Part 26. Pertaruhan (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Tinggalkan kami!" Zarkan Tar berjalan menghampiri Kanna yang tengah bersama para dayang. Rambut Kanna masih basah dan sedang dikeringkan dengan kain ketika Zarkan Tar memasuki ruangan.

Pupil ungu Kanna mengecil dan senyum manis terkembang di bibirnya. Zarkan Tar mendekat lalu mengambil kain yang sebelumnya dipakai dayang untuk mengeringkan helaian rambut Kanna. Melihat hal itu, para dayang serentak mengundurkan diri dan menghilang di balik pintu.

"Bagaimana perasaanmu?" kedua tangan Sang Mahadiraja membelai rambut Kanna, ia mengambil alih tugas para dayang mengeringkan rambut basah istrinya.

"Aku baik-baik saja, Yang Mulia!" kedua tangan Kanna terangkat lalu menghentikan tindakan Zarkan Tar.

"Kedua tanganmu tercipta untuk mengangkat pedang, jangan gunakan untuk hal-hal seperti ini, Yang Mulia!"

Zarkan Tar terkekeh, matanya menatap Kanna dari bayangan cermin di depan istrinya. "Sudah kukatakan sebelumnya, untukmu tak perlu aku harus berpengalaman, asalkan itu kamu, aku akan menjadi berpengalaman dalam bidang apapun." Kembali kedua tangannya sibuk mengelap rambut Kanna. Pria itu kemudian mengangkat tangan kanannya ke atas kepala lalu gumpalan uap panas secara ajaib menerpa setiap helai rambut Sang Istri. Mengeringkannya dengan cepat dan lebih baik dibandingkan perawatan dari para dayang.

Perasaan hangat di hati Kanna bukan saja karena sihir yang ditunjukan Zarkan Tar pada rambutnya, namun, cinta Sang Mahadiraja telah memenuhi hati dan pikirannya. Ia menatap sang suami yang kini sibuk menata rambut Kanna dengan percik cinta yang membuat bola mata ungu wanita itu semakin bersinar.

Setelah Zarkan Tar selesai membuat pola ikatan pada rambut Kanna, kedua tangan lentik Kanna segera meraih kedua tangan suaminya.

"Terimakasih," ucap lembut suara Kanna melukiskan senyum di bibir Sang Mahadiraja. Ia merengkuh Kanna dari belakang, menelisik rambutnya ia mengendusi harum rambut tersebut.

"Aku merindukanmu."

"Aku sangat takut melihatmu dalam keadaan tak sadarkan diri. Kau ratuku, aku tak bisa kehilanganmu."

"Tentu saja. Aku tak mungkin pergi jauh darimu," Kanna mengurai dekapan tangan Zarkan Tar. Ia berbalik dan berdiri berhadapan dengan suaminya.

"Apa saja yang terjadi selama aku tak sadarkan diri?" pertanyaan Kanna membuat Zarkan Tar menghela napas.

"Bukan apa-apa, kita akan melewati ini semua. Mereka yang melawanku hanya ingin menyerahkan nyawa mereka dengan cepat."

"Yang Mulia, ini tidak semudah ucapanmu. Aku merasa ada hal lain dalam peperangan ini. Apakah kau menyembunyikan sesuatu dariku?"

Kedua bola mata emas Zarkan Tar menyipit, ia memandang Kanna dengan senyum tipis. Jemarinya bergerak membelai wajah Kanna, "Tidak ada apapun, setelah perang ini selesai kita akan hidup dalam damai."

"Yang Mulia," Kanna ingin menanyakan hal lain, namun pucuk cinta suaminya menahan semua kata-katanya saat tubuh sang suami mulai merengkuhnya.

Dua insan dengan pikiran masing-masing harus menahan semua logika ketika hati yang berbicara. Hanya malam ini saja, izinkan kebersamaan mereka dalam bunga cinta yang indah. Menyatukan hati masing-masing dalam badai cinta mereka berdua.

***

Merine dan Red akhirnya sampai di area padang tandura. Dengan rombongan para penduduk desa, mereka berdua saling bekerjasama agar tetap waspada. Perjalanan melalui terowongan membuat bekal makanan tak lagi cukup. Beberapa para penduduk desa yang telah berusia lanjut terjatuh dan tak sadarkan diri. Entah kekejaman dewa mana, bahkan mata air tak lagi mau mengalir.

"Kita hampir sampai, teruslah untuk bergerak ke depan." Merine berkata dengan lantang. Namun, kata-katanya diabaikan. Di antara mereka, semuanya kelelahan berjalan berhari-hari melalui terowongan sempit dan gelap. Bekal makanan telah habis begitupun bekal minuman. Penampilan mereka begitu menyedihkan dengan badan kotor sepenuhnya dan bibir kering yang telah pecah.

"Kami lelah, izinkan kami beristirahat di sini. Para Gort tak mungkin mengejar kita di sini. Ini sudah area kekuasaan istana Samhian." Salah satu penduduk desa berkata sambil merebahkan dirinya.

"Tidak, kumohon hanya tinggal sebentar lagi. Setelah memasuki istana, kalian dapat beristirahat sepuasnya. Di sekitar sini tidak aman." Lagi-lagi Merine berkata, akan tetapi tetap saja para penduduk desa tak mengindahkannya.

Suara tangisan anak membuat Merine menoleh. Anak itu berusia tiga atau empat tahun. Ia berada dalam dekapan ibunya, tetapi mata ibunya terpejam dan terlihat pucat.

"Oh Red! Dia ...." Merine bergerak ke arah anak yang menangis itu. Red yang melihat Merine berlari ke arah anak itu pun ikut mengejar.

"Bagaimana?" tanya Red. Merine mengambil anak tersebut ke pelukannya.

"Ibunya telah meninggal," Merine terisak. Ia kemudian melihat hampir semua penduduk desa merebahkan diri. Tenaga mereka semua telah terkuras habis. Akan tetapi, padang ini bukanlah tempat yang baik untuk mereka beristirahat.

"Bagaimana ini Red? Kita tak mungkin memaksa mereka untuk berjalan lebih jauh lagi."

Red menatap puncak atap istana putih Samhian. Di antara penduduk desa tidak ada yang mempunyai sihir tingkat tinggi. Jika ia dan Merine menggunakan sihir untuk menerbangkan mereka, tetap saja itu akan memakan waktu dan yang ia takutkan tindakan mereka akan terendus oleh para Gort.

"Salah satu dari kita harus ada yang pergi terlebih dahulu memasuki istana. Dari sana kita baru meminta bantuan," Red bergumam tidak yakin. Ia tak mungkin meninggalkan Merine sendiri di sini untuk melindungi para penduduk desa.

"Pergilah Red. Kau bisa cepat sampai ke istana tanpa menggunakan kekuatan sihir."

"Tapi ...."

"Red, aku dan penduduk desa akan baik-baik saja. Selama kami tak mengeluarkan sihir yang dapat terendus para Gort, kami akan aman."

Red memandang Merine dengan tak yakin. Namun, Merine kembali berucap dengan kata-kata meyakinkan yang pada akhirnya disetujui Red. Pria itu kemudian berbalik, lalu dengan berlari cepat, Red meninggalkan Merine dan para penduduk desa.

Merine mengelus anak yang kini tertidur dalam gendongannya, belaiannya menenangkan si anak yang kini semakin pulas. Tak jauh dari tempat ia berdiri, para pengungsi dari desa lain semua duduk dengan kepala tertunduk. Sebagian telah memejamkan mata. Mereka memang berjalan terus menerus sepanjang terowongan. Oleh karena itu ketika keluar dari tempat gelap tersebut, para penduduk desa serta pengungsi langsung bernapas lega dan tanpa menghiraukan ucapan Merine mereka yang kelelahan langsung tersungkur dan tertidur.

Hati Merine was-was, ia tidak merasa tenang sama sekali. Kedua pandangan matanya berpendar dan memindai ke segala penjuru. Padang Tandura adalah padang rumput yang amat luas. Hanya terdapat rumput-rumput ilalang tinggi. Mereka semua memang terlindungi dari pandangan manusia lain, tapi tidak para Gort. Karena itu lah Merine tak bisa sedikitpun memejamkan mata meskipun tubuhnya sangat amat lelah.

"Kau tidak beristirahat?"

Merine menoleh pada orang yang bertanya padanya. Pemuda pengungsi dari desa lain itu kini berdiri di sebelah Merine.

"Mana mungkin aku bisa tenang pada saat sekarang ini,"

"Kita tak bisa berhenti di sini. Aku merasakan mereka," ucap pemuda remaja tersebut. Merine menoleh menatap netra pemuda itu, tak ada kebohongan, pemuda itu berbicara serius padanya.

"Aku tidak bohong. Mungkin orang tak akan percaya pada kekuatanku, tapi aku dianugerahi indra penglihatan lain. Sudut barat sana, serombongan Gort menuju kemari, tidak ... ada 12 Gort." Telunjuk pemuda itu menunjuk ke belakang Merine.

Hati merine bergetar dengan ketakutan. 12 Gort, itu sangat banyak. Sedangkan dua Gort saja dapat membinasakan seluruh desa.

"Bantu aku memberitahu para penduduk desa untuk jangan menggunakan sihir apapun. Gort sangat sensitif, mereka dapat mendeteksi suara dan sihir yang kita gunakan. Kau mengerti?"

Pemuda tersebut mengangguk lalu bergegas kembali menuju kelompoknya. Sedangkan Merine, gadis itu langsung mencari Laira, wanita tua yang ia percayai. Melihat Laira yang tengah beristirahat, Merine mendekat.

Laira membuka matanya kemudian tersenyum menatap Merine. "Ada apa anakku? Kau terlihat ketakutan?"

"Laira, aku meminta bantuanmu menjaga anak ini. Ibunya meninggal, aku tak bisa meninggalkannya begitu saja."

Laira tersenyum kemudian menyambut anak yang berada dalam gendongan Merine. Setelah memastikan anak tersebut aman dan masih lelap tertidur, Merine beranjak lalu berjalan ke arah barat.

"Aku ikut denganmu," suara remaja pengungsi itu kembali membuntuti Merine.

"Ini bahaya, kau harus berada di tempat persembunyian."

"Aku tak bisa membiarkan seorang wanita melindungi kaum pria."

"Kau seorang remaja,"

"Tetap saja aku seorang pria. Ah, benar! Kau belum tahu namaku, namaku Ilija."

Merine mendengus, "aku tak peduli siapa dan apa yang ingin kau lakukan, hanya jangan ganggu aku!"

"Aku tak mungkin mengganggu, sebaliknya aku akan membantumu."

Merine mengedikkan bahu kemudian tetap berjalan ke arah barat dengan remaja tersebut mengikut di belakangnya.

***

Iring-iringan kelompok Gort yang berjumlah ribuan memenuhi seluruh penjuru jalan dari tiap sisi. Pemandangan makhluk aneh dengan badan raksasa berkepala besar dan gigi runcing itu membuat siapapun akan takut. Begitu pun dengan Yeva. Sang Putri sangat jijik dengan para Gort. Namun, kali ini bukan hanya jijik. Yeva ketakutan melihat mereka, tubuh Gort membesar dua kali lipat dari sebelumnya. Yeva berpikir itu adalah efek ramuan yang diberikan Anpa pada mereka.

Gort biasa hanya akan lebih tinggi daripada manusia pada umumnya, tapi kali ini tubuh Gort dua kali lipat manusia dan sorot mata mereka hitam legam dengan air liur berwarna hijau yang selalu menetes dari sudut bibir. Yeva beruntung hanya dapat melihat mereka dari atas tebing ini, ia tak ingin mendekati Gort agresif yang sebentar lagi akan menuju istana Samhian.

"Ibu, bisakah kita menang?"

Mendengar pertanyaan anaknya Ratu Mazmar hanya menatap datar ke bawah. Kumpulan para Gort seakan hal biasa untuknya.

"Kita harus menang, bukankah itu keinginanmu?" suara Ratu Mazmar datar dan dingin. Yeva hanya mengangguk kemudian mendengus saat matanya menatap puncak istana Samhian. Jarak bukit yang ia tempati sekarang dengan istana Samhian terbilang cukup jauh, tetapi istana putih itu terlihat jelas meski malam begitu pekat. Dan ia akan melihat pemandangan keruntuhan istana megah tersebut dari bukit ini.

"Aku tak sabar melihat runtuhnya istana itu," Yeva terkekeh senang. Namun, ibunya masih tetap tak bergeming.

"Untuk anakku satu-satunya, Ayah akan melakukan apapun." Tiba-tiba suara seorang pria menginterupsi. Yeva dan Mazmar serentak menengok. Yaves dengan seringai anehnya berjalan mendekati dua wanita ibu dan anak itu.

"Siapa kau? Aku bukan anakmu!" sentak Yeva dengan ekspresi jijik.

Meskipun pria di depannya terbilang tampan, tapi Yeva lebih menyukai ayahnya. Yeva sudah beranjak dewasa dan dia mengerti hubungan apa yang dimiliki dua orang pria dan wanita. Beberapa kali ia melihat ibunya dimesrai pria menjijikan ini. Meski Yeva tak melarang, tapi ia tak rela jika pria sundal ini menganggap dirinya sebagai anak.

"Yeva Sayangku, aku lah ayahmu. Tak bisa kau sangkal bahwa dalam dirimu mengalir darahku." Yaves terkekeh menatap pias pucat wajah gadis di depannya.

"Apakah ibumu tak pernah bercerita? Bahwa kau terlahir dari hubungan kami berdua?"

Yeva memelototkan matanya, pria ini benar-benar keterlaluan. Ia tak menginginkan pria seperti ini sebagai ayahnya. Akan tetapi, mengapa ibunya diam saja? Yeva menoleh dan menatap ibunya yang kini tengah menunduk.

"Ibu! Katakan padaku, semua ucapan pria ini salah! katakan bahwa aku bukan anaknya, aku anak Sang Penguasa Pulau Suci, Raja Trev. Aku bukan anak pria menjijikan ini!" Yeva menjerit. Namun, ibunya tak bergeming. Wajah Mazmar begitu datar. Lalu, perlahan ia menoleh pada anaknya.

"Dia benar Yeva, kau adalah putrinya!" ucapan itu sangat datar. Tak ada emosi sama sekali. Yeva menggelengkan kepala tak percaya. Tubuhnya gemetar tak terkendali, telunjuknya terangkat menunjuk tepat ke wajah ibunya.

"Kau! Kau! MENGAPA AKU HARUS DILAHIRKAN OLEHMU?" pekikan Yeva disertai isakan. Langkahnya mundur, pandangannya buram karena air mata. Ia melihat Sang Ibu yang wajahnya terlihat tak memiliki raut emosi apapun, lalu beralih menatap pria yang mengaku ayahnya sedang menyeringai geli. Sungguh alam begitu kejam pada dirinya. Mengapa ia terlahir dari pasangan manusia jahanam seperti mereka berdua?

"Ibu, benarkah kau menyayangiku?" Yeva lirih bertanya. Namun, Ratu Mazmar hanya diam. Ia menatap Yaves kemudian baru terhenti pada Yeva.

"Kau menginginkan Zarkan Tar, maka aku membangkitkan ayahmu. Dan kau masih bertanya apakah aku menyayangimu? Yeva, tanpa ayahmu, Zarkan Tar tak akan pernah takluk padamu. Kau tak akan pernah menjadi permaisurinya."

Kepala gadis cantik itu menggeleng dengan kedua mata yang berair. Ia terkekeh ditengah tangisnya. Ini kah ibunya? Ini kah wanita yang melahirkannya?

"Ibu, kau memaksakan diriku lahir pada hari kelahiran yang tidak seharusnya. Kau membuatku menjadi seorang teratai biru palsu, kau menukar kecantikanku dengan kecacatan menjijikan. Ibu ... apakah kau masih seorang manusia? Benarkah kau ibuku?"

"Aku melakukannya demi masa depanmu."

Yeva terbahak. Air matanya mengalir deras, rasa sakit di hatinya sangat dalam. Sampai ia sendiri bingung harus menangis ataukah tertawa bahagia akan jawaban ibunya. Tanpa ingin berkata-kata lagi, ia membalikkan tubuh tak ingin lagi melihat mereka. Tertatih ia berjalan berniat pergi meninggalkan ibu dan pria yang mengaku ayahnya.

"Kau akan pergi ke mana anakku? Pembicaraan penting belum kami sampaikan," Yaves terkekeh. Yeva menghentikan langkahnya, ia menengok dan begitu kaget melihat pria yang mengaku ayah kandungnya kini tepat berhadapan muka.

"Apa maksudmu?" tatapan Yeva sangat geram. Namun, Yaves tak memedulikan ketidaksukaan putrinya itu.

"Kau adalah alat perang sempurna untuk kami, ayah dan ibumu."

Yeva terbelalak ngeri saat kedua tangan Yaves bergerak lalu mencengkeram kepalanya. Gadis itu langsung berteriak kesakitan saat cahaya berwarna merah masuk melalui seluruh panca indranya. Tubuhnya bergetar dengan bola mata yang kini berganti putih sepenuhnya. Saat cahaya merah telah sepenuhnya merasuk, Yaves melepaskan Yeva. Tubuh Yeva ambruk dengan kedua kelopak mata terpejam.

Pria itu tertawa terbahak-bahak. Sedangkan masih di tempatnya semula, Mazmar hanya menatap tubuh putrinya dengan pasrah. Jemarinya terangkat, gemetar ia mengusap air mata yang mengalir di pipi.

***

Red berjalan bolak balik dengan kecemasan yang tergambar di wajah dan gesture tubuhnya. Berkali-kali ia menatap ke dalam, tapi tak ada tanda-tanda kedatangan Kanna. Napasnya telah berhembus berapa kali dengan berat. Gundah, cemas dan banyak hal merasuk di hati dan otaknya.

Ia mencemaskan Merine dan para penduduk desa. Padang Tandura memang dekat dari sini, tapi tetap saja tak aman bagi mereka yang masih berkeliaran di luar. Apalagi hanya Merine sendirian yang berjaga-jaga.

'Kriiieett'

Pintu aula terbuka, sosok wanita cantik dengan balutan gaun sederhana keluar. Senyumnya berubah ceria dengan binar pada bola mata berwarna ungu, gerakannya begitu cepat hingga tiba di hadapan Red.

"Red!" Kanna menyapa dengan menepuk bahu pria jangkung kembaran Merine itu. Red tersenyum canggung, bagaimanapun dekatnya mereka, ia kini tak bisa sembarangan berbicara dengan seorang ratu.

"Yang Mulia Ratu, mohon maafkan hamba yang begitu mendesak ingin bertemu dengan Anda."

"Red kau membuatku tak nyaman dengan basa-basimu itu, katakan di mana Merine? Kau tak datang bersamanya?"

"Aku datang bersamanya, tetapi kami juga membawa penduduk desa dan beberapa pengungsi. Mereka berada di padang Tandura. Penduduk desa terlalu lelah berjalan hingga mereka tak kuat lagi meneruskan perjalanan kemari."

"Benarkah? Tak aman di sana, ayo kita kesana, aku akan ...."

"Kau tak boleh pergi kemanapun, Permaisuriku!" suara Zarkan Tar menggelegar dengan penekanan pada kata permaisuri.

Kanna menoleh, matanya yang ungu membulat sempurna. Bola mata emas Zarkan Tar terlihat menajam. Tanda bahwa suasana hatinya sedang tak baik. Kanna beringsut, Ia mendekati suaminya dan dengan tergesa menangkup tangan Sang Mahadiraja.

"Hanya sebentar saja, Merine berada di luar sana dengan para penduduk desa. Aku takut jika Gort menyerang mereka."

"Tak harus dirimu yang pergi ke sana. Banyak prajurit dan Zeon yang lebih tepat melakukan tugas ini." Zarkan Tar berkata begitu tegas. Kanna menghela napas resah, tapi ia tak mampu melawan ucapan Sang Mahadiraja.

"Aku akan menyuruh beberapa prajurit tangguh dan Zeon yang akan memimpin penyelamatan mereka. Apa kau puas?" Zarkan Tar menatap Red yang kini menunduk ketakutan. Kanna mengerang, selalu begini jika Zarkan Tar bertemu Red. Sahabatnya selalu ketakutan jika berada dalam satu ruangan.

"A ... aku tahu Yang Mulia Zarkan Tar, terimakasih atas bantuan Anda."

"Pergilah! Tunggu di luar dan akan ada pasukan yang akan mengiringimu menjemput mereka." masih dengan aura dinginnya Zarkan Tar berkata acuh tak acuh.

Red mengangguk lalu tak ingin berlama-lama berada di ruangan yang sama ia segera mengambil langkah seribu. Bersama Sang Mahadiraja membuat jantungnya hampir pecah karena berdegup terlalu kencang.

Ketika Red telah menghilang di balik pintu, Kanna bersedekap menatap tajam Zarkan Tar. "Kau menjengkelkan!"

"Aku?"

"Iya."

"Kau melepaskan pelukanku, meninggalkanku sendiri di kamarmu, dan pergi begitu saja, lalu bertemu pria lain dan berniat pergi bersamanya. Kau pikir aku senang?"

Kanna menatap Zarkan Tar seolah tak percaya akan pemikiran suaminya. "Red sahabatku, wahai Yang Mulia Raja," ia terkekeh. Lalu dengan lembut kedua tangannya menangkup rahang suaminya.

Zarkan Tar memajukan wajahnya hingga hidung mereka bersentuhan. "Kau Ratuku, tidak akan pernah ada pria lain yang akan menjadi Rajamu, di hati maupun di sisimu. Hanya aku!"

Kanna tersenyum disertai anggukan. Zarkan Tar melepaskan kedua tangan Kanna, "Aku akan mengawal pasukan dan membawa para penduduk desa kemari. Tunggulah di sini, kau mengerti?"

"Aku mengerti, berhati-hatilah!" anggukan Kanna disambut kecupan pada punggung tangannya, setelah itu Zarkan Tar dengan tergesa melangkah pergi.

"Sekeras apapun hatimu, kau tak mungkin mengabaikan penduduk Samhian, Sayangku!" Kanna tersenyum manis menatap kepergian Sang Mahadiraja.

***

"Tunggu," Ilija menghentikan langkah Merine. Kedua kelopak mata remaja itu menutup. Tubuhnya bergetar. Lalu terbuka dengan peluh yang membasahi wajahnya.

"Mereka banyak! Mereka, mereka dari segala penjuru!"

"Apa maksudmu? Mereka?"

"Gort, mereka banyak. Ribuan, dari segala penjuru, mereka menuju padang Tandura! Mereka akan berkumpul di sini." Terbata-bata Ilija berucap. Peluhnya semakin banyak membuat Merine tak tahu harus bagaimana. Ia kemudian menempelkan telapak tangannya di atas kepala Ilija.

Merine merasakan itu. Suatu penglihatan perang yang penuh dengan pembantaian. Ribuan Gort kini berderap dari berbagai arah. Dan benar tujuannya adalah padang Tandura, padang besar yang merupakan tempat strategis untuk menyerang istana Samhian.

Ia melihat Red membawa pasukan Samhian. Akan tetapi, belum sampai pada titik kumpul para penduduk desa Red diserang dari berbagai sudut. Merine mengerjap. Ia kemudian melepaskan tangannya. Peluh di wajahnya berjatuhan sama halnya dengan Ilija.

"Kau benar mereka datang, dan begitu banyak. Kita harus mencegah Red datang kemari!" Merine gemetar, kedua tangannya bahkan tak bisa berhenti bergetar. Ia akan melangkah pergi saat kemudian merasakan getaran pada tanah yang ia injak, dan sesuatu terasa begitu dekat.

Sepasang mata Merine dan Ilija membelalak saat suara geraman Gort terdengar dari arah belakang mereka.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro