7: Fakta Terungkap

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Liona tersenyum kecil. "Hati-hati."

Wanita empat puluh enam tahun di hadapannya membalas dengan senyum yang sama, menepuk-nepuk bahu Liona. "Diterapkan, ya, Liona. Jangan sia-siain waktu belajar kita."

Liona mengangguk-ngangguk, meskipun tidak tahu bagaimana nantinya.

Wanita itu pun melangkah menjauhi teras, menuju mobil yang sudah ditumpangi suaminya. Mobil mereka lalu bergerak keluar gerbang yang dibukakan Haikal.

Melihat mobil itu sudah menjauh dari pandangannya, Liona kembali masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ruang keluarga.

"Jadi, ngapain aja sama Tante Avrina?" sahut Diondar yang sedang duduk di sofa, matanya fokus menatap layar ponsel ber-casing hitamnya.

Liona mengendikkan bahu. "Cara menjadi anak perempuan satu-satunya yang baik."

Diondar mendengkuskan tawa, tidak bertanya apa-apa lagi.

Liona melangkah menuju tangga, naik ke lantai dua.

Tante Avrina adalah adik dari ibu Liona. Mereka hanya dua bersaudara, sama seperti ayah Liona. Avrina tinggal di Bogor, yang mana merupakan kota kelahirannya dan kakaknya. Ditambah sifatnya yang workaholic, ia jarang–bahkan hanya sesekali–menampakkan diri di hadapan keponakan-keponakannya.

Selain karena kabar kematian Hasan yang sudah terkirim dari tiga hari lalu, Avrina datang untuk mengajarkan Liona kiat-kiat menjadi perempuan sejati. Liona belajar memasak. Selama ini, anak SMK satu-satunya di keluarga itu hanya bisa memasak nasi, telor, sesuatu yang instan, dan tempe. Ia bisa memasak tempe juga karena dipaksa Hasan.

Liona belajar dengan ogah-ogahan, ia merasa lebih baik ikut meringkus siapa pun pembunuh sejati Hasan dibanding memasak makanan penuh bumbu selama dua hari. Liona bahkan menyeletuk, "Lebih bagus kalau kita beli makanan enak di luar aja."

Namun, pernyataannya itu dibungkam dengan Avrina yang berujar, "Pikiranmu itu jangan sempit, nggak bisa dong beli makanan luar terus setiap hari. Tetap aja, masakan rumah itu harus ada, biar abang-abangmu juga ngerasa ini rumah. Mereka pasti jadi gampang kangen."

Liona hanya mencibir mendengarnya, berujar dalam hati, Yang ada gue diledek.

Liona bahkan berpikir, apa ayahnya akan mengadopsi anggota baru lagi untuk mengerjakan pekerjaan seperti itu? Setidaknya, agar Liona tidak perlu repot, karena untuk pembantu ... sepertinya ayah Liona tidak tertarik. Terakhir kali mereka memakai pembantu atau babysitter pun saat Liona masih berumur lima tahun.

Liona yang sudah sampai di lantai dua menoleh ketika mendengar suara hentakan kaki yang menaiki tangga. Itu Haikal.

Laki-laki gondrong itu melewati Liona begitu saja, berjalan menuju ruang kerja di samping kamar Diondar.

Liona mengalihkan pandangannya menuju laki-laki berkacamata yang duduk di bean bag dengan tangan yang memegang controller. Layar TV di hadapannya menayangkan PES2019, game sepak bola.

Anak itu pasti sedang beristirahat karena kerja kerasnya patut diacungi jempol. Meski mereka sempat terlibat perkelahian, Liona tetap tak bisa memungkiri kehebatan dan kepintaran Avdan.

Liona memutuskan untuk ke ruang kerja yang tadi dimasuki Haikal, ingin melihat kesibukan kakak-kakaknya. Di kediaman keluarga Purwasita, terdapat dua ruang kerja, di lantai dua dan di lantai tiga.

Liona berdiri di ambang pintu. Ia melihat Jiovana tengah duduk di belakang meja yang penuh dokumen dan sebuah laptop. Raihan berdiri di hadapannya, melihat-lihat dokumen itu, sementara Alfan duduk di kursi sebelah Raihan, menatap Jiovana yang fokus melihat laptop. Haikal berdiri menyender di dinding, ikut memerhatikan Jiovana.

Inilah mengapa Liona berpikir ayahnya tidak akan tertarik untuk punya pembantu di rumah ini, karena untuk sekadar membawa polisi pada kasus ini pun ... ia tidak tergiur. Kata kakak-kakaknya, mereka harus tahu lebih dulu siapa pelakunya sebelum membawa polisi ikut serta. Pemikiran laki-laki di keluarga Liona memang rumit.

"Eh, anak kecil ngapain ke sini?" Suara Alfan berhasil menarik atensi yang lain untuk menatap Liona yang menyenderkan bahunya ke daun pintu.

"Bentar lagi dia punya KTP tau," timpal Raihan.

"Elah, masih setengah tahun lagi." Alfan kembali berkata.

"Kalau mau masuk, masuk aja." Jiovana berujar tanpa mengangkat pandangan dari layar laptop.

Liona pun masuk. Seumur-umur, ia tidak pernah setertarik ini untuk ikut campur dalam urusan mereka, tetapi ... kali ini rasanya bukan lagi urusan 'mereka', tapi urusan 'kami'.

Mata Liona sibuk memindai kertas-kertas yang ada di atas meja. Sepertinya itu adalah data-data yang ditemukan Avdan, lantas mereka telusuri lebih jauh. Pastinya, lewat bantuan Alfan.

Satu-satunya jalan yang bisa membantu mereka memang hanyalah mencuri informasi.

"Gue curiga, perkataan ayah kalian waktu itu bener." Alfan menyahut.

"Firasat ya, Fan? Gue juga," ujar Haikal.

"Memangnya, Ayah bilang apa?" tanya Liona.

Alfan tersenyum miring. "Kepo lo, Anak Kecil."

Kepala Alfan langsung terteleng akibat toyoran Liona. Raihan malah tertawa.

"Bang Jio! Ajarin adek lo gimana bersikap sama yang lebih tua!" Alfan berseru.

"Kalau yang lebih tuanya kayak lo, sih, nggak ada yang perlu diajarin." Jiovana berkata ringan.

Liona mengacungkan jempol ke arah Alfan dengan wajah datar, kemudian menatap Jiovana. "Kata Bang Zio, kemungkinan besar yang ngirim email-nya bukan mereka, tapi orang di atas mereka?"

"Yang ngirim mereka, tapi yang nyuruh atasan mereka." Haikal mengoreksi. "Gue nggak ngerti motivasinya apa pakai email, tapi kayaknya, atasan mereka itu nggak punya rencana yang matang."

Liona mengernyit. "Apa? Jadi kalian percaya hal itu nggak disengaja, makanya menganggap rencana mereka nggak matang?"

"Nggak matang bukan berarti mereka nggak merencanakan pembunuhan," jawab Raihan, "cuma kesiapan mereka itu kalau dihitung mungkin nggak nyampe sembilan puluh persen. Lagipula, itu baru hipotesis kita."

Haikal mengangguk setuju. "Untuk sementara, itu data yang kita dapet. Alfan tolol ini malah nabok kepala yang mau ngasih tau lokasi ketua sampai pingsan. Untungnya, gue sempet ngambil HP salah satu dari mereka."

Liona melirik Alfan dengan tatapan menghina, Alfan lantas membalas dengan tatapan tak terima. "Gue nggak tau kalau dia mau ngasih tau, dia juga keliatannya bukan orang yang mudah membeberkan atasannya walaupun udah babak belur."

"Ya, kejadian itu juga udah lewat, sekarang kita fokus ke apa yang bisa kita lakukan." Jiovana menyahut.

Alfan menjentikkan jari, menunjuk Jiovana dengan jari bentuk pistol. "Emang Bang Jio aja paling pengertian. Lo, sih, Lio, ngungkit-ngungkit lagi ceritanya."

"Bang Haikal yang ngomong, gue cuma nanya masalah hipotesis mereka."

Liona menatap dokumen yang Raihan berikan pada Jiovana, kemudian beralih menatap yang tersisa di atas meja. Ia mendekat ke sisi Alfan, menyentuh salah satu kertas yang terdiri dari nama, nama email, nama sosmed, foto, sampai hubungannya dengan orang yang pertama kali menjadi tersangka. Hubungannya adalah sahabat. Di kertas lain, ada yang hubungannya sebagai orang yang dihubungi di rentang waktu tertentu.

"Jangan diliatin mulu kali, nanti naksir." Sahutan Raihan berhasil membuat Liona menoleh, kemudian menyadari Raihan berbicara pada Alfan yang ternyata menatap ke arahnya selama ia membaca biodata itu.

Alfan mengalihkan pandangan, berusaha memasang wajah tetap kalem, kemudian menatap Liona kembali. "Rawat dulu diri lo, terus harus bisa masak, baru gue bisa naksir."

Liona menatap Alfan lekat, kemudian telapak tangannya mendorong kepala Alfan hingga menghantam meja dan menahannya di sana.

Jiovana berjengit mundur dengan wajah terganggu. Haikal tergelak.

Raihan tersentak dan berseru kaget, menahan tawa sebelum menegur, "Liona."

Liona menarik tangannya, menatap Alfan yang meringis sembari memegang sisi kepalanya yang terhantam. "Nggak ada juga yang berharap dari lo."

Perempuan itu kemudian berjalan keluar ruangan, sudah merasa tidak perlu ada di sana. Akan tetapi, pikirannya melayang ke arah perkataan Alfan. Berarti gue beneran harus masak nih?

Langkahnya langsung terhenti ketika Ziolin keluar dari kamarnya, yang mana berada di hadapan Liona. Laki-laki yang terpaut beda enam tahun berapa bulan dari Liona itu memakai setelan jas hitam yang rapi, wajahnya juga terlihat segar.

Melihat raut wajah adiknya, Ziolin berujar, "Iya, aku sama Bang Raihan mau balik kerja."

Liona menautkan kedua alisnya. "Harus banget sekarang? Kondisi masih kayak gini."

"Ya, gimana ya, udah tanggung jawab. Bang Jio juga malah nyuruh."

"Ayah pasti ngingetin, 'kan?"

Ziolin tersenyum. "Cie, udah kenal Ayah."

Liona melengos sembari memutar kedua bola matanya.

Kakaknya itu pun menghampiri ruang kerja, memanggil Raihan. Liona beranjak menuju kamarnya, kemudian meraih benda persegi panjang yang canggih di atas kasur.

Liona berdecak ketika tidak menemukan notifikasi dari Rio. Ia menanyakan perihal pelajaran dan tugas, karena kemarin lusa yang seharusnya Liona masuk, ia memanfaatkan alibi hari kejepit. Alhasil, ia ketinggalan pelajaran tiga hari.

"Oit, kita pergi dulu ya."

Liona menoleh, menemukan Ziolin dan Raihan di ambang pintunya.

Liona mengangguk, kemudian mengernyit ketika Ziolin berjalan mendekat dan menyodorkan tangannya.

"Salim." Ziolin berujar. Liona menatap tangan dan wajah Ziolin bergantian, kemudian tersenyum kecil dan meraih tangan kakaknya itu, menempelkannya di dahi. Raihan yang melihat itu ikut-ikutan mendekat dan menyodorkan tangan. Liona tetap menyambutnya meski dengan wajah datar.

Liona memang jarang salim jika bersama kakak angkatnya atau Diondar. Mereka juga tidak menuntut.

Saat Ziolin dan Raihan beranjak menuruni tangga, lalu Avdan mulai menjalankan permainan, dan Liona mulai membuka Instagram, terdengar suara nyaring Alfan. "Bang Zio! Bang Raihan!"

Seruannya berhasil membuat Liona keluar kamar. Ziolin dan Raihan naik kembali, bertanya pada Alfan yang sesekali masih meringis. Jiovana dan Haikal pun ikut menyusul ke ruang tengah, memberi Ziolin dan Raihan kode untuk mendekat.

"Tunda dulu," ujar Jiovana. Tangannya mengeluarkan HP dari saku baju di dada, lalu menekan sebuah kontak.

Avdan tidak jadi bermain, Liona mengambil duduk di bean bag sebelahnya, ikut memerhatikan apa yang akan dilakukan kakaknya. Jiovana menaruh HP di atas meja, menyalakan speaker.

Tak lama, telepon diangkat.

"Halo, Jio?"

"Bang Randi?" Jiovana berujar memastikan, terdengar gumaman dari seberang.

"Kita udah ngumpulin datanya, dan ... perkiraan Ayah benar," ucap Jiovana.

"Lo tau sendiri analisis Ayah."

Jiovana menghela napas, kepalanya tertunduk. "Jadi, perseteruan kita masih berlanjut? Aku pikir ...."

"Buka matamu, Jiovana."

Suara itu membuat mereka semua tertegun seketika. Liona bersitatap dengan Diondar yang ikut bergabung setelah dipanggil Alfan. Ruangan hening.

"Ayah sudah pernah bilang ... semua hal mungkin terjadi."

Jeda diberikan dan tak ada yang menyela.

"Terutama ... jika bersangkutan dengan Dharma Konstruksi."

Liona merasakan jantungnya seperti dihantam sesuatu yang keras. Ia menatap Jiovana dengan pupil yang melebar. Dharma Konstruksi?

"Apa yang membuatmu ragu? Data itu sendiri sudah merujuk ke mereka, 'kan?"

Jiovana bertatapan dengan Alfan. Alfan mengangguk meyakinkan.

"Iya, Ayah, asisten pribadi pemilik Dharma."

"Dharma Konstruksi?" Liona bergumam kembali, seakan masih tak ingin percaya. Matanya menatap Avdan yang tidak terlihat ragu akan hasil analisis mereka.

Liona merasa tubuhnya melemas. "Berarti ... keluarga Wijaya?"

-------------------

Aye asik semua anggota Purwasita dapet screen time di sini, walaupun ada yang cuma suara :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro