The Eyes-4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana mendadak gaduh. Zaza memekik dan meminta maaf karena punggung Davendra basah.

"Dave, Dave, sorry. Gue nggak maksud nyiram lo."

Tapi Davendra nggak menggubris Zaza sama sekali. Laki-laki ini cuma fokus ke aku, bahkan segera ngajak pergi dari sini tanpa peduli orang-orang berkerumun untuk menonton kami.

"Sialan! Lo apain, sih sampai Davendra nggak noleh gue sama sekali?!"

Aku berniat mengabaikan ucapan Zaza. Tapi rambutku yang dikuncir satu malah ditarik, sampai-sampai aku yang sedang berjalan hampir terjatuh ke belakang kalau saja Davendra nggak menahan tubuhku. Hah! Cewek ini benar-benar niat ngerjain aku, ya. Maunya aku balas dia, tapi Davendra menggengam erat tanganku.  Zaza mendelik melihat kami, tapi aku bisa melihat keberaniannya menciut saat Davendra melangkah mendekatinya.

"Jangan ngabisin sabar gue, Zaza."

"Tapi gue suka sama lo, Dave! Gue yang suka sama lo selama ini!"

Aku nggak bisa berkata-kata menyaksikan adegan ini. Hal begini bahkan nggak pernah aku bayangkan sama sekali.

"Gue sukanya sama Dineschara. Sampai sini lo paham?"

Hah?! Kupingku nggak rusak, 'kan?

Anak-anak makin heboh, terang-terangan ada yang mengatakan kalau ini sesuatu yang ajaib. Pasalnya, siapa yang nggak kenal Davendra? Dan si cowok populer itu menyatakan suka seorang gadis freak di hadapan puluhan orang. Keadaan parah banget. Mereka nggak mau sibuk menutup mulut demi menjaga perasaan orang-orang yang terlibat. Bahkan ada yang menertawai Zaza karena kalah bersaing dengan aku yang nggak punya keistimewaan.

Hah. Orang-orang ini memang menyebalkan. Menonton permasalahan orang lain selalu terasa seru ya untuk mereka.

"Lo tega, Dave!"

Zaza menangis. Sebelum berlari pergi, dia sempat ngasih jari tengahnya ke aku. Ya aku balaslah ngasih jari tengah. Hal itu yang sepertinya bikin Zaza tambah marah dan bersumpah bakal balas dendam. Jujur, aku nggak pengen punya musuh, tapi kalau terus-terusan dijadiin objek kemarahan nggak beralasan gini ya aku juga bisa bereaksi, kok.

Anak-anak mulai bubar. Aku dan Davendra juga batal ke kantin. Kami balik ke kelas dengan pandangan penuh tanya banyak orang. Aku yang sudah biasa mendapat tatapan nggak bersahabat, nggak lagi ambil pusing. Bodo amat mereka mau mikir apaan saat ini.

"Kalau dia ngeganggu lo lagi, bilang sama gue."

Aku memelankan langkah agar bisa memandang Davendra. Dia mengedipkan satu matanya, lalu mengusap-usap kepalaku sebentar.

Apa ini kenyataan? Davendra bersedia melindungi aku? Dia benar-benar jadi orang yang mau berjalan di sisiku?

"Baju lo basah. Gimana, ya?"

Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Rasanya masih menguntungkan sama sikap dan ucapan-ucapan Davendra.

"Oh, gampang. Gue selalu bawa baju olahraga. Nanti gue ganti."

Ah, syukurlah. Aku jadi nggak terbebani kalau dia harus memakai seragam basah sampai pulang sekolah nanti.

"Sorry, gara-gara gue lo jadi basah."

Tiba-tiba Davendra menghentikan langkah. Kami sudah berada di depan kelas dan seketika menjadi pusat perhatian anak-anak lain yang pastinya penasaran kenapa aku dan Davendra berdiri berduaan.

"Gue yang minta maaf karena selama ini cuma diam padahal gue tahu anak-anak sering sinis ke lo."

Aku senang mendengarnya, tapi ... sesuatu merayapi hatiku. Rupanya aku nggak bisa langsung mengabaikan fakta kalau kami baru mulai ngobrol hari ini dan perasaan asing itu masih ada. Davendra membuatku nyaman, tapi ternyata jarak itu belum benar-benar hilang. Saat ini aku tersadar kalau apa yang dia lakukan sejak beberapa jam lalu mungkin cuma kegabutan saja. Maksudku, aku tetap harus menjaga kewaspadaan.

Karena kalau ini cuma mimpi, aku harus siap mendapati semuanya lenyap saat aku terbangun, 'kan?

Walau Davendra bilang suka sama aku di depan orang lain, nyatanya kami selama ini hanya diam. Kami butuh waktu untuk bicara lebih banyak sebelum aku bisa percaya 100% kalau dia memang beneran ada rasa ke aku. Dan juga tentang hal-hal nggak masuk akal yang dia ucapin di lapangan tadi.

"Dave, tadi sesaat gue kayak bukan jadi diri sendiri. Gue terlalu senang dan nggak percaya kalau kita bisa ngobrol. Tapi sekarang gue udah balik jadi Dineschara Zanitha yang penyendiri. Lo nggak usah terlalu baik sama gue, takutnya gue patah hati di belakang. Gue emang suka sama lo sejak dua tahun lalu dan gue sebenarnya nggak butuh balasan. Pelan-pelan, oke? Gue nggak mau terluka, Dave."

Jantungku berdetak nggak normal selama bicara. Bungkamnya Davendra sempat membuatku berpikir kalau dia marah dan merasa aku cewek nggak tahu diri. Tapi nggak lama kemudian, Davendra tertawa kecil sambil mengatai dirinya sendiri bodoh. Aneh, deh.

"Iya, pelan-pelan. Sorry gue kelewatan ngomongnya. Lo belum tahu apa-apa tapi gue terus bilang ini itu yang nunjukin perhatian. Gue bakal hati-hati, biar lo tetap nyaman."

Aku mengangguk setuju. Tadinya aku merasa meledak-ledak bisa dekat dengan Davendra secara tiba-tiba. Tapi kurasa bakal lebih baik kalau selanjutnya kami nggak buru-buru dalam berinteraksi. Aku juga belum paham situasi yang Davendra maksud. Terlalu gegabah kalau aku langsung percaya dia, 'kan?

Kami masuk kelas, pastinya diperhatiin terus sama anak-anak. Aku sih sudah nggak ambil pusing apa pendapat mereka. Lagian, aku nggak merugikan siapa-siapa.

"Kenapa baju lo, Dave?" Andra bertanya.

"Kena siram Zaza."

"Heh? Nggak salah? Tu anak kan naksir sama lo."

"Dia mau nyiram Dineschara, tapi malah kena gue."

Nggak salah yang Davendra bilang. Tapi kenapa dia nggak lebih spesifik menceritakannya? Tadi itu bukan hanya sekadar salah sasaran, Davendra yang sengaja menghalau air itu biar nggak kena aku.

"Gara-gara lihat kalian bareng, ya?"

Davendra mengiyakan pertanyaan Andra sembari mencari sesuatu di tasnya.

"Nah, Dine, kelar hidup lo kalau Zaza udah marah gitu. Digangguin melulu lo nanti."

"Gue nggak takut, ya. Tiap hari juga di sekitar gue banyak gangguan."

Andra ngakak.

"Iya, bener juga. Tinggal keluarin aja kegalakan lo kalau Zaza berulah."

Aku menutup mata, berniat nenangin diri dan nggak lagi menjawab Andra.

"Kyaaaa!"

Teriakan beberapa anak perempuan menyita perhatianku. Dan aku baru sadar kalau yang membuat mereka histeris adalah Davendra. Cowok ini buka baju di kelas, memperlihatkan perutnya yang kayaknya keras, dan mengakibatkan kelas gaduh. Dan aku, berusaha nggak buka mulut karena khawatir bakal lebih heboh dari yang lain. Tapi please kasih aku pencerahan, kenapa bahu Davendra bisa lebar dan kelihatan nyaman gitu, ya?

"Kyaaaa! Davendra, Lamaan lagi dong buka bajunya!"

Entah siapa yang teriak, tapi Davendra nggak menggubris. Dia santai memakai baju olahraga, sehingga perutnya kembali tertutup. Dan setelah itu dia duduk, menatapku yang masih syok karena pemandangan indah barusan.

"Woy! Kedip, Dine, kedip!"

Andra menekan lenganku dan membuatku geleng-geleng demi mendapatkan fokus kembali.

"Iyalah, dari tadi gue juga ngedip."

"Heleh! Jelas-jelas lo bengong pas Davendra buka baju."

Aku berdecak dan melotot pada Andra, sedangkan Davendra tertawa kecil.

"Kenapa? Terpesona sama badan gue, Dineschara?"

Tatapannya menggoda banget. Gila. Aku tumbenan diginiin.

"Iya, gue terpesona. Masalah?"

Davendra nggak bereaksi apa pun, senyumnya juga lenyap. Kayak syok gitu dengar jawabanku.

"Eh, buset! Ternyata ni anak jujur amat! Anjir!" Andra meledekku, lalu ketawa.

Sementara itu Davendra menyisir rambutnya dengan tangan dan nggak lagi menatapku. Tapi, perasaanku saja atau gimana, ya? Kok, wajah Davendra memerah?

"Dineschara, gue sama Andra ke lantai atas bentar nyari teman. Lo tunggu gue di sini aja. Nanti gue turun nyari lo."

"Oke."

Aku membereskan buku-buku, sedangkan Davendra dan Andra meninggalkan kelas lebih dulu. Anak-anak yang lain juga pada ngantre keluar, sampai akhirnya tinggal aku sendirian di sini. Di luar jendela, aku masih bisa melihat makhluk-makhluk itu berkerumun. Mereka benar-benar nggak mendekat. Saat aku lewat pas ke kantin dan balik kelas tadi, mereka bakal mundur. Intinya, mereka memang nggak bisa mendekatiku lebih dari itu.

Ngomong-ngomong, Maia mana ya?

"Dineschara."

Aku tersentak karena tiba-tiba Maia ada di depan pintu. Auranya ... muram banget.

"Lo ke mana aja, Hantu? Lo nggak tanggung jawab soal kejadian tadi, hah? Kesel gue. Terus lo ngapain di sana? Sinilah duduk dekat gue."

Maia menggeleng. Sejenak auranya memang suram, tapi kini dia tersenyum dan sedikit menghilangkan perasaan merindingku.

"Gue nggak bisa lagi dekat-dekat sama lo. Tapi gue seneng akhirnya ketemu manusia yang bisa bantuin gue. Gue minta tolong, Dineschara."

"Hah? Ngomong apa, sih? Nggak jelas banget."

"Nanti lo juga paham. Baik-baik ya lo. Gue berharap banget bantuan lo nanti."

Eh, apa sih? Habis bicara nggak jelas, dia juga pergi gitu saja.

Ugh! Pusing mikirin hal aneh seharian ini. Better aku cuci muka dululah.

Tas sengaja aku tinggalin di meja, supaya Davendra tahu kalau aku bakal balik lagi ke sini. Siapa tahu dia datang duluan saat aku masih di toilet. Untungnya di ujung lantai ini ada toilet, jadi aku nggak perlu turun tangga ataupun ke lantai atas.

Aku sedang di bilik toilet saat mendengar derap langkah yang ramai. Oh, mungkin ada anak-anak kelas lain di lantai ini. Tapi aku lumayan syok saat membuka pintu, Zaza dan tiga temannya berdiri menyambutku. Aku melongok ke arah pintu utama dan ... pintu itu tertutup.

"Kenapa? Takut lo?" Zaza menyeringai setelah bertanya.

Tenang, Dineschara, tenang.

Aku membuang napas panjang, lalu menabrak tubuh mereka untuk mencuci wajah di wastafel.

"Sialan. Berani lo bergaya saat udah terpojok?"

Lalu tragedi kembali terjadi. Baru hendak menyalakan keran, rambutku ditarik kuat sampai ikatannya terlepas. Aku akan menarik tangan Zaza, tapi ternyata dua teman Zaza memegangi tanganku.

"Mau main keroyokan, Bitch?" ejekku pada Zaza yang kini melotot.

"Lo yang jalang! Beraninya ngerebut Davendra!"

Aku tertawa meski Zaza memerintahkan satu temannya yang lain untuk memegangi kakiku. Bisa dibayangkan posisinya, 'kan? Ya, aku tawanan mereka saat ini.

"Lo kira Davendra barang sampai bisa direbut? Pantas aja dia nggak suka lo. Sifat lo ancur parah, Zaza."

Plak!

Oh? Sakit juga rasanya.

"Jangan berani ngehina gue dengan mulut lo, Jalang!"

Lalu Zaza menamparku sekali lagi. Ah, dua pipiku jadi perih.

"Kenapa? Lo sakit hati diomongin sama gue?" Aku tertawa.

Wajah Zaza memerah. Dia mencengkeram rahangku, tapi di saat inilah aku meludah ke wajahnya. Teman-teman Zaza berteriak kaget, sedangkan cewek itu mengumpat sambil mengusap pipinya dengan saputangan.

"Lo kurang ajar, Dineschara. Gue mau lihat setelah keluar dari sini apa lo masih berani sama gue."

Senyum Zaza membuatku muak. Aku tahu di kepalanya ada rencana jahat yang nggak bisa aku prediksi. Keadaan sebentar lagi mungkin akan sangat berbahaya, tapi aku nggak punya pilihan selain menghadapinya. Tiga cewek ini memegangiku sangat erat, jadi aku nggak bisa kabur.

"Gue heran bisa-bisanya lo nggak nunjukin wajah ketakutan. Tapi gimana ya wajah lo saat keluar gedung sekolah tanpa pakaian?"

Bohong kalau aku nggak terpengaruh atas pem-bully-an ini. Jantungku sebenarnya sangat berdebar saat melihat Zaza mengeluarkan gunting dari tasnya. Tapi aku tahu, menunjukkan rasa takut pada mereka malah membuat mereka makin senang.

"Ini cara yang bisa lo pikirin buat ngasih gue pelajaran? Kampungan, Zaza."

Ucapanku membuat Zaza makin marah. Dia memberi perintah pada teman-temannya agar terus memegangiku dengan erat. Sementara itu, Zaza mendekatkan tangannya pada dadaku. Dan dia melakukannya. Aku memejamkan mata saat mendengar suara kancing-kancing seragamku jatuh ke lantai.

"Lo kelihatan cocok dipanggil jalang, Dineschara. Dada lo pasti udah pernah diremas, 'kan?"

Mataku tetap tertutup ketika Zaza menyentuh tali bra-ku. Aku marah sampai rasanya sesak. Ada yang meluap-luap dalam tubuhku saat gunting Zaza kembali beraksi di seragamku. Dia menghancurkannya tanpa ampun.

"Lihat, Guys. Badan si Freak ini mulus juga. Bisa kali ya dapat om-om tajir."

Dadaku makin panas. Nggak, bukan hanya dada, tapi seluruh tubuhku sampai kepala seperti diselimuti api.

"Gue bakal ingat penghinaan ini, Zaza. Kalian berempat bakal gue balas."

Ketika aku membuka mata, Zaza terlihat syok sampai dia menjatuhkan gunting dan melangkah mundur.

"Lo ... lo, kenapa mata lo merah gitu?!"

"Gue nggak tahu. Yang gue tahu, lo harus dapat balasan."

Panas. Panas. Aku seperti terbakar, tapi nggak sakit.

"Gila! Kulitnya panas banget, Za!"

Ketiga teman Zaza melepaskan cengkeramannya dariku, lalu bergabung dengan Zaza yang berdiri ketakutan memandangiku. Mereka berempat panik, tapi itu malah membuatku tersenyum puas.

"Jangan mendekat! Lo pasti jelmaan iblis! Mata lo nggak normal!"

"Oh, wow! Siapa yang bicara dengan ketakutan barusan? Zaza yang beberapa menit lalu ngerobek seragam gue?"

Aku berjalan mendekati mereka sambil melepaskan seragam yang sudah compang-camping. Mereka nggak bisa ke mana-mana karena sudah sampai mepet ke dinding.

"Lihat. Siapa yang ketakutan sekarang? Gue atau kalian?"

Mereka berempat histeris karena aku mengambil gunting yang tergeletak di lantai.

"Jangan gila, Dineschara! Kami minta maaf! Kami salah!" Salah satu dari mereka memohon pengampunan.

"Terlambat. Gue mau bikin kalian kayak seragam ini."

Saat aku melemparkan seragam rusak itu ke arah mereka, teriakan mereka nggak terkendali lagi. Mereka ketakutan, bahkan ada yang sampai bersujud dan mencium sepatuku. Zaza berlutut dan memegangi kedua betisku.

"Maafin gue, Dineschara, maafin gue. Apa pun yang lo minta gua bakal kasih. Apa pun. Maafin gue kali ini."

Suaranya bergetar hebat, menunjukkan betapa dia sungguh ketakutan.

"Kalau gue minta nyawa lo semua, gimana?"

Lalu mereka semakin histeris, tapi tetap memegangi kakiku serta memohon ampun.

To be continued

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro