2. Pengakuan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tara yang masih disibukkan dengan naskah yang harus ia revisi, dikejutkan dengan kedatangan tiba-tiba Wira pulang dari kantor lebih awal. Ini masih pukul 13.00, Tara melongok ke luar jendela, melihat mobil Wira yang sudah masuk ke dalam halaman rumahnya. Ia segera keluar dan menghampiri Wira.

Masih berdiri di depan pintu, ia menunggu suaminya turun dari mobil. Tak lama kemudian, Wira keluar dari mobil dan ia menghampiri Tara yang berdiri di depan pintu rumahnya.

"Tumben, Yah, kamu pulang jam segini?" tanya Tara penasaran seraya mengecup punggung tangan suaminya.

"Besok aku harus ke Medan, kemungkinan sebulan aku di sana," jelas Wira setelah ia duduk di sofa ruang tamu. Melonggarkan dasinya dan terasa aura kelelahan darinya.

"Kok, mendadak, sih?"

"Pak Yoga tiba-tiba serangan jantung, sekarang dia di opname. Jadi, aku harus gantiin. Enggak ada yang paham proyek di Medan, yang lainnya masih baru semua," jelas Wira.

"Ya ampun! Terus, keadaan Pak Yoga gimana sekarang?" tanya Tara cemas.

"Belum tahu, tadi istrinya ngabarin cuma sekali pas dia masuk opname. Semoga baik-baik aja."

"Jadi...besok kamu berangkat jam berapa?" tanya Tara.

"Take off jam 07.05, jadi aku harus jalan ke bandara jam 04.00-an." Wira membuka tasnya dan mengeluarkan ponselnya, ia memberikan pada Tara agar ia melihat jadwal penerbangan esok hari.

"Pagi banget!" keluh Tara.

"Ya udah, aku siapin dari sekarang. Kamu mandi dulu sana! Biar segar. Nanti aku buatin teh hangat." Tara bergegas ke dapur dahulu untuk membuat teh manis hangat untuk suaminya, sebelum ia ke kamar untuk menyiapkan pakaian Wira yang akan ia bawa esok hari.

***


Setelah hampir semuanya siap, Tara berpikir untuk rehat sejenak. Ia hanya tinggal menunggu Wira melihat isi kopernya, apakah ada yang ingin ditambahkan atau tidak. Ia meraih ponsel yang sejak tadi berbunyi di atas ranjangnya. Ia duduk di atas ranjang dan membuka satu per satu pesan di ponselnya.

Setelah selesai membalas pesan dari Raden, ia meletakkan kembali ponselnya. Masih ada beberapa pesan yang sengaja belum ia buka. Karena ia masih sibuk mengurusi Wira. Ia hanya membalas pesan dari Raden, karena takutnya ada sesuatu kabar penting mengenai naskahnya.

Keesokan harinya, tepat pukul 04.00, Tara sudah beres masak dan mandi. Ia hanya menyiapkan kembali apa yang dibutuhkan oleh suaminya. Beberapa saat kemudian, taksi online pesanannya datang. Wira dan Tara segera memasukkan koper ke taksi, setelah berpamitan dan mencium punggung tangan suaminya, taksi yang membawa Wira berlalu.

Kini Tara bisa melanjutkan kembali revisi novelnya. Ia harus mengerjakan ini secepat mungkin, agar tidak memakan waktu lama.

Siangnya, Tara kembali sibuk mengantarkan anak-anaknya sekolah.


Tara hanya senyum-senyum sendiri melihat chat Raden yang sedikit random. Ia merasa Raden orangnya asyik diajak berdiskusi, hingga berteman dekat. Tara membawa mobilnya menuju suatu kedai makan yang tidak jauh dari tempat anaknya bersekolah. Ia sudah sangat kelaparan, akhirnya memilih tempat terdekat saja.

***

"Aya, Aldo, kalau memang enggak ada PR, kalian bisa tidur, ya. Jangan main ponsel sampai malam," ujar Tara pada kedua anaknya.

"Iya, Ma. Ini Aya mau sikat gigi dulu," sahut Aya.

"Aldo?" Tara memastikan Aldo yang berada di kamarnya.

"Iya, ini Aldo udahan mainnya." Aldo segera mematikan ponselnya dan ia bergegas ke toilet untuk menggosok giginya.

Setelah menunggu mereka selesai menggosok gigi, Tara menghampiri mereka ke kamarnya masing-masing dan mengucapkan selamat tidur.

Kini ia bisa dengan santai mengedit novelnya, untungnya tadi sore, sebagian chapter dari ceritanya sudah dicek oleh Raden lewat email. Semuanya aman. Tara bisa tenang, kini ia hanya harus menyelesaikannya dengan baik.

Tara begitu asyik mengerjakan novelnya, tak terasa sudah sangat malam. Tiba-tiba ponselnya bergetar dan ia langsung membuka pesan tersebut.

Tara memandangi isi chat dari Raden dan membacanya beberapa kali. Ia hanya ingin memastikan, kalau chat tersebut adalah suatu guyonan. Raden itu tipikal yang lebih sering bercanda. Setelah beberapa saat, Tara menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan Raden yang selalu saja jahil padanya. Ia kembali menatap laptopnya, membaca sekali lagi naskah novelnya yang baru saja ia revisi. Hanya ingin memastikan, kalau tidak ada typo.

***

Keesokan harinya, Raden mengirim pesan untuk mereka makan siang bersama. Setelah Tara mengantarkan kedua anaknya ke sekolah, ia begitu terkejut ketika melihat Raden sudah ada dekat area sekolah anaknya.

Memang sebelum ini, ada pembicaraan mengenai Raden bertanya soal lokasi sekolah anak Tara.
Tara langsung menghampiri Raden yang sedang berdiri di dekat mobilnya. Raden tampak lebih rapi dan ia tersenyum hangat pada Tara.

"Kok, elo ada di sini?" Tara heran.

"Gue di sini dari jam 11, takut enggak ketemu elo," jawab Raden.

"Ya ampun, kita janjian aja di tengah-tengah, biar elo enggak kejauhan ke sini, Ra."

"Gue sengaja ke sini emang mau nemuin elo," jelas Raden dengan tatapan yang berbeda dari biasanya.

Tara sedikit canggung dengan yang Raden tunjukkan hari ini.

"Ya udah, kita makan deket sini aja."

Raden dan Tara memasuki mobilnya masing-masing, Raden mengikuti mobil Tara. Hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah restoran. Mereka pun memasuki restoran tersebut.

Setelah duduk dan memesan menu makan siangnya, mereka terlibat pembicaraan santai hingga membahas novel-novel Tara sebelumnya yang sudah dicetak dan mendulang sukses. Banyak kata pujian di sana keluar dari bibir Raden. Itu membuat Tara malu, ia merasa belum pantas menerima pujian seperti itu. Karena ia yakin, di atasnya masih banyak penulis yang lebih hebat dari pada dirinya.
Ia canggung jika dipuji-puji seperti itu.

"Tara, soal semalam...gue serius." Tiba-tiba Raden berubah menjadi lebih serius ketika mereka selesai makan siang.

Tara yang sedang menyeruput es teh manisnya, hanya bisa membeku.

"Soal gue suka sama elo. Beneran suka, naksir," jelas Raden lagi.

"Ra, elo tahu, kan, gue istri orang?" Tara bertanya dengan hati-hati.

"Gue tahu. Tapi, perasaan suka kita ke orang, kan enggak bisa ditebak bakal berlabuh di mana."
Raden menatap lurus tepat di netra cokelat Tara.

"Elo tuh aneh! Kenapa harus suka sama gue? Gue istri orang, Ra."

"Ya, gue suka sama elo. Gue tertarik sama elo. Gue enggak minta pengakuan, kok. Gue mau ungkapin aja perasaan gue. Gue enggak akan nuntut apa-apa sama elo," ungkap Raden.

"Gue speechless, Ra." Tara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya seraya punggungnya bersandar pada kursi.

"Elo enggak harus ngapa-ngapain, kok. Kita begini aja, gue nyaman sama elo." Raden tersenyum lembut ke Tara yang hanya bisa membeku.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro