Part 29. Takdir Kematian (3)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sarusa berteriak menarik mundur para prajuritnya. Ia dan Rederik berderap ke arah kuda lalu mengambil langkah seribu meninggalkan medan perang. Bukan untuk mundur dari peperangan ini, melainkan aba-aba dari bukit timur telah keluar. Cahaya merah berkobar melaju ke atas langit. Tanda dari Sautesh, bahwa perang dari sang dewa telah dijatuhkan.

Seluruh pasukan Valia mundur. Namun, pasukan Samhian tak mengejar karena mereka hanya dalam posisi bertahan. Kekurangan jumlah pasukan tetap saja akan menjadi kelemahan untuk mempertahankan istana. Sedangkan dalam dunia Gartan, istana adalah symbol suatu kedaulatan Negara. Bila musuh masuk dan menguasai itu artinya Samhian telah runtuh. Mereka hanya akan patuh pada rencana semula. Mempertahankan istana.

Zeon menatap heran pada pasukan Valia yang mundur tiba-tiba. Ia lalu melihat Zarkan Tar yang masih melayang di atas. Tatapan sang mahadiraja melihat bukit timur.

Zarkan Tar merasakan aura familiar. Panggilan yang menggugah hatinya agar mendekat ke bukit timur. Dorongan yang teramat besar. Dalam. Penuh dominasi menghancurkan.

"Yang Mulia!" Zeon telah berdiri di sisi Zarkan Tar. Sama halnya dengan sang mahadiraja, tatapan pria pun menusuk tajam pada bukit timur.

"Auranya semakin kuat."

"Perketat pasukan kita! Aku merasakan sesuatu yang buruk. Entah apa itu, tetapi aroma kematian begitu kuat."

"Hamba mengerti, Yang Mulia!" Zeon berbalik lalu kembali di mana pasukan Samhian sedang berbaris.

***

"Siapa kau?" Kanna menatap wanita yang persis dirinya, hanya saja warna mata mereka berbeda.

Wanita tersebut menyeringai. "Aku dirimu yang lain."

"Tidak mungkin! Aku berdiri dengan diriku sendiri."

"Kanna, sudah waktunya kau tidur." Wanita tersebut menelengkan kepalanya. Perlahan wajahnya berubah menjadi sosok lain. Cantik, namun begitu angkuh dengan pesona memikat.

"Kau --"

"Namaku Calasha, dan aku bagian dirimu yang lain."

"Aku tak mengenalmu, dan jangan berpikir bahwa aku dan kau adalah satu kesatuan. Apa tujuanmu menarikku kemari?"

"Kanna!" Calasha mendekat. Senyumnya halus tapi mengandung kesombongan seorang dewi.

"Apakah kau tahu mengapa kau diciptakan? Pernah kah kau bertanya, mengapa kau mempunyai nasib sebagai teratai biru?"

Kanna menatap lekat kedua bola mata keabuan Calasha. Wanita cantik itu tersenyum semakin lebar saat Kanna masih tak bisa menjawab.

"Kau sudah pernah bertemu Cygnus tentunya, apakah dia bercerita mengapa dia menciptakanmu?"

Kanna hanya diam menatap Calasha. Aura Calasha bukan aura manusia. Keagungan yang menguar dari tubuhnya membuat Kanna yakin, ia adalah seorang dewi.

"Kau seorang dewi?"

Calasha terkekeh. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seakan menertawakan Kanna. Meski begitu Kanna tak merasa tersinggung. Hati dan pikirannya hanya fokus pada rasa was-was. Entah mengapa ia yakin, wanita yang menyebut dirinya Calasha tidak berniat baik padanya.

"Tak sia-sia Cygnus menciptakanmu. Kau cerdas, juga – kuat. Namun ...." Calasha menatap Kanna dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Sesempurna apapun dirimu, tak ada yang bisa menggantikan diriku. Dapat kupastikan, bahwa kau akan mati di tanganku." Suara lembut Calasha berubah seiring sorot matanya yang menajam.

Degub jantung Kanna berirama kuat. Seakan talu di dalam dirinya memukul begitu dalam hingga menggetarkan seluruh tubuh. Kanna menangkup dada tepat di area jantung. Rasa sakit tiba-tiba menyentak hingga membuatnya terbelalak. Darah merah tersedak.

Di depan Kanna, Calasha menyunggingkan senyum sinis. "Sudah waktunya, aku menggantikan tubuhmu."

Sebuah sinar menyilaukan mata menerpa kedua bola mata Kanna. Ia memejamkan mata saat cahaya tersebut menyerang. Kemudian, Kanna hanya menemui kegelapan pekat. Ruangan tanpa tembok dan sangat hampa. Tak ada pintu keluar atau ujung jalan. Gulitanya membuat Kanna tak bisa mendapatkan sedikitpun cahaya.

"Seandainya Cygnus tak menciptakanmu untuk melawanku, kau tak perlu menderita seperti ini, Kanna!" Calasha tersenyum menatap Kanna yang tergeletak tak berdaya. Perlahan tangannya terulur lalu membelai tanda teratai di antara kedua alis Kanna. Suar cahaya biru menjalar lalu menyeret Calasha masuk ke dalam tanda teratai tersebut.

***

Para prajurit yang berjaga di baris depan istana sebagai pertahanan melihat Kanna yang berjalan menuju mereka. Kemenangan besar karena berhasil memusnahkan pasukan Rushka dan memukul mundur pasukan Valia membuat mereka bersuka cita. Senyum tersungging di bibir para prajurit saat sang ratu semakin mendekat.

Mereka berniat akan memberikan ucapan selamat kepada Ratu Kanna. Melihat keteguhan sang ratu yang ikut melawan dengan sengit membuat hati mereka bahagia. Ratu mereka kuat, dan mereka bangga akan hal itu. Kanna semakin mendekat saat salah seorang prajurit maju berniat memberi salam.

"Selamat, Yang Mulia Ratu. Kemenangan pertama milik Samhian kita," ucap prajurit tersebut.

Kanna berhenti lalu menengok perlahan menatap prajurit tersebut. Senyumnya sangat lembut tetapi menggoda, hingga membuat wajah sang prajurit merona.

"Kau bilang, Samhian menang?" Kanna mengerling. Matanya menatap istana putih di depan. Lalu kembali memandang sang prajurit.

Senyum lembut Kanna berubah menjadi seringai mengerikan. Tangannya terulur lalu meraih kepala prajurit tersebut, cahaya biru pekat keluar dari tangannya. Prajurit tersebut terkejut, tetapi belum sempat menemukan jawaban rasa sakit luar biasa membuat tubuhnya bergetar lalu meledak seketika.

Serentak semua prajurit membelalak, refleks mereka mengangkat senjata. Semua pandangan mata diliputi penuh amarah. Bagaimana mungkin Ratu mereka membunuh prajuritnya sendiri?

"Kalian bilang, Samhian menang? Jika begitu, mari kutunjukan seperti apa posisi Samhian."

Kanna beranjak melompat lalu memukulkan serangan membabi buta. Para prajurit Samhian yang tak siap akan serangan brutal menjadi kewalahan. Ratu mereka tiba-tiba menyerang prajuritnya sendiri. Hal yang sangat aneh, dan membuat mereka bingung. Bila mereka menyerang dan sang ratu terluka, bisakah mereka mempertanggungjawabkannya di depan sang raja? Namun, jika mereka tak melawan, nyawa mereka pun menjadi pertaruhan.

Serangan Kanna semakin beringas. Kembali ia memukulkan pukulan yang membuat para prajurit tak berdaya. Seakan membunuh bukanlah hal sulit, Kanna berkali-kali melukiskan darah di dada para prajurit Samhian.

Suara peperangan antara Kanna dan para prajurit menarik perhatian Zeon. Pria itu langsung keluar dan mendapati peperangan tak sebanding tersebut. Kedua matanya menatap Kanna dengan pandangan tak bisa diartikan. Lalu tanpa menunggu Zarkan Tar datang, ia melompat dan langsung berdiri di depan Kanna yang tengah menghunuskan pedang pada dada salah satu prajurit Samhian.

Kanna tersentak mundur saat pukulan mendarat di dadanya. Ia mendongak dan menatap Zeon yang menatap tajam. Senyum miring Kanna terbentuk. Ia meludahkan seteguk darah akibat pukulan pria itu.

"Mundur semua!" perintah Zeon yang langsung dilaksanakan para prajurit. Mereka saling membantu sebagian prajurit yang terluka parah.

Zeon dan Kanna berhadapan di tengah lapangan. Kedua mata mereka beradu sengit.

"Kau bukan Kanna, siapa kau?"

Kanna menyeringai. Sambil mengusap darah di bibirnya, ia berkata, "Memang, anak Rauman tak mungkin bisa dikelabuhi."

"Namun –" Kanna mengerling. Ia memandang istana Samhian.

"Sudah dari awal tubuh ini milikku. Kanna diciptakan untuk maksud tertentu. Cygnus yang menciptakan dan aku yang memberi kehidupan. Karena itu, bukankah wajar jika aku mengambilnya?"

"Kanna tercipta untuk sebuah keadilan. Bukan untukmu atau Cygnus. Lepaskan dia!" bentak Zeon. Pria itu lalu mengeluarkan tombak, tak menunggu Kanna beranjak ia langsung menyerang.

Kanna menyeringai saat Zeon hendak memukulkan pukulannya. Namun, tak sempat tangan Zeon beradu, ia mengirimkan sinar biru yang membuat pria itu harus mundur. Tangan kanan Zeon terbakar, percik api beberapa kali membelai tangannya. Ia kembali menyerang, tetapi kecepatan Kanna sangat tangkas. Berkali-kali Zeon mendaratkan pukulan ia hanya memukul angin. Sebaliknya, ia selalu menderita serangan balasan bertubi-tubi.

Wanita itu tertawa terbahak-bahak. Kedua tangannya terangkat ke atas. Pusaran angin berwarna biru pekat berputar-putar deras.

Zeon memundurkan kakinya, ia lalu mengibaskan tangan dan secercah sinar keperakan keluar lalu membentuk sosok binatang bersayap. Elang besar dengan tubuh berwarna perak. Sang elang berteriak kencang lalu melaju terbang bersamaan dengan pusaran angin biru yang dilepaskan Kanna.

pertarungan dua warna perak dan biru saling mendominasi. Elang perak menyerang dengan cakar tajam, akan tetapi beberapa kali tubuhnya harus terhempas dengan pukulan-pukulan yang tak diketahui berasal dari mana.

Zeon menatap elang peraknya yang tengah dijadikan bulan-bulanan sedemikian rupa hingga jeritan elang terlihat kesakitan. Pekik jeritan tersebut membuat elang beberapa kali berguling dan hampir jatuh. Seakan ada suatu senjata rahasia, puasaran angin berwarna biru membuat sang elang kewalahan. Kedua mata Zeon menatap tajam pada angin biru itu. Saat itulah mata dewanya terbuka. Bola mata yang berwarna biru aquamarine perlahan berganti menjadi keperakan.

"Kau menyerah dengan kekuatan manusiamu?" Kanna terkekeh mengejek. Tangannya terentang lalu membentuk tanda silang di dada. Saat melepaskan dengan satu hentakan sinar biru pekat melayang menerjang Zeon. Zeon menatap tajam kemudian berputar menghindari serangan.

Zeon melayang terbang kemudian di ikuti Kanna yang bergerak liar. Dari jauh hanya sinar biru dan perak yang saling bertarung. Kekuatan yang menguar begitu besar hingga menekan dada para prajurit yang menonton.

***

Kanna meraba sekitarnya, tapi tak ada suatu petunjuk apapun. Semuanya gulita. Tak ada suara sedikitpun. Atau sesuatu yang mengarah pada jalan keluar.

Berkali-kali ia berjalan, seakan ruangan ini hanya ruangan luas yang mempunyai arah yang tepat.

"Yang Mulia," lirihnya. Ia tak takut apapun, hanya saja ketidaktahuan arah ini tak bisa ia pecahkan sendiri. Pikiran dan hatinya buntu untuk keluar dari ruang hampa ini.

"Yang Mulia," isak Kanna. Ia bahkan tak bisa menggunakan kekuatannya sama sekali. Seakan semua sihir yang ia miliki hilang seutuhnya.

***

Zarkan Tar tersentak, ia merasa Kanna memanggilnya. Begitu lirih dan tak tahu di mana. Tiba-tiba firasatnya memburuk. Ia saat ini berada di balik bukit timur. Berencana menyelidiki aura familiar yang ada di bukit ini.

Pintu masuk bukit telah berada di depan matanya. Akan tetapi panggilan Kanna yang tiba-tiba membuatnya berhenti dan ragu untuk melangkah.

"Kau tak meneruskan langkahmu?" tiba-tiba sebuah suara bertanya di belakang sang mahadiraja. Zarkan Tar menoleh dan mendapati seorang remaja kumal yang menatapnya dengan tenang.

Kedua bola mata emas Zarkan Tar menatap dalam. Begitupun sang remaja tersebut. Kemudian saat senyuman kecil muncul di bibir remaja itu, auranya berubah. Perlahan remaja kumal tersebut berubah menjadi sosok rupawan dengan aura dewa yang sangat agung. Siapapun yang memandangnya pasti merasa ingin berlutut.

Namun, tidak dengan Zarkan Tar. Pria itu hanya berdiri menatap asing pada Cygnus.

"Kau memang mirip dengan ayahmu, Agra Tar, ia tak pernah mau menundukkan diri padaku." Cygnus terkekeh. Langkahnya semakin mendekat dan berdiri berhadapan dengan Zarkan Tar.

Cygnus memejamkan mata. Seluruh inderanya seakan ingin merasakan aura Zarkan Tar.

"Bahkan auramu sama dengannya. Tidak, kau membawa kekejaman tersendiri."

"Ada apa kau menemuiku?" tanya Zarkan Tar.

"Lihatlah, bahkan cara berbicaramu pun mirip dengannya. Pantas saja ..." Cygnus tersenyum, "kau akan masuk ke bukit ini?"

"Kau tak menjawab pertanyaanku sebelumnya, untuk apa kau menemuiku?"

Cygnus terkekeh. Dengan lembut ia menganggukan kepala lalu beralih memandang arah Samhian.

"Apakah kau mau berkorban demi seorang wanita?" penuh teka-teki Cygnus bertanya.

Zarkan Tar mengikuti arah pandang Cygnus. "Katakanlah apa maumu?"

"Kau tentu sudah mengetahui siapa diriku, karena itu kau tak bertanya siapa aku."

Zarkan Tar tak menjawab. Pikirannya kembali mengelana dengan panggilan Kanna sebelumnya.

"Zarkan Tar, bisakah kau menjawab permainanku? Siapa yang akan kau selamatkan di antara dua wanita yang penting dalam hidupmu?" netra Cygnus menatap tajam Zarkan Tar. Senyum manisnya bahkan menjadi mengerikan saat suatu pemahaman besar masuk ke benak Zarkan Tar.

"Jika sesuatu terjadi pada mereka berdua. Maka kau! Orang pertama yang aku bunuh." Menggeram Zarkan Tar menatap Cygnus dengan kemarahan yang tak ditutup-tutupi.

"Oh, ayolah! Kita hanya bermain saja." Cygnus terkekeh, "di depan sana, bukit timur, jasad ibumu terbaring. Dan seseorang berniat hendak membangkitkannya. Namun, di istana sana, istrimu tersesat dalam ruangan gelap yang tak ada jalan keluar. Jadi, aaakkhh!" Cygnus memegangi tangan Zarkan Tar yang mencekik lehernya tiba-tiba. Cekikannya sangat kuat hingga kedua bola mata sang mahadiraja bersinar kejam.

"Tak ada yang bisa menggangguku. Manusia atau dewa, terlebih kau! Kau pikir aku akan takut dengan hukuman alam? Kau salah, Cygnus! Aku, Zarkan Tar! Tak takut akan takdir apapun. Dewa, manusia, alam semesta, mereka yang menantangku, akan menemui akhir yang tak terbayangkan. Jangan mencoba peruntunganmu, wahai alam semesta. Karena aku, tak segan-segan membunuhmu saat ini juga!" Zarkan Tar mendorong Cygnus hingga sang alam semesta tersebut menabrak sebuah pilar batu. Akan tetapi, tak hanya ia tak marah akan sikap Zarkan Tar. Cygnus terkekeh dengan setengah terbatuk akibat cekikan pria itu.

"Ribuan tahun yang lalu, hal seperti ini sering dilakukan ayahmu. Ia sering mencekikku seperti tadi, ah ... Agra Tar. Dia benar-benar mewariskan semua sifatnya padamu. Hehehehe ...." Cygnus mengusap-usap lehernya yang memerah. Tanda kuatnya cekikan Zarkan Tar tersebut.

"Aku hanya memberi tahu sesuatu yang sedang kau hadapi sekarang, di bukit ini jasad ibumu berada. Namun, istrimu sedang membutuhkan bantuanmu."

Zarkan Tar masih menatap dengan bola mata yang bersinar terang. Tak ada sedikitpun ketakutan menghadapi Cygnus. Ia tahu kelicikan para dewa sering membuat manusia susah. Karena itu, Zarkan Tar tak ingin menyembah mereka.

"Satu jawaban yang tepat akan mengubah takdir lainnya. Jadi, Zarkan Tar, bermainlah dengan takdirmu hari ini." Sebelum Zarkan Tar kembali menyerangnya, Cygnus berubah menjadi kabut putih lalu menghilang dengan cepat.

Zarkan Tar memandang bukit di depannya ini dengan sorot mata menajam. Kemudian perlahan pandangannya beralih ke arah istana Samhian.

***

Zeon terdesak. Seteguk darah merah keluar dari bibirnya. ia menatap wanita di depannya dengan pandangan berang. Sedangkan wanita di depannya tersenyum sangat angkuh. Tak ada sedikitpun luka di tubuhnya. Seolah semua serangan yang Zeon lakukan tak berimbas apapun.

"Zeon, kau tak mungkin bisa menandingiku. Terlebih kekuatanmu hanya setengah dewa, bahkan jika Rauman yang melawanku, ia pasti akan kalah." Calasha yang menempati tubuh Kanna menjentikkan jarinya. Suar biru melayang cepat lalu menjerat leher Zeon dengan erat.

"AARRKKHHH!!!" cekikan tersebut membuat Zeon tersungkur. Ia berusaha memegang tali tak kasat mata yang menjeratnya. Napasnya terputus-putus. Wajahnya pias memucat karena asupan oksigen yang perlahan menghilang. Kedua matanya membelalak memperlihatkan biru pupil bola mata.

Kanna tertawa terbahak-bahak menatap Zeon yang tengah sekarat. Lalu tiba-tiba sebuah serangan melaju ke arahnya, wanita itu berkelit dan serangan menimpa tanah yang kini menjadi berlubang.

Kepulan asap perak membentuk sosok Rauman yang memelototi wanita bergaun biru di depannya. Kanna terkekeh. "Baru saja aku membicarakanmu, kau sudah datang, Rauman!"

Tak ingin menanggapi ucapan wanita itu, Rauman langsung menyongsong putranya. Ia kemudian mencabut benang kematian yang telah setengah merasuk ke dalam diri Zeon. Terlambat sedikit lagi, jiwa Zeon akan musnah.

Saat benang tersebut telah tercabut, Rauman meletakkan Zeon yang sudah tak sadarkan diri di atas tanah. Ia menatap wanita dengan bola mata merah itu, geram, benci, juga dendam.

"Cukup Calasha! Sudahi semua ulahmu ini. Kau dewi tertinggi, tapi tingkahmu tak mencerminkan kedewianmu."

"Lepaskan Kanna, dan hiduplah sesuai dengan takdirmu!"

"Seorang dewa rendahan menceramahiku. Kau pikir kau begitu kuat untuk bisa mengaturku?"

"Calasha, kesesatanmu terlalu jauh. Kau mempermainkan hidup banyak manusia dan dewa, bahkan takdir jodohmu sendiri kau permainkan. Kau tahu mengapa Cygnus ingin mengganti kedudukanmu? Itu karena ulahmu telah membuat seluruh alam semesta ini tak seimbang."

"DIAM!!!" Calasha membentak, "kau tak mempunyai hak untuk menceramahiku," lanjutnya. Kedua matanya memerah marah. Dengan sekuat tenaga ia kemudian melayangkan serangan.

Bertubi-tubi Rauman menghindari serangan Calasha. Wanita itu tak henti sedetik pun dalam melemparkan pukulan dan semua kekuatannya. Amarahnya selalu memuncak jika ingatannya dialihkan pada ketentuan takdirnya. Ia benci akan hal tersebut. Merasa kalah dan rendah. Tak ada suatu gambaran yang pantas antara dia dan Sautesh. Bagaimana mungkin alam menjodohkan mereka berdua? Calasha akan merubah semuanya. Dan semua dimulai dari membangkitkan jiwa Agra Tar. Jiwa yang kembali bangkit akan membawa takdir yang berbeda dari sebelumnya. Calasha akan menuliskan takdir jodoh mereka berdua. Karena itu, Calasha membutuhkan cangkang manusia kuat yang bisa menerima jiwa Agra Tar. Hanya satu yang pantas.

Zarkan Tar.

Jiwa pria itu harus mati, dan ia akan menghidupkannya dengan jiwa baru. Jiwa pria pujaannya.

Ini adalah takdir yang benar, jika mereka menentangnya. Maka, hanya satu jalan yang Calasha tunjukan. Jalan kematian. Baik itu Rauman atau Cygnus, mereka harus mati jika menentang keinginannya.

'ZZRRAAKK!'

'CCCRRAAASSH!'

Darah pekat campuran merah dan perak keluar dari dada Rauman. Tak berhenti karena lawannya berdarah, Calasha tetap mengangkat senjatanya. Aura pembunuhan dalam dirinya semakin menguat. Berulang kali, ia menorehkan sabetan pada tubuh Rauman. Tak ia hiraukan ketentuan hukuman alam semesta.

'BBBRRUGGHH!'

Rauman terpelanting menabrak tembok benteng. Seteguk darah keluar dari mulutnya. Tubuhnya gemetar dengan seluruh tubuh merasakan kesakitan.

Melihat Rauman yang tak berdaya, Calasha tetap menyerangnya. Ia membuat pusaran angin biru pekat dan dengan mata menajam ia melemparkan kekuatannya.

Pusaran angin biru meliuk cepat menuju Rauman. Rauman yang sudah tak bisa menggerakkan tubuhnya kian pasrah menutup mata. Rasa panas menguar ketika kekuatan Calasha semakin dekat.

'SSLLAASSHH!'

'DDUUUAAARR!'

Sebuah cahaya keemasan memukul pusaran angin biru Calasha lalu mengikat dan melemparkannya ke atas. Ledakan luar biasa terjadi di langit gelap sana. Setiap mata yang melihat bergidik ketakutan. Ini bukan kekuatan manusia. Tak ada manusia yang bisa mengeluarkan kekuatan penghancur seperti ini.

Calasha berang, ia menatap pria dengan bola mata emas yang berdiri di depan Rauman. Begitu angkuh dan penuh sarkastik memandang Calasha.

Zarkan Tar mengibaskan tangan kanannya, lalu sinar keemasan membentuk sebuah pedang besar yang tergenggam erat. Matanya menatap tajam mata Kanna, bukan, itu bukan mata istrinya.

"Beraninya kau menggunakan tubuh istriku untuk nafsu menjijikanmu itu!"

"Oh, calon tubuh kekasihku." Calasha terkekeh. Wanita itu menatap tajam Zarkan Tar dengan bibir menyeringai.

"Lepaskan tubuh istriku!"

"Dia milikku. Tubuh ini diciptakan istimewa oleh Cygnus, Cygnus begitu baik menciptakan wanita istimewa yang pas dengan jiwaku. Ketahuilah Zarkan Tar, jiwaku dan Kanna menyatu sebagai teratai biru. Jika kau membunuhku, maka Kanna akan terbunuh." Calasha tertawa terbahak-bahak.

Zarkan Tar menatap wanita itu dengan geram. Ia melihat Zeon yang masih tak sadarkan diri serta Rauman yang pucat pasi.

"Pantas saja ayahku tak mau memilihmu. Hal apa yang dapat dibanggakan jika menjadi pasanganmu? Kau, tak mempunyai kualitas sama sekali."

"DIAM!!! KAU TAK BERHAK MENILAIKU!" teriakan Calasha disertai suar cahaya biru yang dipukulkan wanita itu pada Zarkan Tar.

Zarkan Tar melesat ke atas sehingga pukulan itu hanya mengenai tanah. Calasha bergerak mengejar Zarkan Tar, suara-suara pukulan sihir begitu memekakan telinga. Berkali-kali ia melayangkan pukulan, tapi Zarkan Tar dapat menepisnya.

Pergulatan mereka sangat kuat. Dua cahaya biru pekat dan emas saling melemparkan pukulan dan kekuatan untuk melumpuhkan lawan. Meski begitu, Zarkan Tar tak berani memukul keras tubuh Calasha. Tubuh wanita ini milik istrinya, dan ia tak bisa melukainya begitu saja.

Calasha mengeluarkan tombak berwarna putih. Tombak langit legendaris milik Agra Tar. Menatap angkuh pada Zarkan Tar ia mengangkat tombak tersebut.

"Kau bilang, Agra Tar tak ingin bersamaku? Hahahaha ... jika saja ibumu tak mengganggu kami. Aku dan Agra Tar bisa bersatu, kami pasti akan menguasai jagat raya ini. Kekuatan besar dan sang kehidupan. Bukankah itu harmoni yang sempurna?"

"Jika kau ingin menyalahkan. Salahkanlah semua pencipta takdir ini! Dia, dia lah yang menuliskan garis penderitaan setiap makhluk. Juga penderitaanku karena harus kehilangan Agra Tar." suara Calasha bergetar. Gigi geliginya bergemelutuk. Sedangkan matanya menyipit dengan tekad kuat. Tidak akan ada yang bisa menghentikan keinginannya. Ia telah menunggu ratusan tahun lamanya kebangkitan Agra Tar.

Jika saja Cygnus tak memusnahkan tubuh Agra Tar ia tak akan menunggu selama ini untuk menjalankan semua rencananya. Namun, saudara kembarnya itu benar-benar menentang semua keinginan Calasha. Jadi, ia akan melakukan semua cara yang memungkinkan semuanya berjalan seperti yang ia inginkan.

Calasha menjerit, "Jadi, Zarkan Tar. Bersiaplah, untuk menemui takdir kematianmu!" lalu melaju menyerang Zarkan Tar.

Percikan api saling bertabrakan ketika ujung tombak dan pedang bertemu. Rinai hujan menyertai pertarungan mereka. Zarkan Tar hanya mengarah pada satu tujuan. Titik tanda teratai di dahi Kanna. Ia tak ingin menyakiti tubuh istrinya, jika ada yang harus ia sakiti itu adalah jiwa Calasha yang menghuni tubuh Kanna.

Pertarungan semakin sengit dengan kekuatan masing-masing yang semakin besar. Area sekitar begitu lapang tapi penuh dengan cacat akibat serangan. Zarkan Tar kembali menyerang dan berusaha mengarahkan pukulan ke arah tombak. Akan tetapi, wanita itu sangat cerdas. Melihat Zarkan Tar tak mengerahkan kekuatan maksimalnya, Calasha menyunggingkan senyum sinis. Zarkan Tar tak mungkin menyakiti tubuh Kanna, karena itu Calasha kemudian mengganti tombak ditangannya dengan belati naga.

"Kau tak berani menyerangku, haa! Jadi, bagaimana jika aku menyerang Kannamu, wahai Mahadiraja?" setelah mengucapkan kata-kata tersebut Calasha menghunus belatinya dan dengan cepat menorehkan luka pada bagian lengan kiri.

Zarkan Tar terbelalak. Amarahnya membuncah, ia bergerak melesat dan memukul Calasha. Calasha tertawa, berkelit terbang melayang dari kejaran sang mahadiraja. Ia kembali menusuk paha sebelah kanan. Hal yang membuat Zarkan Tar semakin naik pitam.

"Lihatlah! Lihat!" Calasha tertawa gila saat lagi ia menggores telapak tangan kirinya.

"Hentikan!!!" Zarkan Tar menjerit. Ia lalu melemparkan pukulan pada tangan kanan Calasha. Calasha tertawa gila melihat Zarkan Tar kehilangan kontrol emosi. Pria itu begitu berang dengan kemarahan yang tak tertahan. Wajahnya memerah dengan bola mata bersinar kejam. Tajam. Menggila.

Calasha kembali berkelit saat tangan Zarkan Tar hendak memukul tangannya. Ia menendang dada Zarkan Tar lalu seringai sinisnya menguat. Pandangan matanya mengunci tatapan Zarkan Tar. Sebuah rapalan mantra kuno diucapkan. Saat pikiran sang mahadiraja terkungkung dengan kabut hitam, pikirannya hilang. Akan tetapi suara Kanna lagi-lagi memanggilnya.

Kanna, Kanna. Dia harus bertahan demi mengembalikkan Kanna. Setetes darah keluar dari sela bibir sang mahadiraja. Pandangannya mulai memburam tapi titik teratai di dahi wanita di depannya begitu jelas. Dengan kekuatan terakhir Zarkan Tar menusukkan belati semakin dalam sehingga jemari tangan kanannya berhasil menggapai tanda tersebut.

Calasha menjerit saat jemari Zarkan Tar yang berlumuran darah mengenai tanda teratai. Jerit kesakitan melengking lalu menghilang. Keduanya berguling-guling terjatuh dari atas seakan tak ada kekuatan satu sama lain.

Sang mahadiraja berniat menggapai tubuh Kanna yang kini terpejam. Namun, seketika jantungnya berhenti berdetak. Jiwa Zarkan Tar melesat dalam pusaran hitam. Sinar mata emas meredup lalu perlahan menutup.

***

Kanna menjerit saat sebuah pusaran angin menyeretnya tiba-tiba. Hentakannya begitu kuat hingga ia merasa pusing dengan arus putaran. Lalu kerlip cahaya samar terlihat di matanya.

Ia hanya mengingat satu nama, Zarkan Tar. Terus menerus ia sebut di sepanjang kegelapan. Sebagai doa entah sebagai penguat, ia hanya menyebut nama suaminya.

Saat matanya terbuka ia memang sedang berada di atas angin. Begitu kuat hingga ia harus menutup matanya. Namun, ketika melihat siapa yang melayang di sampingnya dengan mata tertutup, jantung Kanna berdegub kencang.

Tangannya berusaha meraih Zarkan Tar yang tak sadar kan diri. Mereka terpisah cukup jauh. Kanna berusaha menggapainya sekali lagi, tapi hanya jemari mereka yang saling bersentuhan.

Ada apa? Mengapa ia tak sadarkan diri?

Kanna mencoba menggerakan kekuatannya. Bisa! Binar matanya meledak, ia lalu mengeluarkan sulur cahaya biru terang dari jemarinya. Sinar tersebut mengarah dan melingkupi Zarkan Tar. Kanna menarik tubuh sang suami.

Saat ia menjejakkan kaki di tanah, ia kembali menatap Zarkan Tar. Kanna mencabut suar cahaya biru yang melingkupi Zarkan Tar, saat itulah kilau belati memasuki kedua matanya.

"Apa? Apa yang terjadi?" suaranya gemetar, air mata menggenang di pelupuk mata ungu wanita itu. Lalu warna merah di tangan dan gaunnya membuat Kanna semakin bergetar ketakutan. Ia ambruk di samping tubuh Zarkan Tar.

Mungkinkah? Mungkinkah dalam ketidaksadarannya, dirinya lah yang membunuh Zarkan Tar?

"Bangun ... bangun ...." Kanna gemetar. Detak jantung suaminya tak ia rasakan sama sekali.

"Bangun! Bangun! Bangun!!!" Jeritan Kanna melengking disertai pecahnya tangisan. Menyayat hati. Sangat rapuh dan penuh nestapa.

Di atas sana, langit hitam bergemuruh. Menumpahkan air yang perlahan semakin besar. Seakan mengikuti rasa sedih dari ratu yang telah kehilangan rajanya.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro