Part 25. Pertaruhan (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kedua kelopak mata Calasha membuka perlahan. Mata berwarna almond dengan bulu lentik itu mengerjap-kerjap. Bibir ranumnya terbuka sedikit meloloskan desahan napas berat.  Wanita itu kemudian menarik tubuh rampingnya lalu bergerak keluar ruangan.

Gaun putih berkibar mengikuti arah langkah menuju sebuah tebing tinggi. Calasha menghentikan langkah saat melihat sosok berjubah kelabu menatap dirinya. Sangat terlihat ia sedang menunggu kedatangan wanita itu. Decak kesal Calasha terdengar nyaring, tetapi ia terus melangkah sampai ke depan dewa takdir buruk.

“Kau berani datang menemuiku?” sudut bibir Calasha tersenyum mengejek. Tak dihiraukan ejekan itu, Sautesh dengan datar tetap menatap kedua mata Calasha.

“Ada apa? Kau ingin meminta maaf?”

“Ada yang harus kita lakukan,” Sautesh bergumam, “dan semua tergantung bagaimana kau akan menyikapi semua ini.”

“Sautesh, kau masih berpegang teguh pada prinsipmu?”

“Aku hanya berpegang teguh pada tujuanku.”

“Ooh, kau tetap ingin membangkitkan Norva?” Calasha mengedikkan bahu. Ia sendiri sedang berpikir keras bagaimana cara membuat Zarkan Tar terbunuh sehingga menurunkan egonya sedikit saja untuk merangkul kembali Sautesh.

“Norva bukan lagi tujuanku.” Jawaban Sautesh membuat dewi kehidupan mengernyit, wanita itu tak percaya menatap Sautesh dengan bingung.

“Mengapa?”

“Entahlah, aku merasa … aku tak bisa memaksa Norva. Kupikir ….”

“TIDAK! Jangan sampai kau mempunyai pemikiran seperti itu Sautesh. Tetaplah pada tujuanmu dari awal.”

“Mengapa? Mengapa aku harus tetap pada tujuan awalku? Kau sangat berkeras hati mengenai hal itu Calasha?” Sautesh mendesis.

Kepala wanita cantik di depan Sautesh menggeleng kuat, ada bilik air mata terlihat di pelupuk matanya. Kekalutan yang sangat terlihat. Sautesh sendiri menjadi bingung akan tindakan Calasha. Ada apa dengan dirinya? Sautesh akan bertanya ketika melihat Calasha tergugu. Sehingga ia urung mengeluarkan pertanyaan.

“Jika kau tak membangkitkan Norva, jiwa Agra Tar tak pernah bisa aku panggil. Mereka berdua terikat dalam satu benang takdir, dan hanya membangkitkan keduanya lah aku bisa memiliki Agra Tar kembali. Ketika mereka bangkit aku akan memutuskan benang takdir itu, Sautesh.”

“Karena itu, hanya dirimu lah yang bisa. Kau harus membangkitkan Norva. Entah setelah itu kau akan membunuhnya kembali atau kau akan memilikinya untukmu sendiri, Sautesh kau harus tetap pada awal tujuanmu.”

Raut wajah Calasha memohon. Emosi yang tak pernah Calasha tunjukkan padanya. Sautesh terdiam menatap dalam kedua mata Calasha.

“Kau sangat mencintai Agra Tar? Sedalam itu kau mencintainya?”

Calasha mengangguk patuh. Ia bahkan terisak dengan air mata mengaliri kedua pipinya. Raut wajah penuh kesedihan hingga membuat siapapun yang melihat akan tergerak hatinya ingin menolong.

“Ribuan tahun aku menanti hal ini, Sautesh. Berbagai jalan pun aku tempuh. Ya, sedalam itu aku mencintainya. Aku ingin memilikinya hanya untukku sendiri.”

Sautesh tak bisa berbicara satu katapun. Entah mengapa bibirnya kelu untuk membantah semua ucapan Calasha. Ada sesuatu lain merasuk ke dalam hati. Sesuatu yang tak bisa di katakan, tapi begitu mengganggu. Ia membenci wanita di depannya ini. Benci karena entah mulai kapan keberadaan Calasha mulai menggeser nama Norva di hati Sautesh.

Sautesh mengepalkan kedua tangannya begitu erat. Ia kemari dengan tujuan membujuk Calasha agar menghentikan semua rencana awal mereka. Namun, mendengar nama Agra Tar membuat hati Sautesh kembali terbakar amarah.

“Semua terserah padamu, hentikan tangis konyolmu itu! Sungguh, kau tak pantas untuk menangis.” Begitu dingin ucapan Sautesh, tanpa memikirkan bagaimana perasaan Calasha ia berbalik lalu menghilang begitu saja.

Calasha mengusap air mata di pipi. Kabut kelabu Sautesh bahkan masih terasa ketika ia terkekeh lalu tertawa penuh kegilaan.
“Kau pikir aku tak mengetahui tujuanmu kemari? Sautesh, kau masih sama bodohnya dengan dirimu dulu.”

Penuh keangkuhan Calasha menatap langit, “Cygnus sekalipun kau merubah hatinya. Aku akan tetap mencegah takdir yang menghubungkan kami berdua.”

***

Ram menatap wanita di depannya seolah tak percaya. Sosok pujaan hati yang selama ini telah ia anggap mati. Begitu muda dan persis ketika dulu mereka bersama. Rambut sekelam malam yang sangat bersinar indah. Dua bola mata ungu yang begitu menakjubkan. Garis wajah oval dengan bibir mungil yang merekah indah. Ram sangat tergila-gila. Kabut gairah bahkan terlihat jelas di matanya.

“Arneth, Arneth … kekasihku, aku sangat yakin. Kau memang masih hidup.” Bibir pria itu membentuk senyum menjijikan.

Wanita di depannya diam tak bergeming sedikitpun. Membuat tangan Ram mulai berani terangkat hendak membelai Kanna.

Entah pria itu buta atau memang telah gila, tak ia sadari suhu disekitarnya menjadi dingin hingga membekukan segala benda. Kedinginan hati Kanna berimbas dengan membekunya udara.

Tak sampai tangan terulur itu membelai Kanna, Ram berteriak kesakitan saat sebuah kristal es menusuk pergelangan tangan hingga menembus sisi lainnya. Wajah Ram memucat dengan teriakan gila yang membahana.

Saat itulah ia baru merasakan perbedaan wanita di depannya. Wanita yang ia sangka Arneth menatapnya dengan sorot penuh api bagai dewi neraka. Ram tak tahu mengapa, ia merasa sangat ketakutan. Bagaikan seorang terdakwa Ram merasa sangat kecil di hadapan tatapannya.

“Si, Siapa kau? Kau bukan Arneth,”

Kanna melangkah mendekati Ram, tapi pria itu bergerak memundurkan langkah. “Kau mungkin tak mengetahui siapa diriku. Namun, kau pasti mengenal nama Liz dan Ben. Kau mengingatnya?”

Ram menatap Kanna, mengamati fitur wanita cantik itu dengan seksama. Sampai pada suatu pemahaman besar. Rasa terkejutnya kian bertambah. Tak pernah ia bayangkan hari ini akan tiba. Hari di mana ia bertemu anak pujaan hatinya.

“Kau bayi itu?” rasa sakit di tangan Ram sudah tak ia rasakan. Entah mengapa memikirkan wanita di depannya adalah penyebab kematian Arneth. Tiba-tiba saja sebuah kekuatan setan dalam dirinya bangkit.

“Kau lah pembunuh utama ibumu. Kau lau pembunuh Arneth!” Ram memelototi Kanna dengan tajam. Pria itu seakan semakin tak sadar dengan apa yang ia katakan.

“Jika saja kau mati ketika bayi, Arneth tak akan terbunuh. Lalu, si bodoh Liz dan Ben itu. Jika mereka tak menyembunyikanmu, mereka tak akan mati. Kau lah yang membunuh mereka semua. Kau penyebabnya!” Ram berkata keras dengan setengah menggeram. Telunjuknya bahkan tepat menunjuk wajah Kanna yang semakin dingin.

“Tahun itu aku seharusnya membunuhmu. Agar Ratu Mazmar melepaskan Arneth, tapi Liz bodoh itu menolongmu. Bahkan bersusah payah dengan setengah organnya yang telah rusak karena racunku, ia tetap bertahan hidup hanya demi membesarkanmu. Jadi, jika kau ingin menuntut balas, kau lah yang paling bersalah! Kau, sudah seharusnya mati … AAARRGGGGHHHH!” Ram menjerit saat merasakan tusukan logam dingin pada kakinya.

“Ap, apa … kau ingin membunuhku?” mata Ram memelototi Kanna. Pikiran gilanya benar-benar sudah tak tertolong lagi. Kemarahan di hati Ram membangkitkan api yang menyelubungi seluruh tubuh pria itu. Lalu dengan kecepatan tak terukur ia terbang dan dengan tinjunya ia mengeluarkan seekor singa yang seluruhnya tertutupi api.

Kanna menatap sinis lalu dengan menjejakkan kakinya ia terbang dan berhenti di depan Ram.

“Kau pikir sekuat itu untuk melawanku?” Kanna mendesis, ia kemudian mengangkat tangan kanannya. Suar api biru tiba-tiba menyelubungi dirinya membuat Ram terkejut setengah mati. Rambut Kanna berkibar dengan api biru yang semakin membuatnya bak dewi neraka sebenarnya.

“Mengapa? Mengapa kekuatan Arneth ada padamu?” Ram berteriak gila. Ia tak pernah menyangka bahwa Arneth akan mewariskan semua ilmunya pada anak Trev ini. Kebencian Ram semakin berkobar, memikirkan Trev serta anaknya semakin membuat pikirannya tak waras. Ia tak akan pernah mengakui anak Arneth dan Trev. Baginya anak itu adalah penghalang utama serta penyebab kematian Arneth.

Ia melibaskan tangannya dengan penuh amarah menggiring singa apinya menyerang Kanna. Kanna berputar lalu menukik ke bawah menghindari cakaran singa api itu. Sang Singa mengejarnya dengan cepat. Raungan kuat mungkin dapat membuat gerakan lawan akan melamban. Namun, kebencian Kanna mematahkan semua efek kekuatan Ram.

Kanna kembali mengangkat tangannya lalu sebuah tongkat hitam muncul dan dengan cekatan menebas tangan singa yang akan mencakarnya. Raungan Singa kembali terdengar, akan tetapi tak sampai di situ, Singa tersebut semakin marah dan menerjang Kanna dengan liar.

Ada sesuatu yang lain pada singa api itu. Seakan kekuatan iblis juga ikut di dalamnya. Kanna menatap Ram yang kini matanya telah berubah menjadi merah. Benar, pasti ada sesuatu yang membuat Singa Api semakin brutal dan itu terhubung dengan perubahan yang terjadi pada Ram.

Kanna kembali melompat saat Singa api hendak menerkamnya. Ia menendang dada binatang berapi itu dengan keras. Tubuh singa berguling-guling di udara, sesaat kehilangan keseimbangan, tapi segera kembali menyerang.

Kedua bola mata Kanna bersinar terang. Tak ingin lagi ia berbaik hati, dilemparkan lah tongkat hitam dari tangannya.

Sebuah ledakan besar terjadi memecahkan tongkat hitam mejadi gumpalan api biru. Terdengar suara anggun burung phoenix biru mengalun indah.  Api besar bergulung-gulung dan membentuk sayap-sayap seekor burung besar.

‘KKHHAAAKKK!’

‘KKHHAAAKKK!’

Sang phoenix melaju ke udara mengepakkan sayapnya yang lebar. Begitu angkuh dan memandang singa api di bawahnya dengan mata menyipit.

“KURANG AJAR! MENGAPA KAU MENGGUNAKAN KEKUATAN ARNETH!” Ram berteriak gila. Ia semakin membenci anak Arneth ini, dulu Liz yang menggunakan kekuatan Arneth. Sekarang Kanna pun dengan mudah menguasai semuanya.

Kekuatan Arneth akan menjadi miliknya. Ia pastikan itu, Ram bersumpah akan mencincang tubuh wanita ini seperti apa yang telah pria itu lakukan pada ibu angkatnya.

“Bunuh burung itu untukku. Hancurkan dia!!!” Ram berteriak dengan mata merah menyala. Singa api adalah jiwa dari kekuatan sihir Ram. Ia akan merasakan apa yang dirasakan pemiliknya. Karena itu, Sang Singa sangat agresif melompat dan hendak menerjang Phoenix Biru.

Kanna tersenyum sinis dengan mata menyipit. “Hancurkan mereka!” gumamnya lirih.

Mata Phoenix biru yang menyipit perlahan membuka dengan cahaya biru. Ia berteriak serentak menyambut kedatangan Singa api yang kini melaju ke arahnya.

Percikan api terlihat ketika Sang Phoenix menghalau cakaran dari singa api. Dua warna biru dan kuning api terlihat saling menyerang. Agresivitas singa api sangat kuat, tetapi Phoenix biru terlihat tangguh melawan setiap serangannya.

Raungan singa api terdengar kesakitan saat cakar Phoenix berhasil menyerang kedua matanya. Tubuh singa api berguling-guling di udara. Melihat hal itu Phoenix biru semakin melaju kencang dan dengan kepakan sayapnya ia menerjang singa api. Raungan kembali terdengar disertai besarnya percikan kekuatan. Sebagian tubuh singa api kini koyak dengan beberapa luka.

Ram marah. Ia mengangkat tangannya kemudian mengeluarkan sebuah tombak yang dikelilingi api besar. Dengan sekuat tenaga ia kemudian melemparkan tombak tersebut menuju burung phoenix yang tengah menyiksa singa apinya.

“Kau memang selalu berbuat curang,” desis Kanna. Ia meniupkan napasnya membentuk kabut putih tebal yang kemudian membentuk panah besar. Dengan tangkas Kanna langsung menarik tali busur, anak panah api terentang muncul tiba-tiba. Saat tombak Ram melesat cepat, panah api Kanna dilepaskan dan melaju penuh energi mengejar sang tombak.

Ledakan besar terjadi ketika anak panah api itu mengenai tombak yang Ram lemparkan. Ram dengan beringas memelototi Kanna. Namun, Kanna hanya mendongakkan dagunya. Sorot matanya mengejek penuh keangkuhan. Membuat hati Ram semakin diliputi amarah.

Ia hampir menjejakan kakinya melaju menyerang Kanna saat suara raungan keras singa api membuatnya mendongak. pandangannya mendapati jiwa sihirnya melayang dengan tubuh terkulai menuju ke bawah. Tak cukup itu ia melihat Phoenix biru masih melancarkan serangannya. Burung itu menukik tajam lalu dengan cakarnya ia menyeret singa api dan melemparkannya ke atas.

Kanna tersenyum sinis, ia kembali mengangkat panahnya. Dan tarikan halus pada kekang busur mengantarkan anak panah api menuju sang singa yang tak berdaya.

‘DDHHUUUAAARR’

Ledakan api besar membuat Ram terbelalak saat melihat tubuh singa api miliknya meledak.

Tak sampai ia menyadari apa yang telah terjadi, tiba-tiba rasa sakit yang teramat kuat menyerang dadanya. Seakan ribuan senjata tajam menusuk seluruh organ-organ tubuh dari dalam. Terasa sesak dan sangat menyakitkan hingga tenaganya melemah. Tubuh Ram terkulai lemas melayang berputar-putar terjun ke bawah. 

Kanna yang masih diselimuti api biru melesat menyusul kejatuhan Ram. Dengan memutar tangannya wanita itu melemparkan pukulan tepat ke tengah dada Ram. Ram memekik kesakitan. Raungannya sangat pedih, ia merasa semua organ tubuhnya terasa hancur.

“Ya, ya! Itulah yang ibuku rasakan saat kau dengan kejam membunuhnya.” Gambaran kejadian pembunuhan Liz sangat terekam jelas. Membuat sorot mata Kanna semakin melebar kejam. Tak puas dengan raungan Ram Kanna kembali melayangkan pukulan lalu mengantar Ram dengan tendangan kuat di area perutnya.

Pekik kesakitan Ram saat tubuhnya menghantam tanah membuat para prajurti yang masih bertarung pun menghentikan pertarungan mereka. Pasukan yang Ram bawa untuk menyerang, terbelalak tak percaya saat melihat komandan mereka jatuh dari ketinggian langit. Namun, pasukan Samhian bersorak sorai saat melihat ratu mereka turun dengan penuh keanggunan.

Ram terbatuk dengan gumpalan darah yang keluar dari mulutnya. Rasa sesak kian menjadi. Ia tersengal-sengal mencari udara untuk menormalkan paru-parunya. Namun, belum sampai ia menghirup napas lega, Kanna menarik leher Ram dengan sekali hentakan.

“Katakan! Mengapa kau membunuh ibuku?”

Ram tak merespon, ia sibuk menghalau tangan Kanna. Kesal dengan perbuatan Ram, Kanna melemparkannya hingga menerjang tembok. Kanna kembali melesat, kali ini ia menarik pakaian yang terselubung baju zirah pria itu.

“Katakan padaku! Mengapa kau membunuh ibu dan paman Ben?!” Kanna berteriak. Air mata kesedihan dan kebencian berkumpul di kelopak matanya.

“Aku … aku ingin membunuhmu,” suara Ram terbata. Napas pria itu masih tersengal tak beraturan. Keadaannya sangat kacau.

“Mengapa?”

“Kau … kau anak Arneth, kau anak Trev dan Arneth. Aku membenci kelahiranmu. Kau yang membuat Arneth terbunuh! Kau … AAARGGGHH!” Ram menjerit keras saat Kanna kembali melemparkannya. Wanita itu kemudian kembali menyeret Ram lalu memukulinya bertubi-tubi.

“Kau menyalahkanku karena wanita bernama Arneth tak mencintaimu? Kau menyalahkanku karena terlahir dari wanita yang kau sebut Arneth itu? Ibuku adalah Liz!!!” Kanna berteriak dengan pukulan yang kembali ia layangkan.

Meski begitu terlihat payah dan berdarah-darah Ram masih tetap sadar. Ia memandang Kanna dengan suram. Anak Arneth ini memiliki sifat yang sama dengan ibunya, pemarah dan lembut dalam saat yang bersamaan. Ia tersenyum kecil. Entah kepercayaan diri dari mana Ram mempunyai pikiran bahwa anak Arneth tak mungkin membunuhnya.

“Kau tak bisa membunuhku kan? Kau memiliki kepribadian ibumu, Arneth, dia pemarah tapi tak pernah berani menyakiti orang lain.” Ram terkekeh, dilihatnya Kanna yang masih menatapnya dengan dingin. Berbeda dari ibunya yang sering menatap Ram dengan hangat.

Kanna kembali menarik kerah leher pria itu, tetapi sesuatu berkelebat dalam gambaran-gambaran aneh. Wanita yang mirip dirinya tengah menggendong bayi yang terbungkus rapi di depan dua orang wanita dan pria. Gambaran-gambaran lain berkelebat sangat jelas. Teriakan, kebencian, pertarungan, dan bagaimana wanita yang mirip dirinya di bakar hidup-hidup dengan tubuh terikat.

Serentak Kanna melepaskan Ram dan meremas rambutnya. Air matanya mengalir deras. Entah mengapa gambaran-gambaran itu membuat dadanya sesak. Ia kembali mendongak dan menatap Ram yang bernapas dengan kepayahan. Kanna tak mengerti situasi ini, tetapi kebenciannya bahkan semakin menjadi-jadi.

Melepaskan rasa tak mampunya, Kanna menghantamkan tinjunya berkali-kali pada dada Ram. Pria itu berteriak setiap kali menerima hantaman demi hantaman. Kebencian Kanna tak berkurang sedikitpun, bahkan jika ia melampiaskan kemarahannya, kebencian itu semakin bertambah. Gambaran-gambaran yang masuk ke penglihatannya menjadi semakin jelas. Bahwa kematian wanita bernama Arneth ada hubungannya dengan pria ini. ia juga melihat pertarungan Ram dan Liz yang memperebutkan seorang bayi, yang Kanna duga itu adalah dirinya.

Pukulan di dada Ram tak berhenti sedikitpun bahkan ketika suara jeritan Ram tak ada lagi. Kedua mata Kanna memerah dengan sorot kejam. begitu kuatnya pukulan-pukulan itu sampai merobek dada Ram. Setiap kali ia memukul, darah memercik ke wajahnya. Namun, hati Kanna tak merasakan kepuasan sama sekali. Gambaran kematian Arneth ibu kandungnya dan kematian Liz ibu angkatnya semakin membuat sesak hati Kanna.

Ia semakin kuat memukuli Ram yang telah tak bernyawa. Dada pria itu kini berongga menganga. Pukulan Kanna bahkan membuat beberapa organ dalam Ram keluar sebagian.  Tak ada yang berani menghentikannya. Bahkan pertarungan antar prajurit telah lama berhenti. Mereka begitu terkejut dengan kemarahan yang Kanna tampilkan.

Kanna akan kembali melayangkan pukulan saat tangan seseorang dengan lembut menghentikan tindakannya. Napas Kanna tersengal, perlahan ia menoleh pada orang yang berani menahan pukulannya.

Saat melihat dua bola mata emas itu menatapnya begitu lembut, Kanna kembali terisak. Zarkan Tar menarik Kanna ke pelukan. Lalu tak ingin menjadi tontonan semua orang ia menggendong Kanna dan membawanya masuk ke istana.

“Dia membunuh ibuku,” Kanna berucap di sela-sela isak tangisnya. Zarkan Tar hanya diam, ia mengecup kening Kanna penuh kelembutan. Tak ada rasa jijik sedikitpun melihat Kanna yang berlumuran darah.

“Tenanglah, aku di sini.” Bisiknya lembut, Kanna mengangguk kemudian mengeratkan pelukannya pada leher Zarkan Tar.

***

Rauman menatap Sautesh yang dengan dingin balas menatapnya. Kedua saudara kembar itu berdiri begitu dekat tetapi terasa sangat jauh. Jarak antara mereka sangat besar dengan berbagai permasalahan kehidupan yang melingkupi.

“Mengapa kau menemuiku?” Sautesh berucap. Dingin dan suram.

“Kau saudaraku, tentu saja aku ingin menemuimu.”

“Jangan bercanda, Rauman! Sejak kau mengkhianatiku, ikatan saudara kita telah terputus.”

“Darah tak bisa terputus begitu saja, Sautesh!”

“Darah kita berbeda.”

“Sautesh!”

“Jika kau datang kemari hanya untuk menceramahiku, pergilah!”

“Aku datang untuk mencegah peperangan besar ini terjadi, jangan lakukan lagi, Sautesh!”

Sautesh tersenyum sinis. Auranya begitu dingin berkebalikan dengan Rauman yang terlihat cerah dan hangat. Memang dalam segi apapun, mereka sangat berbeda. Bahkan pemikiran masing-masing.

“Ini jalanku, Rauman!”

“Tidak. Ini bukan pilihanmu, Sautesh! jangan menuruti ego yang telah lama mati itu. Kau tahu apa yang terbaik. Keluarlah dari jurang kehancuran yang telah lama kau gali, jadilah Sautesh saudaraku yang dulu. Begitu ceria dan hangat.”

“Itu bukan sifatku.”

“Sautesh!”

“Pergilah, kita berada di dua kubu yang berbeda. Sampai kapanpun takdir baik akan selalu berlawanan dengan takdir buruk.” 

“Kau benar, tapi tanpamu, para makhluk hidup pun tak akan pernah bisa bersyukur, Sautesh! lihatlah para manusia di bawahmu, mereka memuji-muji keberuntungan baik mereka. Hal yang membuat mereka semakin tamak, tapi adanya dirimu mereka tak akan pernah sadar bahwa kehidupan ini selalu ada dua sisi, gelap dan terang.”

Rauman menghela napas, ia memandang lembut Sautesh. “Tinggalkan perang ini, Sautesh!”

Sautesh tak bergeming sedikitpun. Ia hanya tersenyum sini lalu membalas tatapan Rauman. “Kau tak akan pernah bisa mengerti diriku, Rauman! Jadi, pergilah! Aku tak membutuhkan saudara yang selalu mengkhianati saudaranya demi orang lain.”

“Sautesh, apakah kau belum sadar? Norva bukanlah takdirmu.”

“Takdir atau bukan, akulah yang berhak menentukan.”

“Sautesh ….”

Sautesh membalikkan tubuhnya, tak ingin lagi berlama-lama dengan Rauman ia kemudian melangkah pergi. Namun, setelah beberapa langkah ia berhenti. Ditengokkan kepalanya ke kiri sambil berucap, “aku mungkin melepaskan perang ini, asal kau bayar dengan kematianmu.” Kemudian ia kembali meneruskan langkahnya pergi meninggalkan Rauman yang tengah mematung.

***

“Lepaskan mereka! lepaskan mereka semua! Biarkan mereka melahap semua pasukan Samhian.” Sorkha menatap para pasukan Gort yang kini berbondong-bondong berbaris menuju Istana Samhian. Di depan sana istana putih Samhian terlihat semakin suram.

Tawa Sorkha membahana, tak ada lagi ketakutan di hatinya. Pikirannya hanya satu, Zarkan Tar harus mati. Hanya nyawa pria itu yang akan membuat nyawa kekasihnya tenang di Valhalla sana. Dendamnya harus lunas dengan segala bunganya.

“Samhian … tak akan ada lagi kedamaian untukmu besok.” Mata Sorkha memelototi puncak istana Samhian. Ia akan bertaruh hidup dalam peperangan ini. Apapun caranya, ia akan melakukan semua.

Tak jauh dari posisi Sorkha, Calasha berdiri dengan penuh keangkuhan. Esok adalah hari pengadilan. Garis bintang telah terbuka, kekalahan Samhian telah terlihat dan takdir kematian Zarkan Tar semakin mendekat.

Bersambung ….

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro