Part 38. Apakah kau Percaya Padaku (END)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kerr yang terpental menjerit menerjang tembok batu. Kanna kembali melesat lalu melesakkan panah ke jantung kerr itu. Ia harus bergerak cepat karena kerr lain kembali menyerang.

Di seberang sana, Zarkan Tar membakar beberapa kerr secara bersamaan. Kemudian bergerak terbang dan memukulkan serangan api merah. Namun, ada yang aneh. Setiap kerr yang musnah akan muncul kerr lain dari kegelapan, sejumlah kerr yang terbunuh.

Kanna kembali menyerang dan menebas leher kerr. Darah hijau kerr berhamburan. Berlendir serta dapat mengkorosi kulit. Ini lah yang diinginkan Atheras. Mati ataupun tidak kerr dapat membunuh lawannya. Darah kerr adalah racun korosi yang dapat mengoyak tubuh manusia.

Raut wajah Kanna menggelap, mendecih ia kemudian menendang kerr yang tertebas pedangnya. Secepat mungkin berbalik kembali dan melawan dua kerr yang akan menyerang bersamaan.

Melawan kerr tak ada waktu untuk menghela napas.

Zarkan Tar menatap istrinya yang sedang melawan dua kerr. Rasa cemasnya berganti dengan kemarahan. Ia mengeluarkan segumpal api besar dan membakar segerombolan kerr yang datang menyerang.

Sama seperti sebelumnya, kerr lain muncul kembali dari area kegelapan.

Atheras tertawa melihat dua musuhnya sedang kalang kabut melawan pasukan neraka. Benar. Kerr bukan sekedar penghuni tetap neraka, mereka juga adalah pasukan utama Atheras. Lawan yang seimbang untuk Kanna dan Zarkan Tar.

Kerr bisa mati, namun perkembangbiakan mereka amat cepat. Setiap ada yang mati maka akan muncul kembali pengganti mereka. Terkecuali, api sang esa. Menyentuh api sang esa, jiwa kerr tak akan pernah bisa muncul kembali.

Zarkan Tar melihat Kanna yang mulai diserang secara bersamaan. Akan tetapi, setiap kali ia akan melangkah pergi kerr lain menghalangi.

'Sreeettt!' tebasan pedang Zarkan Tar memotong tubuh kerr. Ia melompat dan kembali menyerang kerr yang mengikutinya. Kaki sang mahadiraja bahkan dijegal paksa. Seakan semua telah direncanakan untuk menangkap Kanna.

"HAHAHAHAHAHAA ....!" Tawa Atheras menggema ketika melihat kerr mengerubungi Kanna.

Zarkan Tar menggeram dan dengan api yang menyelimuti tubuhnya ia melesat dan menebas para kerr yang menghalangi jalannya.

Senyum Atheras semakin licik. Segera ia melayang berniat menyerang Zarkan Tar. melihat hal itu, Zarkan Tar mengeluarkan tombak lalu menangkis serangan Atheras. Tak dapat dihindari, perkelahian mereka akhirnya terjadi.

Kanna berusaha melepas cengkeraman tangan-tangan kerr di lehernya. Seakan tak kenal takut kerr-kerr itu mendesis dan berusaha menjilatnya. Kanna kembali meronta sekuat tenaga. Napasnya sesak, racun yang dihembuskan kerr terhirup dari hidungnya.

Menahan napas, ia kemudian mengepalkan tinju dan dengan kewarasan otaknya yang hampir mencapai kegelapan ia memanggil sang phoenix.

Api biru besar meledak, berputar kemudian menukik dan berubah menjadi burung phoenix besar. Suara teriakannya membuat para kerr beringsut. Kanna memberontak lalu menendang kerr yang tengah mencengkeramnya.

Terlepas, ia kemudian melompat dan mengeluarkan tongkat. Menjejakkan tongkatnya Kanna mengucap mantra.

Burung phoenix biru yang menukik tiba-tiba menyepakkan sayap besar dan dengan nyalang menatap ratusan kerr di bawah sana.

Kerr terbelalak saat burung phoenix itu meluncur turun kemudian menghembuskan api biru menyerang mereka semua.

Jerit kesakitan kerr terdengar pilu. Atheras yang tengah melawan Zarkan Tar pun menoleh dan melihat ratusan kerr yang ia kendalikan bergelimpangan dengan api biru menyelimuti tubuh mereka.

Api dari phoenix biru milik klan penyihir hitam bukanlah api pembunuh. Namun, pembakaran tubuh akan berlangsung selama hayat masih berada di badan. Api biru hanya akan padam jika kerr-kerr itu mati dengan sendirinya.

Kesal karena rencananya gagal, Atheras mengibaskan tongkat tengkoraknya. Ular hitam dengan mata merah keluar lalu dengan agresif bergerak menyerang Kanna.

Mengetahui apa rencana Atheras, bergegas Zarkan Tar melesat berkejaran dengan ular itu. Akan tetapi, Atheras kembali menghadang. Ia menebas Zarkan Tar dengan tongkat tengkoraknya. Zarkan Tar menepis dengan tombak dan kembali terlibat perkelahian. Hatinya yang cemas beberapa kali melirik Kanna yang tengah mati-matian menghindari serangan sang ular hitam.

"Atheras, aku tak akan memaafkanmu." Geram, Zarkan Tar menatap bengis pada sang dewa kematian. Atheras hanya menyeringai.

***

Sautesh dan Calasha terjerembab jatuh mengenai tanah bebatuan. Terowongan yang membawa mereka kemudian menghilang dengan cepat. Calasha bergegas bangun lalu menghampiri Sautesh berniat membantunya. Akan tetapi, sebelum sang dewi kehidupan menyentuh, Sautesh cepat bangkit dan mengibaskan tangannya yang hampir disentuh Calasha.

Tangan Calasha yang terulur menjadi gemetar. Ia lalu menarik kembali dan menyembunyikan gemetar itu dibalik keliman lengan gaunnya. Sautesh kembali seperti semula. Dingin dan tak tersentuh.

"Mengapa kau mengikutiku kemari?" tanya Calasha. Rasa penasarannya tak tertahankan lagi. Ia begitu berbunga-bunga saat mendapati Sautesh mengejarnya. Namun, melihat sikap pria itu sekarang, Calasha kembali terluka.

"Jangan berprasangka yang bukan-bukan. Sama sepertimu, aku ingin menebus kesalahanku." Sautesh mendahului Calasha menyusuri lorong besar yang terbuka. Bau samaria tercium dari arah itu, dapat dipastikan Atheras ada di sana.

Melihat Sautesh yang mendahuluinya, Calasha mematung kaku. Pada akhirnya, ia hanya berharap pada harapan semu. Tak semudah itu menggapai maaf.

Mendesah sedih, ia kemudian mengikuti Sautesh. Tetap menjaga jarak karena ia tak ingin menambah sakit di hatinya.

"Jika kau berniat untuk menikmati tempat neraka ini, maka sebaiknya kau berhenti di sini. Namun, jika kau berniat menyelamatkan mereka, percepat langkahmu!"

Teguran Sautesh membuat Calasha yang tengah menunduk terlonjak. Ia melihat Sautesh menatapnya tajam. Calasha mengangguk lalu mempercepat langkahnya.

Sungguh. Ke mana kesombongannya dulu? Mengapa ia menerima saja bentakan dan teguran pria ini. Mendesah sedih, Calasha hanya terdiam sambil tetap menyamai langkah sang dewa takdir kelam ini.

***

Kanna berlari dari kejaran ular hitam bermata merah. Langkah kakinya mendesak cepat menyusuri jalan berbatu. Serangan kembali dilayangkan ular itu, hingga ia harus berkali-kali menangkis cepat. Kekuatan ular hitam tak sebanding dengan dirinya. Ular hitam yang berusia ribuan tahun mempunyai kekuatan serupa dengan Atheras. Meski Kanna menggunakan seluruh sihirnya, ular hitam hanya menghalau dengan kibasan ekornya.

Tepat di depan mata, Kanna melihat terowongan gelap. Hanya ada satu jalan dan ia tak bisa mundur. Desisan ular hitam itu membuat Kanna memilih memasuki terowongan.

Dan pilihan itu lah yang membuatnya memasuki penjara iblis.

***

Sautesh dan Calasha memasuki tempat di mana Zarkan Tar dan Atheras sedang berseteru. Calasha mencari Kanna, namun tak ada jejak wanita itu. Kembali ia menatap Zarkan Tar yang terlihat cemas melirik ke arah lain.

"Sepertinya ia terpisah dari Kanna," gumam Calasha tak sadar. Sautesh hanya melirik sebentar kemudian bergerak melompat terbang dan ikut menyerang Atheras.

"Cari Kanna! tinggalkan dia padaku," sahutnya setelah menendang rusuk Atheras.

Zarkan Tar menatap Sautesh yang kembali bersiap menghadapi Atheras.

"Cepat! Tak ada banyak waktu. Segel ketiga hampir terbuka," ucapnya lagi. Zarkan Tar mengangguk lalu bergerak terbang menyusuri arah di mana Kanna dikejar ular hitam tadi.

"Kau brengsek!" desis Atheras. Matanya nyalang menusuk. Sautesh hanya mengerling dingin. Dari awal ia tak pernah menyukai dewa ini. Merasa masuk dalam jebakan Atheras, Sautesh semakin mendegil.

"Aku telah menolongmu, menyerahkan jiwa Norva. Kau membalasku seperti ini?"

"Kau tak pernah menolongku, Atheras. Kau menjebakku."

Atheras tertawa, terkikik geli lalu menggelengkan kepala. "Sautesh. Kau memang sama seperti dulu. Tak pernah berubah." Pandangannya kemudian beralih pada Calasha. "Kali ini Calasha? Hahahaha ...." Ia terbahak.

"Kau benar-benar tak pernah belajar dari kesalahan masa lalu rupanya. Lihatlah arah mana yang ia pandangi sekarang, matanya hanya tertuju ke mana Zarkan Tar pergi."

"Sautesh! takdir burukmu dalam hal wanita akan selalu buruk." Atheras terkekeh kembali. Sautesh hanya diam dengan tangan terkepal geram.

Sudut matanya melihat Calasha yang tengah mengamati arah di mana Zarkan Tar pergi. Ia menghela napas berat. Dasar wanita, keluhnya dalam hati. Namun, ia tak ingin terprovokasi lagi oleh Atheras. Ia hanya tersenyum sinis menunjukan bahwa tak sedikitpun ia terpengaruh.

"Kau menyedihkan, Atheras. Hidupmu hanya berkutat dengan rencana bagaimana mencelakai makhluk hidup. Memuja iblis, kau merendahkan dirimu sendiri."

Ucapan Sautesh membuat Atheras mendesis kasar, lalu berteriak dan menyerang Sautesh secara langsung. Kecepatan pertarungan mereka sangat imbang. Energi masing-masing berkekuatan langit sehingga menggetarkan area sekitar.

Calasha menatap cemas pada Sautesh, tetapi ia pun mempunyai tujuan besar di sini. Dengan pertimbangan sulit akhirnya ia berbalik dan bergerak ke arah di mana Zarkan Tar pergi.

Kepergian Calasha tertangkap di sudut mata Sautesh. Pandangan Sautesh menggelap hingga berimbas pada suasana hatinya. Atheras yang menyadari hati lawannya semakin tertawa ketika Sautesh melampiaskan emosi pada perseteruan ini.

***

Tiga kristal dalam kantong kilt Kanna kembali bergetar hebat. Seluruh energi Kanna seperti kembali terserap. Perlahan tapi mendesak gejolak tiga kristal itu seakan menyuruhnya untuk dikeluarkan.

Kanna mencengkeram dadanya. Dengan sekuat tenaga mencoba melawan desakan tiga kristal tersebut. Tubuhnya terasa panas dan sakit dari berbagai sisi. Kanna merintih saat sakit itu mulai menuju kepalanya.

Arah depan sana. Gelap pekat tetapi aura dahsyat begitu terasa. Pandangan Kanna sayu, tetapi ia masih dengan jelas mengetahui makhluk dengan mata merah di sana kini sedang menatapnya tajam. Seakan memerintah Kanna untuk segera mendekat.

"Tidak!"

"Tidak!" Kanna memerintahkan dirinya sendiri saat kakinya mulai melangkah mendekat.

"Ber—henti!" ucapan Kanna semakin pelan. Ia sendiri tidak tahu siapa yang menggerakkan tubuhnya.

Tangan Kanna bergerak mencoba menahan diri. Namun, semakin ia berniat melawan, langkah kakinya semakin bergerak maju.

"HA HA HA HA HAA ...." Tawa mengerikan terdengar dari depan Kanna. Mata merah besar memandang Kanna dengan sorot angkuh, kejam, dan tak ada rasa kasih apapun. Menatap mata itu akan selalu menimbulkan kesuraman hingga rasa tertekan.

Astaroth. Ia adalah iblis penguasa hati manusia. Manusia yang telah dikuasainya akan selalu menuruti apapun yang diperintahkan. Kemunculannya, hanya akan membuat manusia kehilangan jati diri dan menjadi boneka.

"Mendekatlah, mendekatlah!" suara itu bergaung terus menerus di telinga Kanna. Seakan tak ada suara lainnya yang masuk ke pendengaran.

Beringsut Kanna mencoba menahan agar tak melangkah jauh. Namun, paksaan besar tiba-tiba melontarkan tubuhnya jauh ke depan.

Suara tawa iblis kembali terdengar. Pandangan Kanna semakin memburam, lalu segaris tipis ia menemui kegelapan pekat.

Iblis itu kembali tertawa. Sedangkan ketiga bola kristal yang berada dikantong kilt Kanna keluar dan melayang berputar-putar.

Seakan menemukan apa yang ia cari, sang iblis kembali tertawa senang. Tiga warna kristal, merah, biru, dan hijau berputar cepat kemudian membentuk sebuah tanda 'kho'. Lambang iblis Astaroth. Ledakan besar terjadi mengguncang gunung Margotian.

Zarkan Tar membelalakan mata ketika tiba di depan terowongan penjara iblis. Hatinya bergetar. Jantungnya berdetak kencang. Kecemasan sangat terlihat pada raut wajahnya. Kanna berada di pusat ledakan.

Secepat mungkin ia berlari hingga suar cahaya merah melingkupinya. Pupil mata emas sebelah kiri Zarkan Tar berubah menjadi semerah darah. Seiring langkahnya berpacu, rambut hitamnya berubah menjadi keemasan. Dengan telapak tangannya ia mendorong kuat kekuatan besar memasuki terowongan itu.

Calasha yang mendengar suara ledakan besar langsung mempercepat langkahnya. Tubuhnya terselimuti suar cahaya biru pekat lalu melesat memasuki terowongan di mana ledakan berlangsung.

***

Suara ledakan besar juga dirasakan Atheras dan Sautesh. keduanya menghentikan perkelahian dan menatap ke arah di mana Zarkan Tar pergi.

Atheras terkekeh. Ia memiringkan kepalanya menatap Sautesh. "Sia-sia," ucapnya disertai suara tawa.

"Sautesh, Calasha hanya akan menjadi makanan untuk sang iblis. Ribuan tahun ia terkurung. Saatnya menyantap hidangan besar. Dewi tertinggi dunia Gartan. Hahahaha ...."

Tak lagi menghiraukan perkataan Atheras, Sautesh bergerak terbang mengejar Calasha. Hatinya diredam ketakutan yang teramat dalam. Cekaman itu mencekal segala nalar logika sang dewa. Baru kali ini ketakutan begitu menjiwai seluruh pikiran dan hatinya.

***

Kanna menggeser tubuhnya ketika api kembali menyerang. Ia bertopang pada tongkat yang menjadi penangkis ledakan besar sebelumnya. Beberapa bagian gaunnya robek terkena ledakan. Namun, ia berhasil melarikan diri.

Di sana, iblis Astaroth melebarkan sayapnya. Dengkusan sang iblis seakan menebar teror. Auranya amat dahsyat dengan panas neraka yang dapat menghanguskan jiwa-jiwa malang.

Gemerincing rantai yang masih membalut kaki sang iblis membuat Kanna kembali awas. Meski segel terbuka, iblis Astaroth belum mencapai kebebasan seutuhnya.

Suara berdebum mengalihkan pandangan Kanna dari sang iblis. Suar cahaya merah membungkus sosok Zarkan Tar. Sang mahadiraja datang dengan di susul Calasha di belakangnya.

"Ah, Sang Esa! Lama kita tidak berjumpa!" suara berat iblis menyapa Zarkan Tar.

Zarkan Tar menatap tajam pada Astaroth. Ia kemudian mencari ke berbagai sudut, saat menemukan sosok Kanna yang tengah menyandar di sisi tembok. Hatinya mendesah lega. Setidaknya, sang istri selamat dari ledakan besar itu, meski terlihat terluka parah.

"Astaroth." Zarkan Tar menggeram. Sedangkan Astaroth menatap tajam pria itu.

Ribuan tahun, Astaroth tak akan pernah melupakan pertarungan mereka dulu. Sang esa, menjebak dan mengurungnya di Margotian. Tidak lagi. Ia akan bebas dan menghancurkan sang esa beserta seluruh dewa-dewi.

Matanya menatap sosok bergaun putih dengan aura seorang dewi tingkat tinggi. Astaroth mendengkus, lalu terkekeh.

"Seorang dewi, memasuki margotian. Kau benar-benar berani," kekehnya.

Calasha menatap tajam Astaroth. Iblis ini sangat besar. Dengan wajah menakutkan dan sayap kelelawar membuatnya teramat kelam. Bagi para dewa dan dewi. Iblis adalah musuh mutlak. Tak pernah ada persahabatan di antara mereka.

"Aku datang untuk memusnahkanmu." Ucapan Calasha disambut kekehan Astaroth.

"Kau terlalu percaya diri, huh ... sedang kekuatanmu, tak akan pernah bisa untuk menyamaiku." Tawa itu kembali berkumandang.

"Memang, kekuatanku mungkin tak bisa mengalahkanmu. Namun, kau juga akan mati bersama diriku." Calasha menyelubungi dirinya dengan api biru pekat. Sebuah pedang kembar berada di kedua tangannya. Ketika Astaroth mula mengepakkan sayap, Calasha menjejakkan kaki lalu terbang ke arahnya.

Kedua mata Kanna memandang wajah Zarkan Tar dengan kekagetan yang tak ditutupi. Perubahan dalam diri suaminya tak pernah Kanna duga. Namun, Kanna tahu, Zarkan Tar tentu mempunyai jawaban untuk ini semua.

"Kau baik-baik saja?" Zarkan Tar mengamati Kanna. Ada beberapa luka tetapi tak begitu parah.

Kanna mengangguk. Namun, tatapannya tak bergeser sedikitpun memperhatikan perubahan suaminya. Tak ada waktu untuk bertanya tentang perubahan Zarkan Tar. Ia yakin, saatnya nanti sang suami akan menjelaskan sendiri.

Mereka berdua bergegas. Dengan bantuan Zarkan Tar Kanna mengobati luka-lukanya. Demikian, ia pun mengamati Calasha yang melawan Astaroth.

Pertempuran itu sendiri tidak seimbang. Berkali-kali Calasha menyerang tetapi dapat ditepis begitu saja. Kekuatan Calasha hanya bulan-bulanan Astaroth semata.

"Calasha tak bisa menahan Astaroth," ucap Zarkan Tar.

"Benar." Kanna memandang kedua tangannya. Ia merasakan sesuatu. Seakan berkurangnya kekuatan secara perlahan.

"Yang Mulia, Calasha tak bisa melawannya. Inti kristal jiwa digunakan Astaroth untuk melumpuhkan Calasha. Jika tidak ...." Kanna tak sempat melanjutkan ucapannya hingga suara benturan terdengar. Tubuh Calasha terlempar dan menabrak bebatuan.

Seteguk darah campuran berwarna merah dan putih keluar dari mulutnya. Segera Kanna melangkah dan membantunya berdiri.

"Jangan paksakan kekuatanmu, Astaroth akan menghisap semua kekuatan dewimu itu." Kanna setengah memaksa Calasha agar bersandar di tembok.

"Aku harus membunuhnya," rintih Calasha.

"Jangan konyol. Kau lah yang akan terbunuh!" Kanna merobek secarik kain dari jubahnya kemudian mengikat lembut lengan Calasha. Ia menoleh dan melihat Astaroth yang kini berhadapan dengan Zarkan Tar.

"Istirahatlah!"

"Kanna!" Calasha menahan tangan Kanna. raut wajah pucat Calasha terlihat menyedihkan. Pun dengan luka-luka dari astaroth menyebabkan wajah cantiknya ternoda.

"Maaf. Maafkan aku!" ucap Calasha, lirih dan lemah. Kanna menatapnya lama.

Pada dasarnya, Calasha adalah dewi baik dan tak pernah mengganggu kehidupan manusia. Rasa cemburu dan penolakkan lah yang membuatnya terhasut kejahatan. Dia, juga korban dari semua rencana besar Atheras.

"Istirahatlah, setelah selesai semua ini. Kau harus bahagia!" ucap Kanna sambil melepas tangan Calasha.

Merebak, mata Calasha menggenang dengan air mata. Ia mengangguk sambil tersenyum lemah. Namun, kelegaan di matanya terlihat indah. Memaku Sautesh yang telah berada di samping mereka.

"Kekuatan Calasha melemah, dia harus keluar dari gunung ini. Cygnus dapat menyembuhkannya." Kanna berkata dengan canggung. Sedikit banyak ia mengetahui kisah mereka berdua.

"Aku bisa menanganinya," sambut Sautesh.

Temaram cahaya ruangan itu sedikit lebih gelap, namun binar di mata Calasha terlihat bercahaya. Hanya mendengar Sautesh bersedia membantunya saja, ia bersyukur. Ia mengucap terimakasih di dalam hati untuk Kanna.

Kanna mengamati Zarkan Tar yang tengah mendesak Astaroth. Iblis itu mengepakkan sayap lalu menyerang dengan berbagai bilah belati yang tiba-tiba saja keluar dari sayapnya. Tak dapat dipungkiri. Iblis kuno ini sangat kuat. Bahkan serangan Zarkan tar dapat ia tangkis begitu mudah.

Zarkan Tar mengukir sebuah huruf kuno dengan gerakan tangannya. Tak lama kemudian sebilah pedang besar tergenggam di tangan.

Melihat hal itu, Astaroth menggeram marah. Pedang itu adalah pedang roh agung yang dulu membuatnya kalah total melawan sang esa. Saat ini, pedang itu kembali muncul. Kebencian Astaroth menguar, jeritannya melengking hingga membuat siapapun yang mendengar harus menutup telinga.

Awalnya Zarkan Tar dapat mendesak astaroth, akan tetapi kedatangan Atheras yang ikut menyerangnya membuat Zarkan Tar terdorong hingga ke ujung jurang lava.

Kanna terbelalak, ia kemudian berlari dan dengan sekuat tenanga mengirimkan serangan pada Atheras. Melihat hal itu, Atheras berbalik dan menangkis semua serangan Kanna.

Pedang di tangan Kanna kemudian berbuah menjadi panah emas. Dengan cekatan ia menembakkan panah ke arah Atheras. Namun, seakan tahu semua serangan Kanna, Atheras begitu mudah menangkisnya.

Tak mudah untuk Kanna menundukan Atheras. Bahkan sang dewa kematian itu seakan tahu apa saja kekuatan yang Kanna milikki.

Napas Kanna terengah karena Atheras yang terus menerus melemparkan api hitam ke arahnya. Beberapa kali ia harus menghindar dan berlari dari serangan itu.

Di sisi Lain, Zarkan tar kembali menyerang mata Astaroth. Sang iblis menjerit, kemudian mengibaskan ekor untuk menyerang balik. Namun, sebuah kesalahan besar saat ujung ekor iblis tersebut kemudian ditangkap oleh Zarkan Tar.

Sebuah cahaya merah dari tangan Zarkan Tar membesar dengan mantra kuno. Sang iblis menjerit, meraung, lalu mengepakan sayap besarnya. Meronta dengan segala kekuatan sihir yang amat besar. Panas api menerjang akan tetapi Zarkan Tar tak melepaskannya.

Mata semerah darah iblis Astaroth menatap tajam Zarkan Tar. Begitu pula dengan Zarkan Tar. Intensitas tatapan sang mahadiraja mengait tatapan Astaroth dan menahannya.

Astaroth terbelalak dengan tubuh menegang. "Kau! Jangan lakukan itu!" teriaknya ketika Zarkan Tar menyeringai sinis.

"Vasa Ammadan Sa. Dengan ini aku memerintahmu, untuk kembali pada alammu sendiri." Suara lantang Zarkan Tar membuat tubuh iblis di depannya bergetar.

"Kau! Kau! Aku tak akan menerima ini!" tubuh Astaroth menggelepar hebat. Angin besar menerjang dengan penuh kekuatan. Tanah bergetar, berderak, kemudian membelah dengan gejolak api.

"Tidak!!!" Atheras berteriak ketika menatap keadaan sang iblis.

Angin beliung berputar-putar lalu menyeret tubuh Astaroth yang meraung kuat ke dalam retakan tanah yang terbuka tersebut

Atheras mendorong Kanna kemudian melompat dan berusaha menggapai sang iblis. Kanna yang mengetahui niat Atheras lalu mengejar dengan kecepatan tinggi. Ia melompat lalu menahan Atheras dengan pedang di leher dewa kematian itu.

Sang dewa, berang. Ia menghunus pedang besar lalu penuh murka mengarahkannya pada Kanna. Kanna berkelit dan menghindar dengan cepat. Berbalik tanpa menahan lagi ia menjejak tanah, melompat tinggi hingga melewati Atheras. Penuh perhitungan matang, Kanna mengarahkan pedang tepat di jantung Atheras.

'JLEBBB!'

Ujung pedang Kanna menusuk tepat. Namun, tangan Atheras menahan. Wajah dewa kematian itu murka. Tak ada larik senyum sinis ataupun emosi dinginnya. Hanya benci dan kemurkaan yang terlihat.

Sedangkan di sisi lain, Astaroth ditarik paksa memasuki pintu neraka. Jeritan iblis itu membuat Atheras hilang konsentrasi dan hal itu digunakan Kanna untuk menusuk lebih dalam pedangnya.

'JLEBBB!'

Atheras memuntahkan darah campuran merah dan putih dari mulutnya. Ia menatap mata Kanna dengan penuh kebencian, tangannya terulur hendak menggapai wanita itu. Namun, tendangan Kanna membuatnya terdorong dan masuk ke dalam pintu neraka yang sama dengan Astaroth.

Terengah-engah Kanna bersimpuh. Ditatapnya tanah yang terbelah membentuk jurang berisi api besar di depannya. Geretak suara api abadi seakan tengah membakar tubuh Atheras maupun iblis itu. Kanna masih termangu.

"Apakah sudah selesai?" tanya Kanna entah pada siapa.

Calasha yang tertatih dengan bantuan Sautesh mendekati Kanna. Ia bersimpuh di depan Kanna lalu perlahan dengan tangannya mendongakkan wajah lembut permaisuri sang esa itu.

"Sudah selesai, Kanna. Semua berkatmu," sahut Calasha.

Zarkan Tar hendak menghampiri Kanna, namun tiga kristal yang berpendar tertangkap matanya. Ia kemudian mengulurkan tangan dan tiga kristal tersebut melayang kemudian berhenti tepat di telapak tangannya hingga kemudian menghilang tiba-tiba.

Kanna hampir mengeluarkan kata-kata, ketika sudut matanya menangkap cambuk api keluar dari pintu neraka bergerak cepat menuju dirinya dan Calasha. Kedua bola mata ungu Kanna melebar dan refleks ia mendorong Calasha menjauh.

Cambuk itu melilit dirinya erat lalu menyeret masuk ke dalam pintu neraka. Sautesh bergerak cepat berusaha menahan, namun kemudian serangan besar mendorongnya hingga menabrak pilar-pilar bebatuan.

Zarkan Tar berteriak memanggil Kanna. Ia melayang dan melompat memasuki pintu neraka.

Kedua tangan Kanna menggapai ke atas. Zarkan Tar terus mengejar. Ujung jari mereka bersentuhan akan tetapi tarikan cambuk api terus menerus menyeret tubuh Kanna.

Sekali lagi, Zarkan Tar melajukan diri. Sepenuh kekuatan kemudian ia berhasil menangkap tangan kanan Kanna. Kaki Kanna berusaha meronta melepas belitan cambuk tersebut.

Zarkan Tar memukulkan serangan pada arah cambuk api, cambuk terlepas dan melepaskan Kanna begitu saja. Sang mahadiraja menarik Kanna ke pelukannya. Namun, semuanya terlambat. Ketika mereka mendongak ke atas. Pintu neraka telah tertutup.

Mereka berdua berpandangan dengan masing-masing sorot mata yang mengalirkan emosi. Ketakutan Kanna dan ketenangan Zarkan Tar.

Di atas sana. Calasha berteriak, menangis dan mengais-ngais tanah yang telah menutup itu. Di sampingnya Sautesh berusaha menenangkan meski hatinya pun bergetar dengan rasa bersalah yang kuat. Ia berkali-kali mengerahkan kekuatan untuk membuka paksa. Akan tetapi tanah pintu neraka tak mau terbuka.

Api di bawah mereka berkobar dengan jeritan para manusia penghuni neraka. Tangan-tangan itu menggapai-gapai seolah meminta pertolongan.
Kanna kembali mengalihkan pandangan dan menatap Zarkan Tar dengan pandangan kebingungan. Akan tetapi rengkuhan suaminya serta desah napas lembut Zarkan Tar membuat Kanna sedikit tenang.

"Tenanglah, ada aku di sini. Apa kau percaya padaku?"

Kanna hanya mengangguk. Ia akan percaya. Bahkan jika mereka tak menemukan jalan keluar. Ia hanya akan percaya. Kehidupan, kematian, sumpah dan takdir, satu kesatuan adalah milik suaminya. Hanya percaya, maka sebuah jalan akan terbuka.

END (VERSI KBM DAN WATTPAD)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro