10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tak terasa beberapa hari telah berlalu. Kira-kira apa yang dilakukan kelima lelaki itu ya? Apa jangan-jangan mereka ada yang menangis?

Lucu dan kasihan sih membayangkannya.

"Nona~" Tak perlu menoleh sudah dapat aku tebak bahwa itu adalah Ezra.

"Apa?" tanyaku tanpa menoleh.

"Apakah nona ingin jalan-jalan?" Aku berbalik untuk menatapnya yang tersenyum manis.

"Denganmu?" tanyaku dengan ekspresi meremehkannya.

"Oh sayang sekali tidak tetapi dengan si kecil," katanya sembari tertawa pelan. Tak lama Deron muncul di belakang punggung Ezra, megintip takut.

"Benarkah? Senangnya, tentu saja tidak menolak kalau dengannya," kataku ceria.

Aku memerlukan beberapa menit untuk berganti baju dan menunggu Mithnite menyiapkan bekal untukku dan Deron nanti. Sebenarnya seberapa jauh perjalanan ini sih?

....

Telah beberapa menit aku dan Deron berjalan tanpa pembicaraan sama sekali. Beberapa kali ia melirikku, walau di tanya ia hanya akan menggeleng. Apakah ini caranya melindungi orang? Tiba-tiba saja pikiranku melanyang mengenai mimpi masa lalu yang aku dapatkan.

"Hei Deron," panggilku.

"Iya!"

"Menurutmu Alsovi seseorang yang seperti apa?" tanyaku sambil melihatnya.

Deron terlihat kaget dan sepertinya sedang mencari jawaban yang menurutnya benar. "Kakak adalah seseorang yang... melepaskanku."

"Memangnya dia orang tuamu?!"

"Bu-bukan begitu!" serunya cepat. Ekspresinya sangatlah panik dan ia kembali berpikir  dengan alis yang semakin mengkerut ke bawah.

"Aku hanya bercanda, jangan memikirkan perkataanku terlalu keras," kataku yang tak dapat menyembunyikan senyumanku. "Jadi kata lainnya seperti membebaskanmu dari jeruji ketakutanmu dan membiarkanmu terbang dengan bebas?" tebakku sambil mengingat kembali mimpi yang aku dapatkan.

Deron menatapku dengan mata yang membelalak lalu ia tersenyum manis sambil mengangguk. Dapat terlihat pipinya yang pink itu kini merona.

"Apa hanya karena itu?" tanyaku kembali agar suasana tidak kembali hening.

"Sebenarnya... kakak adalah orang pertama yang mau tersenyum manis saat aku selalu ditakuti. Melihat senyuman kakak aku merasa... penting," ucapnya sambil menunduk dan terlihat jelas kupingnya memerah.

Aku menahan jeritan untuk shota imut-imut satu ini. "Tunggu... bukankkah sebenarnya kau penting? Bukankah kaul yang membuat mereka merasakan kemenangan?" tanyaku.

"A-aku juga tidak mengerti. Mereka semua terus menjauhiku," kata Deron pelan.

Apa ini?! Apakah aku membuat hati lembutnya terluka? "Maafkan aku menanyakan hal ini tetapi sekarang kau sudah mempunyai mereka berdua'kan? Nggak ada yang perlu di sedihkan lagi."

"Ada."

Langkahku terhenti saat menyadari ia juga berhenti dan menatapnya bingung. "Apa lagi yang perlu...."

"Jika kakak kembali tiada, kami akan kembali bersedih," air mata Deron telah mengepul di matanya dengan cepat.

Aku menatap tanah di bawahku. "Hal itu tak bisa di prediksi. Oh iya, kalian tau jika... jika aku ini Alsovi dari mana?" tanyaku dengan perasaan aneh seakan-akan mengakui kalau aku adalah si ilmuan.

"Kami bisa merasakannya!"

Aku menatapnya tidak percaya. "Dari?"

"Kemampuan kami. Jika ada seseorang yang kami anggap spesial atau bisa di katakan kami tandai, kami dapat merasakan saat orang itu telah tiada. Memang jarang sekali ada yang lahir kembali tetapi kami dapat merasakannya," kata Deron yang tak terlihat kebohongan di sana.

"O...ke? Tunggu, aku cerna dulu," kataku sambil memegang kepalaku yang baru saja terisi sesuatu yang tidak bisa dicapai logika. Apalagi di katakan oleh seseorang yang sangat polos.

"Kekuatan kalian memang tak bisa di capai akal sehat." Aku menatap Deron yang tersenyum manis. "Itu yang pernah kakak katakan dulu," kata Deron dengan senyuman yang lebih lebar.

Aku menghembuskan nafas. "Baiklah terserah. Gimana kalau kita jalan lagi? Dari pada telat sampai tujuan."

"Aku sudah bisa melakukan teleportasi kak," kata Deron sambil menunjuk dirinya.

"Kalau begitu kau mau dipakai sekarang?" Deron menggeleng sambil menunduk lalu berlari kecil. Saat ia sudah berada di sampingku kami berjalan bersama.

Kami terus berjalan sampai hampir satu jam dan kami telah keluar dari kota. Kepalaku terus memkirkan mengenai sang ilmuan. Ada sesuatu yang menyangkut pikiranku tetapi sisi diriku yang lain sangatlah tidak percaya mengenai reinkarnasi.

Jika memang benar begitu, mengapa aku merasa tidak asing? Mengapa aku mendapatkan ingatan sang ilmuan? Aku tumbuh layaknya anak lain, ibu tidak mengatakan jika aku melakukan hal-hal aneh. Hanya kakak yang mengatakan bahwa aku sudah menyukai anime dari kecil.

Kenapa hal ini terjadi? Mengapa aku merasa ada yang salah?

"KAKAK!"

"EH! Oh, iya? Ada apa?" tanyaku kaget.

"Apa yang kakak pikirkan sampai tak mendengarkanku memanggil kakak?" tanya Deron dengan alisnya yang mengkerut ke atas tetapi imut.

"Maafkan aku, entah mengapa aku merasa pikiranku bekerja lebih banyak akhir-akhir ini," kataku sambil mengusap rambutnya yang lembut untuk menenangkannya sekaligus menenangkanku.

"Kakak tidak berpikiran untuk kabur ataupun mengakhiri hidup kakak kan?" tanya Deron dengan ekspresi sedihnya.

"Kabur? Kemana? Kenal tempat ini aja nggak, mau kabur kemana? Lagi pula aku masih di kasih makan tiga kali ditambah wajahmu dan Mithnite bukan wajah penjahat."

"Wajah penjahat?"

"Iya, mana ada penjahat yang melihat orang menangis bisa otomatis ikut nangis? Lalu kau itu selalu merasa bersalah seperti ada kata maaf di setiap ekspresimu. " Deron tiba-tiba langsung memegang wajahnya yang membuatku menahan tawa. "Lalu kalau bunuh diri... nggak ada gunanya sih, ujung-ujungnya manusia ya mati juga ditambah... sepertinya aku masih belum bisa meninggalkan kedua orang itu sepenuhnya." Pikiranku kini melayang mengingat kedua kakakku.

Kira-kira mereka akan bersin di saat ini juga nggak ya?

"Hehe... kakak tidak berubah," katanya dengan senyum manis.

"Ya, aku rasa akan beda jadinya kalau memang keberadaanku sekarang malah akan memperburuk sekelilingku," ucapku pelan sambil mengingat beberapa episode anime yang pernah aku tonton.

"Tenang saja! Aku akan melindungi kakak!"

"Wah, aku merasa terlindungi," kataku sambil tertawa pelan.

"Tetapi kak, bolehkah aku meminta tolong?" tanya Deron yang suaranya kini sendu.

"Ada apa?" tanyaku bingung.

"Tolong, jangan membuat Ezra kembali bersedih." Aku menatap Deron bingung. "Biasanya jika merasa sedih Ezra selalu menutupinya dengan senyuman sempurna tetapi tidak jika itu berhubungan dengan kakak. Bahkan aku yakin bahwa ia bisa menangis kencang saat bersama kakak."

Sebenarnya aku hampir ingin mengejek Ezra yang terlalu santai itu bisa menangis keras tetapi aku tak tega mellihat wajah Deron yang terlihat seperti ingin menangis lagi. "Baiklah, tetapi aku nggak bisa janji sepenuhnya."

"Tidak apa-apa," katanya dengan senyum manis yang lebar.

....

Beberapa saat kemudian kami sampai di sebuah rumah kayu yang cukup jauh dari kota di dekat sini. Mungkin bisa di katakan rumah ini terletak di hutan. Mataku tak dapat terlepas melihat rumah sederhana yang cukup lebar ini.

"Ini..."

"Rumah kakak." Aku menatap Deron mempertanyakan dia tahu dari mana. "Maaf, kami sering mengintip kakak dari pohon dan menghilangkan hawa keberadaan kami, " kata Deron pelan.

Mataku kembali mengamati setiap lekuk rumah di depanku. Deron menarik tanganku dengan keadaanku yang masih saja tak memikirkan satu katapun ke dekat pintu dan membukanya pelan.

Segala perabotan sebagian besar menggunakan kayu. Perasaan nyaman dan sejuk saat melihat ke sekeliling dan mataku masih tak bisa berhenti menjelajah. Bukan perasaan kagum yang aku rasakan tetapi perasaaan aneh yang sama sekali tak dapat digambarkan.

Suara pintu terbuka membuatku sadar dari lamunanku. Deron menatapku sambil tersenyum. "Ini kamar sekaligus tempat penemuan kakak."

Aku berjalan pelan melihat ke dalam kamar. Berbagai buku, kertas, dan barang-barang yang sepertinya penemuan yang dibiarkan berserekan di kiri dan kanan kamar ini. Sebuah buku tebal di depanku menarik perhatianku.

Suara pintu terbuka keras menggema di kamar ini tetapi aku tetap diam, melihat buku tebal ini. Sampai langkah beberapa orang yang berlari kemari dan seruan, "NONA!" aku masih tetap diam.

"Siapa kau?"

"A-aku..."

"Keluar," ucapku tanpa melihat mereka.

"Apa?"

Aku berbalik dan menatap tajam kelima lelaki plus Deron. "Aku bilang keluar'kan?! Keluar!" Aku mendorong Deron dan juga yang lainnya

"Ta-tapi nona.."

"Apa? Masalah?" ancamku.

"Ti-tidak kok...." kata Ruber yang tersenyum ketakutan.

Aku menutup pintu cukup keras dan diam selama beberapa detik dan masih bisa mendengar pembicaraan mereka di sini.

"Ada apa dengan nona? Sudah tak bertemu beberapa hari tidak ada kangennya?" tanya Ruber dengan nada sedih yang ia buat-buat.

"Wajahmu menyebalkan sih," jawab Vin dengan datar.

"Ngomong-ngomong, kau siapa?" tanya Rio.

"De-Deron."

Aku beranjak dari pintu dan kembali mendekati buku tebal itu. Sebelah tanganku meremas bajuku. Sebenarnya aku kenapa? Perasaan apa ini?

Sesak.

.
.
.
.
.

SPOILER KERAS!!
Untukselanjutnyakelimalelakiituakanmeninggalkan Novi untukkembalikebumisendirian.

Yap silahkan sakit mata lah kalian. Tapi aku yakin kok bisa dibaca dengan baik :3

Nah setelah ini saya akan bekerja keras. Selamat hari sabtu~

-(25/08/2018)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro