Spesial: Sebuah Masa Lalu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Anggep aja kebiasan Novi di gubuk (rumah trio cowo) itu membosankan. Hanya main game terus. Jadiiii--.. Saya menyiapkan khusus, membiarkan anda mengenal bagaimana masa lalu anak2 saya.

Happy reading dan siapkan waktu, karena ini akan sangat panjang.

.
.
.

"Iya, nama. Kau sendiri yang bilang tak ingin di panggil tuan Barak," kata Alsovi.

Barak berpikir cukup keras sampai-sampai kedua alisnya mengkerut.

Alsovi tertawa pelan. "Kau bisa memikirkannya terlebih dahulu sedangkan aku tidur. Tidak masalah bukan?"

"Baik, tidurlah. Dengan begitu obatnya akan bekerja lebih cepat," kata Barak sambil menghembuskan nafasnya.

"Pikirkan saja nama yang engkau sukai. Selamat tidur," kata Alsovi sambil bersandar padanya.

"Hei bocah!"

"Anda hangat. Kali ini saja," kata Alsovi yang menutup matanya sambil memeluk selimutnya.

Barak terdiam di tempatnya akhirnya ia membiarkan si gadis yang sudah terlelap tidur bersandar padanya. Matanya menerawang apapun yang ada di depannya. Kembali mengingat bagaimana reaksi orang-orang yang mengetahui mengenai kekuatannya. Sangatlah berbeda dengan reaksi gadis yang bahkan namanya ia tak ketahui.

Berjam-jam kini berlalu, matahari kini telah memunculkan dirinya. Kedua mata Alsovi terbuka dan ia mengusap matanya pelan sambil melihat sekeliling.

"Oh sudah sadar bocah?" tanya Barak tanpa ekspresi.

"Tentu terima kasih untukmu, kau bagai bantal yang sangat empuk dan nyaman," kata Alsovi sambil tersenyum lebar.

"Kau pikir aku domba bocah?" tanya Barak kesal.

"Mirip!" kata Alsovi sambil tertawa pelan. "Nah, sudah terpikirkan nama?"

"Entahlah."

"Bagaiama sih?! Katanya mau ganti nama! Kok sekarang malah entahlah?!"

"Tidak ada nama yang terpikirkan olehku," kata Barak sambil memalingkan wajahnya.

"Nama yang kau sukai?" tanya Alsovi sambil berdecak pinggang. Sepertinya ia sudah sangat sehat sekarang.

Barak terdiam dengan posisi yang masih sama. "Tidak ada..."

Alsovi menghembuskan nafasnya sambil melipat tangannya di depan dadanya. "Pengalaman yang menyebalkan ya?" gumam Alsovi.

"Kenapa kau..."

"Jadi benar ya?" tanya Alsovi yang membuat Barak bungkam. "Begini saja, aku yang akan memberikan nama untukmu. Bagaiamana?"

Barak menatap tak percaya Alsovi.

"Akan aku pilihkan yang cocok untukmu. Tenang saja," kata Alsovi kesal.

"Oh... begitu?" tanya Barak tetap dengan ekspresi yang sama.

Alsovi menghembuskan nafasnya dan pikirannya mulai berjalan. "Kau bisa petir. Lalu banyak warga yang sangat-sangat mencarimu agar tak mendatangkan musibah ataupun menurunkan musibah... manusia itu menyeramkan ya."

"Heh. Kau kan juga manusia bocah."

"Aku bukan manusia. Aku Alsovi," potong Alsovi dengan wajah datar. "Ngomong-ngomong kau dulu pernah hidup dengan manusia saat mereka belum mengenalmu 'kan? Kau mau menceritakannya? Setidaknya sedikit, seperti apa yang biasanya kau lakukan?"

Barak menegakkan tubuhnya. "Tentu saja bermain dengan manusia betina."

"Wah, manusia kini disamakan dengan hewan," kata Alsovi dengan senyum sinis.

"Tentu saja, manusia sama seperti hewan. Cepat sekali mati," kata Barak tanpa ekspresi.

"Wah, bahkan aku tak dapat menggelak soal itu. Oh, bukankah manusia mempunyai otak?"

"Memangnya mereka masih memakai otak? Bukannya mereka memilih kepentingan mereka sendiri?"

"Tajamnya," Alsovi tertawa pelan. "Ngomong-ngomong memangnya yang dari tempat dingin ada yang berambut hitam?"

Barak menatap Alsovi dengan tatapan malasnya. "Aku hanya pelarian yang datang kemari. Bukankah harusnya kau tahu?"

Alsovi hanya mengangguk-angguk. "Baiklah, karena kau sudah menolong beberapa manusia aku punya nama yang pas untukmu."

Barak hanya menatap Alsovi dengan tatapan tak percayanya.

"Ezra, yang berarti penolong yang kuat dan tangguh."

Barak memandang bingung Alsovi.

"Dan Dabarath yang artinya orang yang dari tempat dingin," Alsovi menyelesaikan perkataannya dengan senyuman.

"Ezra... Dabarath..."

"Betul! Bagaimana?" tanya Alsovi dengan bangga.

"Kenapa kau terlihat bangga dengan hal itu?"

"Abaikan saja ekspresiku untuk kali ini. Bagaimana, kau menyukai nama pemberianku?" tanya Alsovi dengan senyum sinis.

"Baiklah, aku menyerah. Kali ini aku akui bahwa namamu pilihanmu bagus,"kata Barak yang kini telah berganti nama sebagai Ezra sambil menatap Alsovi yang terus memasang senyum jailnya.

"Bagus, dengan begitu kau harus ikut denganku."

"Dengan memberikan nama untukku kau jadi menarikku untuk jadi pelindungmu gitu?" tanya Ezra sambil tertawa mengejek.

"Tidak," Alsovi bangkit dari duduknya. "Aku mencoba mencarikan hewan-hewan yang salah tempat mendapatkan rumahnya," kata Alsovi sambil tersenyum. "Lagi pula mereka sudah akan menjadi anjing penjagaku yang akan mengikutiku kemana-mana," Alsovi mengingat mereka yang masih menunggu di rumah.

....

Kedua tangan kecilnya kini telah membawa nampan makanannya. Kakinya hanya melangkah asal menuju tempat duduk yang dapat ia duduki. Saat menduduki salah satu bangku panjang, orang-orang yang duduk untuk menikmati makan mereka di sana berdiri dan beranjak dari tempat itu. Menyisakan anak itu duduk sendirian di bangku itu.

"Kaget banget tadi," bisik teman satu kubunya.

"Iya, tiba-tiba aja dia duduk di sana," balas bisik yang lainnya.

"Serem banget duduk sama dia, rasanya ada hawa pembunuh yang keluar darinya gitu."

"Ditambah melihatnya yang hanya memerlukan satu tebasan dan satu orang jatuh."

"Yah mau bagaimana lagi, diakan bukanlah manusia seperti kita."

"Padahal dia kelihatan seperti anak laki-laki pada umumnya."

"Jangan lengah. Dia bukan manusia, bisa saja ia membunuh kita tiba-tiba."

Anak laki-laki yang kini sedang di bicarakan menunduk, menahan air matanya yang hampir mengupul. Dirinya hanya ingin dilihat sama dan berbicara seperti lainnya. Beberapa kali alisnya menekuk ke atas, mecari-cari kesalahannya yang membuat yang lainnya menyingkir darinya.

Walau menyelamatkan, anak itu selalu di beri tatapan ketakutan oleh yang lainnya. Sebenarnya ia cukup muak dan bermimpi mempunyai kehidupan yang lebih baik.

....

Ezra mengikuti langkah Alsovi dari belakang. Beberapa pertanyaan asal beberapa kali keluar dari mulut Ezra, bahkan ia sudah bisa mengerjai Alsovi. Rasa kesalnya dengan manusia kini tidak berdampak dengan Alsovi karena Ezra merasakan perbedaan sifat Alsovi dengan manusia lainnya.

"Kau dengar itu?" Alsovi berhenti sambil melihat langit.

"Dengar apa?" tanya Ezra bingung.

"Ada suara perang, ayo ke sana," ajak Alsovi yang berlari terlebih dahulu.

"Apa serunya meliat peperangan sih? Gadis aneh."

Tak lama mereka bersembunyi di balik sebuah batu yang cukup besar untuk menyembunyikan mereka berdua. Di dekat sana terjadi pertarungan yang cukup besar dan sepertinya berlangsung tak lama.

"Sampai sekarang masih ada peperangan ya?" tanya Alsovi sambil mengintip dari atas batu.

"Kau seperti tidak tahu saja keegoisan manusia. Apa jangan-jangan kau itu nona bangsawan?" tebak Ezra.

"Entahlah, selain caci-maki dari orang-orang hidupku nyaman," kata Alsovi tampa melihat Ezra.

"Hm, nona positif. Ngomong-ngomong apakah aku perlu ikut meramaikan suasana?" tanya Ezra jail.

Alsovi langsung menatap Ezra tajam. "Jangan macam-macam. Aku tidak akan bertanggungjawab kalau kau sampai terkena masalah," ancam Alsovi kesal.

Ezra tertawa pelan dengan wajah yang terus melihat ke depan. Alsovi juga kembali melihat pertarungan yang sebenarnya bukan hal yang menyenangkan untuk di lihat. Mata Alsovi tak sengaja melihat seorang anak lelaki yang berdiri dengan mata kosongnya.

"Kau melihat anak laki-laki itu Ezra?"

"Anak laki-laki.. oh, yang berdiri di tengah-tengah itu?"

Sebelum Alsovi kembali membalas, anak laki-laki yang tadi hanya diam di tempatnya kini mulai bergerak. Dengan cepat ia bergerak ke satu arah dan melumpuhkan beberapa lawan hanya dengan satu ayunan pisau kecilnya.

Alsovi dan Ezra terpaku melihat anak lelaki yang sampai sekarang tidak menunjukkan ekspresi di matanya yang kosong itu. Tak perlu memakan waktu lama, kubu anak laki-laki itu telah memenangi pertarungan. Ezra melihat Alsovi yang kini menyiratkan ekspresi kasihan.

"Nona mau membawanya juga?"

"Kau punya rencana?" tanya Alsovi yang menatap Ezra yang tersenyum sinis.

Seseorang yang mengenakan jubah dan menutupi kepalanya sampai wajahnya hampir terutup sepenuhnya berjalan masuk ke dalam sebuah tempat kumpulnya para petarung perang. Tangannya mulai mengetuk pintu yang paling besar.

Sementara itu Alsovi bersusah payah mengintip dari balik sebuah jendela. Matanya berhasil melihat gumpalan pink yang empuk itu.

"Pst.. hei!"

Gumpalan lembut(?) itu berbalik dan melihat Alsovi dalam diam, tetap dengan matanya yang terlihat kosong.

"Kau bisa keluar?" tanya Alsovi dengan senyuman yang membuat anak laki-laki itu menatap Alsovi bingung.

Bingung karena baru kali ini ia melihat senyuman tulus mengarah untuknya.

Sampai di luar jendela Alsovi menyambut anak laki-laki itu dengan senyuman. Anak laki-laki itu terpana sejenak, rasanya nyaman melihat senyuman setelah hari-hari yang ia lewati tanpa sapaan dari teman-teman satu kubunya.

"Apa kau betah di sini?" tanya Alsovi.

Anak laki-laki itu melihat Alsovi bingung, mencoba mencerna perkataan Alsovi. Entah sadar atau tidak, alisnya mulai mengkerut.

"Kau sedang menghabiskan waktu dengan mereka?" tanya Alsovi kembali.

Pikiran anak laki-laki itu menelunsuri memorinya. Perasaan terbuang, dijauhi dan di kenal sebagai alat memenuhi pikirannya. Kedua alisnya semakin mengkerut dengan pandangan mengarah kebawah, tak melihat Alsovi tersenyum melihat tingkahnya.

Alsovi mengulurkan tangannya dan menekan dahi yang berada di antara kedua alis anak laki-laki itu. "Alismu telah mengatakan semuanya."

Pandangan anak laki-laki itu seakan-akan terbuka dan sorot matanya memancarkan sorot anak kecil pada umumnya.

"Kau mau ikut denganku?" tanya Alsovi sambil mengulurkan tangannya di depan anak laki-laki.

Sebelum menjawab, tiba-tiba kaca jendela di atas kepala mereka pecah dan seseorang lompat dan mendarat di belakang Alsovi.

"Kita kehabisan waktu nona," kata Ezra sambil mengintip dari penutup kepala jubahnya.

"Apa?! Padahal kau... argh! Ayo, kita kehabisan waktu," kata Alsovi semakin merentangkan tangannya.

Anak laki-laki itu langsung menerima uluran tangan Alsovi dan langsung ditarik oleh Alsovi untuk menjauhi tempat itu dengan senyuman. Sayangnya sebelum jauh dari tempat itu, mereka di cegat oleh beberapa orang. Ezra berdiri melindungi Alzovi dan anak laki-laki itu.

Seorang pria tua berjalan maju, di tengah-tengah bawahannya dan Ezra. "Kenapa ini terjadi sih?" tanya pria itu kesal.

"Wah, kenapa ya?" tanya Alsovi dengan senyum menantangnya.

Pria itu menggeram sambil melihat Alsovi dengan tatapan tajam. "Sebenarnya apa maumu?"

"Mau saya? Tentu saja menolong anak ini. Hati saya yang halus nan lembut ini terluka melihat seorang anak kecil berdiri di tengah-tengah pertempuran pembunuhan ditambah di depan matanya sendiri. Sungguh memilukan," kata Alsovi penuh penghayatan dan tak melihat Ezra sedang berusaha keras menahan tawanya. Sedangkan anak laki-laki di belakangnya menatapnya dengan bingung.

Pria itu semakin menatap tajam Alsovi yang sama sekali tak terganggu dengan tatapan itu.

"Lagipula.."Alsovi menormalkan gaya dan suaranya. "Tidak akan ada yang merasa rugi bukan? Mereka tidak akan takut, bahkan bisa saja mereka merasa kuat dan anak ini akan ikut perjalanan," kata Alsovi dengan senyum bisnisnya.

"Omong kosong macam apa itu?! Serang!!"

Ezra bersiap dengan kekuatannya, para petarung itu mulai melangkah maju tetapi langkah mereka berhenti saat anak laki-laki itu di depan Ezra.

"Kenapa kalian berhenti?! Serang mereka!!" Tetap tak ada yang bergerak, bahkan sebagain besar dari mereka merasa sangat susah menelan apa yang ada di mulut mereka.

"Ck ck." Alsovi berjalan di samping Ezra. "Kau sama sekali tak bisa merawat anak-anak ya pak tua?"

"Apa maksudmu?!" tanya pria itu kesal.

"Lihatlah matanya." Entah mengapa anak laki-laki itu malah melihat Alsovi yang sedang melihatnya. "Hm," Alsovi mengangguk. "Mata yang indah." Anak kecil itu bersemu merah yang membuat Alsovi tertawa pelan.

"Itu tidak ada hubungannya dengan..."

"Oh ada dong pak tua. Ditambah kau pikir kami hanya segini?" tanya Alsovi yang dibalas tatapan bingung.

Sebelum mulut pria itu kembali terbuka terdengar bunyi sesuatu yang meledak di sekitar mereka. Para petarung, pria itu, dan juga anak laki-laki itu melihat sekelilingnya degan tatapan kaget.

"Masih belum ingin menyingkir?" tanya Alsovi dengan senyum sinis.

Satu per satu para petarung itu mundur ke markas mereka. Pria itu sama sekali tak bisa melakukan apapun tanpa bawahannya, karena itu sebelum mundur ia memberikan sepatah- dua patah ancaman.

Mereka bertiga melangkah ke dalam hutan anak laki-laki itu melihat ke Alsovi dan Ezra bergantian. Mereka berdiam tanpa mengatakan sepatah apapun sampai tiba-tiba saja Ezra tertawa keras.

"Kau memang paling pintar nona!" kata Ezra sambil memegang perutnya.

"Apakah kita sudah cukup jauh?" tanya Alsovi sembari mengintip ke belakang.

"Aku rasa sudah," kata Ezra sambil mengusap air matanya karena tertawa terlalu keras.

"Maaf...?"

"Oh iya, ada yang ingin kau tanyakan?" tanya Alsovi sambil berbalik ke arah anak laki-laki itu.

"Bagaimana dengan yang lainnya?"

"Siapa?" tanya Alsovi dengan wajah polosnya.

"Kau percaya kata-katanya yang tadi?" tanya Ezra sambil menahan tawanya.

Anak itu hanya dapat melihat Ezra dan Alsovi bergantian dengan bingung.

"Yang itu? Aku mengerti. Maaf sekali bahwa apa yang aku katakan mengenai bukan hanya kami berdua itu adalah sebuah kebohongan," kata Alsovi sambil tertawa pelan.

"Keboho...ngan? Lalu itu..."

"Peledak yang aku buat." Anak kecil itu hampir saja membuka mulutnya lebar-lebar.

"Bayangkan, mana ada manusia yang pergi membawa barang-barang yang berbahaya?" tanya Ezra yang berdiri di depan anak kecil itu lalu menunjuk Alsovi dengan jempolnya.

"Oh maaf deh ya, aku berbeda dengan manusia pada umumnya. Sudahlah, aku butuh tempat bermalam. Tidak seperti kalian," kata Alsovi yang kembali berbalik dan meninggalkan mereka.

"Jangan ngembek nona," rajuk Ezra sambil mengikuti Alsovi.

"Tidak ngambek kok, hanya kesal."

"Bukankah itu sama saja?"

"Tentu saja berbeda." Alsovi berbalik melihat anak laki-laki itu yang masih diam di tempanya. "Apa yang kau lakukan? Kemari." Anak laki-laki itu mengangguk malu lalu berlari kecil menyusul Alsovi.

....

"Tidak ada nama?" tanya Alsovi tak percaya.

Anak laki-laki itu menggeleng.

"Nama panggilan, seperti dia misalnya?" tanya Alsovi yang menunjuk Ezra yang sedang menikmati makan malamnya dengan jempolnya.

Anak laki-laki itu terdiam sambil menunduk, tak lama keplanya kembali naik. "Iblis kecil? Senjata hidup?"

Alsovi menaruh mangkuk kelapanya di tempat yang tak akan tersenggol dan langsung memeluk anak laki-laki itu. "Kasian sekali dirimu!! Baiklah aku akan memcarikanmu nama!"

"Apakah nama yang bagus?" tanya Ezra jail.

"Jangan membatah saat namamu adalah pemberianku," kata Alsovi datar.

"Nama Ezra adalah pemberian kakak?" tanya anak laki-laki itu bingung.

"Yup! Nah nama yang cocok... AH!! Deron!" seru Alsovi semangat.

"Deron?" ulang anak laki-laki itu.

"Iya! Deron artinya adalah burung, dan burung melambangkan kebebasan! Lalu aku akan menambahkan nama Mordecai yang artinya suka berperang!"

Anak laki-laki itu kembali mengkerutkan alisnya dan menunduk. Alsovi menatapnya dengan senyum manis.

Tangan Alsovi terulur untuk mengelus kepala anak laki-laki di depannya. "Berperanglah dengan keinginanmu, karena sekarang kau adaah burung kecil yang penuh kebebasan."

Anak laki-laki itu mengangkat kepalanya dan menatap Alsovi yang masih tersenyum ke arahnya.

"Jangan takut dengan kelebihanmu. Itu bukanlah sebuah kutukan, melainkan sebuah kekuatan untuk membantu yang lainnya. Dengan syarat kau bisa mengontrolnya," kata Alsovi dengan senyum yang lebih lebar.

Anak laki-laki itu tersenyum manis lalu mengangguk mengerti. "Boleh aku ambil nama itu?"

"Kau tak perlu bertanya lagi," kata Alsovi lalu langsung memeluk anak laki-laki di depannya yang kini telah bernama Deron.

"Beda banget denganku," cibir Ezra sambil bertopang dagu dengan sebelah tangannya.

"Maaf, aku lebih tertarik anak kecil," kata Alsovi tanpa melihat Ezra.

"Nona... kau... pedo---"

"Karena anak kecil sepertinya imut-imut," kata Alsovi sambil melihat Deron. "Nah kau itu amit-amit," kata Alsovi sambil melirik Ezra dari ekor matanya.

....

Alsovi merentangkan tangannya di luar gua yang menjadi tempat istirahat mereka semalam. Ia meletakkan kedua tangannya di sisi pinggang lalu matanya melihat ke depan. Ezra keluar dari gua di susul oleh Deron yang mengusap matanya dengan gaya yang imut.

"Mengapa tersenyum?" tanya Ezra bingung.

"Entah mengapa moodku baik," kata Alsovi dengan senyum lebarnya yang membuat Ezra dan Deron bingung.

....

Kesalahan tidak dibuatnya tetapi entah mengapa ia di benci. Berbagai jenis tumbuhan berjejer rapi di depan rumahnya. Tidak ada sedikitpun ia berpikiran untuk melukai orang lain.

Di pikiran mereka, ia, laki-laki yang tinggal di dataran yang lebih tinggi dibandingkan mereka, menumbuhkan ataupun melakukan sesuatu yang membuat tanah mereka menjadi kering. Caci-maki dan perkataan kasar selalu tertuju padanya, tanpa tau betapa susahnya ia untuk mehan air mata yang selalu ingin keluar.

....

Setelah memakan waktu beberapa hari dan malam, Alsovi, Ezra dan Deron telah sampai di sebuah desa yang cukup ramai.Alsovi melihat kiri dan kanannya tanpa ada rasa tertarik untuk membeli sebuah barang dagangan yang tertata rapi itu. Ezra sama tak terariknya dengan Alsovi tetapi entah sudah berapa kali ia menggodai wanita yang lewat hanya dengan tatapan. Sedangkan Deron ragu untuk melakukan sesuatu walau segala manisan yang ia lewati terlihat menggoda.

Alsovi berhenti tiba-tiba yang membuat Ezra dan Deron mengehentikan langkah mereka secara mendadak. Pandangannya hanya diam di suatu kios penjual buah.

"Ada apa?" tanya Ezra tetapi tak dibalas oleh Alsovi.

Akhirnya Alsovi mendekati penjual itu. "Mengapa buahnya terlihat tak lagi segar?" tanya Alsovi sambil menunjuk buah-buah yang ia jual.

"Kau tidak tahu?" tanya bapak penjual buah dengan tatapan menyelidik.

"Kami adalah pendatang yang baru saja sampai," kata Alsovi sambil tersenyum manis.

"Ada monster dengan wujud laki-laki tinggal di dataran yang lebih tinggi di sana dan entah ia melakukan apa sampai tanaman kami tidak lagi bisa tumbuh subur," katanya sambil menunjuk dataran yang lebih tinggi.

Alsovi tak dapat menyembunyikan senyum senangnya yang langsung ia hilangkan dalam sekejab. "Terima kasih atas infonya tuan," kata Alsovi sambil tersenyum manis lalu menunduk kecil sebelum akhirnya beranjak dari sana.

"Kau mau ke sana?" tanya Ezra saat sudah cukup jauh dari tempat tadi.

"Kakak yakin? Bukankah kata bapak itu di sana adalah monster?" tanya Deron dengan wajah sedihnya.

"Semua yang bukanlah manusia adalah monster di mata mereka, termasuk kalian," kata Alsovi sambil melirik Ezra dan Deron. "Lagi pula aku merasakan adanya kejanggalan di sini."

"Maksud nona?"

Alsovi berhenti sejak di tumpukan salah satu perkebunan yang ia lihat. Tangannya meraih sedikit tanah itu dan menyodorkannya kepada Ezra dan Deron. Seketika itu mereka berdua menunutp hidungnya dari bau menyengat yang mengganggu penciuman mereka.

"Hal itu dampak dari kami yang mengabaikannya," kata seorang nenek.

"Maaf mengambil tanah anda begitu saja, apakah anda adalah pemilik tanah ini?" tanya Alsovi sambil mengembalikan tanah yang ia ambil.

Nenek itu tertawa pelan. "Tidak apa-apa," katanya dengan suara lembut.

"Apa maksudmu mengatakan kalian yang mengabaikannya?" tanya Ezra serius.

Alsovi langsung menjitak kepala Ezra. "Tetap perhatikan bahasamu!"

"Tidak apa-apa, jangan pikirkan itu." Nenek itu melihat ke arah dataran yang lebih tinggi dengan raut sedih. "Sesungguhnya ia ada sebelum desa ini dibangun. Dulu saat aku masih sangat kecil, aku senang sekali bermain di sekitar sini yang dulunya adalah hutan lebat. Ia seorang laki-laki yang baik hati dan lembut yang mau mendengarkan cerewetan anak kecil sambil mengantarkanku pulang," nenek itu tertawa. "Tetapi aku tak tahu bahwa aku membuatnya terluka."

"Apakah nenek sempat berkunjung lagi dengannya?" tanya Alsovi.

"Sayang sekali kedua kaki ini sudah tidak kuat lagi," katanya sambil tertawa pelan.

"Izinkan saya bertanya sekali lagi, apakah anda takut dengan rasnya?" tanya Alsovi dengan mata yang menyiratkan keseriusan.

Mata nenek itu menatap Alsovi bingung lalu melihat Ezra dan Deron. "Oh mereka..."

Ezra menatap tajam ke arah nenek itu, sedangkan Deron mulai waspada tetapi tangannya mencengkram baju Alsovi yang langsung di gandeng oleh Alsovi.

Nenek itu menghembuskan nafasnya sambil tersenyum. "Untuk apa? Nenek ini tidak akan hidup lama juga. Hahaha!"

Ekspresi Ezra dan Deron mulai melega. Alsovi tersenyum senang seakan-akan telah menebaknya. "Apakah anda ingin menitip salam untuk yang di sana?"

Nenek itu mengangguk. "Walau sulit, tolong maafkan kami."

Setelah itu mereka bertiga pamit kepada nenek itu dan beranjak dari sana. Ezra melihat tangan Alsovi dan Deron saling bergandengan tangan, muncullah rasa cembutu Ezra.

"Nona, masa hanya dia saja yang di gandeng? Aku juga dong!" kata Ezra yang langsung memeluk lengan Alsovi.

"Kenapa? Kau cemburu sama yang lebih muda dari padamu?" tanya Alsovi dengan senyum manisnya.

Ezra menggigit bibir bawahnya. "Kalau nona seperti itu aku bisa jatuh cinta nih," kata Ezra pelan.

Alsovi menunjukkan wajah datarnya. "Pergi kau!" usir Alsovi sambil mengayunkan tangannya sampai tangan Ezra terlepas dari tangannya.

....

Mereka akhirnya sampai ke sebuah rumah kecil di dataran yang tinggi itu dengan halaman entah sampai mana. Langit kini hampir menggati warnanya. Alsovi mengetuk pintu kayu itu.

Tok tok tok.

Tak ada yang menjawab.

Tok tok tok!

TOKTOKTOKTOKTOK!!!

"Baik-baik, tunggu sebentar!"

Ezra dan Deron tak dapat berkomentar melihat wajah kesal Alsovi.

Pintu terbuka pelan dan terlihat wajah takut seorang lelaki yang mengintip dari celah kecil pintu itu. "I-iya?"

"AKHIRNYA DI BUKA JUGA!!"

"Ma-maaf!!"

Alsovi menark dan menghembuskan nafasnya. "Apakah ada kamar kosong?" tanya Alsovi yang sudah menormalkan ekspresinya.

"Iya?" tanya lelaki itu bingung.

"Setidaknya satu saja untuk aku dan anak ini," kata Alsovi sambil merangkul Deron. "Yang satu ini di lantai aja," tambah Alsovi sambil menunjuk Ezra dengan jempolnya.

"Jahatnya!!" seru Ezra kaget.

"Jadi, ada?" tanya Alsovi dengan senyum manisnya.

"O-oh, iya ada," kata lelaki itu sambil membuka pintu itu dan membiarkan Alsovi dan lainnya masuk.

Alsovi, Ezra dan Deron melihat sekeliling rumah itu yang penuh dengan dekorasi serba kayu. Mereka bertiga di berikan makan oleh lelaki yang kini mulai bisa membaur diantara mereka. Deron dan Ezra mandi terlebih dahulu, kenapa? Karena Deron tidak dapat menggunakan kamar mandinya.

Sambil menunggu kedua lelaki itu, Alsovi menikmati teh dan si pemilik rumah ikut menemaninya. Keadaan hening yang berdampak sebelah, di sisi Alsovi merasa biasa saja tetapi berbeda di sisi lelaki itu.

"Kenpa kau mau ke sini?" tanya lelaki itu yang hanya ditatapi oleh Alsovi. "Apakah kau tidak tau aku.."

"Ya. Aku tahu. Bukan dirimu yang membawa dampak ke desa." Lelaki itu menatap tak percaaya Alsovi yang menatapnya dengan pandangan serius.

Sebelum kembali membuka mulut, para lelaki itu telah keluar dengan perasaan segar.

"Apa kalian menikmatinya?" tanya Alsovi dengan senyuman.

"Sudah lama aku tidak merendam tubuhku, rasanya menyenangkan," kata Ezra sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.

"Baru kali ini aku merasakannya," kata Deron dengan senyum manisnya sambil berjalan mendekati Alsovi.

"Bagus, teruslah tersenyum karena... senyummu sangatlah manis."

"Iya kak!" kata Deron sambil tersenyum dan bersemu merah.

"Kalau aku nona?" tanya Ezra sambil tersenyum lebar.

"Kau terlalu cepat berubah, membosankan," kata Alsovi sambil beranjak. "Aku pinjam kamar mandinya."

"Oh, iya silahkan," kata laki-laki itu.

....

Saat ia merasa keheningan telah menyelimuti tempat itu, kini gantian si pemilik rumah yang menikmati kamar mandinya. Ia melepaskan bajunya tetapi ia menatap sendu ke suatu arah. Tiba-tiba ia mendengar bunyi suara pintu yang terbuka yang membuanya otomatis menutupi tubuhnya.

"Kau itu laki-laki apa perempuan sih? Pakai menutupi dada segala?" tanya Alsovi dengan wajah datar.

"A-ada yang bisa aku bantu?"tanya lelaki itu gugup.

"Oh, tentu ada! Begini ya, aku bermimpi aneh tadi dan tiba-tiba saja ingin menggosok punggung laki-laki. Pas sekali kau sedang ingin mandi," kata Alsovi dengan wajah jailnya.

Lelaki itu tak dapat mengatakan apapun, ditambah tiba-tiba saja gadis di depannya berwajah datar.

Alsovi berjalan ke belakang punggung lelaki itu yang masih saja kebingungan.Terlihat berbagai bekas luka di sana, bekas luka bakar dan sayatan terlihat jelas. Tangannya kini meraih sebuah bekas luka yang panjang yang entah bagaimana terlihat bagian yang lebih masuk ke dalam. "Apakah sakit?" tanya Alsovi pelan.

Lelaki itu mengerti pertanyaanya mengarah ke bekas lukanya yang sangat lama. Saat berbalik, kagetlah ia saat melihat Alsovi menangis. Tangannya meraih pipi Alsovi dan mengusap air mata Alsovi dengan jempolnya. "Untuk apa kau menangis?"

"Seharusnya aku yang bertanya, untuk apa kau ikut menangis?" tanya Alsovi sambil tertawa pelan dengan mata yang masih penuh dengan air matanya.

Lelaki di depannya terus berusaha menahan air matanya tetapi hal itu sulit untuk di lakukannya, selama Alsovi masih terus menangis di depannya.

Tak lama pintu terbuka dan tampaklah Ezra yang ingin mengatakan sesuatu tetapi mulutnya terhenti dengan keadaan terbuka. "Mana aku bisa marah kepada dua orang yang saling menangis seperti ini?" tanyanya pelan sambil melempar pandangannya ke samping.

....

Esoknya Alsovi melihat-lihat di sekeliling kebun lelak itu sambil menikmati udara pagi yang melewatinya. Ezra mendekati Alsovi dan berhenti di dekatnya.

"Apa nona sudah tau apa yang terjadi di tanah desa?" Tak sengaja si pemilik rumah yang sedang bersama Deron mendengarkan perkataan Ezra dan menghentikan aktifitasnya.

"Tentu saja, harusnya kau lebih jeli melihat dan kau akan tahu alasannya," kata Alsovi sambil tersenyum sinis.

"Jadi nona tidak akan menyalahkannya?" tanya Ezra iseng.

"Hm? Kau mau menyalahkan rasmu sendiri Za?" tanya Alsovi sambil tertawa kecil. "Untuk apa aku menyalahkan ia yang sangat cepat menangis? Ditambah..."Alsovi melihat sebelah tangannya yang ditatapi bingung oleh Ezra. "Ia sudah banyak terluka," kata Alsovi pelan.

"Sebenarnya apa yang mendasarkan nona melakukan hal ini?" tanya Ezra.

"Entahlah, apa ya?" tanya Alsovi sambil melepaskan pandangannya dari tangannya. "Deron!"

"Iya!" Deron langsung menutup tangannya, menyadari ia sedang menguping pembicaraan mereka berdua.

"Tolong jaga tempat ini dulu, aku dan Ezra segera kembali," kata Alsovi sambil berjalan ke jalan menuju jalan ke arah desa.

"Nona, apakah kau sudah tau mereka berdua menguping?" bisik Ezra sambil menyamakan langkahnya kepada Alsovi.

"Memangnya mereka menguping ya? Aku tidak tahu," kata Alsovi masih terus berjalan, meninggalkan Ezra yang sempat berhenti.

....

Mereka berdua berjalan menuju jalan yang cukup sempit dan banyak bercak minyak di kiri dan kanan jalan, bahkan tembok.

"Tempat apa ini nona?" tanya Ezra sambil menutup hidungnya, mencoba menghalangi setidaknya sedikit bau-bauan yang menusuk penciumannya.

"Tempat yang mencurigakan." Walau bingung, Ezra merasa ia cukup diam dan akan tahu nantinya.

Tak lama terlihatlah sebuah bangunan besar yang serba hitam dibangun di tengah-tengah desa, dibelakang rumah-rumah.

"Woah... ini bangunan apa?" tanya Ezra.

"Salah satu tempat untuk memenuhi sebagian keegoisan manusia," kata Alsovi sambil berjalan menuju pintu yang besar itu dan mengetuknya. Dari suaranya dapat di ketahui bahwa bangunan itu terbuat dari besi.

Seorang lelaki dengan senyum manisnya muncul. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya dengan nada lembut.

"Tidak juga, sebenarnya kami berdua adalah pendatang. Saat melewati gang tadi saya penasaran dan melihat gedung ini, sebenarnya di sini apa ya?" tanya Alsovi dengan nada yang ramah.

"Oh, di sini adalah pabrik baju. Kami membuat berbagai baju dengan kain yang lembut untuk di kulit," kata pria itu dengan senyum bisnisnya.

"Begitukah? Lalu bagaimana dengan sisa sampahnya?" tanya Alsovi.

"Tenang saja, limbahnya tidak akan mengancam lingkungan dan di buang di tempat yang aman.

"Baiklah terima kasih infonya, saya permisi terlebih dahulu," kata Alsovi lalu menunduk kecil sebelum akhirnya beranjak dari tempat itu. Mereka berjalan menjauhi gang itu.

"Nona, jangan-jangan..."

"Kita tak perlu membuang waktu lagi, aku cukup muak menunggu sekarang," kata Alsovi yang terdengar kesal.

"Nona bisa membuktikan kepada para manusia?" tanya Ezra tak percaya.

"Tentu saja, sebelum itu aku akan memintamu pergi ke suatu tempat," kata Alsovi dengan senyum sinisnya.

....

Alsovi jongkok dan menganbil tanah untuk ia amati sekali lagi. Tak lama para warga datang dengan berbagai senjata tajam, seperti pisau, tombak, pedang, dan obor.

Alsovi yang menyadari kedatangan mereka bangkit dan berbalik ke arah mereka. "Wah, kalau memakai itu, seseorang bisa saja terluka loh," kata Alsovi menahan senyum sinisnya digantikan senyum kecil.

"Tentu saja! Kita harus membunuh monster itu!" kata salah satu warga.

"Tunggu dulu, ia tak sejahat itu!" kata nenek yang bertemu dengan Alsovi kemarin.

"Siapa yang mengatakan bahwa ia adalah peracunnya?" tanya Alsovi yang membuat semuanya terdiam.

"Apa maksudmu? Ada orang lain lagi?" tanya seorang ibu-ibu.

"Tentu saja. Pertama, aku ingin bertanya. Kira-kira tanah ini akibat dari apa?" tanya Alsovi sambil menyodorkan tanah yang ia pegang.

"Tentu saja sihir!" seru seorang warga kesal lalu di iringi teriakan dari warga yang lain.

"Karena inilah aku membenci manusia. Ezra!"

Tiba-tiba Ezra muncul di samping Alsovi. "Persis seperti nona katakan," kata Ezra sambil tersenyum sinis.

"Si-siapa dia?!"

"Oh, um... ia adalah salah satu yang kalian sebut monster," kata Alsovi yang kini tak dapat menahan senyum sinisnya. "Lalu ia akan menunjukkan sesuatu yang mencengangkan."

"Bukan ia pelakunya?" tanya salah satu orang itu.

"Oh, tentu saja bukan, kalau ada badai petir baru salahkan saja ia," kata Alsovi sambil mengabaikan pandangan bingung para warga. "Ezra, kau kembali dan ambil sedikit," kata Alsovi sambil menyodorkan sebuah tempat kecil.

"Yang benar saja nona?!"

"Benar kok, pergi sana," usir Alsovi dan Ezra menghilang dalam hitungan detik.

Tak lama Deron datang bersama laki-laki itu mendekati Alsovi. Semua warga menatap lelaki itu dengan tajam yang membuat lelaki itu maupun Deron merasa takut.

"Ini tanahnya kakak," kata Deron sambil menyerahkan sebuah pot kecil dengan tanah di dalamnya.

Tiba-tiba Ezra datang sambil meyodorkan wadah berisi cairan hitam yang cukup kental. "Ini, bau sekali ini," kata Ezra sambil menutup hidungnya dengan sebelah tangannya yang kosong.

"Sebenarnya apa itu? Dan untuk apa kedua benda itu?" tanya seorang warga bingung.

"Kalian akan lihat sendiri. Oh iya, aku bisa mempercepat waktu tanah itu Ezra?" tanya Alsovi.

"Bisa... hanya saja bisa saja nanti ada asap hingga menjadi api," kata Ezra tertawa pelan.

"Dasar tidak bisa di harapkan," ucap Alsovi pelan.

"Um, aku bisa," kata lelaki itu sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Tidak jangan kau. Deron, apakah aku bisa percaya kepadamu?" tanya Alsovi.

"A-akan aku coba," kata Deron gugup..

"Aku percaya padamu," kata Alsovi sambil mengusap rambut Deron lembut.

Deron mengangguk dengan senyum manis lalu menatapi tanah di tangannya yang telah dicampurkan cairan hitam oleh Alsovi. Setelah beberapa menit tak ada perubahan yang signifikan dari tanah yang di pengang Deron.

"Sebenarnya apa yang ingin kau tunjukan?" tanya salah satu warga yang sudah tidak sabar.

"Kau sudah memajukannya berapa lama Deron?"

"Be-beberapa bulan?" kata Deron ragu.

"Baik itu cukup." Alsovi mengambil pot di tangan Deron dan langsung melepaskannya, membiarkan pot itu pecah. Hal itu pastinya membuat yang lainnya merasa kaget.

Mereka bertambah kaget saat mencium aroma tidak sedap dari dalam tanah itu. Semua saling bertatap-tatapan bingung.

"Apa cairan itu berasal dari sihirnya?" Salah seorang menunjuk lelaki di dekat Deron yang semakin kaget dengan tuduhan itu.

"Bebal. Ezra, tunjukkan saja," kata Alsovi yang sudah kesal.

"Baiklah nona." Ezra menunjukkan kepada para warga jalan, tempat, dan situasi yang dilihatnya di dalam pikiran mereka masing-masing.

"I-ini tidak mungkin."

"Ini pasti ulah kalian saja!"

"Kalau begitu coba kalian kunjungi tempat itu dan buktikan sendiri, ditambah sang empunya tidak ada di sini," kata Alsovi sambil pergi menjauh yang membuat ketiga orang itu refleks mengikutinya.

....

Mereka berempat sampai di rumah lelaki itu dengan ekspresi kesal yang masih saja menempel di wajah Alsovi.

"Sudahlah nona, tak ada gunanya terus seperti itu," hibur Ezra.

"Sejak kapan kau mengatakan sesuatu yang berguna?" tanya Alsovi masih dengan wajah kesalnya.

"Sebenarnya... mengapa anda membantu saya?" tanya lelaki itu bingung.

"Kesal saja saat mereka asal menuduh seseorang yang jelas-jelas tidak melakukan kesalahan," kata Alsovi kesal.

"Hanya... itu?" tanya lelaki itu tak percaya.

"Kenapa? Tak percaya?" tanya Alsovi denga wajah datar.

"S-saya hanya.."

"Katakan saja jika kau tak percaya, aku juga seperti itu kok," kata Ezra sambil merangkul lelaki itu dengan senyum lebar.

Lelaki itu menatap Deron yang mengangguk sambil menunjukkan senyum manisnya.

"Baiklah, misiku kini selsai."

"Selesai?!" tanya Ezra kaget.

"Iya, toh hewan-hewan yang salah tempat kini dapat saling bergantung satu sama lainnya bukan?" tanya Alsovi dengan wajah datar.

"Tunggu, lagi pula dia... tunggu siapa namamu?" tanya Ezra.

Lelaki itu terdiam melihat ketiga orang itu menatapinya dengan tatapan penasaran hingga akhirnya ia menggeleng.

"Kau tidak punya nama?!" tanya Alsovi dengan mata berbinar-binar. "Baiklah, Alsovi yang baik hati, tidak sombong, dan rajin menabung ini akan memberikanmu nama!" kata Alsovi dengan gaya bangga.

"Nona, apa serunya memberikan nama?" tanya Ezra sambil tertawa datar.

"Tentu saja, dengan adanya nama apalagi di saat bukanlah kelahiran. Nama menjadi sebuah harapan baru di masa depan."

Kalimat itu seakan-akan enyentuh hati Ezra dan Deron. Mereka saling mengingat kembali arti nama mereka yang diam-diam telah menjadi harta berharga mereka.

"Harapan? HARAPAN!" seru Alsovi sambil menunjuk lelaki itu yang kaget saat jari Alsovi mengarah kepadanya. "Aku beri namamu adalah Mithnite yang berartikan harapan! Agar kau tak lagi berhenti berharap!"

"Memangnya nona tahu apakah ia pernah berhenti berharap?" tanya Ezra yang membuat Alsovi terbatu di tempatnya.

Lelaki itu tersenyum sedih. "Anda benar, saya tidak boleh lagi berhenti berharap," katanya dengan mata yang berkaca-kaca.

Alsovi terdiam sejenak. "Lalu Dekel yang berartikan pohon palem atau kurma, karena di tempat ini banyak sekali pohon. Apakah kau mau menerimanya?" tanya Alsovi sedikit berhati-hati.

Lelaki itu mengangguk. "Saya akan menerimanya dengan senang hati," katanya dengan air mata yang sudah turun dengan derasnya.

Alsovi mengambil sarung tangannya dan menghapuskan air mata itu. "Apakah aku harus memilih nama lain?"

"Tidak, saya sudah jatuh cinta dengan nama ini," kata lelaki itu yang kini mengenakan nama Mithnite sambil tersenyum manis, mengabaikan air mata yang masih saja mengalir.

Alsovi tersenyum sambil menghembuskan nafas pasrah. "Baiklah jika itu keinginanmu."

Malam itu mereka menghabiskan waktu bersama, untuk yang terakhir kalinya. Keesokan paginya Ezra mengantarkan Alsovi menuju rumahnya. Ia terus melihat Alsovi walau harus terhalang Jendela sampai beberapa menit, hingga akhirnya ia menghilang dari tempat itu.

.... .....

(Inilah yang terjadi saat mereka tahu Alsovi telah tiada.)

Mithnite dan Deron sedang berada di taman untuk memanen beberapa buah-buahan mereka. Tiba-tiba saja terdengar suara isakan. Saat Mithnite melihat ke bawah, Deron sedang menunduk. Buah yang sedang diganggam Deron kini terlihat tetesan air mata yang turun.

Mithnite menahan sakit yang ia rasakan di dadanya. Ia tahu apa yang terjadi, sangat merasakannya. Tangannya meraih buah yang di genggaman Deron dan menarik pelan tangan Deron masuk ke rumah. Membiarkan Deron menangis di dalam kamar.

Dirinya duduk di salah satu kursi makan. Tak butuh waktu lama hingga air mata berhasil mengalir di pipinya. Ia menahan suaranya, ia mencengkram bajunya sendiri, ia mencoba menahan rasa sakit di dadanya yang belum pernah ia rasakan.

Ezra yang berada di labnya sendiri telah berhasil menemukan sesuatu tetapi wajahnya tidak menggambarkan demikian. Ia membiarkan tubuhnya jatuh di atas kursi tanpa tenanga, sampai gelas yang di pegangnya jatuh. Darah menetes, ikut bercampur dengan cairan penemuannya itu.

Tentu saja merasakan perihnya luka tetapi matanya kosong, memikirkan kesakitan yang lebih besar.

.

. .

.

Um... sepertinya inggu lalu saya janji sesuatu ya? ahahaha.... um..

SAYASUPERDUPERMINTAMAAFKEPADAKALIANSEMUA!!!!!

Sungguh saya tak mengira menjadi MABA akan selelah ini. (walaupunnggakadadisusrhaneh-aneh). Jadi saya unggapkan rasa maaf saya yang sebesar-besarnya.

Jika kalian bertanya berapa word kali ini? maka saya akan menjawab lima ribu dua ratus tujuh puluh enam. Ya, nda salah baca 5.276 kata dan itu khusus buat ceritanya aja.  Jadi anggap saja saya sudah up sampai 5 chapie #SLAP.

Sekalian saya ingin mengumumkan bahwa The Different akan pindah tayang, eh maksudnya pindah up. Entah itu sabtu ataupun minggu (saya usahakan sabtu).

Tenang saja saya mencicil dikit-dikit kok, kembali lagi sama hp ngetiknya.  Thanks udah membaca dan menunggu. Have a nice day~ and hari kemerdekaan Indonesia~~ MERDEKA!

-(16/08/2018)-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro