8: Kenapa Harus Mereka?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lama-lama, menatap langit-langit kamar dalam diam akan menjadi rutinitas Liona. Entahlah, ketika ada banyak beban serta pikiran, rasanya berdiam sambil menatap hamparan warna putih di atas sedikit membuatnya rileks.

Liona tidak keluar kamar setelah 'rapat' dadakan keluarga. Ia bahkan merasa tidak ingin berbicara dengan siapa pun pada kurun waktu ini.

Dharma Konstruksi. Wijaya.

Kedua nama itu terus berputar di kepala Liona, berakhir pada satu nama yang membuat gadis itu gundah gulana.

Dia marah dan kecewa pada saat bersamaan.

Saking tidak mau percaya, Liona sampai membaca sendiri dokumen yang diberikan Raihan kepada Jiovana waktu itu. Orang itu merupakan orang yang dihubungi ketua geng tujuh menit sebelum email teror itu dikirim. 

Katanya, Alfan sempat menyekap salah satu anggota geng yang sering berada di tongkrongan dengan tersangka pertama. Anggota yang disekap itu mengaku hanya melakukan yang diperintahkan, tidak tahu apa yang terjadi di balik layar. Melihat sebilah pisau ditodongkan di lehernya, orang itu akhirnya memberi tahu bahwa ketuanya bekerja sama dengan orang yang ditelepon tepat setelah Hasan terbunuh.

Liona menatap jam dinding di kamarnya, pukul satu seperempat siang. Ia belum siap untuk kembali bersekolah. Hari ini dia izin lagi.

Awalnya, Jiovana sempat menegur Liona, tetapi Liona bersikeras mengatakan dirinya tidak fit. Alhasil, Jiovana izin kepada sekolah.

Pikiran Liona melayang lagi.

"Kita baca dulu pergerakan mereka. Jangan gegabah." Suara Ayah terdengar di telepon.

"Kenapa nggak langsung kita interogasi aja, Yah?" Raihan menyahut, mewakilkan beberapa suara.

"Nggak semudah itu, Raihan. Mereka bisa jadi punya kekuatan tambahan atau rencana cadangan." Ayah berujar. "Anggap aja pemilik Dharma itu Ayah, apa kamu yakin bisa menghadapi Ayah dan bawahan Ayah begitu aja?"

Ruangan hening lagi.

"Oke, sebenarnya memang bisa. Kita bisa langsung datang pada mereka dan membuat mereka kaget. Entah menyerahkan diri atau bernegosiasi. Lagipula, Ayah yang diharapkan mereka di sini, bukan kalian. Tapi, tetap harus ada perhitungan. Tuntutan mereka belum jelas, gimana mereka mau kita bersikap," ucap Ayah, "dan lagi, lebih seru kalau kita mengikuti permainan mereka, 'kan?"

Liona bisa membayangkan seringai ayahnya.

"Tapi, gimana kalau jadinya salah satu dari kita jadi korban lagi? Maksudnya, pergerakan mereka selanjutnya." Raihan kembali bersuara.

"Kalau mereka merenggut lagi salah satu dari kalian?" Suara berat itu mengulang. "Di saat itulah, kita tunjukkan mereka telah melakukan kesalahan besar."

Ziolin menelan saliva, mengerti maksud dari ucapan ayahnya bahkan sebelum diperjelas.

"Dharma pasti menggunakan bonekanya lagi. Jadi, habisi mereka. Siapa pun yang berada di sekitar mereka." Ayah berkata. "Melihat kaki tangannya hilang, Dharma pasti bakalan terguncang. Dan saat Ayah datang ke hadapannya, bukan Ayah yang menyerah, tapi mereka."

Liona kadang heran kenapa ayahnya bisa begitu percaya diri.

"Tapi, ayolah, Ayah percaya kalian semua pintar. Habis mengetahui hal ini, kalian nggak mungkin selengah itu, 'kan? Usahakan, nggak ada yang terbunuh. Kita nggak mungkin menyerah."

Percakapan mereka kemarin terngiang di kepala Liona.

Di saat seperti inilah, anak-anak angkat Purwasita akan sangat berguna. Karena Hasan, Haikal, Avdan, Raihan, dan Randika ... memang diadopsi untuk kepentingan perusahaan dan personal. Mereka memiliki perannya masing-masing.

Bahkan, awalnya Alfan juga ingin diadopsi oleh ayah Liona. Akan tetapi, laki-laki itu masih memiliki orang tua yang terpisah jarak ribuan kilo, dan untungnya dia tidak durhaka. Alfan–dengan pedenya–mengadu nasib di Jakarta, sekolah sambil bekerja di pabrik roti omnya sebelum pabrik roti itu bangkrut.

"Liona!"

Baru saja dia dibicarakan, sekarang suaranya sudah terdengar.

Sang empunya nama menoleh ke arah pintu, tetapi tidak menjawab.

"Makanannya udah dimakan?"

Liona melirik bungkusan makanan di meja belajarnya. Ia belum menyentuhnya karena tadi belum berselera, tapi sekarang perutnya meraung minta diasupi.

"Li, gue buka nih ya, dari tadi dalem kamar terus."

Jegrek ...

Pintu itu dikunci. Liona tersenyum tipis.

"Bang Jio yang nanyainn ...."

"Iya, ini gue makan." Liona akhirnya menjawab, menuntut Alfan agar segera diam.

"Lo kenapa di dalam kamar terus, sih?" Akan tetapi laki-laki itu memang tidak bisa sembarang dituntut.

"Nggak usah banyak tanya."

Setelahnya tak terdengar lagi suara Alfan.

Kalau sudah ada masalah seperti ini, Alfan memang akan sering berada di kediaman Purwasita, bahkan ikut bermalam. Makanya, Liona juga cukup dekat dengan Alfan meskipun laki-laki itu sering berakhir jadi samsak.

Liona bangkit dari kasur, meraih bungkusan yang kini terlihat sangat menggugah seleranya. Akan tetapi, sebuah kesalahan ia mengecek ponselnya di tengah-tengah acara makan.

Rio

Lo kok ngilang lama bener woi
Masa sii lu ga enak badan?
Ketinggalan sistem operasi jaringan kan lo

Liona membanting benda pintar itu ke atas kasur. Sukses sudah, emosinya yang terbendung dibuka.

Gue nggak sekolah gara-gara lo, Bocah!

Liona tidak habis pikir, bisa-bisanya Rio bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dia sedang akting atau bagaimana? Apa dia memang mencoba mempermainkannya?

Liona menggigit burger untuk terakhir kalinya meski belum seharusnya selesai, ia menaruhnya kembali ke dalam bungkusan. Gadis itu meraih ikat rambut, mengikat rambutnya kemudian mengambil jaket bertudung.

Liona melangkah menuju kamar Diondar. Sudah diduga, Alfan ada di dalam meskipun Diondar tak ada.

"Fan, gue pinjem motor lo."

Alfan yang sedang membaca komik di atas kasur menaikkan pandangannya. "Buat apa?"

"Gue mau pinjem."

Alfan menaruh komik itu, kemudian bangkit dan berjalan ke meja komputer Diondar, mengambil kunci motornya.

Liona menengadahkan tangan.

Alfan berjalan mendekat, mengangkat kunci itu. "Motor gue, gue yang pakai."

Laki-laki itu berhenti setengah meter di hadapan Liona, tangannya beralih menggenggam kuncinya. "Kalau lo mau pergi pakai motor gue, tetep harus gue yang ngendarain."

Liona menurunkan tangannya, menatap seringai tengil Alfan. "Tapi gue nggak butuh lo. Gue cuma butuh motor lo."

"Motor gue, peraturan gue." Alfan berujar. "Kalau lo mau pakai, wajib ikutin."

"Well, I don't give a f**k."

"Woah ... relax a little, Miss." Alfan terkekeh. "Terserah lo, tapi peraturan tetap peraturan. Jadi, sebutin lo mau ke mana, gue yang anter."

Rahang Liona mengencang, tangannya terkepal tanpa disadari.

"Apa? Lo mau nyerang kepala gue lagi? Kalau kepala gue cidera, ayah lo yang marah."

"Lo beruntung hari ini." Liona berujar tajam, kemudian membalikkan tubuhnya, tidak peduli terhadap kendaraan lagi.

"Heh!"

Liona berhenti, menoleh ke arah Alfan. Laki-laki itu tersenyum kecil, melemparkan kunci motornya yang segera ditangkap oleh Liona.

"You impressed me."

Alfan masuk ke dalam kamar Diondar. Liona bergeming, menatap kunci motor di tangannya. Cowok kayak gini memang sialan.

-------------

Liona menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Menghela napas lega menemukan lima menit lagi jam pulang berbunyi. Bodoh juga dia sudah pergi dari setengah jam yang lalu.

Dia tidak mungkin menerobos masuk begitu saja sementara ada satpam yang berjaga.

Begitu bel berbunyi, gelombang para siswa mulai bermunculan ke arah gerbang tempat dia berada. Dengan masker dan tudung yang menutupi kepalanya, Liona melawan arus itu.

Tidak perlu naik ke lantai dua, Liona telah menemukan target yang ia cari. Sneakers putih bergaris hitamnya melangkah cepat ke arah laki-laki yang tengah berjalan sendirian itu.

Situasi dan waktu yang sangat tepat.

Tangan kanan Liona langsung meraih kerah laki-laki itu yang bahkan terlihat kaget hanya dengan wujudnya yang berjalan mendekat. Liona menyeret laki-laki itu ke lahan belakang ruang OB, samping gudang.

"Woi, lo Liona, 'kan?"

Entah mengapa, perkataan itu menggores hati Liona. Laki-laki berkacamata itu benar-benar mengenalnya.

Liona melepaskan cengkeramannya dengan kasar. "Maksud lo apa?"

"Hah?"

"Rio Wijaya Putra." Liona berujar penuh penekanan, menurunkan tudung jaketnya. "Nggak usah pura-pura bodoh, keluarga lo ... keluarga lo yang bunuh Bang Hasan, 'kan?"

Rio tertegun, menatap Liona dengan mata melebar.

Tangan Liona terkepal melihatnya. "Lo mempermainkan gue? Jangan-jangan selama ini lo manfaatin gue?"

"Liona ...." Rio berujar. "Gue nggak mungkin manfaatin lo, persahabatan kita udah jalan berapa lama, sih?"

Liona menurunkan maskernya. "Lo bohong, Rio."

"Lo menyembunyikan hal penting di belakang gue," ujar Liona tanpa ekspresi. "Lo emang udah tau ini bakalan terjadi, 'kan? Lo deket sama Olivia dan jauh dari gue bukan tanpa alasan."

"Liona, serius, ini nggak ada hubungannya sama gue." Rio membela diri. "Gue nggak tau apa pun rencana ayah gue ...."

"Tapi lo tau Bang Hasan mati karena ayah lo?"

Rio terdiam.

"Pada akhirnya lo tau dan lo diam. Bersikap seakan nggak berdosa."

"Gue nggak tau harus gimana, Liona! Kalau gue jujur memangnya bisa ngerubah apa!"

"Lo bangsat ya, Yo!" Liona maju menerjang Rio hingga laki-laki itu jatuh ke lantai semen.

Tangan kiri Liona menekan dada atas Rio dengan kuat. Kepalan tangan kanannya menghantam pipi Rio, lalu diikuti kepalan tangan kirinya tanpa bisa dicegah. Napasnya menderu, darahnya terasa mendidih.

"Keluarga lo udah membunuh ... lo nggak sadar?" Tangan kirinya beralih mencengkeram kerah kemeja Rio dan mengguncang-guncang tubuh pemuda itu. Tangan kanan Liona memukul pipi Rio lebih keras. Tidak memedulikan kacamatanya yang masih bertengger.

Tubuh Rio terlepas dari cengkeramannya, lalu tangan kanannya memegang rahang Rio. Ia menarik sikunya sembari mengepalkan tangan dan meninju rahang itu.

Napasnya terasa panas. Ia mendorong dada Rio dengan keras sebelum menarik dirinya menjauh. Membuat Rio mendesah kesakitan.

"Gue nggak nyangka, Yo." Tangan Liona kembali mengepal. Kepalanya tertunduk. "Gue nggak nyangka."

Mata Liona mulai berkaca-kaca. Ia menyeret kakinya menjauhi Rio yang masih telentang di atas lantai

Laki-laki itu menggerak-gerakkan mulutnya, merasakan rasa nyeri di sana. "Liona."

Liona tetap berjalan, tapi telinganya mendengarkan.

"Gue ... nggak pernah manfaatin lo."

Liona memejamkan matanya rapat, kemudian segera beranjak meninggalkan tempat itu ... meninggalkan Rio.

Setetes air matanya lolos. Kenapa ... kenapa harus dua orang yang paling ia hargai? Kenapa harus dua sumber semangatnya?

------------

Liona ngatain Rio bocah, padahal Rio lebih tua'-'

Apa? Kalian belum tau Rio lebih tua? Makanya, sila follow IG saya (at)its.anind04

Btw, apa kalian inget slogan yang dikatakan Liona di part 1?
"Mencari masalah dengan salah satu dari kami, lo ...(?)"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro