The Eyes-3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Mereka ... adalah kita di masa lalu."

Kalimat Davendra nggak masuk akal sama sekali. Siapa yang percaya bahwa aku dan Davendra pernah hidup sebelumnya? Aku? Nggaklah. Mau dia teriak pakai toa sekolah pun aku yakin nggak akan ada yang percaya dengan ucapannya.

"Lo ngelindur, ya? Dari lahir nama gue Dineschara, bukan Rara."

"Nyadar nggak Dineschara dan Rara itu namanya mirip?"

"Ya terus kenapa kalau mirip? B aja kali. Nothing special with them. Banyak yang punya nama mengandung Ara atau Ra. Itu nggak bisa dijadiin patokan kalau pemilik-pemilik nama tadi ada hubungan."

"Ini nih alasan gue selama ini diam. Karena gue tahu lo nggak bakal percaya dengan mudah. Belum waktunya lo tahu."

"Sumpah, ya. Lo aneh banget hari ini, Dave. Dua tahun kita ada di sekolah yang sama, tapi sekali pun nggak pernah ngomong. Eh, hari ini malah kita bisa duduk berdua dengan omongan absurd lo yang nyaingi teori bumi itu datar. Berasa kayak kita udah kenal tahunan sampai nggak ada canggung sama sekali."

Aku tetap kesal, walaupun sebenarnya senang bisa bicara panjang lebar dengan Davendra. Tapi, ucapannya itu benar-benar nggak masuk akal.

Ah, tunggu. Tunggu sebentar.

Apa karena selama ini orang-orang menganggapku nggak waras, jadi Davendra pun ikut-ikutan? Mungkin baginya aku pantas dilibatkan dengan topik yang absurd parah. Begitukah? Hatiku mendadak sakit. Ada sedikit goresan karena kecewa Davendra memiliki penilaian yang sama dengan anak-anak lain. Aku kira selama ini dia diam karena memang nggak peduli dengan eksistensiku. Maksudku, aku bukan orang yang pantas dikasih perhatian. Jadi, dia ya cuek saja gitu Tapi gimana kalau diamnya dia ternyata karena ingin menjauhi masalah bernama Dineschara Zanitha?

"Lo anggap gue gila, 'kan, sama kayak yang lain? Bagi lo lucu, 'kan, bikin gue bingung dari tadi?"

Harusnya aku nggak mengharapkan apa pun dari Davendra, apa pun. Berharap pada manusia memang selalu menciptakan luka.

"Dineschara, lo salah paham."

Aku menarik tangan Davendra, sehingga aku bisa kembali menatapnya. Davendra kelihatan serius saat berkata sekali pun dia nggak pernah berpikir aku adalah gadis aneh. Apa aku harus percaya dengannya?

"Gue bakal jelasin pelan-pelan. Lo jangan mikir gue sama kayak yang lain. Cuma gue yang paling tahu lo kayak apa."

"Emang lo bisa dipercaya?"

"Bisa. Gue janji bakal jelasin semuanya."

"Semuanya?"

"Iya."

"Janji?"

"Janji."

Aku tersenyum malu-malu, merasa seperti anak SD yang lagi minta jajan ke kakaknya. Cara Davendra menatapku juga bikin salah tingkah, apa lagi saat ini dia senyum.

"Masih sakit?"

Please ya aku nggak bisa dikasih perhatian sama gebetan. Mau meleleh soalnya! Huaaaa!

"Udah nggak, thanks. By the way, kok, lo bisa ngilangin rasa sakit gue? Kayak dukun, loh."

Entah apa yang salah dari ucapanku, Davendra malah ngakak.

"Gue bukan dukun, Dineschara. Gue cuma Davendra-nya lo."

Eh? Eh? Gimana? Gimana? Aku salah dengar, 'kan?

"Muka lo merah. Seneng ya gebetan selama dua tahun akhirnya mendekat?"

Eh? Eh? Gimana? Jadi, dia tahu? Kok, bisa? Kok membingungkan gini, sih?

"Gue tahu selama ini lo suka sama gue, Dineschara."

Kalau dia ngakak, aku akan percaya pada pemikiran bahwa Davendra cuma bercanda. Masalahnya, saat ini dia menatapku dengan cara yang nggak pernah aku temui. Dia menatapku seolah-olah aku adalah seseorang yang begitu dia sayangi. Di matanya aku melihat kasih tulus. Tapi jelas aku meragukan semua itu. Karena semuanya memang nggak masuk akal.

"Lo bikin gue bingung, Davendra."

"Gue juga bingung selama ini, Dineschara. Gue bingung gimana caranya menyayangi lo tanpa perlu mendekat. Gue hampir frustrasi cuma bisa ngelihat lo tanpa nyentuh."

Saat ini angin berembus pelan. Beberapa helai rambutku bergerak dan beberapa ada yang sampai menutupi mataku. Davendra menjulurkan tangan, kemudian menyentuh helai-helai rambutku yang berantakan. Kami bertatapan dalam diam, dalam rasa dan kebingungan yang nggak terjabarkan. Sekali lagi aku merasa bahwa Davendra memanglah menganggapku sebagai perempuan istimewa.

"Jelasin satu-satu ke gue, Dave. Gue clueless tentang semua yang terjadi dari tadi."

Kedua rahangku disentuh Davendra. Sentuhannya membuatku merinding. Karena satu-satunya laki-laki yang berinteraksi seintim ini denganku adalah Davendra. Aku masih tabu dengan kontak fisik kami, tapi anehnya aku nggak melarang Davendra untuk menyentuhku.

Seperti ini adalah suatu kewajaran.

"Gue janji. Nanti mau duduk bareng?"

"Maksudnya di kelas?"

"Ya."

What?! Beneran nih? Boleh nih duduk sama cowok populer yang tiap hari disapa cewek-cewek duluan?

"Serius? Lo nggak bercanda, 'kan?"

"Ngapain gue bercanda? Udah terlanjur dekat gini, ya udah sekalian ajalah nggak usah nutup-nutupi."

Tiba-tiba saja aku terkikik. Davendra terlihat penasaran atas reaksiku.

"Nggak kebayang gimana gemparnya kelas kalau lo duduk bareng gue. Buset dah. Bisa ditraktir bakso beracun kali gue sama cewek-cewek yang ngejar lo selama ini."

Davendra ikut terkikik. Tahu nggak? Dari dekat seperti ini dia sangat menawan. Apa-apa yang ada di wajahnya terlihat pas. Alis panjangnya yang hitam, mata cokelat, hidungnya yang lebih bangir dariku, bibir tipis kemerahan, dan aku nggak tahu apa yang dipikirkan Tuhan saat menciptakan Davendra.

Karena ... dia begitu sempurna. Oke, oke. Mungkin aku menilainya secara objektif. Mungkin ada yang lebih tampan dari Davendra. Tapi yang kutahu, hatiku sejak dua tahun lalu nggak pernah berpaling darinya. Nggak peduli ada berapa banyak cowok populer yang selalu menjadi perbincangan, aku tetap hanya kagum pada Davendra.

"Balik kelas?"

"Oke," jawabku.

Davendra lebih dulu berdiri, lalu tangannya terulur. Tanpa ragu aku menerimanya dan menggenggam erat agar aku tidak jatuh saat berdiri.

Kami keluar dari semak-semak, meninggalkan lapangan, dan saat tiba di kelas aku sangat yakin semua mata tertuju pada kami. Wajah para perempuan di sini sangat menyeramkan. Sesuai prediksi, mereka kesal aku dan Davendra bisa bersama. Dan tatapan menyeramkan mereka semakin menjadi saat Davendra memindahkan tasnya ke bangkuku.

"Ngapain lo pindah, Dave?" Andra, teman sebangku Davendra bertanya.

"Mau duduk sama Dineschara."

"Ada apa nih? Lo PDKT sama dia?"

Serius, Andra terlihat kebingungan. Dia sampai membalik badan saat Davendra udah duduk di sampingku.

"Iya, gue PDKT sama dia."

Kelas cukup berisik, tapi kurasa masih ada yang mendengar pernyataan Davendra sehingga beberapa anak berbisik.

"Jadi si Dine yang lo incar makanya nggak tertarik sama cewek lain? Parah lo, Dave, selama ini nggak ada cerita apa-apa!"

Andra menyentil kening Davendra. Dua cowok ini kalau kuperhatikan memang sering melakukan itu pada satu sama lain dalam situasi-situasi tertentu.

"Nanti gue ceritain. Santai, Bro."

"Ada traktiran nggak nih?"

Bukannya langsung menjawab pertanyaan Andra, Davendra malah menatapku.

"Apa?" tanyaku.

"Pulang sekolah mau nongkrong bentar bareng Andra?"

"Bertiga?"

"Iya."

Aku dan Davendra nyambung saat ngobrol. Sepertinya ggak apa-apa kalau aku ikut?

"Oke, gue ikut."

"Oke, Ndra, gue traktir nanti."

"Gila, ya. Baru PDKT udah nurut bener lo sama si Dine. Parah. Kayaknya bakal ngebucin lo sama dia."

"Gue emang ngebucin sama dia. Sengaja gue sembunyiin selama ini," sahut Davendra sembari menatapku.

Andra masih terheran-heran dengan sikap Davendra. Aku? Aku rasanya mau meletus karena kegirangan. Sumpah, jantungku seperti mau meledak jadinya. Dan wajahku panas banget. Ini seperti nggak nyata. Siapa yang akan percaya bahwa kami akan dekat dalam sekejap?

Maia. Ini semua karena Maia. Kalau dia tidak mendorongku untuk mencium Davendra, mungkin ini semua nggak terjadi. Ah, tapi di mana dia ya?

Aku menatap ke sekeliling, lalu pandanganku terpaku pada pemandangan di luar kelas. Jendela yang tidak tertutup tirainya membuatku dapat melihat bahwa makhluk-makhluk itu berkumpul lagi. Tanpa sadar aku menggeser duduk dan nyaris saja terjatuh kalau pinggangku tidak dicengkeram Davendra.

"Hei, kenapa?" tanyanya.

"Gue nggak ngerti kenapa mereka ada di sana."

Aku menundukkan wajah, lalu menunjuk ke arah jendela. Aku sebelumnya nggak takut dengan apa pun, tapi melihat jumlah mereka yang banyak, aku jadi bergidik.

"Mereka mau minta bantuan lo, Dineschara."

"Bantuan? Bantuan apa?"

"Untuk ngebebasin mereka dari dunia ini, membuka jalan langit untuk mereka yang masih tertahan."

Davendra nggak bercanda, 'kan? Nggak ada gunanya juga kalau dia merangkai cerita nggak masuk akal itu. Tapi ... kenapa aku? Memang aku punya apa sampai mereka berharap mendapat bantuanku?

"Lo tahu banyak ya, Dave."

"Banyak. Gue pasti kasih tahu lo perlahan-lahan."

"Terus gimana cara ngusir mereka? Gue ngeri lihatnya."

Davendra menghela napas panjang.

"Nggak bisa diusir kalau sekarang. Tapi untuk saat ini lo aman karena mereka nggak bisa dekat banget sama lo. Jarak itu nggak bisa mereka tembus, kecuali lo mengijinkan."

Aku mengangguk-angguk, walau sebenarnya masih nggak paham. Selama ini aku hanya melihat dan sekadar berkomunikasi dengan mereka yang mau berteman denganku. Tapi jika disuruh membantu mereka yang sebanyak itu untuk nggak lagi bergentayangan, rasanya aku nggak sanggup.

Sudahlah. Lupakan untuk sekarang. Yang penting mereka tetap jaga jarak dariku. Yang penting aku nggak tiba-tiba diserang.

Jam pelajaran ketiga dan keempat sudah berlalu. Bel istirahat kedua berbunyi. Tadinya nggak mau ke kantin, tapi perutku bunyi dan Davendra mendengarnya. Tawanya tertahan saat aku tersenyum malu-malu.

"Ayo, ke kantin."

"Bareng, Dave?"

"Ya kenapa nggak?"

"Nggak takut diomongin anak-anak?"

"Nggak. Ayo, cepat."

Finally aku punya teman beneran yang bisa diajak ke kantin. Receh banget kesenanganku.

"Ndra, gue mau ke kantin. Lo mau nitip?"

Andra yang lagi sibuk teleponan menggeleng, lalu memberi gerakan mengusir. Kalau sebelumnya kening Davendra yang disentil, kali ini milik Andra yang jadi sasaran. Lalu karena dia masih bicara dengan seseorang di telepon-kurasa pacarnya-Andra hanya terlihat menahan kesal. Dan Sementara itu, Davendra tersenyum puas

Aku yang nggak pernah melakukan hal konyol dengan sahabat jadi merasa iri. Boro-boro sahabat, teman pun nggak punya. Aih!

Davendra dan aku keluar kelas bersama. Tatapan-tatapan nggak suka dari berbagai sudut bisa aku rasakan. Gini, ya, rasanya jalan sama most wanted sekolah?

"Dineschara, gue mau ke toilet. Lo mau nunggu atau ke kantin duluan?"

"Gue tunggu aja. Gih, sana."

Ada toilet yang berdekatan dengan kantin. Tapi sebaiknya aku menunggu Davendra saja. Saat aku sedang melihat-lihat sekeliling, seseorang menarik tanganku. Aku yang nggak fokus jadi hampir terjatuh.

"Eh, Freak, lo apain si Davendra sampai mau nempel sama lo?!"

Sialan. Datang-datang ngajak ribut, pakai bawa geng segala.

Namanya Zaza, anak kelas sebelah. Aku tahu dia mengejar Davendra sejak lama. Hampir setiap hari Zaza datang ke kelas bawain ini itu, tapi Davendra selalu menolaknya. Saat ini dia kelihatan marah, tanganku masih dicengkeram dan nggak bisa aku lepas. Kuat sekali dia ini.

"Gue nggak punya kewajiban untuk ngasih lo penjelasan, Zaza."

"Berengsek, ya! Gue ngejar-ngejar Davendra selama ini, tapi lo yang bisa nempel sama dia! Nih, buat lo!"

Aku terbeliak dan memalingkan wajah saat Zaza mengambil sebotol minuman tanpa tutup dari temannya lalu mengarahkannya padaku. Maunya aku menjauh, tapi benar-benar nggak bisa. Zaza benar-benar kuat mencengkeram tanganku.

Di saat aku pasrah akan kena siram, sebuah pelukan hangat melindungiku. Aku menaikkan wajah, lalu bertemu dengan mata Davendra dan senyumnya yang hangat.

"Lo nggak apa-apa?"

Pertanyaan itu dia lontarkan untukku, padahal kini punggungnya basah karena melindungiku.

To be continued

Penasaran nggak?

Meleleh nggak?

Follow ig putriew11 dan FB Putrie W

Lav,
Putrie

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro