37. Menuju Akhir (2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Sakit?" Zarkan Tar merobek jubahnya kemudian menarik kaki Kanna yang terluka. Dua bola matanya mendingin saat melihat luka parah di paha kanan Kanna. Meski tak menjawab pertanyaan suaminya, suara desis dari bibir sang istri telah menjawab semua.

"Kanna, kau tahu bahwa aku benci melihatmu terluka?"

Mereka bertatapan. Zarkan Tar menyeka darah yang mengucur dari luka itu dengan robekan kain jubah. Meski terasa sakit, Kanna menahan teriakannya. Ia tak ingin membuat Zarkan Tar semakin cemas. Rasa hangat tiba-tiba menjalari luka tersebut, tetapi ketika Kanna melihatnya luka itu mengecil tiba-tiba lalu hilang tanpa bekas.

"Melihatmu terluka seperti ini, aku semakin ingin menghancurkan para kerr itu."

"Berani mereka menjatuhkan tangan padamu. Mereka hanya ingin kematian yang sulit."

"Yang Mulia ...."

"Jangan katakan apapun. Kau bersalah di sini!"

"Aku hanya, entahlah aku hanya tak bisa membiarkan seluruh efek domino ini. kupikir jika aku berkorban ...."

"Tak ada yang menyukai pengorbanan, Kanna. Kau maupun kami yang akan menerimanya. Tak ada hal yang pantas untuk dikorbankan." Zarkan Tar menangkup wajah Kanna, menatapnya lekat. "Di masa depan, jangan bertindak sendiri. Kau mempunyai diriku, jangan pernah mempercayai siapapun termasuk alam semesta, kau hanya harus mempercayaiku."

Kanna menganggukan kepalanya. "Aku minta maaf."

"Ingatlah Kanna, apapun yang terjadi nanti, jangan pergi jauh dariku. Kau mengerti?"

"Ya. Aku mengerti."

"Kita telah memasuki inti gunung ini. Tak jauh dari sini, penjara iblis itu berada. Karena itu siap atau tidak, kita harus hadapi bersama."

"Sepertinya kau mengenal betul tempat ini dan juga mengenai iblis itu. Kau mengetahui sesuatu?" Kanna menatap Zarkan Tar penasaran. Suaminya hanya tersenyum datar kemudian mengusap pucuk kepala Kanna.

"Kau akan mengetahui nanti. Sekarang ayo kita harus beranjak dari sini!"

Kanna mengangguk lalu menggenggam tangan yang diulurkan sang suami. Perlahan mereka bergerak dalam kegelapan lorong.

Inti gunung Margotian merupakan dasar Gartan. Terdiri dari lorong yang berkelok-kelok bak labirin menakutkan. Mereka yang masuk jarang ada yang kembali karena labirin-labirin ini juga mengandung jebakan-jebakan yang dapat membunuh para manusia yang tersesat.

Labirin ini dibuat oleh sang esa ketika memenjarakan Astaroth. Tujuannya adalah agar Astaroth tidak mudah mengelabuhi para manusia maupun dewa. Ya. Tidak hanya manusia yang dapat iblis itu kelabuhi, bahkan dewa dapat ia gunakan. Atheras adalah contohnya.

Atheras sangat terobsesi oleh kekuatan yang dominan. Tugasnya sebagai dewa kematian tak bisa ia kendalikan sepenuhnya untuk membunuh manusia. Jika ia mencabut sembarang nyawa yang belum waktunya untuk mati, hukuman berat akan datang padanya. Itu lah yang ia benci.

Peraturan dewa yang memuakan. Sudah seharusnya peraturan itu diubah. Dewa tak seharusnya memiliki pemimpin. Mereka hidup dengan masing-masing aturan dan kekuatan. Dewa tak bisa mengendalikan dewa lainnya karena kedudukan mereka adalah sama. Karena itulah, Atheras akan mengubah semuanya.

Ketika Atheras mengetahui tentang sejarah Gartan dan sang alam semesta, ia mendapatkan rahasia besar. Bahwa ada iblis yang tak bisa mati bahkan ketika sang esa melawannya. Sang esa hanya bisa memenjarakan dan menyegel iblis itu, tapi tidak membunuhnya. Karena iblis, hanya bisa musnah ketika seluruh jagat ini kiamat.

Zarkan Tar dan Kanna memasuki lorong lain yang mengarah ke sebuah pintu batu besar. Mereka berdua terdiam menatap pintu itu. Aura iblis sangat kuat dirasakan Kanna. Di sisi-sisi pintu batu itu terdapat tiga simbol berkilau kuning. Dua simbol telah meredup hampir padam hanya tinggal satu yang masih berkilau.

"Itu adalah simbol penyegel?" tanya Kanna pelan. Zarkan Tar mengangguk.

Mereka berdua hendak melangkah mendekat ketika suara kekehan menghentikan mereka berdua.

Dari sudut gelap, sesosok jubah hitam memegangi tongkat tengkorak keluar. Sudut bibirnya tertarik membentuk seringai sinis. Pandangan matanya penuh kedinginan dengan hawa menakutkan.

Aroma bunga samaria begitu pekat. Seakan janji kematian telah datang di depan mata. Atheras, ia menatap penuh benci pada Kanna dan Zarkan Tar.

***

Dua bola mata Cygnus menangkap bayangan empat sosok yang datang bersamaan. Keempatnya menatap sang alam semesta dengan tatapan tajam. Menuntut.

Cygnus berdecak lalu merentangkan kedua tangannya. Wajah polos remajanya tersungging senyum simpul. "Kalian datang," ucapnya berbasa-basi.

"Bukakan pintu untuk kami," sahut Trev memerintah. Cygnus berjengkit ia menatap Trev sambil menggelengkan kepala.

"Untuk apa?"

"Yang Mulia, kami tak bisa tinggal diam." Rauman berjalan maju dan menengahi Trev dan Cygnus. Ia tahu, kecemasan Trev akan membutakan mata hati, sebaliknya Cygnus sangat menyukai konfrontasi. Sedangkan mereka sangat dikejar waktu untuk menyelamatkan Kanna.

"Kanna tak butuh bantuan kalian. Jika kalian masuk, semua rencananya akan gagal."

"Brengsek! Kau seorang dewa tinggi tapi kau menyuruh anakku untuk mengorbankan diri." Amarah Trev meluap sedangkan Cygnus hanya menatap sinis.

"Tenanglah!" Zeon menahan bahu Trev agar tak menyerang Cygnus. Mereka datang untuk merayu sang alam semesta agar membukakan jalan untuk masuk ke dalam inti Margotian.

"Tak ada yang boleh memasuki Margotian. Biarkan Kanna bekerja dengan takdirnya."

"Kau selalu berucap takdir, kalian para dewa hanya mematuhi takdir tanpa ingin mengubahnya. Jika Kanna ditakdirkan utnuk dikorbankan mengapa tidak takdir kalian sendiri yang diubah? Mengapa harus memepermainkan seorang manusia?" Trev berteriak. Napasnya tersengal. Bibir bergetar dengan mata memerah. kemarah mencapai puncak mengaburkan kewarasannya.

"Tidak cukup bagimu mempermainkan nasibnya? Ketika ia lahir kau merenggut ibunya, mempermainkan nasibnya hingga ia dewasa. Lalu, sekarang kau meminta nyawanya untuk si iblis itu? Katakan padaku wahai sang esa! Apa yang bisa kau lakukan untuk menyelamatkannya?" suara Trev bergetar. Kedua tangannya telah mengepal erat. Jika Zeon tak menahan, ia mungkin telah meluapkan rasa putus asanya pada Cygnus.

Cygnus tersenyum datar kemudian menunduk. Helaan napas dari sosok remaja itu membuat keempat sosok di depannya memandang bingung.

"Kau bisa tenang, Zarkan Tar telah menyusulnya." Cygnus berbalik menatap dinding batu. Sebelumnya, di sana terdapat terowongan magis yang terbuka. Ia sengaja membuka terowongan itu agar Kanna dapat keluar dengan mudah. Namun, rencana Zarkan Tar berbeda sehingga setelah sang mahadiraja memasuki terowongan magis, pria itu segera menutupnya.

Ia pasti sudah tahu akan ada yang menyusul kemari. Cygnus kembali menghela napas. "Aku tak bisa membuka pintu magis kembali, sang esa yang memerintahkanku."

"Sang esa?" Sautesh bertanya dengan sangsi. Cygnus mengangguk tanpa membalikkan badan.

"Ia telah menemuiku." Hanya itu penjelasannya. Ia tak bisa menjelaskan lebih jauh. Keberadaan sang esa harus tetap dirahasiakan.

"Kekuatan Astaroth sangat hebat, jika Kanna dan Zarkan Tar tak bisa melawan, mereka semua ...." Zeon tak berani melanjutkan perkataannya. Tangan yang semula menahan bahu Trev gemetar lalu terkulai.

"Kau tak mempercayai rajamu sendiri?" Cygnus kembali berkata, ia berbalik lalu menatap satu persatu manusia dan dewa-dewa di depannya itu.

"Dia bergelar sang mahadiraja. Bahkan setelah ini, gelar tersebut tak mungkin dapat dihapus begitu saja."

Rahang Trev kaku. Ia ingin mendebat tetapi apa yang cikatakan Cygnus mulai dicerna otaknya. Benar, jika mereka memasuki margotian, apakah mereka dapat membantu Kanna atau menyusahkan putrinya itu?

"Namun, kau harus memperbolehkanku untuk memasuki Margotian, Saudaraku." Suara lembut Calasha menyapa. Wanita itu terlihat pucat dengan rambut tergerai. Sanggul yang biasanya menyulam rambut panjangnya tak lagi ada. Kekosongan dalam pandangan itu membuat Cygnus berkerut bingung.

"Calasha!"

Calasha tersenyum. Langkahnya perlahan mendekati mereka. ketika ia melewati Sautesh ia berhenti sebentar kemudian melirik sang dewa, namun tak ada reaksi dari dewa takdir buruk itu. Sautesh hanya menatap lurus ke depan. Calasha tidak tahu, apakah Sautesh telah melakukan seperti rencana pria itu, menghapus benang perjodohan mereka.

Ia kembali meluruskan pandangan ke Cygnus lalu mendekati saudaranya tersebut.

"Izinkan aku memasuki Margotian."

"Calasha ...." Cygus menatap wajah pucat saudaranya itu. "Mengapa?" tanya Cygnus.

"Semua ini berawal dari kesalahanku. Maka dari itu, izinkan aku membenahi semua perbuatanku."

"Calasha, kau tahu konsekuensi apa jika dewa memasuki gunung margotian? Kau ...."

"Cygnus! Aku bersalah dan kau tak berani menghukumku. Karena itu, aku menghukum diriku sendiri."

"Tidak! Aku akan memberikanmu hukuman tapi bukan dengan memasuki margotian, Calasha!"

"Tak ada hukuman yang pantas, Cygnus! Hanya ini satu-satunya."

"Tidak!"

"Cygnus!" bantah Calasha mencengkeran kedua bahu saudaranya tersebut, matanya menatap tajam bola mata perak Cygnus.

"Jika kau tak mengijinkanku memasuki Margotian, maka bunuh aku sekarang juga!"

Cygnus terbelalak, kepalanya menggeleng cepat. Meski ia dan Calasha sering terlibat perkelahian rasa sayang dan persaudaraan mereka masih teramat besar. Ia tak mungkin membunuh Calasha.

"Calasha, sadarlah!" Cygnus menatap kedua bola mata Calasha berkaca-kaca. Keputusasaan tergambar dari wajah cantik sang dewi. Cygnus mengerti, rasa bersalah Calasha teramat besar. Bahkan jika permohonan maaf sekalipun tak bisa meruntuhkan rasa bersalah sang dewi kehidupan.

"Kumohon," ratapnya. Cygnus melihat dua bulir air mata mengaliri pipi pucat Calasha. Akan tetapi, ia tak bisa mengambulkan permintaan Calasha.

Sautesh mengepalkan kedua tangannya dibalik keliman lengan baju. Sehingga tak ada yang menyadari kepalan tersebut karena raut emosi pada wajahnya sangat tenang.

"Aku tak bisa, Calasha. Jika aku saja bisa musnah, maka kau juga. Margotian adalah hukuman untuk para iblis dan dewa."

"Aku mempunyai cara sendiri Cygnus, percayalah padaku."

"Cal ...." Tak sampai menyebut nama saudaranya tiba-tiba getaran membuat mereka semua terhenyak. Masing-masing saling memandang ke dinding dan tanah pijakan mereka yang bergetar. Getaran amat terasa besar kemudian menghilang.

"Sudah dimulai Cygnus. Kumohon bantu aku," ucap Calasha menggenggam kedua tangan Cygnus. Sorot memohon yang pekat dengan rasa bersalah. Cygnus akan menggeleng saat Calasha mencabut kalung yang dipakainya.

"Kau sangat menyukai Golden Jade milikku, ambillah!"

"Calasha!"

"Cygnus, tak ada waktu lagi." Calasha meratap. Bahkan Cygnus tak mengerti mengapa sang dewi begitu keras meminta.

Getaran kembali terasa kali ini lebih besar sehingga keenam dewa dan manusia itu saling mengeluarkan kekuatan untuk menetralkan getaran. Saat Cygnus lengah karena menatap atap-atap langit, dengan cepat Calasha mengambil tongkat kecil yang tersemat di pinggang Cygnus.

Gerakannya amat cepat. Ketika suar biru terowongan magis terbuka Calasha langusng melompat. Cygnus terbelalak.

"Calasha!" teriak Cygnus. Namun, sosok saudara perempuannya tak terlihat lagi, ia akan bergerak maju ketika bahunya ditarik dan terlempar ke belakang membentur Rauman dan Trev.

"Sautesh!" Rauman berteriak memanggil saudaranya ketika Sautesh memasuki terowongan. Langkah Rauman terlambat, suar ungu terowongan magis mengecil lalu menghilang seketika.

***

Calasha berputar-putar dalam lorong dimensi itu. Matanya terpejam. Kepasrahan menggelayuti seluruh hati sehingga hanya satu tujuan dalam pikirannya. Ia harus mengorbankan dirinya sendiri.

Dalam lipatan kelopak mata, bulu matanya bergetar. Air mata mengalir dari sudut mata yang terpejam. Kenangan berhamburan memasuki otaknya. Cygnus, Agra Tar, dan dirinya. Terus menerus berputar hingga kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Mengingat hal itu meyakinkan dirinya sendiri akan keputusan yang tengah diambil ini. sungguh, Calasha tak akan menyesalinya.

Ia akan membuka mata saat sebuah tangan merengkuhnya. Calasha membuka kedua matanya lebar-lebar menatap bola mata kelabu Sautesh.

"Sautesh," sebutnya.

Sautesh tak membalas. Ia hanya menahan Calasha dalam pelukan ketika putaran semakin cepat mengaburkan semua pandangan.

***

Desisan para Kerr datang dari berbagai kegelapan. Bola mata Kanna bergerak meneliti setiap sudut gelap di sekitar. Ia menebak ratusan kerr telah dibawa Atheras memasuki margotian. Dewa kematian itu mungkin juga telah membuka pintu neraka untuk melepaskan mereka.

"Mereka datang ingin menyambut kebangkitan Astaroth. Hmm ... harum ini tercium. Pekat dan memabukan. Ah, Kanna, serahkan tiga bola kristal itu." Suara serak Atheras berkumandang. Desisan para kerr terdengar seperti bersorak. Lalu gesekan dan kibasan ekor mereka terlihat bagai musik koor serempak.

"Kau terlalu optimis." Zarkan Tar dengan datar menatap Atheras. Sang dewa kematian terkekeh.

"Kebangkitan Astaroth telah diramalkan. Hanya saja aku menutupi semua ini dari para dewa. Ketika Cygnus menciptakan Kanna, yang ia tahu bahwa segel Astaroth akan terbuka karena saudaranya. Namun, karena lemahnya ia terhadap Calasha, semua bisa kukendalikan dengan mudah. Kanna telah digariskan akan membuka segel terakhir Astaroth. Hal yang tak dapat dilihat alam semesta." Atheras tertawa. Tawa yang tak enak di dengar membuat bulu kuduk merinding. Tawa kematian yang akan ditakuti para manusia.

"Konyol," sergah Kanna. Ia merasakan tiga bola kristal kembali bergetar.

"Pada akhirnya, kalian para dewa hanya membuat kekacauan," desis Zarkan Tar. Tangannya meraih Kanna agar beringsut mundur bersembunyi di balik tubuhnya.

"Zarkan Tar, Zarkan Tar." Atheras terkekeh, ia menatap dalam kedua bola mata Zarkan Tar. "Aku pernah bertarung dengan ayahmu, saat kugunakan Sautesh untuk melawannya di malam kelahiranmu. Begitu mudah aku membunuh Agra Tar dan Norva. Kau tahu rasanya? Sangat ... nikmat menyaksikan jerit kematian mereka." Jemari tangan Atheras bergerak beserta kuku-kuku hitam panjangnya seakan mencengkeram erat sesuatu.

Tubuh Zarkan Tar bergetar. Kanna merasakan perubahan emosi itu. Ia mengelus punggung suaminya, berharap sang suami menyadari, bahwa semau itu adalah provokasi dari Atheras.

Zarkan Tar masih diam. Namun, matanya menatap tajam Atheras. "Kau tak akan bisa mencapai apa yang kau inginkan. Aku bersumpah itu."

"Benarkah? Mari kita lihat." Terkekeh kembali, Atheras menatap Kanna yang bersembunyi di belakang Zarkan Tar.

Tangan kanan Atheras terentang, lalu sebuah kabut hitam keluar. Pekat dan sang kuat. Desisan para kerr terdengar kembali seakan bersorak menanti tuannya membunuh dua makhluk yang berada di depan mereka itu.

"Imosa vara vara reguam," ucap Atheras. Serak dan penuh misteri. Berpuar-putar mantra itu menggema.

Mata Kanna berkabut. Seperti itu ia memasuki dunia gelap. Jauh dari Zarkan Tar tak ia temui siapapun.

Zarkan Tar menahan tangan Kanna yang bergerak maju. Tangan itu berubah dingin dan kaku.

"Kanna!"

"Kemarilah Kanna!" Atheras memerintah. Langkah Kanna kembali maju. Akan tetapi tarikan Zarkan Tar kembali menghentikannya.

"Kau menanamkan mantra pada Kanna, Atheras, aku tak akan menerima itu." Dingin. Suara Zarkan Tar begitu dingin hingga menghentikan bibir Atheras yang akan kembali menyahut.

"Kanna," panggilnya. Kanna seakan kosong, sorot matanya tak bercahaya.

Zarkan Tar mengeluarkan sinar kemerahan dari tangannya dan akan memukulkan pada Kanna saat tiba-tiba tangan yang memegang Kanna menjadi panas. Api biru telah menyelimuti tubuh Kanna. kanna berbalik lalu mendorong Zarkan Tar hingga tubuh suaminya menabrak dinding.

Kanna kembali menyerang dan mendesak Zarkan Tar. Tangkisan Zarkan Tar semakin membuat serangan semakin agresif, tak ayal Kanna semakin mendesak Zarkan Tar.

"Sadarlah, Kanna!" sahut Zarkan Tar ketika ia meringkus Kanna. Tangan kanannya terpaksa memukul bahu Kanna lalu menyalurkan energi besar yang membuat Kanna menjerit kesakitan.

Atheras menyeringai sinis. Melihat dua musuhnya saling bertarung merupakan sebuah kebahagiaan.

Kanna berjingkat melepaskan diri, akan tetapi sinar kemerahan semakin membesar masuk ke tubuhnya. Pergolakan batin kembali, seakan diputar terjangan angin besar Kanna terombang ambing.

Kembali ia membuka matanya dan melihat Zarkan Tar tengah menatap tajam. Sayu, kelopak mata Kanna hampir menutup namun ketika mendengar bisikan lain ia menggelengkan kepala. Sekuat tenaga ia tak ingin menutup matanya.

"Kanna!" Zarkan Tar memanggil, "Buka matamu!"

Kanna kembali membuka mata, lalu sinar kemerahan kembali melingkupinya hingga rasa sesak dan sakit di dadanya menghilang. Ia terengah dalam pelukan Zarkan Tar.

"Apa yang terjadi? Aku melawanmu kembali?" ucapan Kanna membuat Zarkan Tar melepaskan pelukannya.

"Tidak, bukan kau yang melawanku." Zarkan Tar menggeser tubuh Kanna ke samping, ia lalu menyoroti Atheras.

"Atheras, aku tak akan melepaskanmu!" desis Zarkan Tar.

Atheras terbahak, ia kemudian merentangkan tangan dan tongkatnya. Serentak para kerr yang menunggu di kegelapan saling mendesis lalu keluar dengan mengibaskan ekornya.

Mereka mengepung Zarkan Tar dan Kanna di tengah-tengah. Mata mereka menyorot kebencian juga rasa lapar. Bau harum aura Kanna memancing keagresivan mereka.

"Zarkan Tar, kupersembahkan permainan ini untukmu." Atheras bersenda tawa dengan suara yang memekakan telinga. Di sana ratusan kerr mulai menyerbu menutupi dua tubuh Zarkan tar dan Kanna.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro