1. Dia Raden

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Tara, editor elo mulai hari ini Raden," beritahu Siska, wanita single 35 tahun, yang sebelumnya adalah editor Tara.

"Kok, diganti Mbak?" Tara bingung.

"Gue ada urusan keluarga mendadak, urgent dan benar-benar enggak bisa ditunda lagi."

"Padahal aku udah nyaman sama Mbak Siska." Tara masih mencoba protes dengan keputusan mendadak ini.

Siska yang sedang merapikan mejanya untuk bersiap-siap mengambil cuti panjangnya, langsung menatap Tara.

"Sorry, Tara. Kali ini benar-benar urgent. Tenang aja, Raden baik dan ramah, kok." Siska mencoba menenangkannya.

"Kapan mau dimulai sama Raden?" tanya Tara.

"Nanti langsung ketemuan aja sama Raden, dia nanti wa elo. Pagi ini dia ada ketemu orang dulu," jelas Siska.

"Emangnya dia udah baca naskahku?"

"Udah dari tadi malam," jawab Siska.

"Baru semalam dibaca, memangnya mau langsung proses editing sama dia?" Tara tidak percaya, naskah yang ia buat dengan sepenuh jiwanya, akan ditangani oleh seorang editor yang bahkan baru semalam melihat tulisannya.

"Tar, tenang. Calm down. Raden profesional, kok. Dia lebih hebat dari pada gue, walau masih muda." Siska menenangkan.

Tara akhirnya pasrah, menerima keputusan Siska. Mau tidak mau, Tara percaya pada Siska mengenai Raden. Siska orang yang perfeksionis, jadi, penilaian dia mengenai Raden, pasti tidak salah.

Tara keluar dari kantor penerbitan buku tersebut, dan langsung memesan taksi online.

Tara, seorang penulis novel chicklit romantis yang sedang mengerjakan naskahnya untuk segera terbit dalam bentuk buku. Ini adalah buku ke-tiganya yang akan dicetak.

Tara, termasuk penulis baru di dunia literasi. Ini adalah tahun ke-duanya ia menerbitkan novel. Ini adalah pencapaian terbesarnya yang sangat ia banggakan.

Dua novel pertamanya terjual hingga 600.000 eksemplar. Ini adalah pencapaian luar biasa untuk seorang penulis baru.

Benar saja, sebuah pesan whatsapp masuk ke ponsel Tara dari nomor yang tidak dikenal.

"Mbak Tara, saya Raden, editor baru kamu. Apa bisa nanti siang kita ketemu di cafe? Sekalian makan siang. Nanti lokasinya saya kirim. Kabari saya secepatnya. Terima kasih."

Begitulah isi pesan dari yang mengaku Raden. Tara cepat-cepat membalas pesan tersebut dan mengiyakan ajakan Raden untuk bertemu. Pesan pun berbalas dan Raden langsung mengirim lokasi tempat mereka bertemu.

Ini masih pagi, Tara sepertinya harus mampir ke kantor suaminya saja seraya menunggu waktu makan siang nanti.
Taksi pesanan Tara datang dan ia langsung menuju kantor suaminya.

***

Saat ini, Tara sedang dalam perjalanan menuju cafe tempatnya ia akan bertemu dengan Raden. Setelah turun dari taksi, ia bergegas memasuki cafe tersebut. Ia belum tahu wajah Raden, ia meraih ponselnya yang berada di dalam tas dan menghubungi nomor pria tersebut.

Tak lama kemudian, sebuah suara memanggil namanya.
Tara langsung menoleh ke asal suara, ternyata seorang pria yang sedang duduk di pojok dekat jendela kaca yang bisa melihat pemandangan di luar, melambaikan tangannya.

Tara segera memutuskan panggilan tersebut dan menghampiri pria tersebut.

"Raden?" Tara memastikan.

Pria itu berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Tara?" tanyanya balik dengan senyum ramah.

Tara menyambut jabat tangan Raden.

Raden mengisyaratkan agar Tara duduk.

"Mbak Tara pesan makanan aja dulu, kita makan siang sebelum bahas novelnya," ujar Raden.

Mereka akhirnya memesan menu makan siang dan makan bersama. Dengan sesekali ada pembicaraan ringan, agar tidak terlalu canggung.

"Jadi, Mbak Tara biasa di editorin sama Mbak Siska, ya?" tanya Raden setelah mereka benar-benar selesai makan siang.

"Iya, dua novel gue dipegang sama Mbak Siska," jelas Tara.

"Kita pake elo-gue aja, ya? Enggak keberatan, kan?" ijin Raden.

"Boleh, santai aja."

"Gue udah baca dari semalem, ada beberapa bagian yang emang harus direvisi. Gue baca, ada bagian yang enggak penting." Raden mengarahkan laptopnya pada Tara. Ia menunjukkan bagian-bagian yang menurutnya tidak penting itu. Semua sudah ia beri tanda warna merah pada dokumen tersebut.

Tara sedikit takjub dengan pekerjaan Raden. Semalaman ia membaca dan langsung memberi revisi. Pendapat Mbak Siska tentang Raden, ternyata tidak salah.

"Ini semalaman elo tandain?" tanya Tara penasaran.

Raden mengangguk.

"Kenapa?" tanyanya kemudian.

"Enggak apa-apa, ya gue suka aja sama cara kerja elo," jawab Tara jujur.

Akhirnya mereka berdiskusi mengenai naskah Tara yang akan segera naik cetak tersebut. Raden sangat komunikatif, Tara juga tidak segan untuk bertanya yang tidak ia mengerti. Keduanya mulai merasa nyaman dengan kerjasama ini.

***

"Gimana editor baru kamu?" tanya Wira, suami Tara.

Saat ini, mereka sedang makan malam di rumah, bersama anak-anak juga.

"Asyik orangnya, enggak songong juga kayak editor kebanyakan."

"Ya dia kan editor penerbit mayor, kan? Udah bukan waktunya lagi buat sok-sokan. Mereka akan lebih profesional," jelas Wira setelah menelan makanannya.

"Mama, hari ini aku ada PR bahasa inggris. Nanti bisa temani Aya ngerjainnya?" tanya Aya dengan mulut penuh makanan–anak pertama Tara yang masih duduk di bangku sekolah SD kelas 6.

"Iya, nanti selesai makan, kita kerjain bareng, ya." Tara mengusap kepala Aya dengan lembut.

"Aldo, gimana tadi di sekolah? Ada PR enggak?" tanya Tara pada Aldo, anak ke-duanya yang masih duduk di kelas 3 SD.

"Hari ini enggak ada PR." Aldo masih serius dengan makanan di piringnya.

"Aku aja yang temani Aya kerjain PR-nya. Kamu mau revisi naskah kamu, kan?" tawar Wira.

"Enggak apa-apa, masih bisa kok aku temani Aya. Nanti malam aku, kan bisa lanjut."

"Kamu yakin?" Wira memastikan.

Tara mengangguk sambil mengunyah makanannya.

Sekarang sudah hampir pukul 22.00, Tara langsung mengirim pesan pada Raden setelah ia selesai menemani Aya mengerjakan PR-nya.

Tara segera mengecek emailnya. Ia melihat hasil revisiannya dan setelah yakin dan puas, ia mengerjakan revisi lainnya.

"Gimana progress novel kamu?" Tiba-tiba Wira datang masuk ke ruang kerja Tara. Sebenarnya ini bukanlah ruang kerja, awalnya ini hanya sebagai ruang baca atau ruang menyendiri untuk Tara.

Setelah novelnya sukses, ia akhirnya mengubah ruangan kecil ini menjadi ruang kerjanya yang nyaman.

"Masih lancar-lancar aja," jawab Tara seraya mengetik di laptopnya.

Wira meraih ponsel Tara yang berada di samping laptopnya.
Hening beberapa saat, kemudian Wira meletakkan kembali ponselnya.

"Ya udah, aku juga masih mau ngecek beberapa berkas lagi. Aku tinggal, ya?" Wira mengecup puncak kepala Tara dengan penuh kasih.

"Iya. Kamu mau aku buatin teh hangat?" tanya Tara.

"Enggak usah, aku lagi minum infused water punya kamu yang ada di kulkas," jawab Wira.

"Oiya, aku lupa!" Tara sontak menepuk keningnya.

"Nanti aku suruh Mbak Yanti bawa infused water satunya ke sini, ya?"

"Oke, tolong ya, sayang." Tara nyengir menunjukkan deretan giginya yang putih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro