Siapa permaisurimu?" Kanna mencebik.

"Kau!"

"Aku tak pernah merasa pernah dinikahi oleh Anda, Yang Mulia!" Kanna menengok ke samping kanan di mana wajah Zarkan Tar bertumpu pada bahunya.

"Besok! Besok kau akan kunikahi!"

"Besok, kau adalah permaisuri Zarkan Tar. Ratu negara Samhian." Zarkan Tar membalikkan tubuh Kanna, tersenyum manis pada wajah basah gadis itu lalu mengecup dahinya dengan penuh perasaan.

Di ambang pintu yang setengah terbuka, Yeva menatap kedua orang manusia yang bermahsyuk mesra. Tangannya mencengkeram nampan yang berisi bebungaan dan minyak aroma terapi. Tubuhnya gemetar dengan gigi bergemulutuk.

"Hei, cepat kembali. Kita tak boleh memasuki area kolam jika ada Yang Mulia di dalamnya. Salah-salah kepalamu akan dipenggal. Apalagi, di sana juga ada calon permaisuri. Ayo cepat kita pergi!" seorang dayang yang berada di belakang Yeva setengah menyeret Yeva pergi meninggalkan tempat.

"Untung Yang Mulia tidak melihatmu yang mengintip ke dalam sana. Kau mungkin baru di sini, tapi peraturan itu harus kau hapal, jangan pernah mengganggu Yang Mulia. Kau mengerti?" sahut dayang itu kembali. Yeva tak menjawab, pikirannya sibuk dengan berbagai kebencian yang memenuhi hati dan pikirannya.

"Hhhh ... dayang aneh!" sungut dayang itu ketika melihat Yeva hanya terdiam seolah-olah dungu akan pemberitahuan. Ia segera meninggalkan Yeva yang berjalan bagaikan siput. Sepeninggal dayang itu, Yeva menengok kembali pada pintu kolam yang tertutup itu.

"Tunggu! Aku tak akan membiarkan kalian bahagia di atas penderitaanku ini!" desisnya dengan mata memerah.

Yeva merasakan gatal-gatal pada seluruh tubuhnya. Ketika ia melihat sisik-sisik ular mulai menjalar ke bagian dadanya. Ia segera pergi dari tempat itu. Langkahnya mengarah ke kediaman para dayang. Sekarang juga ia harus berendam darah suci mereka.

***

"Apa yang terjadi, Ayah?" tanya Zeon. Ia melihat ayahnya terbaring di tempat tidurnya yang bernuansa perak.

Rauman tersenyum lalu melambaikan tangannya agar Zeon mendekat.

"Aku sudah tua, Zeon. Seharusnya kau mengerti hal itu."

"Ini trikmu lagi kan agar aku kembali ke istana ini?"

Rauman tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya, "Aku benar-benar sakit. Kau bisa mengeceknya sendiri."

Zeon menaruh telapak tangannya ke bagian dada Rauman. Senyum jengkelnya tiba-tiba surut lalu wajahnya menjadi pias. Ia menatap ayahnya dengan sorot khawatir.
"Sejak kapan?" tanyanya. Rauman menghembuskan napas. Ia meraih tangan Zeon lalu menepuk-tepuk punggung tangan anaknya.

"Kau tak perlu khawatir, Zeon!"

"Ayah, bagaimana mungkin aku tak khawatir."

"Zeon! Terlahir sebagai seorang dewa merupakan sebuah tanggung jawab besar. Ada kalanya karena kekuatan tanpa batas, para dewa akan bertindak semena-mena. Ketika hal itu terjadi, tak ubahnya ia telah menjadi iblis. Dan seorang iblis akan terus berlawanan dengan dewa lainnya."

"Apa maksudmu, ayah?"

"Kau tahu aku terlahir kembar?"

Zeon mengangguk.

"Pernahkah kau bertemu pamanmu?"

Zeon menggeleng. Ia mengingat dulu ketika kecil, ia berusaha ke tempat istana dewa takdir buruk. Ia mendengar bahwa Dewa Sautesh adalah pamannya. Ia sangat ingin bertemu dewa yang masih terikat hubungan darah dengan ayahnya. Namun, baru saja sampai gerbang istana, suara penolakan dari Sautesh membuatnya gemetar dan tak ingin kembali lagi ke istana itu.

"Zeon, jiwa kami berdua selalu terhubung. Ketika dia sakit, ayahmu akan ikut merasakannya juga."

"Maksud ayah? Paman Sautesh sedang sakit parah?" Zeon menatap ayahnya yang seakan tengah memandang pada kejauhan sana. Dilihatnya kepala sang ayah mengangguk.

"Sautesh sakit parah, dan aku selalu merasa bersalah akan keadaannya." Suara ayahnya berbisik.

"Sautesh terlahir dengan penuh kemalangan. Ketika alam melahirkannya, bencana tak henti-hentinya menimpa pada Gartan. Hingga kemudian alam menciptakanku sebagai penyeimbang dengan kekuatan putih."

"Kami hidup berdampingan, berteman baik, dan saling mengasihi. Sampai kemudian kami harus mulai melaksanakan tugas-tugas kami. Ia berubah, tapi aku tak sedikitpun mengerti. Ia menjadi pecandu kebebasan, aku hanya mendiamkannya. Ia berbuat kotor, hal yang membuatku mulai membencinya. Sampai kemudian ia bertemu Norva. Kehidupannya mulai tertata kembali. Aku bahagia melihatnya tak pernah bermain dengan dewi-dewi atau menggoda para manusia-manusia perempuan lagi."

"Namun, takdirnya sendiri bukan lah menjadi pendamping Norva. Aku harus memilih, melihat kebahagiaannya bersama Norva, ataukah melindungi garis alam yang telah digariskan oleh semesta. Pada akhirnya aku memilih tugasku. Dan titik itulah, kulihat ia kembali berubah. Ia membenciku, tapi aku tak berdaya untuk mengikuti semua kemauannya."

"Zeon, pamanmu sakit. Fisik dan hatinya telah terluka parah dari sejak dulu. Dan sekarang rasa bersalahku padanya semakin besar. Aku hanya ingin melihat senyumnya kembali." Mata Rauman berkaca-kaca.

"Aku ingin saudaraku kembali, Zeon!"

Zeon mendesah, ia kemudian meletakkan tangannya ke dada ayahnya. Sinar biru muncul dan masuk ke dada Rauman. Setelah memastikan ayahnya tertidur, ia beranjak bangun melangkah ke jendela yang menampakkan awan-awan yang begitu tenang dan indah. Keindahan yang tak mungkin dimiliki di tempat pamannya berada. Sungguh suatu perbedaan yang sangat kentara.

"Paman ...." ucapnya lirih hampir tak terdengar.

***

Yeva melangkah perlahan keluar dari kolam yang berwarna merah. Di sisi-sisi kolam terdapat sepuluh tubuh dayang istana Samhian dengan leher tanpa kepala menjuntai ke dalam kolam.

Gadis itu kemudian membersihkan diri dengan secarik kain lalu berganti pakaian. Setelah selesai memakai kembali pakaiannya, Yeva melangkah pergi tanpa menengok ke belakang. Meninggalkan kolam darah dengan sepuluh mayat dayang-dayang istana.

Rencananya berjalan sangat lancar. Tak ia kira bahwa sepuluh dayang yang ia bujuk untuk berenang di kolam tujuh warna di hutan, bersedia ikut dengan antusias.

Mereka pergi diam-diam karena peraturan istana tidak memperbolehkan dayang keluar dengan sembarangan. Tak ada firasat apapun pada mereka bersepuluh, khayalan mereka mandi di kolam tujuh warna mengakibatkan kewaspadaan mereka longgar.

Sampai di hutan di mana kolam berada, dengan teriakan bahagia mereka berlarian. Ketika akan memasuki air, tiba-tiba saja tanaman-tanaman yang menjulur menyerang dan mencekik leher mereka semua hingga terputus. Darah dari sepuluh dayang mengucur hingga ke kolam. Kolam yang bening berubah menjadi warna pekat darah.

Yeva bersenandung sambil berjalan menyusuri jalan ke arah istana. Kulitnya telah kembali halus juga mata dan kakinya kembali ke bentuk manusia. Ia memainkan liontin hitam di dadanya. Dari arah belakang, seseorang terlihat mengikutinya.

Merasakan sesuatu, gadis itu menoleh ke belakang. Tak ada apapun. Ia mengernyitkan dahi sambil menatap kegelapan hutan. Tak ada apapun terlihat di matanya, ia kemudian kembali melangkah pergi.

Ketika Yeva telah jauh, sesosok orang keluar dari kegelapan. Wajahnya penuh keraguan dengan banyak pertanyaan.

"Bukankah itu Putri Yeva, mengapa ia mengenakan pakaian dayang Samhian?" Gregore berucap masih dengan menatap Yeva dari kejauhan. Ia kemudian mengeluarkan secarik kertas lalu menuliskan sesuatu dalam kertas itu. Dibentuknya kertas tersebut menyerupai burung, lalu dengan menyebutkan nama Raja Trev burung kertas itu melesat pergi.

***

Ratu Mazmar menatap sekelompok orang yang berseragam kerajaan Valia. Dari singgasananya Sang Ratu tengah cemas dan ingin segera sekelompok orang ini pergi. Namun, menjaga martabatnya, Sang Ratu tetap pada sikap anggunnya.

"Kesepakatan kami, dapatkah Anda mengabulkannya?" Russel, Sang Komandan besar Negara Valia menutup ucapan dan tuntutannya.

Ratu Mazmar terdiam, ia kemudia mendesah dengan lembut. "Kami bisa membantu Valia, asalkan barang yang kau berikan merupakan tubuh Raja Yaves asli." Ratu Mazmar melirik pada peti yang di bawa sekelompok orang itu.

Russel tersenyum kemudian membungkuk hormat, "Kami dapat menjamin keasliannya Yang Mulia. Pada waktu tubuh Raja Yaves tumbang, tubuhnya terlempar dan jatuh di hutan perbatasan Samhian dan Valia. Prajurit kami lah yang menemukannya. Kami menyembunyikan tubuh ini berharap akan kebangkitannya suatu hari nanti, dan kami akan menjadi pengikutnya untuk menyerang Samhian."

Sudut bibir Ratu Mazmar tersenyum. Ia menganggukan kepalanya membayangkan hari itu datang. Kemudian tangannya melambai tanda untuk Ram mengeluarkan suatu hadiah. Ram datang dengan sebuah kotak kayu kecil dan mengulurkannya pada Ratu Mazmar.

Kotak kayu itu terbuka, lalu Sang Ratu mengambil sesuatu di dalamnya dan mengeluarkan perlahan-lahan. Sebuah token berwarna perak tergenggam di tangan Ratu. Para punggawa kerajaan Valia saling membulatkan mata mereka menatap token tersebut.

"Ini adalah token pasukan Pulau Suci, aku akan meminjamkan pasukan garda depan pada kalian." Ratu Mazmar memasukan kembali token tersebut pada tempatnya lalu menyuruh Ram memberikan kotak tersebut pada Russel.

Russel berbinar menatap kotak di tangannya. Ia menganggukan kepala lalu bersimpuh memberi hormat pada Sang ratu.

"Kami, Negara Valia, akan merebut kembali kejayaan masa lampau antara Valia dan Mayuta. Perang besar ini akan menghancurkan Samhian. Kami akan menunggu kebangkitan Raja Yaves dan bersama-sama meratakan negara Samhian serta menghancurkan Zarkan Tar, gelar Mahadiraja tidak boleh lagi ada di dunia ini."

Sorakan para pengikut komandan Russel berkumandang di aula istana Pulau Suci. Teriakan semangat juang mereka membuat Ratu Mazmar tersenyum gembira. Seakan masa depan sesuai dengan bayangannya, senyum itu berubah menjadi tawa.

Issac menatap pemandangan di depannya dengan geram, tangannya mengepal erat. Tak ingin melihat pemandangan di depannya lagi, perlahan ia memundurkan langkahnya lalu berbalik keluar dari aula istana.

Ram yang berdiri tak jauh dari Ratu Mazmar menangkap kepergian Issac. Ia kemudian berbisik pada telinga Sang Ratu, ketika Ratu Mazmar mengangguk, pria itu berbalik dan keluar dari ruangan dengan mata menyipit penuh dengan perhitungan.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro