Bab 1 | Agak Canggung Bersosialisasi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku tidak akan pergi," katanya tegas, aura kelam menyelimuti nadanya.

"Janji?" tanyaku parau, dan suaraku terdengar serak karena aku menahan air mata. Aku benci ini. Aku benci merasa rapuh di depan seseorang yang hanyalah orang asing.

Dia menatapku dalam untuk beberapa waktu, seakan sedang berunding; merenungkan jawabannya. Lalu dia berkata, "Aku berjanji padamu, Wren."

● ● ●

PERJANJIAN melibatkan pemberian sukarela sebuah kata yang mendeklarasikan bahwa, jika dan ketika suatu situasi atau kondisi tertentu muncul, seseorang akan bersedia untuk melakukan apa yang telah dijanjikannya, tidak peduli apa pun itu.

Berjanji, dengan kata lain, menyiratkan kesediaan untuk menaatinya. Orang-orang sering kali berkomitmen pada janji, tetapi tidak pernah bersungguh-sungguh memikirkan arti di balik kata itu. Banyak orang tidak menepati janji yang telah mereka buat.

Namun, aku percaya bahwa aku harus selalu menepati setiap janji yang kubuat karena aku telah merasakan sendiri dampak kehancuran yang timbul ketika tidak memenuhinya. Percayalah padaku.

Aku mengerutkan kening pada bayanganku. Aku mengenakan skinny jeans hitam legam, dan kaos putih kebesaran. Untuk beberapa alasan, rasanya aku telah begitu terikat dengan kaos ini. Sementara itu riasan wajahku benar-benar nihil, dan satu pengecualian hanya untuk sedikit lip balm yang aku gunakan untuk mengolesi bibirku yang pecah-pecah.

Aku pernah mencoba untuk mengenakan perona pipi, dulu sekali, dan gagal total. Saat itu aku justru berakhir terlihat seperti orang yang baru saja terkena cacar air atau malaria.

Kini kau tahu, tidak seperti gadis remaja normal, aku tidak dapat tersipu malu. Ini mungkin kedengarannya aneh, tetapi aku telah mencoba berbagai macam hal untuk membuat wajahku memerah, hanya untuk terlihat lebih merona. Astaga, aku bahkan pernah menampar diriku karena berpikir dengan melakukan itu darah akan naik ke pipiku yang begitu keras kepala ini—sayangnya itu tidak berhasil. Oh baiklah.

Aku punya masalah lain.

Tahun terakhir ini akan berlalu dengan sangat cepat, dan aku ingin memanfaatkannya sebaik mungkin. Jika aku menjadi lulusan terbaik aku pasti akan menjadi kandidat penerima beasiswa universitas. Aku membutuhkan seluruh dukungan finansial yang tersedia; dengan itu aku dapat menghilangkan beban raksasa yaitu biaya pendidikanku dari pundak Ibuku. Dia sungguh telah bekerja terlalu keras.

Aku berlari ke menyusuri tangga setelah memakai sepatuku, seraya membawa beberapa fail yang nantinya perlu kumuat di loker. "Bu, aku pergi sekarang. Oh, dan jangan khawatir tentang sarapan, aku akan baik-baik saja. Doakan aku beruntung!" teriakku. Aku akan membutuhkan dukungannya.

"Sampai jumpa, Sayang! Aku mencintaimu, dan semoga berhasil!" jawab ibu kikuk, suaranya terdengar dari dapur. Dia mungkin sedang membuat kopi, 'jamu kuat'-nya.

Jelas sekali, Ibuku itu termasuk golongan morning-person. Sementara aku, sebaliknya, bukan sama sekali. Keadaan rambutku pagi ini membuat gaya rambut seorang Albert Einstein terlihat lebih seperti bintang lima. Sungguh menyakitkan harus menyisir simpul di sela rambutku yang juga keras kepala. Aku sering mendengar Ibu menggumamkan sesuatu tentang 'mereka tumbuh begitu cepat'. Agak berlebihan, tetapi memang benar, setidaknya sampai batas tertentu.

Rasanya baru beberapa waktu yang lalu aku menjadi siswa baru yang selalu serba gelisah, memandang ke senior dan bertanya-tanya kapan aku mendapatkan giliranku.

Kemudian sebuah suara memekakan menginterupsi pikiranku yang agak sentimental. Diikuti oleh klakson yang dapat menulikan telinga lainnya.

Tentu saja, itu sahabatku yang cantik dan menawan, Mia. Dia berguling ke halaman depan rumahku, dan dalam prosesnya, menerjang semua bunga yang ada. Anyelir malang, aku menggelengkan kepala prihatin. Padahal mereka baru saja mulai mekar.

Dia melontarkan senyum jutaan dolar ke arahku, sebelum mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki, matanya menjelajahi tubuhku. "Masuk ke mobil, aku perlu memberitahumu sesuatu yang sangat penting! Sekarang, cepat!" serunya.

Ya Tuhan, sekarang apa lagi? Aku buru-buru melemparkan tasku ke bagian belakang mobil, mengucapkan pesan duka cita dengan lembut kepada semua bunga mati itu, kemudian meluncur ke kursi depan mobil Ford-nya. Aku segera memakai sabuk pengaman (keselamatan harus yang paling utama) dan berbalik menghadapnya.

"Apa?" tanyaku dengan cemas, karena aku benar-benar peduli padanya. Dia selalu menempatkan dirinya dalam situasi yang sulit dan aku harus menjadi orang yang membereskan segala sesuatunya.

Dia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan lalu berbisik pelan, "Tidak bisakah kau menemukan sesuatu yang lebih baik untuk dipakai?"

Dan kemudian aku menatapnya. Ya, teman-teman, dialah kekacauan yang kau sebut sebagai sahabatku. Dia adalah seorang aktor yang ahli, seharusnya aku tahu.

"Maksudku... lihat dirimu!" lanjutnya, jelas tidak menyadari serangan jantung kecil yang baru saja dia berikan kepadaku. Aku telah belajar untuk mengabaikan komentar-komentar kecilnya yang tajam dan apa yang sebagian orang akan anggap sebagai ungkapan ofensif, inilah cara seorang Mia mengekspresikan 'cintanya'.

"Kau hampir tidak pernah memperlihatkan kulitmu. Ini tahun terakhir kita, Sayang. Kau perlu sedikit lebih bersantai!"

Aku mengerutkan kening padanya, dan ketika aku memerhatikan sedikit lebih dekat, aku mengenali noda cat yang sudah lama ada di sana. Aku menggerakkan jemariku di atas bekas percikan cat kehijauan dengan impulsif.

Rasanya tidak akan ada yang menangkapku hanya karena aku mengabaikan fesyen. Aku memutar bola mataku ke arah Mia, kemudian mengamati rambut pirang gadis itu yang kini melengkung sempurna tersanggah kacamata hitamnya.

"Aku baik-baik saja seperti ini, Mia, sungguh. Kau tampak keren," aku mengakui dengan jujur, karena dia memang luar biasa, dengan rambut pirang sampanye dan gradasi cokelat, bibir dipoles merah marun, atasan peplum hitam dan celana jeans denimnya.

"Berkelas dan memukau. Aku hanya memilih yang lebih... mmm, bagaimana aku mengatakannya, ya? Gaya yang nyaman," lalu aku terdiam, membiarkan jemariku bergerak di atas sepasang cincin yang menjadi bandul di kalung rantai perak di depan dadaku.

Dia menyeringai, meluruskan pandangannya ke jalanan di depannya. "Aku sedang berusaha, kau tahu. Untuk membantumu. Di usia kita saat ini, yang paling kau—sahabatku, butuhkan, adalah seorang kekasih. Kau terlalu serius."

"Ada sesuatu yang disebut prioritas, kau tahu. Saat ini oksigen ada di bagian teratas dari daftarku—bukan memiliki kekasih. Dan setelah oksigen, sekolah adalah prioritas selanjutnya untukku. Aku harus fokus pada nilai akademisku; kau tahu bagaimana Ibuku selalu bekerja sangat keras. Aku membutuhkan beasiswa," protesku, memotong kalimatnya dengan efektif. Aku tidak ingin membicarakan tentang hal ini sekarang.

"Baiklah, Sayang," katanya, "tolong tinggalkan esai bahasa Inggrismu. Dan, omong-omong tentang hal yang berkaitan dengan sekolah, kita sudah di sini!" dia mengumumkan, "selamat datang di tahun neraka Eastview High."

Aku berbalik menghadap gedung SMA yang terlihat sangat familiar. Sekolahku sebenarnya adalah salah satu sekolah menengah atas terbaik di luar sana. Inilah salah satu alasan kenapa Ibuku bekerja sangat keras untuk membayar tagihannya. Tentu saja, ini sekolah swasta. Sekolahku adalah salah satu sekolah swasta yang tidak mewajibkan siswa mereka mengenakan seragam. Aku menghela napas lelah, bertanya-tanya apakah tahun ini akan sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Berulang repetitif.  

Aku selalu menjadi anomali. Aku tidak memiliki orang tua yang kaya raya seperti yang lainnya. Meskipun demikian, aku bangga menjadi diriku, karena aku percaya suatu hari semua kerja kerasku akan membuahkan hasil. Dan hari itu akan menjadi sebuah momentum istimewaku. Tidak akan ada yang peduli pada orang yang menghakimimu hanya karena noda cat di celana skinny jeans-mu, benarkan?

Benar.

Aku melangkah keluar dari mobilnya, memandang sekilas ke bangunan di luar sebelum berjalan masuk bersama Mia di sampingku. Kemudian aku tersadar. Aku harus berpisah dengannya.

"Sampai jumpa!" kataku kepada Mia dengan tergesa-gesa, "aku harus pergi!" Aku tersenyum kilat padanya. Dia menatapku dengan cemas, sebelum akhirnya semua itu terhapuskan ketika dia membalas senyumanku.

"Baiklah. Sampai jumpa saat makan siang Wren!" katanya, sebelum memelukku sejenak.

Faye Archer berjalan dengan sinar penuh rasa percaya diri di matanya, dan orang-orang tahu bahwa lebih baik menghindar daripada menghalangi jalannya.

Malangnya aku, ketika dia menghilang, segerombolan orang datang mendekat, dan kini lorong kembali dipenuhi para remaja seusiaku. Jika aku tidak bergerak gesit, aku akan tergencet dan gepeng. Oke, mungkin agak terlalu dramatis, tetapi poinku masih valid. Aku berlari menuju kamar kecil perempuan, tanpa berpikir panjang.

Sayangnya, perjalananku menuju ke sana tidak berakhir semulus yang aku kira.

Aku nyaris saja terjengkang ketika sepersekian detik kemudian tubuhku menabrak sesuatu yang keras, dan tubrukan tiba-tiba itu membuatku sedikit kehilangan keseimbangan. Kala tersadar dan mendapati hoodie merahku terjatuh, aku segera membungkuk untuk mengambilnya, dan dalam situasi seperti itu, otakku hanya dapat mengingat sekelebat rambut hitam gelap. Hanya itu.

Karena tentu saja, aku langsung berlari,

Untungnya, aku berhasil sampai tepat waktu di kelas Matematika, mata pelajaran pertamaku hari ini. Aku menarik lengan jaketku, dengan gugup, tanpa sadar meraba kalung rantai perak yang melilit leherku. Apa yang baru saja terjadi? Dengan siapa aku bertabrakan tadi?

Namun, ketika tiba-tiba Asheer Reed dan kelompoknya masuk ke kelas. Aku jadi mulai bertanya-tanya kenapa mereka mau repot-repot datang ke sekolah, mereka sangat kaya sampai rasanya orang tua mereka dapat dengan mudah membelikan mereka sebuah gelar.

Mereka semua tinggi, besar, dan berotot. Singkatnya, mereka adalah manusia yang sempurna. Namun, walau begitu, Asher agak menonjol. Dia bahkan lebih tampan dari yang lain, kalau ketampanannya itu masih dapat distandarkan.

Dia jarang berekspresi; wajah kecokelatannya sering menatap kosong, rambut pirang gelapnya yang agak berantakan membingkai tulang pipinya yang tegas, anak rambutnya mencuat di sana-sini, selalu seakan menentang gravitasi.

Kutu buku bukanlah kata yang akan aku gunakan untuk menggambarkan diriku. Aku juga bukan anti-sosial, hanya saja agak canggung bersosialisasi. Setidaknya sampai kau mengenalku dan aku merasa cukup nyaman berbicara denganmu. Aku bukan orang yang dapat memulai percakapan dengan sukses dan membuat percakapan itu terus mengalir. Aku hanya tidak ingin mendapatkan tekanan dari suatu hubungan secara umum.

Aku sudah merasa cukup dengan segala kekhawatiranku sendiri dalam beberapa tahun terakhir ini dan aku tidak ingin menjadi korban dunia sosial sekolah lagi. Aku percaya ketika kau mulai membiarkan seseorang menjadi sesuatu yang bahkan sekadar figur teman, kau telah secara tanpa sadar memberikan mereka izin untuk melukaimu. Aku menundukkan kepalaku, menarik hoodie-ku lebih dekat ke wajahku, dan mengabaikannya.

Beruntungnya aku, Asher dan geng kecilnya masuk ke bagian belakang kelas, dan mereka tidak melihatku menatap ke arah mereka dengan intens. Aku benar-benar harus berfokus.

Jadilah aku duduk di sana selama pelajaran Aljabar dan mencatat dengan penuh perhatian. Aku sebenarnya mulai menikmati pelajarannya (Ya, kau membaca dengan tepat. Jangan coba menghakimiku) ketika sebuah bola kertas berukuran sedang seukuran tanganku menyentuh bagian belakang kepalaku. Membuka kertas dan menghaluskan lipatannya, aku menemukan kata-kata 'Hai, Cantik' tergores dengan tinta hitam di sana.

Jantungku berhenti berdetak sesaat. Apakah ini untukku? Aku kira pertanyaan sebenarnya adalah: apakah aku menginginkannya untukku?

Aku berbalik untuk menatap langsung ke arah salah satu teman terbaik Asher dan badut kelas: Zachary Chandler.

Wajah rupawannya kini memerah di bawah tatapan maut yang aku lemparkan padanya. Mia pernah mengatakan kepadaku bahwa aku memiliki salah satu tatapan orang yang paling menakutkan, tetapi aku tidak memercayainya.

Dia menunjuk ke arah Anya, gadis yang duduk di sebelahku, menyiratkan bahwa bola keras itu dimaksudkan untuknya. Oh, benarkah?

Dan kemudian aku melakukan sesuatu yang aku yakin akan aku sesali seumur hidup. Aku, Wren Martin, mengambil bola kertas yang tergeletak di sisi mejaku, dan melemparkannya tepat ke gadis yang memuakkan itu.

Dan yang mengejutkanku adalah bola kertas itu mengenai tepat keningnya. Dia menatapku, berkedip dua kali, lalu menatapku lagi, mengerutkan hidungnya dan menyipitkan matanya.

"Dari Zachary yang duduk di sana," aku menunjuknya, mengarahkan ibu jariku ke belakang ke arah Zack.

Tiba-tiba aku menjadi sadar akan fakta bahwa seluruh kelas telah melihat kelakuan kecilku dan benar-benar tertawa. Aku bahkan mendengar Zack tertawa. Ya ampun! Apa yang telah aku lakukan? Bicara omong kosong tentang fokus dan tidak diperhatikan.

"Apa sebenarnya yang membuatmu begitu terhibur, Zachary?"

Itu bukan aku, tetapi Mr. Brakeman, guru Matematika kami, yang sangat tidak menyukai tingkah  Zack. Jika aku seorang guru, aku juga akan sama, kurasa.

Zack bergabung di kelas Matematika Terapan bukan karena dia mahir dalam Matematika, bukan. Dia adalah siswa biasa-biasa saja dan dia di sini hanya karena ayahnya, seorang pengusaha kaya yang memaksakan putranya harus berada di kelas ini, tidak peduli apa pun.  Dan, karena orang yang lebih kaya dari sekitarnya selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan, di sinilah Zack, duduk di kelas Matematika tingkat tertinggi.

Aku menggigit bagian dalam pipiku dan menelan ludah dengan gugup, menunggu Zack menyebut namaku ketika dia mencoba menjelaskan kenapa dia terkikik seperti hyena kepada Mr. Brakeman.

"Tidak ada, Sir," Zack bergumam, menahan tawa. Wow, dia baru saja melindungiku.

"Aku pikir juga begitu. Tidak akan terlalu menyenangkan jika punya nilai rapor yang sama denganmu."

Aduh. Aku sungguh merasa bersalah sekarang, meskipun dia yang memulainya. Aku tidak perlu membuang bola kertasnya dengan bertindak impulsif. Fakta bahwa aku bertindak berdasarkan dorongan hati membuatku cemas, karena aku biasanya memikirkan semua hal sebelum melakukan sesuatu yang drastis.

Aku berhenti menggerogoti ujung penaku, karena beruntung, kelas sudah selesai sekarang. Aku rasa tidak ada orang yang benar-benar akan memerhatikanku karena aku lebih pendek dari tinggi rerata gadis seusiaku, terlebih aku selalu mengenakan hoodie menutupi setengah wajahku. Aku menghela napas. Tahun ini sepertinya akan menjadi menarik, dan jujur saja, aku tidak tahu apakah itu hal yang baik atau buruk.

Setelah kelelahan seharian, jam makan siang akhirnya tiba. Aku menghela napas lega ketika aku melihat Mia dengan heboh melambai kepadaku dari lingkaran terendah kafetaria, aku langsung mengenali rambut pirang ikalnya.

Bentuk area besar tempat kami makan adalah lingkaran—tipe arsitektur yang unik dan terdiri dari tangga berundak berbentuk cincin yang memenuhi ruang. Setiap undakannya akan semakin tinggi dan semacam kerucut ketika bertemu di puncak tertingginya.

Di setiap undakan ada meja dan kursi, aturan sederhananya begini, semakin populer dirimu, semakin tinggi posisi dudukmu. Ini adalah sistem yang dipatuhi oleh semua penghuni sekolah, dan tidak perlu dijelaskan lagi. Ini memang agak tidak masuk di akal, jika kau bertanya pendapatku.

Kami menuju tempat biasa kami makan, di lapisan luar kafetaria. Sebuah tempat di mana hampir tidak pernah ada orang yang lewat dan benar-benar peduli tentang apa yang terjadi di sini, jadi aku berani menurunkan hoodie-ku.

"Aku sungguh berharap kita bisa berada di setidaknya satu kelas yang sama! Aku merasa sangat sendirian," erangku.

"Ya. Tapi itu juga berarti kau sangat membutuhkan orang lain untuk menggila. Karena kau selalu menyimpan semua kegilaanmu sendiri, dan kemudian setiap kali kau melihatku, kau seakan sedang mengucapkan selamat tinggal pada kewarasan." Dia menyeringai.

"Haha, sangat lucu," gumamku, mencoba menikmati sarkasmeku.

Aku sebenarnya tidak tahu kenapa Mia tidak memiliki teman selain aku. Kami sesungguhnya sangat berlawanan. Dia dengan penampilan, pakaian, dan sikapnya yang sempurna. Dan kemudian aku yang berkulit kecokelatan, bertubuh mungil, dan tidak memiliki selera warna fesyen yang bagus kecuali noda cat warna hijau keruh.

Dia, dalam segala hal yang memungkinkan—adalah kesempurnaan, dan aku persis seperti yang selalu dia tuduhkan: gila. Kami seperti potongan puzzle yang tidak cocok, tetapi entah bagaimana direkatkan dan dibuat untuk terus bersama.

Kami bertemu setahun yang lalu, ketika Mia masih baru di sekolah ini. Segera saja, dia diperhatikan oleh banyak orang populer. Para siswa laki-laki dan perempuan yang tidak tahu apa-apa tentang dirinya ingin menjadi 'temannya'—mungkin juga sesuatu yang lebih dari itu.

Kami pertama kali saling berbincang di kelas bahasa Prancis di tahun pertamaku, belum lama ini. Dia adalah gadis yang pandai bersosialisasi dan paling ramah yang pernah kukenal. Aku dulu tidak menyukai cara bicaranya yang persuasif, dan penampilannya yang cantik, tetapi aku selalu mengagumi keanggunan dan kesopanannya. Kami duduk bersebelahan di kelas bahasa Prancis dan Biologi, dan dia pasti akan menyalin tugasku.

Dan aku tidak pernah merasa keberatan.

Pada saat itu, beberapa gadis sering mengajak Mia ke pesta, begitu mengabaikanku. Aku sudah bersiap untuk pergi, karena yakin Mia akan meninggalkanku dan aku pun merasa akan baik-baik saja dengan kesepian itu, aku yakin aku bisa menjalani kehidupan yang bahagia hanya dengan bersama buku-buku.

Anehnya, Mia langsung menolak tawaran mereka, dengan mengatakan bahwa dia sudah memiliki rencana pada hari itu. Setelah itu dia mengedipkan matanya padaku, dan aku membalasnya dengan senyuman. Mungkin itu awalnya. Pada kenyataannya, jika dipikir-pikir, itulah pasti awalannya. Setelah itu orang-orang mengasosiasikan Mia denganku, jadilah kami berdua dikelompokkan sebagai 'si payah'.

Intinya, aku sangat menghargai Mia karena hari itu dia bisa saja mengatakan ya kepada gadis-gadis itu. Dia bisa saja meninggalkan gadis aneh yang suka melukis, tetapi tetap membenci lukisannya ini pada saat yang bersamaan. Gadis yang mengenakan hoodie merah darah sepanjang waktu. Aku. Dia bisa saja melakukannya. Namun, dia tidak begitu. Dan itulah satu-satunya alasan kenapa aku duduk bersamanya hari ini, saat ini.

Aku senang kami bertemu, atau, benar seperti katanya, aku tidak akan memiliki siapa pun untuk diajak menggila. Aku rasa aku bisa lebih bersantai ketika aku bersamanya. Dapatkah kau mengoreksi aku? Rasanya dari tujuh miliar manusia yang ada di dunia ini, aku hanya punya satu teman sejati. Aku memberinya senyuman tulus, "Apa kau tidak bosan denganku?"

"Jika aku bosan denganmu, aku tidak akan duduk di sini," katanya.

"Jadi kenapa?" tanyaku, menatap burger yang tampak lezat di depanku ini. Kantin sekolah kami sebenarnya menyajikan makanan enak. Bukan pilihan yang paling sehat, tetapi semuanya terasa luar biasa,

"Entahlah," katanya blak-blakan, "ada lima orang aneh mengajakku kencan, tapi itu bukan sesuatu yang penting," lanjutnya, tanpa basa-basi, "dan kau?"

Aku mengalihkan tatapan laparku dari makanan ke Mia dan merenungkan sesaat apakah aku akan mengunyah burgernya dalam gigitan besar, atau menguraikan kejadian menarik di kelas Matematika tadi. Aku melihat ekspresi termenung serius Mia, dan aku tertawa.

"Zack Chandler melemparkan bola kertas ke arahku," seruku, langsung menyesali kata-kata yang baru saja kukatakan.

Dia terdiam selama beberapa saat, otaknya mungkin sedikit lamban mencerna informasiku, dia berkedip-kedip ke arahku sebelum akhirnya melakukan jeritan histeris tanpa suara.

Mia sudah naksir Zack selama dua tahun terakhir ini sejak dia pertama kali melihatnya, itulah kenapa dia berteriak tanpa suara. Dia tidak berani mengajak Zack kencan dan selalu menghindar ketika Zack ada di sekitarnya (yang tentu saja sangat bertentangan dengan kepribadiannya yang selalu ceria).

Padahal aku yakin Zack pasti akan tergila-gila dengan obrolan tidak masuk akal dan penampilan sempurna Mia. Aku terus mengatakan itu padanya tetapi kemudian dia malah bergumam tentang takdir dan nasib.

"Secara teknis, bola kertas itu tidak benar-benar ditujukan kepadaku, tapi—" kalimatku diputus oleh seruan Mia.

"Kenapa kau tidak memberitahuku sebelum ini?!" dia menjerit. Aku bersumpah dia sedang berada di ambang hiperventilasi.

"Kau harus tenang. Inilah sebabnya aku tidak ingin memberitahumu!" desisku.

"Oke, oke. Aku akan berhenti. Tolong ceritakan semuanya," serunya.

"Kejadiannya di kelas Matematika, pelajaran pertama, dan aku hanya duduk di sana, ketika bola kertas besar mengenai kepalaku. Aku berbalik, dan akhirnya tahu bahwa Zachary Chandler lah yang baru saja melemparku dengan bola kertas lecek! Tapi sebenarnya itu untuk Anya, yang duduk di seberangku..."

"Lanjutkan," tuntutnya, seraya melambaikan tangannya secara dramatis, memberi isyarat agar aku melanjutkan ceritanya.

"Jadi..." aku ragu. Aku tahu persis apa reaksi Mia ketika aku mengatakan kepadanya sisa ceritanya.

"Aku mengambil bolanya dan melemparkannya ke Anya," kataku, cepat.

Dia mengerutkan keningnya, tidak menjawab. Aku tahu apa yang dia pikirkan.

Dia tahu bahwa mengusik salah satu anak laki-laki itu pada dasarnya—sama artinya dengan bunuh diri sosial. Jika kau ingin drama di masa SMA, silakan dan lakukanlah. Dan itulah tepatnya yang baru saja aku lakukan—padahal aku, orang yang paling terakhir menginginkan semua itu.

Aku pernah mempelajari tentang efek kupu-kupu sebelumnya, tetapi aku tidak pernah memercayainya. Ini merupakan teori ilmiah yang menyatakan bahwa satu kejadian, tidak peduli seberapa kecil pun itu, dapat mengubah arah alam semesta selamanya.

Mungkin inilah kejadian kecil dan bodoh itu.

Dan mungkin inilah awal mula ceritaku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro