Part 30. Sumpah Sang Ratu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Gelap suram malam seakan menandakan suasana duka di Samhian. Tak ada suara ceria akan kemenangan terhadap pasukan Rushka dan Valia. Semua menundukan kepala atas kemalangan yang menimpa raja mereka.

Di dalam kamar raja, sang ratu duduk terpekur. Kedua mata ungunya memandang sosok yang terbaring di ranjang. Begitu tenang, seakan sang raja sedang tertidur. Berkali-kali jemarinya mengusap lembut dada sang raja. Berharap detak itu masih ada. Atau setidaknya, ia merasakan suhu hangat tubuh suaminya. Namun, ia kembali dihentakkan pada kenyataan. Bahwa sang mahadiraja tak mungkin kembali bangun.

"Yang Mulia Ratu!" panggilan Zeon tak Kanna hiraukan, wanita itu masih tetap memandangi suaminya. Wajah sang ratu pucat, kedua kelopak matanya bergetar seakan menahan tangisan. Meski begitu, tak ada tangisan lagi yang keluar.

"Yang Mulia ...."

"Apakah mereka menyerang kembali?" Kanna berucap datar. Tak ada emosi di dalamnya.

"Prajurit pengintai kami melihat pasukan Valia masih tetap dalam kamp mereka. Namun, hal yang kutakuti terjadi."

Kanna beringsut, ia melirik Zeon. "Apa itu?"

"Sebelum menyerang pasukan Valia dan Rushka, Yang Mulia Zarkan Tar membuat segel pelindung agar Gort tak menyerang ke istana. Beberapa waktu lalu, segel telah mulai rapuh dan yang kutakutkan beberapa pukulan dari Gort akan membuka segel tersebut."

Kanna mengangguk mengerti. Memandang Zeon ia berucap, "Selama segel itu masih ada mereka tak bisa menyentuh istana. Lalu, apa kau sudah menyelidiki tentang ramalan kematian suamiku?" pertanyaan Kanna dijawab dengan desah lembut pria itu.

Zeon kemudian mengeluarkan sebuah buku berwarna coklat. Ia kemudian melemparkan buku ke udara. Sang buku berputar-putar dengan cepat, lalu membentuk sosok menyerupai wanita cantik, Gayara.

"Salam hormat hamba pada Yang Mulia Ratu!" Gayara membungkukan setengah badan sebagai salam hormat. Kanna mengangguk sebagai tanda menerima hormat.

"Kau informan Tuan Zeon?" pertanyaan dari Kanna membuat Gayara tersenyum lembut. Wajahnya bak pualam dengan bibir semerah delima. Anggun dan terlihat berpengetahuan luas.

Gadis buku itu mengangguk, lalu berucap, "Hamba bersedia membantu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Yang Mulia."

Kanna mengangguk dengan senyum datar sebagai tanda hormat. Ia kemudian mengeluarkan pertanyaan demi pertanyaan yang ingin diketahuinya. Termasuk dengan ramalan kematian Zarkan Tar.

"Ramalan kematian sang mahadiraja bermula dari seorang penyihir tak dikenal ketika Yang Mulia Zarkan Tar dan Tuan Zeon memasuki goa di dataran rendah para Kerr. Penyelidikan dimulai dari para Kerr, makhluk neraka seperti Kerr mereka tak mungkin menyerang manusia terkecuali ada yang mengendalikan dari alam bawah," jelas Gayara sambil menunjukan gambar makhluk Kerr.

"Itu berarti sesuatu telah mengendalikan mereka?" tanya Zeon memastikan.

"Benar," tegas Garaya, ia kemudian mengeluarkan sebuah kartu berlambangkan Mok, mahkota Atheras.

Kanna menatap kartu tersebut dengan tajam. Tak ada yang tahu apa isi pikirannya. Tangan sang ratu gemetar dengan bibir mengatup erat. Sorot pupilnya mengecil tanda bahwa kemarahan memasuki jiwa raganya begitu tepat.

"Atheras," ucapnya dengan gigi geligi bergemulutuk.

***

Calasha memasuki ruangan Sorkha tiba-tiba. Ia tak peduli bagaimana keadaan Sorkha yang sedang dilayani para dayang-dayangnya. Dengan mata menyalang ia menunjuk Sorkha. Kekejaman dalam mata itu membuat Sorkha segera memerintahkan seluruh dayang agar cepat meninggalkan ruangan.

"Apa yang terjadi?" Sorkha cemas mendekati Calasha.

"Kau! Kita sedang berperang dan kau bersenang-senang?"

"Yang Mulia ...."

"Aku tak ingin alasanmu sekarang ini. Segera, cepat kau tingkatkan kekuatan pasukan Gort kita!"

"Tapi – segel pelindung istana tidak bisa di buka."

"Segel?"

"Benar. Kita hanya harus menunggu sampai Yaves melaksanakan rencananya."

"Kapan itu? Aku tak ingin berlama-lama lagi, ingat Sorkha! Kita tak mempunyai waktu banyak. Aku harus mengambil tubuh Zarkan Tar secepatnya!"

"Kau tenang saja Yang Mulia Calasha, rencana itu tak akan lama lagi." Sorkha menjentikan jarinya. Senyum lebar mematri di bibir akan tetapi kedinginan sorot mata membuat senyumnya terlihat mengerikan.

Percakapan dua dewa dan dewi tersebut, tak luput dari pendengaran Sautesh. Kelam matanya menunjukan sesuatu yang tak bisa dimengerti. Namun, di balik keliman jubah kedua tangan sang dewa tergenggam dalam kepalan erat.

***

Yaves memandang Yeva yang masih memejamkan mata dengan ikatan tali yang membelit tubuh dan kedua sayap kelelawar berwarna hitam. Pria itu kemudian mengulurkan tangan menyalurkan sebuah energi berwarna hijau yang cepat terserap memasuki semua panca indera Yeva. Tubuh anaknya bergetar saat semua energi telah masuk sempurna. Sayap kelelawarnya mengepak hingga tali-tali yang melilit erat tak sanggup lagi mengikat. Semuanya terlepas, dan kepakan sayap membuat benda seisi ruangan beterbangan.

Kedua mata Yeva terbuka dengan mata berwarna merah darah. Mulutnya menyeringai dengan taring tajam seakan siap mengoyak siapapun yang terkena gigitan. Teriakan gadis itu menggema mengutarakan insting primitif binatang yang kelaparan.

Yaves tertawa. Ia bahagia menjadikan darah dagingnya seorang monster pembunuh kuat. Kini, dengan anaknya sebagai tameng ia dapat memusnahkan Samhian. Tanah ini seutuhnya milik Mayuta. Dan ia akan menjadi seorang mahadiraja.

Tawa Yaves terdengar sampai di telinga Mazmar. Akan tetapi tak ada yang dapat Ratu Pulau Suci itu lakukan. Meski ia tak dipenjara, kekuatannya kini dicabut oleh pria yang disebut kekasih. Apa yang harus ia lakukan? Sedangkan dia sendiri tak bisa keluar dari kungkungan Yaves.

"Anakku, kau sungguh manis sekali." Yaves terkekeh, sorot matanya menatap sorot mata Yeva yang telah kehilangan rasa kemanusiaan. Dapat di lihat nafsu hewani gadis itu begitu kuat. Tak sabar lagi ia ingin keluar dari goa ini dan mencari mangsa di luar.

"Baiklah, baiklah, kau ingin keluar dari sini? Hahahaha ...." Yaves tertawa sambil mengibaskan kedua tangannya. Pintu goa terbuka dengan angin dingin bersemilir masuk. Yeva menjerit lalu mengepakan sayap dan terbang keluar goa. Di belakangnya, Yaves tertawa semakin gila.

***
Suara raungan serigala di luar sana membuat suasana semakin mencekam. Serigala merupakan hewan keramat. Keberadaannya sangat jarang dan hanya akan keluar apabila merasakan suatu musibah tertentu. Mendengar raungan serigala berarti tanda sesuatu yang buruk akan terjadi.

Rakyat Samhian yang berada di pengungsian saling berpelukan ketika raungan serigala terdengar. Hati mereka cemas akan nasib buruk yang menimpa mereka. Kepercayaan kuat tersebut membuat kepanikan dan tangis ketakutan pada setiap individu. Bahkan jika Zeon menjelaskan dan menjamin keamanan hidup mereka, para rakyat tak lagi percaya. Raja mereka dikabarkan mati oleh ratunya sendiri. Hal ini menandakan akan ada kutukan buruk pada negeri ini.

"Biarkan kami pergi! Kami tak ingin berlindung di negeri terkutuk ini. seorang ratu membunuh raja, negeri ini pasti sedang dikutuk!"

"Benar! Tak ada hal yang dapat kami percayakan akan hidup kami di sini. Kami ingin keluar! kami akan menyerahkan diri pada Valia ataupun Mayuta. Mungkin negeri mereka lebih baik dari pada negeri ini."

"Kudengar ratu yang dipilih sang mahadiraja merupakan ratu yang diambil di hutan. Bisa saja dia seorang banshee, wanita pembawa kematian. Lihat, bahkan suaminya saja di bunuh, apalagi kita yang hanya seorang rakyat biasa!"

"Tuan Zeon, mengapa kau tetap memasukan ratu terkutuk itu ke istana ini? Hukum Samhian mengatakan mereka yang berkhianat pada suaminya harus dihukum mati."

"Benar! Sang ratu membawa kehancuran! Dia lah simbol kehancuran Samhian!"

"Sang ratu harus dihukum mati!"

"Benar! Hukum mati Ratu! Berikan hukum mati!"

"Mati! Mati! Mati! Mati!" teriakan bergema bersahut-sahutan memenuhi aula yang dihuni para pengungsi.

Zeon mengepalkan kedua tangannya. Red di sampingnya melotot marah pada setiap kepala. Urat nadi mereka terlihat berkedut karena amarah yang ditahan.

"CUKUP!!!" Red berteriak lantang. Matanya memelototi setiap kepala yang berteriak lantang menginginkan kematian ratu Samhian.

"Kalian benar-benar tak tahu diri! Sang Ratu sedang berduka, negeri sedang dilanda prahara, dan kalian hanya bisa menyalahkan pemimpin kalian? Ratu Kanna adalah simbol kedaulatan setelah Sang Raja. Jika simbol kedaulatan telah dibunuh oleh rakyatnya sendiri, aku yakin, di luar sana kalian hanya akan menemukan kematian."

"Ratu telah membunuh sang mahadiraja, itu lah fakta sebenarnya. Istri tak berbakti! Dia seorang pendosa. Pendosa hanya akan membuat negeri ini runtuh!"

"Kalianlah pendosa! Kalian berlindung dibawah kaki raja dan ratu. Lalu sekarang kalian akan menumbangkan ratu kalian sendiri, jika bukan pendosa kalian adalah penghuni neraka!" tukas Red berapi-api.

"Kami hanya berkata demi keadilan sang mahadiraja! Dia telah membunuh ...."

"CUKUP!" suara dingin Zeon menghantarkan sebuah kekuatan yang dapat memukul mundur para rakyat. Mereka tercengang saat aura dingin sang tangan kanan raja begitu menguar kuat. Sisi kejamnya begitu terlihat kentara. Tak ada pandangan penuh kasih. Tatapannya tajam seakan semua orang di depannya adalah musuh yang harus ia berantas.

Tak ada yang berani berteriak lantang. Akan tetapi ketidakpuasan masih mengambang di mata mereka.

"Jika memang kalian tak puas ada di sini, kuizinkan kalian pergi dari sini. Aku akan membuka lebar pintu gerbang istana saat ini juga." Tak ada jejak kehangatan di mata maupun ucapan Zeon.

"Kalian berteriak bahwa ratu adalah pendosa, lalu siapa kalian? Aku, putra Rauman. Anak dari dewi keadilan, Sliasha. Bersumpah, Ratu Samhian tak bersalah! Jika di antara kalian tak mengakui sumpahku ini, maka kalian kupersilahkan pergi dari istana ini!" Zeon menatap satu per satu orang-orang yang menundukan kepalanya semakin dalam. Red berkacak pinggang, terlihat kekesalannya masih belum padam.

Ketika tak ada tanggapan dari para rakyat, Zeon berbalik hendak pergi meninggalkan aula. Namun, ia terhenyak saat menatap Kanna yang berdiri di tengah pintu masuk. Sejak kapan wanita itu ada di sana? Mengapa ia tak mendeteksi aura keberadaannya?

Sang ratu memasuki aula dengan langkah penuh wibawa. Punggungnya tegak. Kelopak mata membuka penuh tekad. Sorotnya memandang seisi ruangan yang dipadati para rakyat Samhian.

"Yang Mulia Ratu!" Zeon menyapa dengan canggung, ingin ia menahan Kanna agar tak masuk ke tengah-tengah rakyat yang sedang terbakar emosi. Akan tetapi, niatnya diurungkan saat melihat keseriusan di mata wanita itu. Benar! Zarkan Tar memilihnya bukan semata karena cinta, ada sesuatu yang khusus pada Kanna. Dan Zeon akan mempercayakan semua masalah ini pada sang ratu.

Red hendak menahan Kanna, tetapi tarikan pada bahunya membuat langkah pria itu tertahan. Ia melirik Zeon dengan pandangan bertanya. Namun, pria itu hanya meletakkan jari telunjuk di depan bibir. Tanda bahwa ia dan Red tak boleh mengganggu Kanna.

"Aku tahu kalian kecewa akan kelemahanku menghadapi perang ini," ucap Kanna membuka pembicaraan.

Kelembutan di matanya memantulkan sorot-sorot letih para rakyat. Satu per satu ia amati kondisi mereka. Lusuh, kotor, cemas, takut, dan terlihat keletihan di setiap pasang mata. Letih yang akhirnya membuat emosi tak terkontrol. Letih karena mereka harus mengalami perang menakutkan yang baru kali ini mereka alami. Wajar jika mereka harus menyalahkan seseorang, semua merupakan pertahanan akan rasa cemas dan ketakutan mereka. Kanna menyadarinya, ia tak bisa menyalahkan mereka.

"Adakah yang dapat memberitahuku apa yang kalian inginkan? Jika aku melepas kedudukanku sebagai ratu Samhian, akankah perang ini berakhir?" Kanna menatap seorang pria paruh baya yang berhadapan langsung dengannya.

"Katakan padaku, jika aku melepas gelarku? Bisakah kalian tenang dan mendukung para prajurit Samhian dalam perjuangan mereka?"

Hening. Tak ada yang menjawab sama sekali. Bahkan ketika ia menatap orang yang paling vokal menantang, pria itu hanya menunduk.

"Kita semua berjuang demi Samhian. Meski Yang Mulia Zarkan Tar ...." Kanna menghela napas, menyebut nama suaminya kembali menorehkan luka dalam. Setelah menenangkan diri ia kembali berucap, "Samhian adalah milik Rakyat, kita lah yang harus menjaga kedamaian di negeri ini. Mereka yang mencintai Samhian, harus ikut berjuang dan mendukung kami, para pasukan yang berani mengantarkan nyawa hanya demi kehidupan damai kalian."

"Aku mengetahui, Yang Mulia Zarkan Tar tak pernah menginginkan siapapun terluka di bawah kepemimpinannya. Ia adalah raja yang adil dan sangat mencintai rakyat Samhian dibalik sikapnya yang dikenal kejam oleh para musuh."

"Karena itu, demi perang keadilan ini, aku! Kanna, Ratu Samhian! Bersumpah! tak akan mengenakan mahkota Ratu Samhian hingga perang ini usai dan membawa kemenangan untuk negeri ini!" tangan Kanna terangkat lalu meraup mahkota berlian biru di kepalanya.

Ia mengangkat mahkota tersebut lalu menyodorkan pada pria paruh baya yang merupakan pemimpin demo sebelumnya. "Mohon simpan mahkota ini! ketika aku tak menepati sumpahku, kau boleh menginjaknya dan mencaci maki diriku! Bahkan jika saat itu terjadi, kau boleh membunuhku dengan kedua tanganmu!"

Zeon dan Red di belakang Kanna menatap sang ratu dengan takjub sekaligus khawatir. Kilau tekad dalam mata sang ratu membuat pria paruh baya di depannya menunduk lalu kemudian menjatuhkan diri berlutut.

"Maafkan hamba, Yang Mulia Ratu! Sungguh maafkan hamba!" melihat satu orang bersujud, semua yang berdiri di delakang pria tersebut mengikutinya.

"Mohon maafkan kami, Yang Mulia Ratu! Kami bersalah! Kami terlalu impulsif menyimpulkan semua ini," lanjutnya. Bagai angin yang meniup menggoyang pepohonan, serentak semua rakyat di ruang aula tersebut menggumam kata-kata yang sama.

Melihat semuanya berlutut, Kanna tersentak mundur seakan tak percaya. Semua kata-katanya merupakan hal yang bermukim di hati. Tak ada rasa ingin dihormati seperti ini. Tak ingin membuat mereka terus menerus berlutut, Kanna akhirnya ikut berlutut di depan pria paruh baya tersebut.

"Tuan, siapa namamu?"

"Nama hamba, Olimpa, Yang Mulia!" jawabnya dengan suara gemetar. Tak ada jejak keberanian seperti sebelumnya.

"Baiklah, Tuan Olimpa! Aku telah bersumpah, dan sumpah seorang ratu tak bisa dicabut kembali. Tuan, aku meminta padamu, simpan mahkota ini! Suatu saat, ketika aku kembali meraih kemenangan, kau bisa menyerahkannya padaku." Kanna menaruh paksa mahkotanya pada kedua tangan Olimpa.

Pria itu tergagap dan hendak mendorong kembali mahkota tersebut. Akan tetapi, Kanna menahan tangannya, "Maukah kau percaya padaku? Jika kita bisa memenangkan perang ini?" sergahnya.

Olimpa menatap kedua mata Kanna lalu beralih pada mahkota di tangannya. Perlahan kepalanya mengangguk, lalu semakin tegas anggukan tersebut dengan kilat semangat di matanya.

"Hamba percaya, Yang Mulia!"

"Bagus! Maka dari itu, mulai hari ini, aku akan menjadi pelindung kalian. Kuemban tugas suamiku mulai dari saat ini. Dengan kepercayaan dari kalian, aku akan membawa kedamaian di negeri ini!"

Kanna hendak meraih bahu Olimpa agar bangkit bersamanya, akan tetapi getaran dan suara letusan membuat ruangan bergoncang. Sisi-sisi tembok bergetar. Suasana yang tenang kembali riuh dengan ketakutan yang mengancam.

"Ada apa?" tanya Zeon ketika seorang prajurit memasuki ruangan.

"Gort menyerang! Segel telah terbuka, juga monster kelelawar telah masuk dan memporak porandakan istana depan. Benteng hampir runtuh karena Gort tengah menghancurkan sisi-sisi benteng."

Kanna beranjak berdiri, kemudian dengan langkah cepat ia segera meninggalkan ruangan diikuti Zeon dan Red.

***

Ribuan Gort mengepunh istana Samhian di tengah-tengah. Gort terdepan memukulkan kapak gadanya. Tembok benteng yang besar sebagian telah hancur. Suara getaran karena gada yang dipukulkan membuat beberapa prajurit terjatuh dan menjadi santapan mereka.

Di sisi dalam Para pasukan Samhian melemparkan panas api di ke arah para Gort yang mencoba menaiki tembok. Namun, meskipun api begitu panas tak menjadi halangan besar untuk makhluk menjijikan itu memanjat. Mereka tetap bisa menerobos dan menghancur leburkan para pasukan penjaga.

Zeon dan Red tiba saat gerbang istana telah retak. Segera kedua pria itu berlari dan melemparkan sihir pembeku. Gerbang dibekukan mejadi es untuk menahan dobrakan dari luar. Gort yang berhasil naik ke benteng meraup setiap prajurit yang dilihatnya dan segera memasukkan ke mulut. Kunyahan dengan derak tulang yang terdengar mengerikan membuat Zeon menyipitkan mata. Ia benar-benar benci dengan makhluk menjijikan ini.

"Kita harus memenggal kepalanya!" seru Zeon kemudian berderap melayang. Red mendecih, ia benci dengan darah hitam Gort.

Zeon mengeluarkan tombak lalu bergerak menyerang Gort yang tengah mengunyah paha prajurit Samhian. Tombaknya menusuk bagian belakang leher. Gort menggeram lalu melemparkan paha yang tengah dikunyah. Kedua tangannya menggapai ke belakang berusaha menyerang Zeon. Saat itulah pedang Zeon muncul lalu menebas tangannya.

Gort meraung. Darah hitam berceceran dari potongan lengan. Melihat Gort lengah, Red melompat dan menusuk kepala Gort dengan belati milik Merine. Lalu, dengan kecepatan kilat Zeon menebas kepala Gort tersebut dan melemparnya ke arah Gort lain yang hendak memanjat tembok.

Kanna datang dan tepat mendarat di tembok. Kakinya kemudian menendang ulu hati salah satu Gort yang telah merangkak naik mencapai atas. Wanita itu lalu mengambil anak panah dengan ujung berwarna merah darah. Darahnya.

Satu per satu ia melancarkan serangan panahnya menumbangkan Gort yang merangkak naik ke tembok. Sama hal nya dengan Heragold dan pasukan lainnya. Sebelum ke sini Kanna mengiris telapak tangan dan memeras darahnya sendiri. Ia tahu, tak bisa seutuhnya menghentikan semua Gort yang menyerang. Akan tetapi, dengan seperti ini, para pasukan terbantu untuk mengalahkan pasukan depan para Gort busuk itu.

Melihat satu per satu Gort meledak dan hilang diterpa angin, Gort terbesar yang berada di belakang pasukan menggeram marah. Ia mengaum dan menatap Kanna dengan tajam. Matanya yang sejenis dengan binatang menyipit. Seakan memfokuskan buruan besar, ia terus mengamati gerak-gerik Kanna. Air liur menetes-netes di sela-sela gigi taringnya yang mencuat keluar.

'GGGRRRAAHHH!'

'GGRROOAARR!'

Seakan sebuah aba-aba, semua Gort yang tengah memanjat kemudian mundur dan hanya mengamati dari jarak pandang aman dari tembakan anak panah. Meski tak lagi menyerang, suara auman mereka tetap ada dan ditujukan sebagai ancaman para prajurit yang berada di atas benteng.

"Sepertinya Gort paling besar di sana adalah pemimpin," ungkap Zeon. Di sisinya, Red mengibas-kibaskan tangannya yang lengket terkena darah hitam Gort. Ia selalu kebagian memegang kepala Gort jelek saat Zeon menebas bagian kepala. Sehingga tak ayal darah busuk monster itu selalu memerciki pakaian dan kedua tangannya.

"Ada lima yang terbesar, menurutmu yang mana pemimpin utama?" tanya Kanna. Mata Zeon menyipit meneliti dengan seksama. Satu per satu ia mengamati lima Gort besar. Dan ketika ia akan menjawab, Red bergumam, "Baris kelima."

Kanna dan Zeon memandangnya takjub. Red menggaruk kepala yang tak gatal. "Benar kan?" tegasnya memastikan jawaban. Kanna tersenyum mengangguk sedangkan Zeon mengangkat jempolnya.

"Aku akan memberitahu Merine saat ia terbangun nanti, bahwa aku bisa menebak lebih cepat daripada Tuan Zeon." Red terkekeh sedangkan Zeon mendesah sambil mengangkat bahunya.

"Kita harus waspada, aku tak tahu tujuan serangan ini untuk apa. Karena jika memang ingin membunuh Yang Mulia Raja tentu mereka ...." Kanna tak melanjutkan ucapannya saat lintasan peristiwa terbunuhnya Zarkan Tar melintas. Semua kata-kata yang diucapkan Calasha tiba-tiba memenuhi otaknya. Ia memandang jauh bukit timur yang berhadapan tepat dengan istana ini. Kening Kanna mengernyit. Bibirnya terbuka dengan desah berat yang mengkondisikan kecemasan.

"Zeon! Ada yang salah."

"Apa yang salah?"

"Prajurit yang memberikan kita informasi bilang, ada monster kelelawar besar. Namun, kita telah berada di sini dan monster itu tak ada."

Zeon dan Red mengamati sekelilingnya. Kanna tiba-tiba mempunyai firasat buruk, ia kemudian bergerak terbang dan kembali memasuki istana. Pikirannya kemudian tertuju pada Zarkan Tar. Jika ini adalah bagian dari rencana Calasha. Maka penyerangan ini bermaksud mengambil tubuh Zarkan Tar.

Kecemasan Kanna membuatnya semakin bergerak cepat. Ia benar-benar telah masuk perangkap.

Detak jantungnya semakin hebat saat melihat puluhan penjaga yang mati terkapar di depan kamar sang mahadiraja. Kanna segera melesat terbang mendorong pintu yang telah setengah terbuka. Ia terhenyak saat melihat sesosok makhluk hitam berdiri menatap Zarkan Tar . Monster berbentuk kelelawar dengan kepala manusia tengah membelakanginya. Namun, seperti menyadari kedatangan Kanna kepala monster tersebut menoleh ke kanan. Dengan bibirnya yang hitam si monster menyunggingkan senyum mengerikan.

"Jauhi suamiku!" seru Kanna dengan tajam. Ia tak takut akan tetapi ia khawatir monster ini menyakiti tubuh Zarkan Tar.

Monster kelelawar itu perlahan membalikkan badan. Kaki dan tangannya berbulu hitam terlihat menggerak-gerakkan jari. Senyum seringai menghiasi bibir yang menghitam, serta kulit wajah pias pucat. Tak menutupi rasa terkejutnya, Kanna menatap tak percaya pada sosok Yeva yang telah berubah seutuhnya.

"Kau!" terkejut Kanna berucap.

Yeva terkikik tapi ia tak menanggapi keterkejutan Kanna. Tanpa menunggu Kanna bersiap, Yeva melompat mengulurkan cakarnya.

Kanna berkelit ke kiri, lalu suar cahaya biru terang menyelubungi seluruh tubuh. Tongkat di tangan kanannya teracung ke arah Yeva. "Yeva, aku sudah memaafkan ulahmu yang kekanak-kanakkan dulu. Namun, jika kau tetap ingin terus menyerangku, aku akan membunuhmu saat ini juga."

Menampik kata-kata Kanna, Yeva kembali menyerangnya. Pukulan tongkat Kanna tak dapat membuat Yeva gentar. Ia berteriak penuh kebencian. Aura membunuh semakin menguar jelas.

Berkali-kali Kanna berkelit menghindari serangan Yeva, tapi tindakan tersebut semakin membuat Yeva agresif dan bersikeras terus mengirim serangan kembali.

Kanna terlihat kesulitan karena ia juga harus melindungi serangan Yeva yang mengarah ke Zarkan Tar. Pikirannya terus memutar cara menghindari Yeva mendekati tubuh suaminya. Ia menukik dan menendang ulu hati Yeva. Namun, laksana batu karang, tubuh Yeva begitu keras dan tak bergeser sedikitpun akan tendangan Kanna.

Yeva menyeringai sinis, matanya menyipit menatap Kanna yang membelalak terkejut.

***

Mengetahui kepergian Kanna, pemimpin Gort kembali berteriak. Seluruh pasukan Gort meraung dan berlari kembali ke arah tembok benteng. Derap langkah kaki mereka membuat getaran besar sehingga prajurit yang tak berpijak kuat, oleng dan banyak berjatuhan dari atas benteng.

"Bersiap!!!" teriak Zeon sambil mengeluarkan tombaknya. Matanya menyipit mengarah pada lima Gort besar yang berada paling belakang pasukan Gort.

Red di samping Zeon menggemeretakkan gigi. Sungguh! Ia benci berperang dengan para Gort ini.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro