11. Kota Darah dan Emas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Apa yang paling kau inginkan, Lea?"

Suatu ketika, Sigurd pernah menanyakan hal itu padaku.

"Pulang," jawabku tanpa memandang Sigurd. Aku lebih suka menatap api unggun yang berada di antara kami daripada menatapnya. "Aku hanya ingin pulang."

Namun, aku tak pernah bisa pulang. Sekuat apa pun rasa rinduku pada Thaliantes, aku tak bisa ke sana. Maksudku belum. Aku belum bisa ke sana.

"Kau sedang resah?" Pertanyaan Mirtha memecah kesunyian di antara kami sepanjang pagi tadi. Setelah beristirahat cukup dan sarapan sedikit roti, kami melanjutkan perjalanan menuju Idler. Untuk kali ini, aku memilih berjalan di depan, membiarkan Mirtha membuntutiku seperti anak ayam sungguhan.

Aku tidak ingin dia melihat tampangku yang muram. Semakin mendekati Idler, pikiranku semakin penuh. Sering sekali aku merasakan sakit kepala tak tertahankan yang membuatku ingin berbaring saja.

"Tidak," jawabku datar.

"Kalau begitu, kenapa kau kelihatan tidak tenang?"

Langkahku hampir saja terhenti bila seandainya aku tidak memaksakan diri untuk terus berjalan tanpa menoleh. "Tidak tenang bagaimana?" tanyaku.

"Kuperhatikan, kau sulit tidur akhir-akhir ini dan sering melamun. Selain itu, kau juga kelihatan murung dan cenderung pendiam selama perjalanan. Padahal, biasanya kau yang paling suka bicara saat kita berpergian. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

Demi Penguasa Hati, Mirtha sebenarnya makhluk manis di balik tampilannya yang pendiam dan kadang-kadang suka bersikap ketus.

Aku menghela napas sambil menggeleng-geleng. Mau kusembunyikan pun rasanya percuma. "Kau pernah terpikir pulang, Mir?" tanyaku sambil menatap ke depan. Aku melangkah hati-hati melewati akar-akar pohon yang melintangi jalan kami.

"Pulang?" Mirtha mengulang kata-kataku. "Aku tak pernah berpikir pulang. Aku tidak punya tempat kembali," jawabannya membuatku tersenyum pahit.

Sunyi sejenak, kemudian dia kembali bertanya, "Kau masih memiliki keluarga, Lea?"

Aku tertawa mendengar pertanyaannya. "Masih," jawabku pelan. "Aku memiliki keluarga di Thaliantes sana, seorang ibu dan dua kakak perempuan. Aku bungsu dari lima bersaudara."

"Kalau kau masih memiliki keluarga, kenapa kau memutuskan berkelana, bahkan setelah gurumu meninggal?" tanyanya. "Bukankah kau bisa kembali pada mereka?"

"Kalau aku memang bisa kembali, tentu saja itu akan kulakukan," jawabku miris. "Tapi nyatanya, aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Ibuku dipenjara, begitu juga kedua kakakku." Perasaanku menjadi sesak saat mengatakan itu. Membayangkan kehidupan yang sekarang dijalani keluargaku membuatku merasa bersalah dan sakit. Mereka hidup terkungkung, sementara aku? Meski dibilang bebas, aku tidak sebebas yang terlihat. Aku memiliki tanggung jawab untuk membebaskan mereka.

Mirtha menggumamkan maaf karena telah mengungkit sesuatu yang membuatku tidak nyaman.

"Kudeta Perdana Menteri membuat kehidupan semua orang kacau balau." Aku bergumam. "Tidak hanya kaum budak yang terkena pengaruhnya, tetapi begitu juga golongan menengah atas. Mereka yang tidak sepaham dengan Perdana Menteri dan kelompoknya, akan diasingkan atau malah diberangus."

"Itukah yang terjadi pada keluargamu, Lea?" tanya Mirtha.

"Ya," jawabku muram. "Ayah dan kedua kakak lelakiku dibunuh karena menentang mereka. Akhirnya, keluargaku malah berantakan. Ibu dan kedua kakak perempuanku dipenjara. Aku bisa selamat karena guruku membawaku kabur."

"Lalu, kenapa kau memilih berkelana?" Lagi-lagi Mirtha menanyakan hal itu. "Tidakkah kau ingin membebaskan keluargamu yang tersisa?"

Aku menoleh ke arahnya. "Justru karena ingin membebaskan keluargaku, aku pergi berkelana."

***

Idler adalah kota primadona yang memiliki segudang pesona. Letaknya strategis, berada di antara kota-kota perbatasan dan menjadi tempat pemberhentian teramai. Kota ini merupakan jalur pintas menuju ke provinsi lain sekaligus ke kerajaan lain karena berdekatan dengan Sokhanteé serta Yamoone. Besar pajak yang disumbangkan pada kerajaan pun sangat besar. Bisa mencapai 10 sampai 15 kali lipat dari sumbangan pajak Amurega. Jumlah yang lebih dari cukup untuk memberi makan sepasukan prajurit di medan perang.

Dengan dibangunnya jalur emas dari Irie menuju Idler, kota primadona ini semakin ramai dari waktu ke waktu. Arus pedagang yang datang dari kerajaan-kerajaan lain lewat tanpa henti. Sebenarnya, tanpa jalur emas, Idler tetaplah kota yang menjanjikan. Lantas, kenapa jalur emas tetap dilewatkan ke kota itu?

Ada dua alasan untuk menjawabnya. Alasan pertama adalah alasan paling umum yang bisa ditebak siapa pun, yaitu untuk memajukan perekonomian di kota-kota yang akan dilewati jalur emas. Alasan kedua merupakan alasan paling penting kenapa jalur emas dibuat, tak lain adalah untuk menghadapi ancaman Raja Elarus. Jalur ini dipersiapkan sebagai jalur lalu lintas pasukan bila sewaktu-waktu terjadi perang antara dua kerajaan.

Hubungan Athaliant dan Sokhanteé sejak dulu tidak terlalu baik. Seperti sepasang manusia, hubungan kedua kerajaan ini kadang mesra, kadang juga renggang. Dengan keadaan Athaliant yang tidak tentu, dengan kerajaan yang dikuasai Perdana Menteri bukannya keluarga kerajaan, aku kira, Sokhanteé merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mengambil Idler secara diam-diam.

"Setelah Idler, apa kita akan pergi ke Sokhanteé?" Pertanyaan Mirtha memecah lamunanku.

Aku mengalihkan pandangan dari api unggun dan menatapnya. Lelaki itu memandangku dengan ekspresi datarnya yang biasa. Kami bertolak dari Dhamiske dua hari lalu dan baru menempuh sedikit dari jarak yang harus kami lalui untuk sampai ke Idler. Sekarang, kami sedang beristirahat di hutan sambil menikmati ubi yang dicari Mirtha.

"Tidak." Aku mengedik.

"Tidak?" Mirtha kedengaran heran mendengar jawabanku. "Kau belum memikirkan kota mana lagi yang akan kita datangi?"

"Belum," jawabku jujur. "Aku belum memikirkannya."

Dia tidak merespons, sehingga aku tergelitik untuk memandangnya lagi. Mirtha tengah menatapku lekat-lekat, dengan alis hampir bertaut.

"Kenapa?" Salah satu alisku terangkat, merasa heran dengan tatapannya.

"Tidak." Dia menggeleng. "Tidak apa-apa." Perhatiannya teralih pada api unggun kami.

Aku mengernyit. Sejak meninggalkan Dhamiske, Mirtha memang agak aneh. Dia cenderung ingin tahu, tetapi selalu menahan rasa ingin tahunya. Mungkin dia tidak ingin dicap tidak sopan olehku.

"Kalau ada yang ingin kau tanyakan, tanyakan saja," kataku. "Dari pada kau memikirkannya sendiri dan tidak menemukan jawabannya."

"Aku hanya ingin tahu ke mana kau akan pergi setelah dari Idler," jawabnya. "Tapi..., kelihatannya kita akan tinggal agak lama di sana."

"Itu benar," Aku mengangguk. "Aku memang berencana tinggal selama beberapa minggu di sana, sehingga kita bisa beristirahat lebih panjang." Dan aku juga butuh persiapan untuk menjalankan rencanaku.

Pertama-tama, aku harus menghubungi Andhes. Setelah kegagalan kami dahulu, sulit bagi kami untuk menentukan orang yang bisa menggantikan posisi pemimpin kelompok sebelumnya yang tewas digantung. Setelah pertimbangan yang cukup matang, akhirnya kami menunjuk Andhes untuk memimpin kelompok Idler.

Andhes memiliki watak yang tenang dan sabar, membuat pergerakan Inaftri di Idler tidak mencolok. Selain itu, dia juga piawai membujuk dan merayu orang-orang untuk bergabung dengan Inaftri. Selama tiga tahun terakhir, Andhes berhasil merekrut sekitar 50 orang ke dalam kelompok. Jumlah yang cukup banyak mengingat kelompok kami pernah dibantai di kota tersebut.

Bagaimana reaksinya jika dia tahu apa yang sedang kurencanakan saat ini? Aku tersenyum membayangkan ekspresi datarnya berubah kacau. Eren saja mengatakan aku gila, apalagi dia. Andhes mungkin mati-matian melarangku melakukan ini karena risikonya besar sekali. Menyerahkan diri pada Ezbur mungkin akan merusak hubungan antara Kurante dan Ezbur. Namun, bila tidak hati-hati, bukan tidak mungkin aku justru terjebak bersama Ezbur seumur hidupku.

Pangeran ketiga Sokhanteé selalu menginginkanku sebagai istrinya.

(Rabu, 8 Mei 2024)

==========

Jangan lupa vote dan komennya yaaa~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro