10. Demi Harapan Kita Semua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika ada yang mengatakan bahwa kudeta Perdana Menteri sepuluh tahun lalu tidak punya pengaruh apa pun terhadap kerajaan, aku akan menghajarnya keras-keras. Keksiruhan politik membuat kekacauan di kalangan menengah bawah. Aturan-aturan dan perintah saling tumpang tindih, membuat aparat pemerintah kebingungan dalam menjalankan tugas.

Ketika aturan baru ditegakkan, kejahatan justru menjamur seperti penyakit. Tidak sedikit golongan miskin melarikan diri dari tuntutan membayar pajak yang mencekik dan beralih menjadi perampok atau pencuri. Mereka tinggal di gua-gua, hutan-hutan atau tempat mana pun yang tersembunyi dari pengawasan petugas keamanan dan menyerang orang secara membabi-buta.

Ketika memutuskan keluar dari jalur tikus dan masuk ke jalur emas, aku sudah merasakan firasat tidak enak. Baru beberapa saat kami berjalan, sekelompok penyamun sudah mengadang langkah kami. Ketika satu kelompok bisa dilewati, datang lagi kelompok lain. Ini benar-benar menjengkelkan! Akhirnya, kami terpaksa masuk ke jalur tikus lagi hingga sampai di Dhamiske.

Untuk sampai ke kota pun membutuhkan usaha yang lebih keras lagi. Dhamiske berada di area perbukitan dan kebetulan jalur tikus yang kami lewati berada jauh di bawahnya. Setelah menyusuri anak sungai yang berada di dasar perbukitan, mau tak mau kami harus melewati lereng-lereng curam untuk sampai ke kota. Berkat pohon-pohon serta tumbuhan yang tumbuh di sekitar lereng, aku dan Mirtha menjadi lebih mudah naik ke kaki bukit.

Matahari mulai bergeser ke barat ketika aku dan Mirtha melewati gerbang masuk Dhamiske. Rumah-rumah yang bersusun seperti anak tangga menjadi pemandangan pertama yang kami lihat saat memasuki kota. Sesuai namanya, Dhamiske—kota berundak, penataan kotanya dibuat menyerupai tangga untuk menyesuaikan dengan kontur tanah. Sebagian besar bangunan menghadap ke utara dan selatan, menghindari menghadap atau memunggungi pergerakan arah matahari. Jalanan di sini cenderung naik turun dan terkadang menanjak tinggi sehingga sering dibuat berliku agar orang bisa memutar tunggangan mereka yang tidak kuat naik ke bagian teratas kota.

Saluran air dibuat menyusuri jalan dan tertutup oleh papan-papan kayu tebal yang digembok, supaya tidak bisa dibuka sembarangan. Saluran air ini bersumber dari mata air yang ada di dataran paling tinggi. Kota ini memang sengaja dibuat lebih rendah dari mata airnya supaya air dari atas bisa turun mengairi rumah-rumah penduduk. Dengan mendengar suara alirannya saja bisa ditebak kalau sumber airnya melimpah.

"Kita menginap di sana saja." Aku menunjuk sebuah bangunan kelabu yang memiliki papan nama bertuliskan penginapan. Dilihat sepintas, tempat itu kelihatannya tenang.

Mirtha tidak berkomentar. Dia hanya mengikutiku memasuki tempat tersebut.

Penginapan ini terbuat dari batu dan sudah dipoles dengan lumpur serta kapur. Lantainya berupa lumpur yang dipadatkan. Aku tidak keberatan mengeluarkan 30 Oskel untuk diriku dan Mirtha. Aku menyewa dua kamar di lantai paling bawah, karena malas naik turun tangga.

"Aku mau berjalan-jalan setelah ini. Kalau kau mau istirahat, istirahat saja," ujarku setelah meminta tasku yang dipanggul Mirtha.

Lelaki itu mengangguk, lalu beranjak memasuki kamarnya yang berada persis di sebelah kamarku. Begitu dia menutup pintu, aku pun masuk kamarku dan meletakkan barang-barang bawaan, kemudian keluar lagi.

***

Jalanan di Dhamiske tidak ramah bagi pengelana yang terlalu banyak berjalan sepertiku. Sungguh, di balik keindahan deretan rumah serta toko-toko yang membentuk seperti anak tangga, tersimpan puluhan umpatan dan keluhan dari pengelana-pengelana golongan miskin yang mengandalkan kaki untuk berpergian.

Sambil membawa seikat bunga tarathia biru, aku menyemangati diri untuk terus berjalan di jalanan yang menanjak. Begitu sampai di dataran paling atas, kakiku nyeri sehabis melewati anak-anak tangga di gang-gang kecil antarrumah. Dari sini, aku bisa melihat atap-atap rumah berjajar rapi di sisi kiri jalan, seolah mengundangku untuk mencoba berjalan-jalan di atas atap rumah orang.

Jalanan di sini berbeda dari yang di bawah, lebih lebar, rata, dan sepi. Semakin ke barat, bangunan-bangunannya bertambah indah. Aku berhenti ketika sampai tak jauh dari rumah besar berlantai dua dengan dinding sewarna kayu dan atap semerah darah yang berdiri di balik tembok pembatas bercat kelabu. Sebuah papan nama tergantung di atas gerbang hitam yang menjadi akses masuk orang-orang yang ingin berkunjung ke sana.

Uraunihai—taman bunga-bunga cantik.

Itu adalah hainama khusus untuk orang-orang golongan atas, yaitu pedagang kaya, pejabat, atau bangsawan. Mereka yang terpilih melayani kaum atas ini pun bukan gadis sembarangan. Gadis-gadis itu harus cantik, cerdas, dan memikat. Kawanku merupakan salah satu gadis yang tinggal di sana.

Melalui pintu belakang Uraunihai, aku memberikan bunga tarathia biru kepada seorang pelayan yang sedang menjemur baju-baju penghuni bangunan ini. Aku berbisik kepadanya, bahwa bunga ini titipan seorang pedagang untuk Nona Eleste dan butuh jawabannya segera. Setelah kuberi 10 Oskel, pelayan itu pun masuk.

Tak seberapa lama, seseorang lain yang kukenali sebagai pelayan Eleste datang. Dia membawa satu setel gaun sederhana yang bisa kupakai. Usai berganti pakaian, pelayan itu memintaku mengikutinya untuk bertemu Nona Eleste atau yang lebih kukenal dengan nama Erenthia.

Pelayan itu mengantarku menyusuri lorong berliku yang dipenuhi pintu-pintu berbentuk sama. Dia mengenalkanku sebagai seorang penjahit saat ada yang bertanya mengenai siapa aku. Di balik pintu-pintu kamar, terkadang aku mendengar percakapan, entah itu antara pria-wanita atau wanita-wanita. Kalau Eren berani mengundangku ke kamarnya, berarti sekarang dia sedang sendirian.

Si pelayan berhenti di depan kamar yang berada di pojok lorong rumah ini, bersisian langsung dengan taman samping rumah.

"Nona menunggumu. Masuk saja," ucapnya pelan.

Harum minyak wangi yang disuling dari bunga itelima memenuhi ruangan saat aku membuka pintu. Baunya segar dan ringan. Erenthia merupakan salah satu gadis favorit di Uraunihai, sehingga dia bisa mendapat fasilitas semewah ini dari induk semangnya. Lihat saja kursi-kursi, permadani, lukisan, dan segala macam benda mahal di sini. Besarnya kamar juga menunjukkan status Eren di sini. Yang baru kulihat adalah ruang tamunya, belum ruang tidur atau ruang lainnya.

"Lea!" Pekikan girang Erenthia membuyarkan lamunanku.

Pandanganku beralih kepada gadis cantik bergaun merah muda yang keluar dari balik tirai pemisah antara ruang tidur dan ruang tamu. Wajahnya kelihatan begitu gembira ketika melihatku lalu tanpa sungkan, dia menghambur memelukku.

"Lama tidak bertemu," kataku lirih sambil membalas pelukannya. Kali terakhir aku menemuinya mungkin sekitar dua tahun lalu. Aku menemuinya untuk meminta bantuannya memberi informasi apa pun kepadaku mengenai pedagang-pedagang atau bangsawan yang sering berkunjung kemari.

Erenthia tidak jauh berubah. Dia tetap cantik, manis, dan anggun. Seperti namanya, Eren yang berarti bersinar dan Thia yang diambil dari nama Dewi Thia, sang dewi bulan, kawanku terlihat cemerlang seperti seorang dewi.

"Aku tidak mengira kau datang kemari." Erenthia melepas pelukannya dan menatapku cemas. "Sungguh, saat melihat bunga yang kau kirimkan, aku benar-benar terkejut. Mereka bilang, kau berada di Bariye."

Aku meringis. Kalau Eren sampai tahu aku berada di Bariye, bagaimana dengan mereka?

Setelah menutup pintu, dia membawaku menuju ruang dalam. Kamar ini lebih besar dari yang terlihat. Ada begitu banyak pajangan-pajangan indah dan unik yang mengisi di sana sini. Ruang tidurnya sangat cantik. Perpaduan kain-kain hias menciptakan kesan manis dan tenteram. Warna yang dipilih Eren untuk menyempurnakan kamarnya benar-benar tepat. Kain celupan berwarna hijau kebiruan muda, oranye pucat, serta kuning menimbulkan suasana cerah dan juga riang.

"Bagaimana kabarmu?" tanyaku berbasa-basi. Sepertinya, dia terlihat baik-baik saja.

"Baik." Dia menyeduh teh untukku. Rambutnya yang hitam lurus sampai ke pinggang tampak berkilau ketika terkena cahaya matahari dari jendela. "Dan melihatmu bisa selamat sampai kemari, itu artinya kau baik-baik saja."

Aku meringis mendengar pertanyaannya. Dari nada suaranya saja, sudah kelihatan dia tidak menyukai kehadiranku di sini.

"Apa yang membuatmu datang kemari?" Eren meletakkan secangkir teh di depanku. "Kau tidak menemuiku hanya untuk menanyakan kabar, kan?"

Pertanyaannya membuatku tertawa canggung. "Ada kabar baru mengenai keluargaku?"

Eren secara rutin berkomunikasi diam-diam dengan kedua kakakku maupun paman-pamanku yang berada di Bariye. Dia adalah penghubungku dengan keluargaku. Induk semang dan Wali kota Dhamiske mengetahuinya, tetapi mereka diam saja. Asal tidak membahayakan bisnis Uraunihai atau pun keamanan kota, mereka akan pura-pura buta dan tuli terhadap pertemuan kami. Karena itulah, Eren aman berada di tempat ini, meski dia tidak menyukainya. Asal-usul Eren terlalu tinggi untuk menjadi pelacur di rumah bordil ini.

"Sejujurnya, paman-pamanmu kelimpungan saat kau mulai berkelana beberapa bulan lalu. Mereka takut terjadi sesuatu denganmu, apalagi... kini Sigurd tidak bersamamu," jawabnya. "Beberapa kali mereka mengirim kurir kemari, menanyakan tentang keberadaanmu, tetapi aku menjawab tidak tahu, karena aku benar-benar tidak tahu. Tapi—,"

"Kalau begitu, tetaplah bersikap tidak tahu," aku tersenyum tipis ke arahnya. Setelah menyesap teh seduhannya, aku menambahkan, "Mereka tidak perlu tahu di mana posisiku sekarang."

"Tidakkah itu membuat mereka kebingungan?" Eren menatapku protes. "Mereka mengkhawatirkanmu, Lea! Terutama setelah apa yang terjadi padamu setengah tahun silam!"

"Justru karena aku takut hal yang sama terulang lagi, aku sengaja merahasiakan kepergianku, bahkan menipu kalian mengenai tujuanku. Aku pun memikirkan keselamatan diri sendiri," aku meletakkan cangkir teh, lalu menatap Eren dalam-dalam. "Apa kau pikir, aku sedang berusaha melarikan diri, Eren?"

Gadis itu mendesah pelan, lantas menyesap tehnya sendiri tanpa menjawab pertanyaanku.

"Kabar paman-pamanku pasti baik saat ini, mengingat tidak banyak yang kau ceritakan mengenai mereka," aku bersandar lebih nyaman pada kursi. "Bagaimana dengan ibu dan kedua kakak perempuanku?"

Keluargaku menjadi tahanan Kurante di Thaliantes. Ibuku dikurung di menara gading. Kedua kakak perempuanku dinikahkan dengan lelaki yang tidak mereka inginkan. Irene, kakak perempuan tertuaku, dinikahkan dengan Roanke, anak sulung Kurante. Sementara itu, Silvani dinikahkan dengan Thorakian, Duta Besar Sokhanteé untuk Athaliant.

Dua pewaris utama yang seharusnya menjadi Ratu menggantikan kakak-kakak lelakiku, terpaksa dianulir, karena mereka telah 'tercemar'. Satu-satunya yang bisa diusung sebagai ujung tombak pemberontakan hanya aku, yang masih belum terikat dengan siapa-siapa dan tidak dalam kekangan siapa pun.

"Mereka baik-baik saja," jawab Eren.

"Irene?"

"Dia juga baik-baik saja."

Untuk yang satu itu, aku sedikit meragukannya. Kondisi kejiwaan Irene sedikit tidak stabil setelah menikah dengan Roanke. Bukan hanya sekali atau dua kali dia mencoba membunuh putera-puteranya.

"Betapa sialnya Roanke. Di antara sekian banyak wanita yang ditidurinya, justru hanya Irene yang bisa mengandung benihnya. Tidakkah itu lucu?" Aku tertawa getir membayangkan nasib kakakku yang terpaksa menjadi istri lelaki yang dibencinya.

Mereka musuh, saling membenci. Roanke yang membutuhkan penerus terpaksa mempertahankan Irene demi kelangsungan keturunannya. Sekarang, mereka memiliki dua anak dan tak satu pun dari kedua anak itu yang mendapatkan cinta Irene. Kakakku teramat benci kepada anak-anaknya dan Roanke berupaya menjauhkan mereka dari jangkauan kakakku. Malang sekali nasib keponakan-keponakanku.

"Aku merasa, Penguasa Semesta seperti sedang memperingatkan Roanke. Bahwa tidak selamanya dia bisa memegang kendali," ujar Eren. "Karena dia tidak bisa memilih dari wanita mana keturunannya terlahir dan Penguasa Semesta menjadikan kakakmu sebagai satu-satunya yang bisa melahirkan keturunannya."

Aku mencibir. "Orang seperti dia mana sadar dengan peringatan semacam itu."

Eren menghela napas. "Dan kau pun termasuk orang yang tidak sadar dengan peringatan semacam itu."

Aku hanya meringis saat mendengar sindirannya.

Dia menatapku tajam. "Untuk apa kau kembali berkelana? Seorang diri menjelajahi Athaliant? Itu gila, Lea."

"Dan orang gila itu masih bisa muncul di hadapanmu dalam keadaan baik-baik saja." Aku menyeringai.

"Lea," Erenthia mengerutkan dahi, memintaku bersikap lebih serius.

Aku tertawa kecil kemudian menyeruput teh perlahan-lahan. Setelah puas menikmati teh seduhan Eren, aku menjawab, "Aku berencana menyerahkan diri pada Ezbur."

Reaksinya seperti Safero.

Eren mengerjap, menatapku seolah-olah aku membicarakan sesuatu yang asing. "Apa katamu tadi?"

Aku mengulangnya sekali lagi, "Aku akan menyerahkan diri pada Ezbur."

Eren ternganga, tampak tak memercayai ucapanku barusan.

"Apa kepalamu terbentur sesuatu? Atau selama perjalanan kemari kau menderita demam tinggi?" tanyanya setelah menguasai keterkejutannya.

"Aku sehat-sehat saja, Eren," aku balas memandangnya datar. "Tanggapanmu jauh lebih menyakitkan dari pada tanggapan Safero."

"Karena pernyataanmu tadi tidak masuk akal, Lea!" serunya marah. "Menyerahkan diri pada Ezbur? Kau gila?! Kau ingin dia menguasai Athaliant?"

"Sebaliknya," aku menelengkan kepala ke satu sisi. "Aku ingin dia hancur."

Lagi-lagi Eren mengerjap, tak mengerti maksud pernyataanku barusan.

"Aku akan menjelaskan rencanaku, tetapi sebelumnya, bisakah aku meminta pena dan kertas?" pintaku.

"Untuk?" Eren mengernyit.

"Tentu saja untuk menulis surat pada semua anggota Inaftri," aku memutar mata. "Kau pikir aku akan menyerahkan diri pada Ezbur tanpa memberinya kejutan?"

***

Eren mengatakan bahwa aku gila bila benar-benar mau melakukan hal itu. Namun, aku tidak keberatan dengan sebutannya, karena keputusanku memang terbilang ekstrem. Setelah menyuruh Eren menunggu kabar selanjutnya, aku pun kembali ke penginapan. Tak disangka, aku menemukan Mirtha di depan pintu kamar. Dia duduk bersandar pada daun pintu. Matanya terpejam dan air mukanya menyiratkan kelelahan.

"Mir." Kusodokkan kakiku ke kakinya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku ketika dia hanya menjawab dengan berdeham. "Kau bisa tidur di kamarmu, kan? Jangan tidur di depan pintu kamarku. Kau mirip seperti suami putus asa yang dilarang masuk ke kamar istrinya." Aku mendesis kesal.

Mirtha membuka mata dan menatapku. "Aku lapar," ucapnya. "Kau belum pulang juga, sampai kupikir, kau meninggalkanku di sini."

Aku menghela napas, merasa kasihan kepadanya. "Aku tidak akan meninggalkanmu," ujarku. "Aku terlalu asyik berjalan-jalan sampai lupa waktu. Kau lapar? Ayo kita keluar dan makan."

Mirtha tak langsung mengiakan ajakanku. Aneh. Dia cuma duduk dan memandangku dengan tatapan menyelidik. Matanya menyipit. Sorot matanya benar-benar tidak menyenangkan, membuatku gerah.

"Apa? Jangan memandangku seperti itu." Aku menggerutu.

Pria itu masih tidak berkomentar. Dia berdiri kemudian berjalan mendahuluiku keluar penginapan. Aku membuntutinya, setengah heran dengan sikapnya. Sepanjang menuju kedai terdekat, Mirtha mendiamkanku. Kelakuannya benar-benar membuatku bertanya-tanya sekaligus kesal. Berhubung aku pun belum makan apa-apa dari tadi, kecuali beberapa jenis kudapan yang disediakan Eren di kamarnya serta teh hangat, emosiku mulai tidak stabil.

"Kau ini kenapa, sih?" Aku tidak tahan untuk tidak bertanya setelah kami duduk dan memesan makanan.

Mirtha hanya memandangku. Mulutnya masih terkunci rapat.

"Ah, sudahlah." Aku tidak mau memusingkan kelakuannya.

Kami sama-sama diam. Dia masih menatapku, tetapi aku sudah tidak memedulikannya lagi. Aku malah sibuk mendengar obrolan orang-orang di kedai. Ada yang membicarakan ternak, ada juga yang menceritakan tentang perjalanan mereka, yang lebih memalukan, ada yang sedang membicarakan kehebatannya di ranjang. Telingaku jadi panas mendengar obrolan cabul itu.

"Lea," Mirtha memanggilku.

"Apa?" Aku menatapnya galak.

"Apa yang kau lakukan di Uraunihai?" Pertanyaannya membuatku tertegun seketika.

Aku tak berkutik mendengar pertanyaan Mirtha. Dia tentu sudah melihat perubahan ekspresiku dan aku tidak bisa berpura-pura tidak terkejut mendengar pertanyaannya barusan. Bagaimana dia bisa memergokiku ke Uraunihai padahal dia sendiri sedang beristirahat di penginapan? Apa jangan-jangan dia diam-diam mengikutiku? Kecurigaanku muncul.

"Dari mana kau tahu aku ke Uraunihai?" Aku balik bertanya.

"Aku melihatmu keluar dari sana," jawabnya.

Keluar? Aku mengernyit. Itu berarti, Mirtha sempat berjalan-jalan dan kami sampai di penginapan dalam waktu yang bersamaan.

"Kau berjalan-jalan, ya, tadi?" tanyaku lagi.

Dia mengangguk. "Sebenarnya aku berniat mengajakmu. Namun, kau tidak keluar juga saat aku mengetuk pintu kamarmu berulang-ulang. Aku sungguh panik bila kau meninggalkanku di sini, sehingga aku mencari-carimu di kota tadi, hingga akhirnya melihatmu keluar dari Uraunihai."

Lelaki ini seperti anak ayam yang takut kehilangan induknya. Aku memutar bola mata. "Lantas, kau buru-buru pulang setelah melihatku dari sana?"

"Ya," jawabnya.

"Kenapa tidak menyapaku di depan Uraunihai saja?" Aku menggeleng-geleng.

Mirtha terdiam sesaat, seperti sedang berpikir. Kemudian, dia menjawab, "Aku hanya tidak mau terkesan memata-mataimu."

Penjelasan yang teramat sederhana. Aku diam memandangnya. Kami sama-sama belum terbuka satu sama lain, walau saling penasaran dengan latar belakang masing-masing. Aku menghela napas, lalu meneguk minuman.

"Aku menemui temanku," kataku.

Mata Mirtha membulat mendengar jawabanku.

"Temanmu bekerja di hainama?" katanya dengan nada tak percaya.

Aku mengangguk. "Panjang ceritanya sampai dia terdampar di Uraunihai Dhamiske."

Ayah dan saudara laki-laki Eren tewas terbunuh di medan perang. Ibunya gila dan memilih bunuh diri. Mulanya, Eren masih bisa bertahan bersama kakek dan beberapa adiknya. Namun, seseorang menipu mereka dan mencuri semua harta benda mereka. Keluarga Eren terpisah-pisah dan dia pun terdampar di Dhamiske dan menjadi salah satu penghibur di sini.

Kami bertemu kembali saat usianya 15 dan aku 13. Waktu mengenaliku dan Sigurd, dia menangis seharian, tak menyangka akan bertemu kami. Setelahnya, Erenthia bergabung menjadi bagian Inaftri. Dia membantu kami mengumpulkan informasi serta menjadi penghubung antara aku dan keluargaku di ibu kota. Satu yang paling dia inginkan, kebebasannya kembali.

Dia tahu bahwa tidak mudah keluar dari Uraunihai, apalagi dengan situasi politik kerajaan yang kacau-balau. Salah-salah, malah kehidupannya semakin mengenaskan bila terburu-buru mengambil tindakan. Karena itu, Eren memilih menunggu. Dia menanti sampai bisa mendapat kebebasannya lagi dan salah satu caranya adalah dengan membantuku dan Inaftri.

Percakapan kami disela kedatangan pelayan yang mengantar pesanan. Dua piring nasi dengan sepiring tumisan sayur yang masih hangat dan lauk ikan bakar. Bau harum hidangan ini memancing nafsu makanku. Setelah berdoa singkat, kami mulai makan dengan tenang.

"Besok, kita berangkat," kataku.

Mirtha menghentikan suapannya dan menatapku. "Secepat ini?" tanyanya bingung.

"Tentu saja. Memangnya mau berapa lama kita di sini?"

"Kupikir dua atau tiga hari." Mirtha memiringkan kepala. "Kenapa terburu-buru?"

"Karena ada hal yang ingin segera kuselesaikan," jawabku santai. "Besok, kita akan berangkat ke Idler."

(Selasa, 30 April 2024)

=====

Note:

Jangan lupa vote dan komennya yaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro