Part 19. Wanita yang Tidak Boleh Disinggung

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aula telah terpasang tirai putih dan ribuan bunga mensori berwarna emas yang memenuhi setiap tiang dan atap. Para tamu yang terdiri dari pejabat istana dan para dewa berdiri di setiap sisi yang menandakan kedudukan masing-masing. Sisi kanan merupakan tamu untuk para dewa dan sisi kiri merupakan tamu dari berbagai negara serta beberapa pejabat utama kerajaan.

Karpet merah tebal terpasang dengan indah hingga menuju singgasana utama yang bernuansa emas. Beberapa tamu dari negara lain saling berdecak kagum menatap tatanan megah aula istana yang dihias untuk pernikahan besar Sang Mahadiraja.

"Kudengar permaisuri yang dinikahi Sang Mahadiraja adalah orang biasa yang ditemukan di tengah hutan. Apakah Sang Mahadiraja tidak berpikir terlebih dahulu untuk menikahi seorang gadis biasa?" seseorang berkata dengan lantang. Dia adalah salah satu pangeran dari kerajaan Valia yang bernama Halius. Wajahnya termasuk tampan tetapi caranya dalam memandang orang selalu angkuh dan congkak.

Zeon yang berdiri di bawah tangga singgasana utama langsung menyipitkan matanya. Namun, menjaga martabat kerajaan Samhian ia kemudian menyunggingkan senyum tipis tanpa membalas kata-katanya. Beberapa pejabat kerajaan Samhian menatap geram pada Halius. Akan tetapi mereka juga tak bisa membantah. Pada kenyataannya permaisuri yang dipilih oleh Sang Mahadiraja tak diketahui asal usulnya. Mereka pun tak bisa menyuarakan protes pada Sang Mahadiraja karena rasa takut mereka.

"Benar-benar, seorang Mahadiraja harus ditaklukan oleh wanita yang bahkan tidak diketahui asalnya. Masih pantaskah gelar Mahadiraja tersemat di pundaknya? Coba kita lihat bagaimana tampang permaisuri dari hutan itu." Halius terkekeh, para pengikutnya yang berada di belakang pun tersenyum sinis dengan mata memandang penuh ejekan.

Tangan Zeon terkepal dibelakang punggungnya. Senyum halusnya berubah menjadi senyum mengerikan dengan mata menatap keberadaan Halius secara tajam. Ia sudah mengeluarkan suar berwarna biru untuk bersiap menyerang Halius secara diam-diam, saat kemudian teriakan pemberitahuan datang.

"Yang Mulia Raja dan Ratu memasuki aula ...."

Pintu besar berwarna emas terbuka. Semua orang yang berada di dalam aula saling menoleh dan menatap penasaran ke arah pintu. Mata mereka membulat sempurna penuh nuansa takjub ketika Sang Mahadiraja masuk dengan mengapit seorang gadis bermata ungu.

Langkah sempurna mereka diiringi beberapa prajurit dengan langkah tegap dengan pedang tersampir di pinggang mereka. Pedang-pedang yang diperbolehkan memasuki aula istana khusus untuk mengiringi Sang Ratu. Para tamu menelan saliva mereka sebagai tanda takjub disertai iri. Tak terkecuali Halius yang wajahnya memerah saat menatap Kanna.

Jubah emas Sang mahadiraja berkibar setiap gerak langkahnya. Mahkota raja yang ia pakai tak luput dari sorotan. Mahkota yang jarang sekali ditampilkan jika ia sedang bersama para pejabat istana. Begitu pula mahkota ratu yang disematkan di atas kepala Kanna menjadikan decak kagum para tamu kian menggema.

"Bukankah itu mahkota Ratu Norva?" seseorang berbisik, lalu disambut anggukan para pejabat raja.

Mereka kini dapat tersenyum lega ketika melihat wajah permaisuri yang dipersunting Sang Mahadiraja. Meski tak puas akan asal usul Sang Permaisuri, mereka hanya bisa menerima keputusan sepihak Sang Mahadiaraja. Untungnya, kecantikan Sang Permaisuri dapat memuaskan hati mereka untuk bisa disombongkan pada negara lainnya. Terutama ... para anggota kerajaan akhirnya menoleh dan menatap Halius yang kini tengah mengatupkan bibirnya.

"Wanita dari hutan itu benar-benar membuatku malu," halius menggerutu. Tangannya terkepal menatap Zarkan Tar dan Kanna yang tengah menaiki tangga menuju singgasana.

"Kita lihat saja, apakah Sang Ratu Samhian dapat memberikan hadiah memuaskan untuk para tamu-tamunya," Halius berbisik pada orang kepercayaannya. Mereka berdua menatap sinis pada dua orang yang kini telah duduk di singgasana mereka.

Tak dapat dipungkiri kursi seorang Ratu terlihat cocok untuk Kanna. Beberapa tamu kerajaan bahkan berbisik-bisik memuji. Seakan kursi tersebut memang hanya diciptakan untuk diduduki Kanna seorang.

Pintu kembali terbuka dan masuklah sosok Dewa Takdir Baik yang datang dengan sebuah kotak yang ditutupi kain berwarna emas. Langkahnya tegas dengan senyum menawan yang mirip dengan Zeon.

Para tamu kembali dikejutkan saat melihat aura dewa yang menguar kuat dari tubuh Rauman. Mereka semakin berdecak kagum dan memuji Zarkan Tar. Bahkan seorang dewa tinggi pun datang ke pernikahannya. Melihat hal ini, ejekan di hati mereka terlontar pada Halius. Lalu apa jika Sang Permaisuri berasal dari hutan? Bahkan Dewa pun datang untuk merestui pernikahan ini.

Zeon menyambut kedatangan ayahnya, ia mengambil kotak yang dibawa Rauman lalu mengiringi Sang Ayah menaiki tangga menuju singgasana Sang Mahadiraja.

"Salam hormat Yang Mulia Zarkan Tar." Rauman menundukkan tubuhnya memberi hormat.

Zarkan Tar mengangguk. Ia dan Kanna beranjak lalu berdiri di hadapan Rauman. "Anda datang merupakan berkat alam semesta untuk kami," sambutnya sambil menggandeng Kanna.

Rauman tersenyum pada Kanna yang dibalas dengan senyum indah Sang Permaisuri. Dewa tersebut kemudian berbalik menghadap ke arah para tamu.

"Malam ini, kehadiranku di Samhian bukan saja ingin memberi restuku pada pernikahan Sang Mahadiraja dan Permaisuri Kanna, namun ada suatu hal penting yang ingin kupersembahkan pada mereka berdua." Rauman tersenyum. Aura bijaknya menguar membuat para tamu terkagum-kagum. Sang Dewa memberi petunjuk anaknya agar mendekat. Ia kemudian mengambil kotak yang berada di tangan Zeon lalu mengelus penutupnya.

Kotak berwarna emas dengan ukuran sedang terlihat masih terkunci rapat. Rauman mengangkat tangan kanannya lalu mengarahkan pada kotak tersebut. Penutup kotak terbuka dan memancarakan sinar cahaya biru.

Perlahan Rauman memasukan tangannya ke dalam kotak tersebut lalu mengambil bulatan bola Kristal berwarna biru.

Serempak para tamu baik manusia dan dewa-dewi yang datang menarik napas. Mereka mengenali bola berwarna biru tersebut.

Kanna menatap kristal biru itu dengan bingung. Entah mengapa perasaannya seakan familiar dengan kristal itu.

"Bukankah itu harta karun dari klan penyihir hitam?" Dewa Pertanian, Arega, bertanya pada seorang dewa di sampingnya.

"Anda benar, itu adalah kristal biru milik klan penyihir hitam. Harta karun yang telah lama hilang, kini kita bisa melihatnya dengan mata telanjang." Jawaban Dewi Kanara, Dewi kesuburan, membuat para dewa dan dewi lainnya mengangguk. Percakapan para dewa tersebut juga terdengar sampai ke bagian tamu kerajaan lain.

Halius semakin menatap garang pada singgasana Zarkan Tar. Mengapa selalu keberuntungan yang di dapat Mahadiraja? Tak adakah yang bisa menjatuhkannya?

Rasa bencinya semakin menumpuk. Kebencian yang dimulai ketika adik yang ia sayangi kembali ke Valia karena diusir secara tidak terhormat dari istana Samhian. Sang adik yang depresi akhirnya memilih bunuh diri dengan menenggelamkan dirinya di danau Kabalri. Danau yang dipenuhi berbagai hewan air buas. Tubuhnya binasa tak bersisa secuil dagingpun. Hanya beberapa robekan pakaian dan bekas darah yang mengambang di air.

Masih ia ingat begitu cerianya gadis itu saat akan diboyong dan diserahkan pada Sang Mahadiraja untuk dijadikan persembahan sebagai wanita Raja. Akan tetapi, selangkahpun rombongan itu belum memasuki tanah di istana, penjaga kerajaan mengusir mereka dengan surat titah raja. Bahwa barang siapapun dari rombongan itu memasuki istana, mereka akan di hukum penggal saat itu juga.

Harga diri yang terinjak. Luka hati yang terkoyak. Cinta dan harapan Sang Putri Negara Valia dihancurkan seketika bahkan sebelum memandang rupa Sang Mahadiraja.

Halius menyesali dirinya yang tidak ada saat itu. Jika saja ia ikut dalam rombongan itu, mungkin saja ia bisa menantang Zarkan Tar meski nyawa taruhannya. Dengan itu, adiknya tak akan mati sia-sia.

Mengingat kembali kisah adiknya, Halius mengepalkan tangan hingga melukai telapak tangannya. "Kalian tak boleh bahagia diatas penderitaan adikku!" Halius berkata dalam hati.

"Kristal ini adalah harta karun Klan penyihir hitam, diciptakan oleh Zhirca pendiri Klan Penyihir hitam. Hanya keturunan langsung dari garis darahnya lah yang dapat memiliki Kristal ini." Rauman bercerita dengan memandang para tamu yang menatap bola kristal di tangannya dengan antusias.

Kristal Zhirca merupakan salah satu harta karun yang banyak dicari bukan saja dari kalangan penyihir hitam. Penyihir putih bahkan sampai dewa dan dewi pun berusaha mencarinya. Kekuatan yang terkandung dalam kristal Zhirca mengandung aura negatif, ia akan menyembuhkan segala penyakit atau menyerap semua sihir yang bersifat negatif.

Untuk kalangan manusia, kristal ini bisa dijadikan senjata hebat untuk menangkal kekuatan sihir yang berusaha mencelakakannya. Dan di kalangan para dewa, kristal Zhirca dapat digunakan sebagai nyawa kedua. Akan tetapi, tak sembarangan orang bisa menjinakkan kristal ini. Hanya mereka yang merupakan garis keturunan murni Zhirca lah yang dapat menjinakkannya.

"Yang Mulia Zarkan Tar, izinkan hamba menghadiahkan kristal ini kepada Yang Mulia Permaisuri."

Suara terkesiap para tamu serempak membahana di aula ketika Rauman menyatakan keinginannya.

"Wahai Dewa Rauman yang sangat terkenal bijaksana. Apakah Anda tidak memikirkan lebih lanjut tentang hadiah yang kau serahkan secara sembarangan kepada Permaisuri?" tiba-tiba Halius keluar dari tempatnya berbaris. Ia berdiri di tengah aula sambil memandang congkak ke arah singgasana.

"Semua yang berada di sini, mengetahui bagaimana kekuatan permaisuri saat ini. dia lemah, dan tidak mempunyai kekuatan sihir apapun. Apakah Anda tidak memikirkan lebih lanjut, jika kristal itu disentuh oleh tangannya, Sang permaisuri bisa meninggal seketika."

"Jaga ucapanmu, Pangeran Halius!" komandan pasukan Samhian, Heragold keluar dari barisan dan siap berhadapan dengan Halius. Halius mencibir, membuat Heragold melangkahkan kakinya. Akan tetapi baru satu langkah Zeon menarik bahunya lalu menggelengkan kepala. Heragold menghembuskan napas kasar menatap tajam pada Halius.

"Bersabarlah, akan ada sebuah pertunjukan hebat, tanpa kau mengacungkan pedangmu kepadanya." Zeon berkata di sela-sela senyumnya yang sangat ceria. Senyum yang terlalu ceria sehingga membuat siapapun yang menatapnya merinding seketika.

***

"Bagaimana mungkin sepuluh gadis itu menghilang dalam waktu genting seperti ini?" kepala dayang istana Samhian dengan jengkel mengatupkan bibirnya.

"Jika mereka ditemukan, kurung mereka di kastil timur. Jangan beri mereka makan!" dengan geram Kepala Dayang berkata pada beberapa prajurit yang ditugaskan mencari dayang-dayang tersebut. Matanya kemudian melihat Yeva yang berdiri paling belakang.

"Kamu! Kemari!" Kepala Dayang memanggil Yeva. Yeva mengangguk lalu berjalan ke hadapannya.

"Kau dayang baru?"

"Iya, saya baru beberapa hari ini bekerja sebagai dayang baru."

"Baiklah, karena dayang-dayang senior entah pergi kemana mereka. Kau bawa minuman khusus untuk Yang Mulia Raja dan Permaisuri. Ingat! Jangan melakukan kesalahan sedikitpun, ini sangat penting. Kau mengerti?"

"Saya Mengerti." Yeva menganggukan kepalanya. Ia kemudian mengambil nampan berisi teko dan dua cangkir berwarna emas. Bibirnya terangkat dengan senyum sinis.

Gadis itu lalu mengekor pada barisan dayang-dayang yang telah memegang nampan masing-masing yang disediakan untuk para tamu.

Otak Yeva dipenuhi rencana-rencana jahat. Ia berhenti sebentar ketika barisan depan tetap berjalan. Perlahan dari sabuk pinggangnya ia mengambil botol kecil berisi cairan keunguan. Segera ia membuka tutup botol tersebut lalu menuangkan semua isinya masuk ke dalam botol. Setelahnya ia membuang botol itu secara sembarangan.

Menengok ke kanan dan ke kiri ia memastikan tak ada yang melihat perbuatannya. Setelah merasa aman, ia kemudian secepatnya menyusul kelompok para dayang.

Gregore keluar dari sudut lorong dengan raut wajah datar. Ia menatap punggung dayang yang kini setengah berlari mengejar kelompok para dayang. Entah mengapa ia merasa sangat familiar.

Ia ke tempat para dayang untuk meyakinkan dirinya bahwa Putri Yeva tidak ada di sana. Tebakannya benar, tak ada wajah dayang yang mirip dengan Sang Putri. Akan tetapi, dayang yang ia lihat itu entah mengapa membawa aura Sang Putri.

Menggelengkan kepala, Gregore berusaha untuk tidak berpikir hal-hal negatif. Ia berjalan hendak menuju aula istana saat matanya menangkap kilau bening dari sebuah botol yang tergeletak di tengah lorong.

Penasaran ia mengambil botol itu lalu mengenduskan hidungnya. Dahinya mengernyit heran, ia kemudian menatap ke lorong istana yang telah kosong di mana tadi ia melihat dayang terakhir itu yang tertinggal dari kelompoknya. Firasatnya tiba-tiba menjadi buruk.

***

"Yang Mulia, kami tak menemukan Putri Yeva."

Ratu Mazmar menyeruput cangkirnya yang berisi cairan manis bunga Calamain. Ia mengusap bibirnya sebelum tersenyum tenang.
"Ia sudah dalam perlindungan Anpa, aku yakin dia baik-baik saja."

"Tapi ...."

"Ram, kau mengikuti Issac kemarin?" Mazmar mengalihkan topik pembicaraan mengenai putrinya.

Ram mengangguk, "Ia pergi ke sebuah taman dan bertemu seorang dayang. Tak ada yang mencurigakan. Ia hanya diam-diam bertemu dengan kekasihnya."

"Benarkah? Kau tak menyelidikinya lebih jauh?"

"Aku menyelidikinya. Ia hanyalah prajurit biasa, anak dari seorang nelayan yang tinggal di perbatasan laut. Tak ada yang mencurigakan."

"Seorang nelayan? Setahuku tak ada nelayan di Pulau Suci." Ratu Mazmar menggeleng dengan lembut, "Ram, selidiki dia dengan benar."

Ram terkejut tetapi ia tetap mengangguk. Benarkah Issac sesuai dugaan awal Ratu Mazmar bahwa dia orang Raja Trev. Berkali-kali Ram menemukan kejanggalan dari Issac tetapi semuanya tak terjawab ketika Ram menyelidikinya.

***

"Apa yang membuatmu keberatan akan hadiahku ini?" tanya Rauman dengan tenang.

"Kudengar Kristal Zhirca hanya akan mengenali darah dari garis keturunan asli Zhirca. Bagaimana mungkin Anda sembarangan memberikan padanya? Anda begitu sangat yakin Permaisuri merupakan keturunan Zhirca. Jika salah, Anda akan menghilangkan nyawanya."

"Jadi, menurutmu aku tidak layak mendapatkan kristal ini?" tiba-tiba Kanna berkata ketika Rauman hendak membuka mulutnya kembali.

Seluruh tamu terdiam. Suara Kanna begitu tegas, lembut , tetapi mampu membuat mereka tak ingin menyela.

"Ah, Sang Permaisuri salah mengangkap maksud hamba ini. Hamba hanya tak ingin Anda terluka, dibutuhkan sihir dengan kekuatan besar untuk menaklukan kristal ini. Para Dewa saja belum tentu dapat menaklukannya, apalagi Anda ... seorang manusia tanpa sihir." Senyum cemoohan Halius tersungging. Para pengikutnya terkekeh dengan sengaja. Membuat suasana aula bertambah panas.

"Jadi menurutmu, aku tak pantas?" Kanna menunjuk dirinya. Halius tersenyum sinis sambil menatap Zarkan Tar yang terlihat begitu tenang. Halius bertaruh, sejauh mana ketenangan Sang Mahadiraja ini.

"Baiklah. Yang Terhormat, Dewa Rauman, mohon kepada Anda untuk menyerahkan kristal ini pada Pangeran Halius. Kudengar dia berasal dari klan penyihir hitam. Jika darahnya diterima oleh kristal ini, maka hari ini juga kristal Zhirca menjadi miliknya."

Kerumunan para tamu saling berdengung menyatakan protesnya. "Tenanglah!" Zeon berteriak, seketika mereka terdiam.

"Aku akan mengantarkan Kristal Zhirca ini pada Anda sendiri." Kanna menahan tangannya ketika Zarkan Tar hendak mengikutinya.

"Yang Mulia hanya perlu melihat pertunjukan ini," Kanna berbisik lalu mengedipkan matanya. Tak memerlukan kata-kata lagi dengan lincah Kanna menuruni anak tangga di susul Rauman dan Zeon.

Di hadapan Halius senyum Kanna sangat tenang. Entah dendam apa pria ini padanya, Halius seakan ingin mencincangnya hidup-hidup.

"Jangan menyesal dengan ucapanmu, wahai Permaisuri!"

"Tentu saja, aku adalah Ratu Samhian. Titahku tak mungkin kujilat kembali." Ucapan Kanna membuat Halius semakin berkobar karena dendam.

Gelar dan kedudukan itu seharusnya milik adiknya, Olhia. Gadis yang ia manjakan dan telah dipersiapkan sebagai ratu besar. Olhia lah yang seharusnya berdiri di hadapannya sekarang. Bukan wanita yang ditemukan di tengah hutan belantara ini. Menatap senyum Kanna, Halius merasa seolah Zarkan Tar tengah menghina dan menginjak-injak dia dan Olhia.

Kanna memberi perintah pada Zeon agar membawa kristal Zhirca tersebut lalu menyodorkannya pada Halius. "Teteskan darahmu di atasnya." Zeon lebih mendekatkan Kristal tersebut pada Halius.

Mata Halius berbinar. Harta berharga klan penyihir hitam. Ratusan tahun menghilang dan kini berada di depan matanya. Bagaimana mungkin harta berharga ini akan diserahkan cuma-cuma pada perempuan yang tak mempunyai sihir sama sekali.

Halius akan mengambil belatinya sampai kemudian tamparan keras membuat tubuhnya terpelanting lalu tersungkur ke lantai.

Hening.

Semua tamu menatap Kanna yang berdiri dengan santai menatap Halius. Halius gemetar. Tak ada yang menyangka sama sekali ia bisa terpelanting dengan mudah karena tamparan seorang wanita. Sekuat apapun sihir wanita, mereka tak mungkin mengalahkannya.

Mendelik tajam ia memelototi Kanna yang tersenyum angkuh di depannya.

"Kupikir kau tak perlu belati untuk mengeluarkan darah, lihatlah ... bibirmu sudah mengalirkan darah sekarang." Telunjuk Kanna menunjuk mulut Halius. Menyadari aliran hangat dan asin dari mulutnya, Halius meraba bibir. Darah kental berceceran di tangan kanannya. Darahnya, darah yang keluar akibat tamparan kecil seorang wanita.

"Seorang pangeran yang ahli dalam tiga elemen sihir, berdarah karena tamparan wanita yang tak mempunyai sihir. Bukankah ini menarik." Heragold terkekeh mengejek sambil menatap Halius yang tengah berang.

"Anda sudah berjanji akan menyerahkan Kristal Zhirca ini padaku, mengapa Anda menamparku? Inikah Ratu Samhian? Menyalahi janji yang ia ucapkan sendiri." Halius tampak berapi-api berkata di depan Kanna.

Di atas singgasana Zarkan Tar mengepalkan tangannya dengan geram. Ia sangat ingin membakar dan menghanguskan Halius.

"Tak pernah ada kata-kataku yang ingin menarik kembali Kristal ini, Halius. Aku hanya membantumu mengeluarkan darah. Jadi, kau tak perlu mengeluarkan belatimu," Kanna terkekeh dengan menutupi bibirnya. hal yang membuat Halius semakin geram. Wanita ini menertawakannya.

"Ini ... silahkan tes darahmu, Pangeran Halius." Zeon kembali menyodorkan kristal Zhirca.

Halius kembali menatap Kristal Zhirca dengan serius. Meski hatinya dongkol ia harus tetap membuktikan kepemilikannya pada kristal ini. dengan ceceran darah yang berasal dari bibirnya, Halius mengulurkan tangan kanan lalu perlahan meneteskan darah.

Waktu seakan begitu lama saat darah menetes dan jatuh di permukaan Kristal. Senyum Halius tersungging saat darahnya terserap, ia membuka bibirnya lebar hendak tertawa sesaat kemudian sinar biru terang keluar dari kristal lalu dengan keras memukul tangan kanan Halius dengan keras.

"AARRRGGHH!!" teriakan Halius menggelegar. Seluruh penghuni ruangan terkesiap menatap potongan tangan halius yang terpental di tengah-tengah karpet merah.

Halius menjerit dan berguling-guling dengan teriakan kesakitan yang membuat pendengarnya ikut merasakan sakit.

Belum reda rasa sakit itu, Kanna mengangkat tangannya ke atas. Tubuh Halius tiba-tiba terangkat di udara melayang-layang. Ia seakan belum menyadari bahwa dirinya tengah melayang di hadapan orang-orang banyak.

Kanna lalu meniupkan nafasnya. Sebuah kabut putih tercipta lalu perlahan membentuk sebuah panah berwarna emas. Panah legenda Zarkan Tar.

"Apa? Mana mungkin, panah itu ...." Syok para tamu membelalak terkejut.

Kanna mengambil panah tersebut dengan lembut, matanya menyorot Halius dengan serius. Para pengikut Halius gemetar dan pucat pasi. Mereka ingin menghentikan tetapi itu merupakan hal yang tak mungkin. Mengganggu harimau yang sedang diburu amarah sama saja menyerahkan nyawamu secara cuma-cuma.

Kecekatan yang terukur Kanna tiba-tiba telah memasang busur beserta anak panah dan mengarahkannya pada Halius.

"Buka matamu! Dan lihat, bagaimana seorang wanita tanpa sihir ini, akan ... membunuhmu." Semua mata melihat bagaimana tarikan anak panah itu dilepas dengan niat membunuh yang amat kuat.

'SSSLLLAASSHH!!'

'SSSHHHUUU!!'

"AARRGGGHH!" Pangeran Halius berteriak saat panah tertancap di jantungnya.

Tubuhnya terlempar mengikuti kecepatan anak panah emas. Pintu aula terbuka dengan sendirinya ketika tubuh Halius mengarah terbang keluar.

Di luar istana tiba-tiba tubuh Halius mengeluarkan api besar. Jeritan menyayat hati terdengar begitu keras disertai ledakan luar biasa.

Para manusia dan dewa yang berada di dalam Aula istana menatap Kanna dengan gemetar.

Kanna menurunkan busur panahnya, lalu menatap para tamunya dengan senyum yang sangat dingin.

"Aku, Kanna. Permaisuri Sang Mahadiraja Zarkan Tar, Ratu dari Negara Samhian. Siapapun kalian, pejabat, raja, bahkan dewa, mereka yang menyinggungku ... akan menemui kematian."

Angin bertiup mengibarkan rambutnya. Menampilkan sosok wanita yang akan dikenang di hati para manusia dan dewa sebagai sosok kedua yang tidak boleh disinggung keberadaannya.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro