Part 36. Menuju akhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Sesak begitu menghimpit pernapasan Kanna. Sedangkan gejolak dari tiga kristal seakan semakin menyedot seluruh tenaganya. Tak sampai ia menginjakkan kakinya di pinggir danau lava itu, tubuhnya tersungkur, pandangan mata memburam. Seakan gelap ingin merajai kesadaran dirinya.

Ketiga bola kristal terus bergejolak menerkam seluruh tenaga Kanna hingga kaki Kanna bergetar kemudian tersungkur. Ia mencengkeram dadanya ketika rasa sakit menjalar dan berusaha lebih dalam mengoyak dada.

Kanna mengerjap saat buram semakin mendominasi. Ia menjaga otaknya agar tetap waras ketika rasa sakit mulai menjalar ke kepala. Karena itu, Kanna segera mengambil batu lalu menyayat lengannya. Setelahnya ia merasa lega ketika perlahan pikirannya mulai netral.

Namun, gejolak tiga kristal tak berhenti. Cahaya masing-masing kristal terus menerus berpendar dan getarnya meninggi. Tertatih Kanna bangkit meski pandangannya masih buram.

Sekali lagi ia mengerjap. Selangkah ia bergerak. Akan tetapi, gejolak tiga kristal kembali menghantam. Kanna merasa tak berdaya lalu kembali terjatuh.

"Zarkan ...." Bibirnya gemetar menyebut nama suaminya.

"Kanna!" suara seorang wanita memanggil. Sosoknya pun menyongsong Kanna. Tak terlihat jelas wajahnya karena pandangan Kanna yang memburam, tetapi pijar matanya sangat familiar.

"Bangun Kanna! Ayo!"

Setiap kali Kanna mengangkat kepalanya rasa sesak kembali menghimpit.

"Se—sak," ucap Kanna lirih. Amat lirih.

"Kamu bisa, Kanna ... ayo bangun!" Kanna beranjak mengangkat kepalanya. Ia terengah-engah. Hampir ia menjatuhkan kepalanya kembali, saat dencing suara rincing liontin ungu yang dikenakan Kanna seakan menyadarkan pikirannya.

Ia pejamkan kembali kedua kelopak matanya, kemudian ketika ia membuka mata armor berwarna biru menyelimuti tubuhnya. Pikiran Kanna langsung kembali jernih. Pun getaran tiga kristal tak lagi mengganggu dirinya.

Cepat ia bangun lalu melompat pada Kerr yang membatu di danau. Perlahan bergerak menuju ke tepian kembali.

Menepi, Kanna segera melompat lalu memandang terowongan. Kali ini, degup jantungnya mulai berdetak kencang. Wangi samaria tercium. Pekat dan memabukkan dari arah sana. Seakan di lorong itu, Atheras telah menunggu kedatangannya. Begitu lama.

***

'Bagaimana mungkin?' pertanyaan itu berputar-putar di benak Cygnus. Ia mendongak menatap sosok Zarkan Tar di depannya. Sedangkan pria itu menatap tak acuh pada Cygnus. Menepuk-tepuk debu yang berada di lengannya.

"Kau ingin bertanya bagaimana aku menjadi sang esa?" Zarkan Tar melirik Cygnus yang terlihat masih merenungkan semuanya.

"Sungguh, aku masih belum mengerti, Wahai sang esa!"

Zarkan Tar mendecih lalu menatap Cygnus. "Bangunlah!"

Cygnus memandang Zarkan Tar lalu bangun perlahan. Ia melihat Zarkan Tar mendekat kemudian menepuk bahu Cygnus.

"Saat aku mati, kurasakan kekuatan lain mendesak dalam ketidaksadaranku. Aku tak menyadari siapa diriku sebelumnya. Lalu, saat aku terus bergerak semakin jauh saat itulah aku tahu, bahwa aku bukan seorang manusia."

"Kekuatan dan memori masa laluku tertidur sangat lama, sampai ... kotak Pandora itu terbuka. Saat itulah kenangan demi kenangan melintas dalam diri." Zarkan Tar melepaskan tangan.

"Ketika kau menciptakan Zarkan Tar, aku marah karena kau berniat menjadikan inti kristal alam semesta milikku sebagai pasangannya. Kau akan memasangkan dengan seorang manusia biasa. Bagaimana mungkin aku akan menerima itu, Cygnus?"

Cygnus membelalakan matanya tak percaya. Ia kemudian mengingat semua hal yang berkaitan dengan terciptanya Zarkan Tar. Kepalanya menggeleng tak percaya, detail lain yang terpenting ia tak menyadari jiwa asli Zarkan Tar.

"Namun, aku tak bisa menyalahkanmu. Kau melakukannya untuk Gartan. Akan tetapi tetap saja mengorbankan inti kristal alam semesta adalah kesalahan. Dan aku tak akan menolerir itu. Jadi, Cygnus! Jangan halangi aku untuk mengejar Kanna."

***

Suara jubah yang terseret memasuki pendengaran Kanna. Kedua mata ungu itu menatap kegelapan lorong. Sedangkan harum bunga samaria semakin menyeruak. Atheras telah datang menghampirinya.

Di lorong sana, sosok pucat dalam balutan kegelapan berjalan perlahan. Semakin dekat, semakin terlihat seringai di bibirnya. Rangkaian langkahnya menyulam teror yang menggetarkan setiap manusia. Dewa kematian, akan selalu menjadi momok menakutkan.

Kehidupan manusia itu memang konyol. Berbeda dengan para iblis yang menghendaki setiap kematian, mereka akan sangat senang berdekatan dengan Atheras. Namun, tidak dengan manusia. Mendengar kata kematian, degup jantung mereka akan menjadi musik indah di telinga iblis.

Setiap detiknya manusia akan berusaha membuat hal-hal yang akan membantu mereka melewati kematian. Meningkatkan kekuatan hingga mencari keabadian.

Keabadian? Bukankah itu konyol. Mereka tercipta sebagai makhluk fana bagaimana mungkin keabadian akan menjadi milik mereka. Karena itulah, Atheras membenci Zarkan Tar. Menurutnya, Zarkan Tar telah menyalahi takdir yang seharusnya. Hingga hukuman kematian, patut untuknya.

Satu keabadian akan berimbas pada kecemburuan manusia lain untuk merengkuh hal yang sama. Atheras sendiri tidak memahami para manusia. Mengapa mereka menginginkan keabadian? Mengapa mereka pongah? Padahal mereka makhluk berumur pendek yang tidak bisa melakukan apapun seorang diri. Mereka hanya saling memanfaatkan satu sama lain. Sering kali justru mereka saling 'menelan' sesamanya. Lalu, untuk apa keabadian?

Dan, Cygnus. Sungguh, Atheras tak bisa memahami sang alam semesta. Begitu percaya diri ia mengirim Kanna kemari. Apa Cygnus pikir, ia tak akan mengetahui kekonyolan ini? Lihat saja sekarang, di depannya ini, wanita itu bahkan berpikir keras cara untuk melarikan diri.

"Ah, seorang tamu, mengapa kau tak mengetuk pintu terlebih dahulu?" suara dingin Atheras terdengar serak. Kanna hanya diam menatap sang dewa kematian di depannya.

Atheras menatap kantong kilt Kanna. Sinar warna merah berkelip menandakan interaksi bola kristal merah. "Dia sepertinya tahu, bahwa kau sang kunci telah datang untuk menggunakannya."

"Baiklah, Kanna ... karena kau telah datang, maka ayo kita bertemu dengan sang raja iblis. Ia pasti telah menunggumu," ucap Atheras, terkekeh ia menunjukan senyum dingin mengerikan.

"Aku kemari bukan untuk bertemu rajamu, Atheras." Ucapan Kanna sangat dingin, tetapi Atheras sama sekali tak terlihat marah. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Di sisi kiri, makhluk Kerr mendesis-desis matanya memelototi Kanna dengan tajam.

"Tapi, kau pun tak bisa keluar dari sini. Apakah Cygnus pernah berkata bahwa siapapun yang memasuki Margotian, mereka tak akan pernah bisa kembali?"

"Aku tak peduli ucapanmu atau Cygnus. Jika menurutku aku bisa kembali, maka aku akan kembali."

"Kau terlalu percaya diri." Atheras mendengus. Inilah yang tidak ia sukai pada manusia. Kepongahan mereka tak pernah berbatas. Selalu dan selalu akan menjadi sombong. Meski mereka tahu kematian akan menjemput secepat tarikan napas.

"Atheras. Tidakkah kau sendiri menjadi dewa yang paling sembrono?" Kanna tersenyum miring. Ia bersedekap dan maju beberapa langkah. Seakan tak mengenal takut, ia menatap kedua mata kelam Atheras.

"Kau. Dewa penyendiri, tanpa teman, tanpa pasangan, dan juga tanpa kehidupan indah. Memang, tak bisa kupungkiri kau kuat dalam mengelabuhi manusia dan dewa. Hanya saja, hidupmu menyedihkan. Kau membenci manusia dan dewa kemudian berpihak pada iblis. Apa kau tahu? Kau adalah dewa terbodoh yang pernah kutemui."

"Kau! Jaga ucapanmu!" Teriak Atheras. Giginya terkatup dengan mata memelototi Kanna. Pucatnya wajah dengan garis otot berwarna hitam membuat wajahnya semakin menakutkan.

Tangan Atheras terkepal lalu sebuah api hitam keluar dari telapak tangannya. Tanpa menunggu Kanna siap, dewa kematian itu dengan cepat bergerak menyerangnya.

Kanna melompat berputar menghindari serangan Atheras. Sempitnya lorong membuat ia terdesak pada dinding-dinding. Sedangkan tangannya beberapa kali harus menahan serangan Atheras.

Makhluk Kerr di samping Atheras mengibaskan ekor dan mencambuk paha kanan Kanna. Kanna menjerit dan tersungkur. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Atheras kembali menyerang. Acapkali lawan menyerang, Kanna bersiap menangkisnya. Namun, kali ini ia merasakan bukan pukulan yang datang tetapi sebuah tali api membelit tubuhnya.

Mendesis kembali Kerr menatap Kanna dengan beringas. Ia memutari tubuh Kanna yang tengah memberontak. Lidah Kerr hampir menyentuh pipinya saat sengatan mengerikan membuat makhluk jelek itu berteriak.

"Jangan sentuh dia, belum saatnya kau memiliki tubuh itu, Athios." Suara dingin Atheras membuat Kerr bernama Athios beringsut. Lalu kembali ke sisinya.

"Kanna, makhluk manusia memang selalu menyombongkan diri. Akal mereka seakan sempit jika berhubungan dengan kesombongan. Lihat dirimu!" Atheras mencemooh.

Kanna berhenti memberontak dari kekangan tali. Ia berusaha tenang kemudian perlahan menatap Atheras.

"Kau tak akan bisa memenangkan semua ini, Atheras!"

"Apa maksudmu? Bahkan dalam keadaan seperti ini, kau tetap menyombongkan diri?"

"Atheras! Kau dewa yang paling menyedihkan." Kanna menghela napas lalu menggelengkan kepala.

"Kau dewa yang hanya mengandalkan kekuatan kematianmu untuk menakuti kami. Tanpa sadar, kau sendiri yang takut, kau takut jika manusia tak takut padamu lagi."

"Kau!"

"Kau adalah dewa terburuk yang pernah kutemui. Hanya melihatmu menjadi budak iblis, menunjukan seberapa tidak mampunya dirimu."

"DIAM!!! Kau, hanya seorang manusia! Kau berani berkata busuk seperti itu." Atheras dibakar kemarahan, api hitamnya menyelimuti seluruh tubuh lalu dengan kekuatan besar ia melemparkan kekuatannya pada Kanna.

Kanna tersenyum sinis, membuat Atheras semakin membencinya. Saat api hitam itu bergerak menyerangnya, Kanna berguling menghindar. Pukulan kedua ia tetap berusaha menghindarinya. Saat berikutnya, Atheras semakin marah lalu mengeluarkan cambuk kematian. Dengan tak mengingat tujuan awal ia berniat membunuh Kanna.

"Kau menginginkan kematian. Maka aku akan memberikannya!" Atheras bergerak melecutkan cambuk. Lecutan itu mengenai dinding-dinding, tetapi Kanna berhasil menghindar. Kemarahan semakin memuncak. Dengan kekuatan besar ia kembali melecutkan cambuk. Kali ini Kanna tak bergerak hingga lecutan itu berdentam dengan suara ledakan besar.

Atheras tertawa. Ia sangat ingin melihat manusia sombong itu mati di hadapannya. Ketika asap ledakan mulai menipis, menyeruak ia dengan tawa kejam. Akan tetapi, ia tak mendapati tubuh wanita itu. Kanna seolah lenyap hanya meninggalkan seutas benang api yang membelit tubuh wanita itu sebelumnya.

"Kurang ajar! Cari dia! Cari!" Atheras penuh kemarahan besar mencambuk dinding-dinding lorong. Kerr di sampingnya mundur ketakutan lalu mengangguk. Bergegas kerr itu berlari melaksanakan perintah Atheras. Kesetanan, sang dewa kematian mencambuki dinding-dinding lorong itu.

"Kanna! kau akan kubawa ke neraka terdalam untuk menjadi bara api di sana." Mata kelam sang dewa melotot tajam. Penuh janji. Harga dirinya sangat terluka karena tak berhasil melukai Kanna.

***

Kanna berlari menyusuri lorong-lorong yang tak ia ingat lagi jalan keluarnya. Entah mengapa lorong ini seperti labirin. Ia melintasi tanda-tanda yang sama. Seolah tempat yang ia lalui terus menerus di tempat sebelumnya. Meski ia menggunakan kekuatan batin, tapi semua percuma. Kekuatannya seakan melemah di sini.

Kembali ia menyusuri lorong dengan menyentuh dinding. Berusaha mencari perbedaan bentuk atau tanda lain yang akan mengeluarkannya dari sini. Namun, belum sampai mencari perbedaan, suara desisan kerr memasuki indra pendengarannya. Ia berbalik ke belakang, langkah terseret dan bau amis khas makhluk itu tercium. Segera Kanna meninggalkan tempat. Setidaknya, ia harus memperpanjang waktu agar tak bertemu makhluk neraka itu lagi.

Hidung kerr mengingsut mencari bau Kanna. Ia berhenti sebentar lalu lidahnya menjulur menjilat tembok lorong yang sebelumnya di sentuh Kanna. Lalu ringisan dari bibirnya seakan menegaskan bahwa yang ia cari telah dekat. Bergerak kembali ia membawa ekornya mengibas-kibas sepanjang jalan.

***

Kanna berlari. Dan lagi ia kembali ke tempat yang sama, seolah ini adalah tempat yang terus berputar dengan jalan serupa. Dengan lengannya ia mengusap peluh di kening. Suhu dalam gunung Margotian sangatlah panas, ia kehausan hingga bibirnya mengering. Entah sudah berapa lama ia di sini.

Gejolak tiga kristal kembali ia rasakan. Kanna menyentuh kedua kantong tempat kristal-kristal tersebut. mendesah cemas ia bersandar pada tembok lorong.

Tugas selanjutnya belum ia lakukan. Memanggil sang esa.

Berputar Kanna menatap sekelilingnya. Mungkin ini saat yang tepat.

Perlahan, ia mengambil bola kristal alam semesta dan kristal jiwa. Berpendar cahaya biru dan hijau berkelip. Tegas dan kuat. Mungkin karena pengaruh keberadaan kristal merah, kedua cahaya itu menguat.

Telapak tangan kiri Kanna membuka lalu segumpal kabut putih membentuk gumpalan awan. Dengan tenang, Kanna meletakkan kedua kristal tersebut di sana.

Matanya kemudian melihat kantong kilt yang berada di sebelah kiri. Kantong berwarna coklat bahkan tak dapat mengaburkan cahaya merah yang terus berpendar dengan getar kuat.

Ia mengambil kristal merah tersebut kemudian meletakan di gumpalan awan lainnya.

Tiga kristal saling bersambung dengan cahaya yang terus menerus menguat. Bola mata Kanna menatap satu persatu kristal. Lalu, ia memejamkan mata. Sapuan angin membelai wajah dan rambutnya.

Bibirnya merapalkan mantra-mantra pemanggil sang esa. Angin bertiup kencang dari dua arah membungkus area Kanna. Cahaya tiga kristal berpendar lalu meliuk-liuk dengan gabungan tiga warna.

Rapalan mantra kembali terucap akan tetapi suara raungan besar menggema di sepanjang lorong hingga Kanna menghentikan kegiatannya. Tiga cahaya meredup dan kembali pada masing-masing bola kristal. Dan saat suara seretan ekor kerr kembali terdengar Kanna segera mengambil tiga kristal dan memasukkan pada kantong masing-masing.

Ia menatap kegelapan lorong di belakangnya. Suara gesekan ekor itu semakin keras menandakan kerr telah mendekat. Kanna tak mungkin kembali lari. Ia harus menghadapi makhluk itu. Setidaknya untuk membuat kerr terluka hingga ia bisa melarikan diri.

Suara desisan terdengar, lalu sosok kerr kepercayaan Atheras keluar dengan seringai menjijikan.

'SSSSSSHH!'

'SSSSSSHH!'

'SSSSSSHH!'

'SSSSSSHH!'

Kerr itu semakin maju mendekat dengan dua cakar hitam yang bersiap menyerang.

Kaki Kanna mundur tetapi matanya awas memperhatikan lawan. Ia berusaha menenangkan napas dan pikiran. Karena kerr akan sangat suka melihat lawannya panik.

Makhluk itu mendesis kembali kemudian dengan kecepatan tinggi ia melompat menyerang Kanna. kanna menangkis serangannya dengan tongkat yang keluar dari telapak tangan. Tongkat itu menahan kedua cakar tangan kerr. Asap muncul di setiap interaksi keduanya. Kembali kerr melayangkan cakar dan racun dari lidah yang sengaja ditembakkan. Kanna masih dapat menangkisnya.

Lompatan kerr sangat lincah hingga Kanna kewalahan menebak posisi makhluk itu. Lorong yang gelap juga membuat Kanna kesulitan untuk mencari keberadaan kerr. Tak ayal ketika kerr menendang Kanna, ia langusng terjerembab. Segera ia berbalik dan menangkis serangan makhluk itu. Kanna menendang dada Kerr yang terasa berlendir. Mendecih jijik Kanna beringsut mengambil tongkat dan memukul kerr kembali.

Segera Kanna bangkit kemudian secepatnya berlari. Ia harus mencari tempat yang besar.

Sepanjang pelariannya ia membuat bayangan maya yang akan menghalau kerr tersebut, Kanna harus berusaha mengulur waktu agar ia bisa memanggil sang esa.

Di depan sana Kanna melihat lorong yang berbelok ke arah kiri. Lorong yang tak pernah Kanna masuki. Karena itu secepat mungkin ia berlari ke arah lorong tersebut.

Napasnya terengah-engah. Sedangkan di belakang sana terdengar pertarungan kerr dan bayangan mayanya. Kerr yang ia hadapi sangat kuat, sehingga Kanna tak mungkin menghadapinya di sini. Ia membutuhkan tempat luas.

Saat Kanna hampir mendekati lorong itu, suara derap cepat kerr semakin keras. Kerr itu berhasil menyusulnya.

Kanna semakin meningkatkan kecepatan lari. Dilihatnya Kerr melayangkan serangan dari jarak jauh. Kanna menghalau, menangkis dengan membekukan es. Tetapi, kekuatan api kerr sangat kuat hingga sihir es tersebut tak bisa lama menahannya.

Lorong sebelah kiri semakin dekat. Ia hampir menjangkaunya. Namun, gumpalan api besar menyerang, mengejar di belakang. Kanna putus asa ketika sihirnya semakin melemah.

'Zarkan Tar' nama itu terus berputar di benak dan bibirnya. Ia terus menerus merapalkan nama suaminya.

Bayangan suaminya memenuhi mata. Mungkinkah ia tak akan bertemu lagi dengannya? Tidak! Tidak! Kanna tak akan putus asa. Namun, semakin dekat rasa tak mampu itu membuatnya semakin membayangkan sang suami.

"Zarkan ...."

GREBBB! Kanna mendesakkan diri. Entah ini halusinasi atau bukan. Hanya saja Kanna membutuhkan bayangan suaminya jika kematian tengah menyambut.

"Aku di sini," bisik Zarkan Tar. Kanna terengah tetapi dengan penasaran ia mendongak. Benar. Kedua mata emas Zarkan Tar mengunci kedua pandangan mata Kanna. Ia tak berhalusinasi.

"Syukurlah, syukurlah!" gema ucapan Kanna merasuk ke telinga Zarkan Tar. Kelegaan Kanna membangkitkan emosi lain di mata sang mahadiraja. Tangan kirinya menghela Kanna lebih erat. Seakan takut Kanna akan lepas lagi darinya.

"Tenanglah! Aku di sini."

Kanna percaya. Ia selalu percaya akan perlindungan Zarkan Tar. Terbukti saat ia semakin melesak memeluk tubuh sang suami. Rasa panas yang sebelumnya ia rasakan mendingin seketika.

Tangan kanan Zarkan Tar terulur. Saat kepalan tangan itu terbuka kilau besar menyilaukan mata menghancurkan api besar yang dikirimkan kerr.

Kerr yang tengah mengejar kanna berhenti. Namun, makhluk neraka tak pernah mengenal takut. Kesombongan merajai hatinya. Karena itu, melihat serangan miliknya dihentikan begitu mudah. Ia menggeram marah.

Kerr melompat dan mengibaskan ekor. Ekor tersebut tiba-tiba memanjang dan berniat menyerang Zarkan Tar.

Dua bola mata emas Zarkan Tar penuh api membunuh. Dengan tangan kosong ia menangkap ujung ekor kerr itu lalu mencengkeram erat. Tiba-tiba api merah muncul dari tangannya dan seketika membakar ekor kerr yang langsung menjalar cepat.

Kerr menjerit melengking. Kepongahan dari matanya meredup berganti dengan rasa takut. Api merah. Hanya mereka yang tahu itu adalah api sang esa. Api merah merupakan api hukuman untuk mereka para makhluk neraka yang melanggar.

Tuannya tidak tahu, sang esa telah bangkit. Ia ingin memberitahu, namun sudah terlambat. Jiwanya tengah dibakar api hukuman ini.

Jeritan kerr sangat mengerikan. Mencekam. Siapapun yang mendengar akan tahu makhluk itu direngkuh kematian dengan penuh rasa sakit.

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro