Part 31. Perlindungan Seorang Ayah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Tembok di tiap sisi ruangan bergetar memercikan debu halus. Iringan suara serangan besar kembali terjadi. Kedua bola mata Kanna membelalak, ia mendesis dengan geretak gigi. Sepertinya para Gort kembali menyerang. Di depan mata wanita itu, Yeva tengah menyipit sambil berjalan menuju ke arahnya. Langkahnya pelan seakan memberikan teror pada mangsa.

Kanna mengangkat tongkat biru saat Yeva kembali melompat dan menyerang. Gadis kelelawar itu terbang dan menyabet bahu Kanna. Kanna mendecih kesal, matanya memicing. Ia berbalik dan hendak menyerang kembali. Namun, sosok kelelawar besar itu menghilang.

Bola mata Kanna melirik ke kanan dan kiri. Telinganya ia tajamkan agar dapat mencari keberadaan suara sekecil apapun. Memiringkan wajahnya ia memejamkan mata. Bayangan hitam berkelebat berputar-putar mengelilingi dirinya terus menerus.

Kanna beringsut mundur, dengan setengah mengeratkan pegangan ia kemudian melemparkan tongkat. Tongkat bersinar terang dengan getaran yang menahbiskan udara semakin sesak bagi siapapun yang menghirupnya.

"BRRRAAKKK!" pintu tertutup dengan keras. Kepak sayap besar menyambar membuat Kanna harus merunduk dan berguling menghindari cakaran Yeva. Pekikan Yeva semakin beringas, dan serangan selanjutnya membuat Kanna harus mempertahankan diri dengan mengejar kecepatan serangan musuh.

Kanna berputar lalu melompat menendang wajah lawan. Tangan Kanna mengacungkan tongkat, melemparkannya, tongkat biru bergetar hebat lalu meledak dan berubah menjadi seekor phoenix biru.

Phoenix mengepakkan sayap, paruh burungnya membuka dengan suara jeritan melengking. Kepakkan sayap phoenix membawa api biru yang membesar menyerang Yeva. Yeva berkelit. Gadis kelelawar itu berputar lalu melompat terbang.

Dari kepakan sayap kelelawar, jarum hitam berisi racun dilepaskan menyerang Kanna. Kanna melompat dan mengibaskan tangannya menyingkirkan jarum beracun.

"KKKHHHAAAA!" si gadis kelelawar kembali berteriak. Asap putih kehijauan keluar dari mulutnya. Menyadari kandungan racun yang begitu pekat, Kanna beringsut menutup hidung. Phoenix biru mengepak sayap mengusir asap yang entah mengapa semakin membesar.

"Ini salah – tidak mungkin." Kanna beringsut menutup hidungnya. Sesak mulai ia rasakan dengan mata yang semakin berkunang-kunang.

Phoenix biru berhenti mengepakkan sayap. Asap tersebut semakin membesar pada setiap kepakannya. Kanna mengangkat tangannya lalu menggenggam kalung amethyst lizard, matanya terpejam dan rapalan mantra kuno terucap dari bibirnya.

Tubuh phoenix biru bergetar dan kepakan sayapnya kemudian melebar dengan warna berganti menjadi putih. Sang phoenix menyipit lalu mengepakkan sayap dan membekukan seluruh asap beracun menjadi gumpalan es, dengan sekali kepakan sang phoenix terbang dan membawa sumpalan beracun itu keluar ruangan.

Kanna terbatuk karena ada sisa racun yang terhisap hidungnya. Menenangkan diri ia kemudian memejamkan mata, aliran cahaya biru mengalir pada setiap aliran darah, menekan dan mengeluarkan racun yang berada di tubuhnya.

Yeva tertawa terbahak-bahak. Ia lalu berbalik dan dari punggung yang berbentuk kelelawar itu, kumpulan serangga keluar secara bergerombol. Serangga penghisap darah. Mata Kanna melebar, pupil ungunya bergerak liar. Dengan cekatan ia berjengkit dan mengibaskan tangan. Api biru keluar dan membakar setiap serangga. Akan tetapi, serangga tersebut terus menerus muncul. Setiap terbakar menjadi bubuk hitam dari bubuk tersebut keluar kembali serangga baru.

Kesepuluh jari Kanna terentang lalu keluar air yang memancar. Setelah itu sapuan gelombang meliuk berputar dan menggulung para serangga. Mata Kanna dipejamkan. Dari tanda teratai di dahinya sinar biru menyoroti pusaran air dan angin tersebut. pusaran dan angin semakin besar meninggi lalu menghilang seketika bersama kumpulan serangga tersebut.

Yeva menyeringai sinis menampilkan dua taring giginya. Sayap kelelawar Yeva tertarik ke belakang lalu kepak angin besar membuat Kanna harus melompat tinggi lalu melemparkan kristal-kristal es. Lemparan kristal tajam terus menerus membuat Yeva terpojok dan beberapa mengenai sayapnya. Saat gadis kelelawar itu lengah, Kanna mengeluarkan belati api, tangan kanannya menjepit ujung tajam belati. Dengan mata menyipi penuh perhitungan, ia kemudian melemparkan sekuat tenaga.

"SSSRRRAAKK!"

"JJJLLEEBB!"

"AAARRRGGGHHH!" teriakan Yeva bergaung. Ia mengepak sayap kemudian tubuh kelelawarnya berubah menjadi asap hitam dan melarikan diri lewat jendela.

Melihat tak ada lagi jejak gadis kelelawar itu Kanna mendesah lega. Ia memundurkan langkah lalu berbalik.

Darahnya terasa surut. Wajah Kanna memucat, dan detak jantungnya berdegup semakin keras. Tubuh Zarkan Tar menghilang.

Kanna bergerak cepat menyongsong ranjang yang kosong. Air matanya menggenang di kedua pelupuk matanya. Ia lalu beralih ke arah jendela yang terbuka lebar. Aura kabut masih ia rasakan.

Kedua mata Kanna menutup berusaha memfokuskan diri untuk melacak aura tersebut. Ketika mendapatkan jawaban kedua matanya membuka perlahan. Pupil mata ungu mengecil lalu sorot matanya beralih ke arah bukit timur.

"Atheras ...," desisan penuh kebencian.

***

Red menebas kepala Gort yang ke sekian. Darah hitam kembali berhamburan dan memercik ke pakaiannya. Di sisi lain, Zeon berhasil menumbangkan salah satu pemimpin Gort. Namun, tetap saja perlawanan mereka masih lemah.

Api bergulung membakar sisi tembok bagian selatan. Asap membumbung besar ditengah keriuhan perang. Jeritan, denting pedang bersahut-sahutan. Raungan disertai teriakan menggema tak berujung.

Marahnya si jago merah membesar merambat dan menjalar ke arah kastil sebelah selatan. Kastil di mana tempat di mana para pengungsi berkumpul. Kepanikan tak terhindari lagi. Beberapa para penyihir yang berelemen air terus menerus membantu memadamkan api. Namun, api tak secepat itu padam.

Kanna berlari ke arah lorong kastil para pengungsi berada. Ia beberapa kali memadamkan api dengan sihirnya. Namun api yang menjalar telah membakar sebagian ruangan.

Tanah kembali bergetar. Getarannya menjalar hingga meretakkan tembok-tembok benteng. Para Gort semakin beringas memukulkan kapak gada pada setiap tembok benteng. Zeon dan Red terdesak mundur. Setengah pasukan telah tumbang dan gugur di medan perang. Jumlah pasukan hanya tertinggal 1500.

Tiupan terompet perang berkumandang. Seakan tak puas akan perlawanan pasukan Samhian dengan para Gort, pasukan Valia kembali dengan kuda-kuda besar mereka. Genderang perang kembali berbunyi dan dari dua arah selatan dan barat pasukan Valia kembali mengepung.

"Mundur!!!" teriakan Zeon dan Heragold bersamaan. Pasukan panah mereka sebagian besar telah gugur. Sehingga pertahanan serangan melemah. Mereka hanya bisa mundur sampai ke benteng dan bertahan dari dalam sana.

Kanna melompat terbang di atas benteng. Kakinya mendarat lalu langsung memasang anak panahnya. Tak perlu mengambil hitungan waktu, sang ratu Samhian menembaki beberapa Gort. Red bergabung bersama Zeon.

"Apa yang terjadi?" tanya Zeon sambil memanah beberapa Gort.

"Tubuh Yang Mulia dicuri!"

Zeon tercengang. Ia menatap Kanna yang begitu serius memanahi para Gort. Sorot ketidakberdayaan terlihat jelas pada raut wajah wanita itu.

"Berapa sisa pasukan kita?"

"Kurang lebih 1500." Zeon menancapkan anak panah dengan dengan tangannya saat sepasang tangan Gort menggapai atas benteng.

"Mereka terlihat kelelahan." Kanna lirih bergumam. Ia menatap para pasukannya yang masih terus berperang. Tak sedikit hitungan ia melihat mereka menjadi korban keganasan para Gort.

Melihat salah satu prajurit yang menjerit karena serangan Gort, Kanna beringsut akan memanah Gort tersebut. Namun, terlambat. Gort telah membelah tubuh tersebut menjadi dua bagian dan melahapnya bersamaan.

Kanna menjerit putus asa. Ia berpaling pada Red lalu berkata, "Belatimu! Berikan padaku!"

Red tergagap tapi kemudian segera menyerahkan belati milik Merine.

Dua netra Kanna bergerak memindai belati Merine. Emosi bercampur aduk dalam hati, kemarahan, kesedihan, kecemasan, kehilangan, membuat air mata menumpuk di pelupuk matanya.

'SSSRREETTT!'

Darah mengucur dari lengan Kanna. "Ambilkan sebuah kain," sahutnya. Zeon sigap mengambil jubah berwarna putih yang terletak di bawah. Setiap tetesan darah kian menggenapi seluruh jubah. Jubah yang berwarna putih telah berubah menjadi merah sepenuhnya.

"Ambil jubah lain!" sahut Kanna lagi, Red berlari mengambil dua jubah. Sama seperti sebelumnya Kanna mengubah warna jubah putih tersebut menjadi merah seluruhnya.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Zeon menatap tiga jubah berbalut darah sepenuhnya tersebut.

"Hujan! Bisakah kau memanggilnya?"

Zeon mengangguk. Pria itu kemudian menengadah ke atas mengamati awan yang berkumpul.

"Red, ketika hujan datang lempar ketiga jubah ini ke segala sisi. Memang tak akan memusnahkan banyak hanya saja ini dapat menahan sebagian Gort."

Red mengangguk. "Wajahmu pucat, Yang Mulia!"

"Aku baik-baik saja."

Zeon memutar kedua tangannya sejajar dada. Cahaya perak berputar-putar membentuk sebuah bola cahaya. Kemudian dengan dorongan kuat, ia mengarahkan bola cahaya tersebut ke atas langit. Tak lama kemudian suara Guntur bergemuruh. Tetes air mulai menari berjatuhan.

Guntur semakin menggelegar dengan kilat yang menyambar. Hujan deras akhirnya menyerang dengan bebas.

"Sekarang!" perintah Kanna. Red mengangguk, ia kemudian melempar tiga jubah tersebut ke atas langit. Kanna mengambil panah dengan tiga anak panah bersamaan. Matanya menyipit lalu tarikan pada busur dengan kuat ia lepaskan. Tiga anak panah berputar lalu mengejar kain yang melayang ke tiga penjuru.

'SSSLLAASSH!'

'SSSHHUUU!'

'SSSHHUUU!'

'SSRREETTT!'

Bersamaan ketiga kain tercabik-cabik menjadi ratus bagian. Robekan kain bercampur dengan air hujan. Darah yang menempel pada kain luntur dan ikut terbawa air ketika sampai ke daratan.

Raungan kesakitan para Gort terdengar dari berbagai sisi. Gort-gort di bagian depan saling berhimpit dan meleleh saat air hujan bercampur darah mengenai kulit mereka.

Mereka berjatuhan dengan kulit melepuh seakan meledak dari dalam. Lalu saat korosi terjadi, bau busuk anyir para Gort menyergap hidung para pasukan Samhian. Tak terkecuali Red yang langsung membalikkan tubuh dan segera mengikat hidungnya dengan secarik kain yang ia temui.

"Pasukan Gort depan musnah. Namun, pasukan belakang masih utuh." Zeon memandang kejauhan, di mana empat pemimpin Gort masih berdiri teguh. Satu pemimpin telah ia musnahkan.

Kanna mengelus kalung amethystnya, lalu menatap ke bukit timur yang terlihat begitu gelap.

"Yang Mulia, lindungi aku!" begitu lirih ia berucap. Air hujan telah membasahi rambut dan pakaiannya.

"Gort kembali maju," sahut Red menunjuk gerakan Gort yang kembali melangkah bersamaan.

"Yang Mulia, jangan gunakan darahmu kembali!" Zeon berseru, "wajahmu pucat pasi, kau harus tetap bertahan. Setelah sang mahadiraja tak ada, kau adalah lambang kedaulatan kami. Biarkan aku yang maju ke depan!"

"Yang Mulia!" Heragold datang berderap, ia membawa sebuah pedang berlumuran darah.

"Sisi barat runtuh, pasukan pemberontak menyerang."

"Bagaimana keadaan pasukan kita?"

"Pasukan kami hanya tinggal 1000," tukas Heragold. Kanna menggigit bibirnya erat. Ia menatap Gort yang semakin mendekat, juga hatinya cemas dengan runtuhnya bagian barat karena pasukan pemberontak.

"Zeon! Jika aku harus memeras darahku sampai habis, aku akan melakukannya! Jika aku mati, aku dan Zarkan Tar mempercayakan Samhian padamu!"

"Yang Mulia!"

"Zeon, tak perlu berdebat! Kita hanya harus terus berjuang, darahku tercipta untuk melawan mereka. karena itu ...." Kanna tak sempat meneruskan kata-katanya saat suara ratusan panah menyerang.

'SSSHHUUU!'

'SSSHHUUU!'

'SSSHHUUU!'

'SSSHHUUU!'

'SSSHHUUU!'

'SSSHHUUU!'

Ribuan anak panah datang dari berbagai penjuru dan berpesta pora memburu Gort. Para Gort meraung, begitu juga dengan empat pemimpin mereka yang saling mencari datangnya arah anak panah. Gort terjatuh satu persatu dengan raungan memekakan. Saling bersahutan dan mencoba berlari dari serangan anak panah.

Kanna, Zeon, Red dan Heragold membelalakan mata terkejut. Panah seakan tak henti-hentinya berterbangan menembaki para Gort yang berlari kocar kacir.

Ringkihan kuda datang dari balik hutan. Derapnya penuh semangat tempur juga membawa rasa teror yang kuat.

Gort yang terkena anak panah mulai berkorosi lalu membengkak dan bersamaan dengan berhentinya hujan tubuh mereka meledak sebagian besar. Gort lain yang selamat dari anak panah saling menggeram dan menatap ke sebuah hutan gelap. Menanti sesuatu yang datang dari arah itu.

Bayangan putih yang berderap begitu cepat menerobos kegelapan hutan. Langkah kuda membawa getaran alam. Aroma kematian, kegetiran, rasa putus asa bercampur jadi satu. Kanna menatap pada bayangan putih di kegelapan hutan tersebut dengan jantung berdegup kencang.

Ketika sebuah lompatan kaki kuda putih menerobos pohon terakhir pembatas hutan, ringkihan suara kuda menyambut sebuah harapan bagi Samhian.

Pasukan berkuda putih dengan sosok-sosok berambut putih dan bermata perak berderap kencang memacu. Sebagian pemanah langsung memasang kuda-kuda memanah dengan kuda yang terus berderap lari menerjang kerumunan pasukan Gort.

Panah kembali dilayangkan satu persatu. Pedang kristal perak tak luput dari pasukan inti mereka. tak ada persiapan dari para Gort dalam menghadapi musuh lain. Musuh alami mereka. Musuh dari ribuan tahun lamanya. Bangsa Nev.

"Pertolongan kita, Yang Mulia!" sahut Zeon menyunggingkan senyum.

"Siapa mereka?" tanya Kanna, kedua matanya begitu takjub menatap bala bantuan yang datang.

"Bangsa Nev, musuh alami para Gort. Gort takut dengan perak bangsa Nev. Entah siapa yang berhasil membujuk kaum tertutup itu, ia pasti orang yang hebat."

"Sementara kita bernapas lega dari serangan Gort, ayo kita ke arah barat! Pasukan pemberontak harus kita tumpas!"

"Baik!" Heragold dan Zeon berderap pergi. Sedangkan Red tetap di sisi Kanna.

"Aku akan maju dan mengikuti perang ini!" Red mengambil sebuah tombak lalu melompati benteng dan bercampur dengan perang tersebut.

Kanna menatap sosok lain yang ikut berperang. Manusia yang berbeda dari bangsa Nev. Jika bangsa Nev mempunyai rambut putih dengan mata perak, maka pria paruh baya itu berambut hitam dengan jenggot lebat berwarna keabuan. Disampingnya Kanna mengenali sosok pria paruh baya lain. Paman Ken.

Apakah Paman Ken yang mendatangkan bala bantuan ini?

Pandangannya masih pada dua sosok ini. Saat sosok paruh baya yang tak ia kenali menoleh padanya, Kanna terhenyak. Degup jantungnya berdetak cepat. Sebuah rasa lain menelusup. Menatap matanya saja, Kanna merasakan sebuah rasa aman. Sebuah janji perlindungan yang entah mengapa Kanna rasakan selain pada suaminya.

Bibir pria paruh baya terangkat dan sebuah senyuman terlukis untuk Kanna. Tak terasa bulir air mata Kanna meleleh. Melihat senyum itu, segala rasa kecemasan Kanna memudar. Sebuah rasa yang tak pernah Kanna rasakan dalam hidupnya selama ini.

Rasa yang Kanna nanti-nanti kan, perlindungan seorang ayah.

Senyum pria paruh baya itu meruntuhkan pertahanan Kanna, ia bersimpuh saat tangis kelegaan meledak. Melepaskan segala cemas dan khawatir juga ketakutan akan hilangnya Zarkan Tar.

Di sisi lain, melihat Kanna yang tersungkur dan menangis sendirian, raja Trev mengepalkan tangannya. "Tunggu, Nak! Tunggulah! Ayah akan memusnahkan semua orang yang menyakitimu!" ia berbalik lalu dengan raut wajah kejam tangannya terangkat dan berteriak kencang saat menebas kepala salah satu Gort. Refleksi akan kemarahannya bertahun-tahun ini.

***

Kelopak mata Calasha berkedip dengan bibir melebar melihat Zarkan Tar yang berbaring di sebuah altar. Pada tangan kirinya, terdapat sebuah bola kehidupan berwarna emas. Perlahan langkahnya menapaki undakan tangga. Saat ia tepat berdiri di samping Zarkan Tar, segera ia meletakkan bola kehidupan di tengah dada Zarkan Tar.

"Agra Tar, aku menunggumu selama ini. Saat semua selesai, kita akan hidup berdua sesuai keinginanku. Aku akan melepaskan gelar dewiku, lalu kita berdua menjadi manusia biasa. Hidup menua dan meninggal bersama."

"Jika saja dulu kau mau mematuhi diriku, kita tak mungkin akan menjalani hidup penuh liku seperti ini. Aku melakukan hal seperti ini agar kau mengerti betapa dalam cintaku padamu. Agra Tar, bahkan jika hanya sehari saja kau mencurahkan cintamu untukku. Itu sebuah anugerah. Namun, harus ratusan tahun kulalui agar aku bisa menghidupkanmu."

Kedua tangan Calasha bergerak. Suar cahaya biru pekat keluar dari kedua tangannya lalu merasuk ke dalam bola kehidupan Agra Tar. Bola bersinar dengan cahaya emas yang bercampur biru pekat. Dua cahaya berlawanan saling menarik dan menolak. Perputaran cahaya kian berporos hingga bola tersebut bergetar. Sebuah retakan terlihat perlahan kemudian merambat begitu cepat.

Bola kehidupan pecah menjadi dua lalu suar cahaya keemasan keluar dan berputar-putar. Calasha merapalkan mantra, "Ou Tu Avaatu Para Agaa I Luma."

Cahaya keemasan itu berpendar lalu bergerak melingkupi tubuh Zarkan Tar.

"O Vuu O Vuu Gama Savali E Mulimuli Mai Ia Te Aʻu"

Mantra Calasha terucap lalu sebuah cahaya putih besar membutakan mata. Calasha tak kuat menahan, dengan merentangkan lengannya ia menutupi kedua mata.

"BBRRAAAKKK!"

Angin besar membuat pintu terbuka dan memporak porandakan seisi ruangan. Lalu ketika tiupan angin berhenti, Calasha membuka matanya. Ia merapikan rambut yang menutupi wajah. Namun, ketika mendapati tubuh Zarkan Tar tak ada kedua matanya membelalak terkejut.

"Apa? Apa yang terjadi?" Calasha berderap dan memeriksa meja altar yang sebelumnya terbaring tubuh Zarkan Tar.

"Ia menolakmu!" suara yang dikenal Calasha memasuki pendengarannya. Calasha dengan berang berbalik dan mendapati Cygnus yang tengah santai mengunyah sebuah apel merah di tangannya.

"Apa yang kau lakukan?!" Calasha menjerit. Namun, saudaranya begitu santai memakan buah apel bahkan sedikit tersenyum polos melihat kemarahan di mata Calasha.

"Dari awal Agra Tar menolakmu, hingga sekarang pun. Apa kau tahu, meski raga dan jiwanya telah tak ada lagi di dunia ini. Agra Tar selalu mengetahui apa yang terjadi. Apa kau pikir dia tak marah dengan ulahmu membunuh anaknya?" Cygnus terkekeh. Ia bersendawa pelan menatap apel yang tinggal setengah tersebut lalu membuangnya sembarangan.

Ketika pandangannya terangkat menatap Calasha, raut wajah imut remajanya berubah menjadi serius. "Calasha, tak ada lagi yang bisa kau lakukan! Terima takdirmu atau kau harus berhadapan langsung denganku."

Calasha menatap Cygnus penuh kemarahan. Tubuh sang dewi kemudian menguarkan cahaya biru dengan mata tajam menusuk. Di sisi lain, tubuh Cygnus terlingkupi dengan cahya hijau. Halus tetapi mematikan. Tak ada pandangan lembut seorang remaja, dalam sorot mata itu terlihat sebuah kekejaman alam semesta.

***

Kedua mata Sautesh menatap cermin takdir di depannya. Wajah sebelahnya yang cacat terlihat begitu suram, begitu pula wajah sebagian lainnya meski terlihat tampan namun tampak sama. Suram dan penuh kesedihan.

Beberapa saat lalu ketika ia melakukan ritual kebangkitan Norva. Tiba-tiba jeritan wanita itu terdengar di telinganya. Jeritan kemarahan dan kebencian. Lalu, saat ia memaksakan diri sebuah sinar menerpa dirinya.

Ia seperti memasuki dimensi waktu lain. Di sana terlihat indah, tenang dan damai. Sebuah kediaman yang dipenuhi bunga-bunga indah. Ketika ia masih juga tak sadar sedang berada di mana. Sebuah suara cengkrama manja terdengar di telinganya. Sautesh berpikir itu suara Norva dan Agra Tar. Hingga sang hati kembali dalam amukan kemarahan, tetapi saat mengikuti suara tersebut, tak ada Norva ataupun agra Tar. Melainkan sosoknya yang dulu dan – Calasha.

Calasha? Mengapa wanita itu ada bersamanya. Begitu intim dan terlihat saling menyayangi.

Ia mengikuti mereka berdua. Kehidupan yang begitu bahagia tanpa kebencian dan iri hati. Saling mencintai satu sama lain juga kedamaian yang tak pernah ia rasakan.

Sautesh menggelengkan kepala. Ia tak mengerti dengan apa yang terjadi di depannya, ketika ia berbalik, sosok Cygnus telah berdiri dan menyunggingkan senyum lebar.

"Kau kaget?"

Sautesh tak menjawab. Ia masih linglung dengan adegan demi adegan yang di lihatnya.

"Ini adalah takdirmu, takdir yang seharusnya kau lalui."

"Apa maksudmu, Yang Mulia?"

Cygnus terkekeh, ia mendekat lalu dengan tanpa izin meraih tangan kanan Sautesh.

"Aku tahu kau lah yang paling menderita karena ulahnya, sudah saatnya kau tahu tentang dirimu dan Calasha. Ketika kau mengetahui semua ini, kau lah yang memilih, meneruskan rencanamu atau meneruskan takdir yang seharusnya."

Cygnus memejamkan mata. Tangannya menangkup tangan kanan Sautesh. Sebuah cahaya berkelebat memasuki pupil Sautesh, kemudian adegan-adegan masa lalu berkelebat di matanya. Adegan dimulai saat Calasha menangis karena penolakan Agra Tar hingga wanita itu menggunakan pikiran Sautesh agar terus menerus mengarahkan cintanya pada Norva. Adegan terakhir saat Calasha mencoba menghapus benang merah penghubung jodoh mereka berdua. Jodoh? Mereka berjodoh?

Tubuh Sautesh bergetar. Ia mundur lalu melepaskan tangan Cygnus. Kedua bola mata membesar tak percaya dengan apa yang ia lihat. Sedangkan sang alam semesta hanya terkekeh lalu berbalik pergi menghilang dalam udara tipis.

Kembali ia menatap cermin takdir, terdapat adegan Calasha yang berhadapan dengan Cygnus. Pandangan mata Sautesh kosong namun kedua tangannya terkepal erat. Perlahan kekehan menyedihkan keluar dari bibirnya.

"Permainan ... kau menggunakanku sebagai permainan?"

Bayangan-bayangan kebahagiaan yang selalu ia rindukan berkelebat satu per satu. Siapakah yang harus ia percayai saat ini?

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro