Bab 2 | Si Merah Kecil

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Di penghujung hari sekolah, bel berbunyi⁠—suara keras menyebalkan dan membosankan  yang dibenci seluruh siswa tapi juga dicintai secara bersamaan.

Tas tidak boleh dibawa masuk ke dalam perpustakaan untuk menghindari kemungkinan pencurian. Aku selalu menganggap peraturan seperti itu membingungkan⁠—kenapa mencuri buku kalau kau bisa meminjamnya lalu mengembalikannya di kemudian hari? Atau yang lebih baik lagi, ketika orang tuamu dapat membeli seluruh isi rak buku?

Aku meletakkan tasku di depan, berjalan menuju bagian fiksi di perpustakaan; aroma buku baru yang dipajang menyebar di area tersebut, membuat semuanya tercium seperti kayu.

Tanpa berpikir, aku menjentikkan karet rambut yang melingkari pergelangan tanganku sambil menelusuri punggung buku yang terletak di rak-rak untuk mencari apa yang aku cari, sampai akhirnya aku menemukannya.

Aku langsung menarik buku tersebut keluar dari tempatnya. Judulnya tertulis A Thousand Splendid Sun, sebuah novel yang secara mengejutkan belum aku baca.

Dengan sebuah buku di tanganku, aku mengelilingi barisan novel-novel, berjalan pelan di atas lantai berkarpet biru laut, hingga satu punggung buku menarik perhatianku. Aku mengambil buku itu, dan membaca halaman terakhirnya. Jika aku suka akhir ceritanya, aku akan memilihnya. Proses ini berlanjut sampai aku memiliki lebih dari sepuluh buku yang memenuhi tanganku.

Banyak orang tanpa malu menilai buku dari sampulnya. Sebuah pengakuan menyedihkan; Aku menilai buku dari akhir ceritanya. Jangan salah paham, aku bukan penggemar gila dari akhir cerita bahagia, hanya pada yang memang benar-benar bagus saja. Aku percaya pada makna selamanya, bukan pada akhir bahagia, bukan pula akhir yang menyedihkan. Aku sangat menyukai buku, tapi akhir ceritanya membuatku kesal seperti keropeng kecil yang tidak sabar ingin kau cabut.

Aku membelokkan langkahku menuju bagian puisi. Saat mengenali sebuah label punggung buku, aku menariknya keluar dari rak. Sebuah buku yang pernah aku baca lebih dari lima belas kali, dan sebuah buku yang tidak peduli apa pun yang kulakukan namun tetap tidak masuk akal bagiku. Romeo and Juliet.

Ketika aku menarik sebuah buku keluar dari raknya, aku tidak disambut oleh celah kosong yang gelap, tapi sebuah mata turquoise gelap. Dia berkedip. Aku dapat merasakan bagaimana mataku melebar dan dengan gemetar menaruh buku itu kembali, tidak ingin melihat mata biru milik orang yang berada di sisi lain rak tersebut lebih lama lagi.

Sungguh pengalaman yang aneh.

Aku memutuskan untuk kembali lagi di lain waktu untuk menjemput bukuku yang tertinggal itu, lagi pula aku sudah memiliki banyak buku yang menumpuk di tanganku hingga menghalangi penglihatanku, aku tersandung saat berjalan menuju meja pustakawan.

Dia mengernyit bingung dengan banyaknya jumlah buku yang memenuhi tanganku, dan tersenyum lebar ketika aku meletakkan buku-buku itu ke meja pemindai. Dia menghitung novel dengan kecepatan yang ahli sambil menumpuknya menjadi gunungan halaman kuning, lalu kemudian melihatku dengan tatapan kosong.

"Aku khawatir kau sudah melewati batas peminjamanmu, Nona Muda," katanya, lalu kulit gelap pada sudut bibirnya mengkerut ketika dia tersenyum.

"Tapi tahu tidak? Aku akan membiarkannya untuk kali ini." Lalu dia mengedipkan sebelah matanya. Aku mengangguk sopan sambil tersenyum, dan melihatnya dalam diam bagaimana dia memindai buku-bukuku, memerhatikan halaman-halaman pucat itu dengan penuh minat.

"Pilihan yang bagus," ucap pria paruh baya itu pelan. Ketika dia selesai, Aku mencoba cara terbaik untuk membawa tumpukan besar itu, dan akhirnya berhasil, melangkah dengan seperlahan yang aku bisa menuju loker, yang untungnya berada dekat dengan perpustakaan.

"Sini, biar kubantu," sebuah suara yang berat terdengar di belakangku. Seketika, aku terpekik kecil dan menjatuhkan seluruh buku malang yang menjadi korban ketidaksengajaanku.

Berdoa buku-buku tersebut tidak rusak, aku menengadah, dan mataku nyaris keluar dari tempatnya. Di depanku Asher Reed, dan dari dekat matanya terlihat lebih biru dan jernih dari biasanya.

Rambut pirang gelapnya berantakan, yang entah bagaimana terlihat mengagumkan dan menekankan kulit kecokelatannya. Dia menampakkan seringaian congkak, yang memepertegas garis rahangnya. Di tangannya yang kokoh dia menggenggam buku salinan Romeo and Juliet.

"Aku... maaf?" kataku, namun terdengar lebih seperti pertanyaan. Aku mengalihkan pandanganku dari matanya, yang terlihat seperti menarik perhatianku sedikit lebih banyak dari yang aku inginkan.

Aku membungkuk dengan rasa kurang nyaman mencoba untuk mengutip buku-buku milikku yang berserakan di lantai, lututku menyentuh lantai. Sayangnya, dia juga membungkuk, berjongkok dengan tenang. Ketika aku melihatnya, aku dapat merasakan tatapan gelisah dari matanya yang seperti terhubung tepat dengan tatapanku.

Aku berkedip, kemudian bisa merasakan tangannya yang bersentuhan denganku membuatku merasakan mual serta sensasi seperti getaran yang kuat pada kulitku.

"Tidak apa," katanya, lalu bangkit secara tiba-tiba, dan aku bisa melihat tumpukan bukuku sudah tertata rapi di tangannya. Tenang, tanpa suara, dia meletakkan buku-buku itu dengan rapi ke dalam lokerku, sementara aku masih berdiri di tempatku dan mencoba untuk memahami bagaimana bisa seseorang memiliki mata yang benar-benar biru.  

Dia berbalik dan menghadap ke arahku dengan senyum penuh arti bermain di bibir kemerahannya, dan aku dapat melihat lesung pipi muncul di pipinya.

Aku menarik hoodie merah milikku dari loker, dan memegang benda itu sepertinya berhasil memberikan rasa stabil dan tenang. Aku melipat kedua tanganku di depan dada karena jika tidak jantungku yang yang berdetak tidak karuan mungkin akan terbang keluar dari dadaku. Aku mulai mundur perlahan dari laki-laki itu, karena matanya menakutkan bagiku namun juga memesona di waktu yang bersamaan.

Pandangan Asher berpindah dari rambutku dan jaketku lalu sesuatu tampaknya mulai terhubung dalam pikirannya.

"Hei! Kau tidak meminta maaf untuk kejadian pagi ini!" suaranya menyela, menenggelamkan suara gemuruh jantungku.

"Maaf?" tanyaku, menyusupkan satu tangan ke dalam lubang tangan di jaketku, lalu tangan yang satunya lagi, sampai jaketku menutupi separuh dari tubuh bagian atasku dengan kainnya yang berwarna merah. Aku menatapnya bingung kuharap dia menyadarinya, "Aku bahkan tidak tahu siapa kau."

"Ya, kau tahu. Kau yang menabrakku pagi ini, bukankah begitu?" katanya dengan nada bijak.

"Uh oke, itu mungkin benar atau pun salah," kataku, mengingat pagi ini dan bagaimana khawatirnya aku terhadap sesuatu yang sekarang jadi terasa begitu konyol, "Tapi ini SMA. Tempat yang besar, dan mengerikan di mana kau akan bertabrakan dengan orang lain di koridor sekolah. Terbiasalah dengan itu."

Aku memberinya senyuman, mengambil buku A Thousand Splendid Suns dari lokerku dan menutupnya kembali dengan suara dentuman kecil. Sungguh menakjubkan apa yang dapat dilakukan sejumlah kecil adrenalin terhadap seseorang.

Aku contohnya. Aku biasanya tidak sefrontal ini. Aku tidak mengutarakan isi pikiranku, hanya menyimpannya untuk diriku sendiri. Mungkin pengaruh Mia mulai menular padaku. Mungkin laki-laki dengan mata biru yang aneh serta rambut pirang gelapnya membuatku merasa semakin kesulitan untuk mengatur pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam benakku, dan membuatku terus bicara tanpa berpikir.

Aku terus berjalan menyusuri koridor, mendadak merasa bersemangat untuk berada sejauh mungkin dari Asher.

"Oke, Little Red. Apa kau punya nama?" dia berteriak dari ujung koridor, dengan setitik nada geli dalam suaranya.

"Entahlah, apakah aku punya nama?" tanyaku, berbalik dan menyaksikan alisnya mengkerut dengan kegilaanku, kebingungan terlihat di wajahnya. Manis.

Semoga saja dia menganggap aneh diriku yang memalukan ini.

● ● ●

Aku pulang dari sekolah dengan mengendarai bus, dengan fisik dan mental yang kelelahan akibat pengalaman hari ini.

Sekolah itu melelahkan.

Perjalanan dengan bus pun membuatku sangat kesal dan frustrasi.

Alih-alih menggunakan earphones anak laki-laki menyeramkan di belakangku memutar dengan kuat lagu menyedihkannya, gadis dari tingkat dua yang duduk di depanku bersikeras untuk memberitahuku bahan gosip dan berita di dunia, mulai dari siapa yang berselingkuh pada siapa dan kenapa cuaca saat ini pas untuk riasan wajahnya sampai ke guru di kelas lima sekolah dasarnya yang merupakan seorang perayu.

Ada juga Mark, seorang anak laki-laki tingkat akhir dari sekolah kami yang memanfaatkan keadaan bus yang sudah penuh sesak dengan menyusupkan tangannya ke pundakku, 'tidak sengaja' bersentuhan denganku dan duduk terlalu dekat dari yang aku inginkan.

Aku menjatuhkan diri ke atas tempat tidur empuk, melepaskan semua pakaianku. Aku melemparkan sebuah kaos ke atas kepalaku, dan kemudian memeriksa komputer untuk balasan atas tawaranku menjaga anak. Seperti yang aku katakan, aku butuh uang tambahan untuk membantu Ibu, dan saat ini, berhubung aku belum secara resmi berumur delapan belas tahun, ini cara terbaik yang dapat dilakukan. Aku sudah berpikir akan melakukan hal ini cukup lama, tapi tidak pernah benar-benar menjadikannya kenyataan.

Ibu selalu bekerja, dan dia akan kembali nanti saat malam. Dia memercayaiku untuk mengurus diriku sendiri di rumah, ketika dia sedang tidak ada, dan dia tahu soal ideku mengasuh anak karena aku sudah lama mendesaknya dengan ide ini. Setelah beberapa saat, dia dengan berat hati setuju.

Aku menemukan tiga balasan di situs.

Hai, Aku melihat iklan tawaranmu mengasuh anak di area ini. Aku memiliki anak laki-laki berusia delapan tahun yang perlu pengasuh. Mohon segera membalas.

Aku butuh pengasuh untuk anak kembar tiga milikku. Mereka harus dibawa ke taman setiap hari, dan diberi makan. Hubungi aku untuk mendiskusikan bayaran, terima kasih banyak. Oke, apa sebenarnya mereka, anjing?

Ya Tuhan, terima kasih! Aku seorang Ibu yang bekerja, dan aku butuh seorang pengasuh  untuk putriku, Dia menakuti pengasuh yang sebelumnya; Aku hanya ingin memperingatkanmu sebelumnya. Aku bersedia membayar berapapun yang kau mau. Akan aku kirimkan alamat kami padamu, atau kau bisa mengirimkan alamatmu kepadaku. Kita berada di area yang sama, dan aku sebenarnya tidak keberatan di mana tepatnya Everleigh berada. Kau terdengar seperti gadis muda yang bertanggung jawab. Balas jika kau tertarik xoxoxo.

Aku mempelajari setiap balasan-balasan tersebut dengan seksama. Yang pertama terlihat oke.

Aku dapat menangani satu orang anak tapi tiga? Tidak mungkin. Karena itu, yang kedua berarti sudah pasti tidak.

Aku memutuskan untuk memilih yang terakhir. Kedengarannya lebih menyenangkan dari yang lainnya, dan aku yakin dapat menangani satu orang gadis kecil. Aku punya pengalaman.

Aku mengirim email ke Ibu nomor tiga, yang bernama Victoria, memberitahunya kalau aku dapat mengasuh putrinya dari pukul empat hingga enam tiga puluh pada hari kerja acak. Aku juga meneruskan alamatku.

Dia langsung membalas pesanku, mengatakan bahwa dia akan datang untuk mengantarkan Everleigh kecil sekarang, sebab dia punya rapat penting untuk dihadiri. Di akhir pesannya terdapat ribuan 'peluk' dan 'cium'.

Setelah itu, aku pergi ke lantai atas untuk berpakaian dengan sesuatu yang lebih pantas, karena saat ini aku sedang mengenakan kaos besar yang usang. Aku memutuskan untuk mengenakan atasan Mickey Mouse-ku yang dipasangkan dengan denim skinny jeans, dan aku mengikat rambut cokelat gelap sewarna kopi milikku menjadi messy bun, mengenakan  sepatu Converse berwarna biru-navy. Aku pun terlihat rapi.

Saat itulah, terdengar suara 'ding-dong'. Victoria mungkin sudah di depan pintu. Aku tersentak turun, dan membuka pintu. Di hadapanku berdiri seorang wanita yang terlihat sangat cerdas dan berkelas, dan dia juga cantik. Dia memiliki rambut pirang-kecokelatan, mata cokelat, dan sedikit lip gloss merah muda terang. Dia melihatku sekilas, dan kemudian memelukku dengan sangat hangat.

Aku melihat ke bawah, dan saat itulah aku melihatnya: seorang gadis kecil manis, berlesung pipi mengenakan gaun perinya, takut-takut bersembunyi di belakang Ibunya dengan tatapan keras kepala pada raut wajahnya. Aku melepaskan pelukan Victoria, dan mengatakan ke gadis kecil itu, "Aku suka gaunmu!"

Dia melepas pegangannya pada kaki Ibunya dengan ragu-ragu, dan menengadah melihatku dengan mata cokelatnya. "Sungguh?" tanyanya.

Aku tertawa, dan gadis itu tersenyum. "Ya, Aku bisa memberikanmu sayap peri yang cocok dengan gaun itu, jika kau mau."

Dia mengangguk dengan penuh semangat. Lalu Ibunya menggendongnya dan menempatkan ciuman yang dalam pada kening gadis itu.

"Wren ini Everleigh, Everleigh, ini Wren. Dia akan menjagamu sampai Ibu kembali untuk menjemputmu. Jangan terlalu menyulitkan Wren, oke?" Dia tertawa kecil ketika Ibunya menggelitik perutnya.

"Oke, Bu. Kau boleh pergi sekarang. Aku tidak akan menyulitkan Wren!" katanya. Bisa kulihat dia cukup bersemangat terhadap sayap-sayap itu.

Victoria menurunkan putrinya. Dia meraih tanganku dan meletakkan sesuatu yang hangat dan rata. Aku menunduk, ke arah tanganku yang diisi dengan banyak uang kertas.

Dia menggumamkan 'terima kasih' yang tulus kepadaku sebelum aku dapat membalas sikapnya yang sangat murah hati. Kemudian dia bergegas ke arah Mercedes hitamnya yang mulus dengan stiletto berwarna nude miliknya. Aku pun menggendong Everleigh, "Jadi Everleigh, apa yang ingin kau lakukan hari ini?"

"Aku mau menonton SpongeBob!" dia memekik.

Aku menatapnya, "Aku juga suka SpongeBob!" kataku. Dan kemudian dia memberikanku seringaian lebar yang aku tidak tahu bisa dilakukannya, lalu mulai bernyanyi 'Who Lives In A Pineapple Under The Sea' versi sumbang. Aku menurunkannya ke atas sofa dan menyalakan TV layar datar kami.

"Aku suka padamu, Wrennie," katanya, matanya melekat pada layar TV. "Kau bisa memanggilku Ever."

"Oke, Ever." Aku tersenyum pada caranya menyebutkan namaku, suka dengan bagaimana namaku terdengar ketika dia mengatakannya. "Kau suka berondong jagung?"

● ● ●

Aku duduk di sofa memerhatikan Ever di sebelahku, tubuhnya yang kecil bersandar padaku sementara kakinya berselonjor di atas sofa.

Setiap beberapa menit dia akan memasukkan tangan kecilnya ke dalam mangkuk berondong jagung dan mengunyah sementara perhatiannya tertuju pada TV.

Dia memekik saat melihat sesuatu yang terjadi di layar, dan aku tidak bisa menahan tawa karenanya. Dia terlalu mengingatkanku pada Emma. Bahkan nama mereka mirip. Sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalaku.

"Ever. Bisakah kau jadi anak baik dan duduk di sini sementara aku pergi mengambil sesuatu sebentar?"

"Ya," katanya, menatapku saat aku bangkit dari sofa. Aku berlari ke lantai atas dan menemukan kotak perak kecil, serta kuncinya di kamarku. Kubuka kotak itu, mengeluarkan gelang kecil, yang tampak rapuh, cukup kecil untuk pas di pergelangan tangan Ever.

Lalu, bel pintu bodoh itu memutuskan untuk berbunyi lagi. Mungkin Ibu Ever kembali untuk menjemputnya. Tapi juga bisa tidak...

Oh, fudgesticks.

"Ever! Jangan membuka—"

Ketika aku hampir berada di anak tangga terbawah, aku mendengar suara.

Terlambat.

Keduanya terdengar tidak asing. Salah satunya sudah pasti suara Ever, dan suara lainnya terdengar berat dan dalam tetapi tetap familiar. Itu sudah pasti bukan Victoria. Kecuali, kau tahu, dia mendapatkan implan kotak suara dalam perjalanan atau semacamnya. Aku mendengar pembicaraannya lebih jelas setelah aku maju ke depan.

Mengintip sedikit ke dalam ruangan, Aku dapat melihat Ever dalam gaun peri, dan sayapnya yang baru. Dia dipeluk oleh figur tinggi itu, lalu menatap laki-laki itu dengan rasa sayang, "Ash! Aku rindu padamu!" teriaknya.

"Oke, Ever, tidak perlu mencium kakakmu, semua orang tahu alasan sesungguhnya kau berperilaku seperti malaikat itu karena kau sudah disuap dengan cokelat atau sesuatu," kata suara itu tegas.

"Tidak!" dia membela diri, jelas marah pada apa yang baru saja dikatakan  laki-laki itu.

"Aku suka Wrennie. Dia baik sekali padaku. Dia memberiku berondong jagung; yang bermentega, dan sayap peri, dan membiarkanku menonton SpongeBob, dan dia cantik. Dan aku suka sekali berondong jagungnya. Oh, dan Patrick yang lucu!" dia terus mengoceh.

Aku tertawa dan berterima kasih pada Ever yang membelaku walaupun aku hanya orang asing untuknya. Aku memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyianku, berhubung menguping sepertinya terlalu mengganggu.

"Ever! Aku punya sesuatu untukmu sebelum kau pergi!" Aku tersenyum.

Tapi senyum itu menghilang dari wajahku ketika aku mengenali rambut pirang gelap dan sepasang mata biru terang. Aku membeku, mataku melebar saat dia menatapku dengan rasa penasaran yang sama, sementara aku bisa merasakan roda penggerak berputar di kepalanya.

"Little Red." Aku mendengarnya bergumam, pelan. Aku sedikit meringis, mengalihkan mataku darinya dan kemudian benci pada diriku sendiri yang terlalu terpengaruh pada iris biru miliknya. Aku menoleh kepada Ever.

"Ever, ini adalah..." kataku, menggerakkan mataku ke arah laki-laki yang mengenakan jeans hitam mahal dan kemeja berkancing bewarna biru gelap yang lengannya ia gulung.

"Kakak bodoh!" Ever menyelesaikan kalimatku, dan aku tersenyum geli.

"Hei!" serunya, menggelitik perutnya sedikit. Dia mengeluarkan suara memekik lagi, bangga dengan dirinya sendiri karena baru saja menghina kakaknya. Aku memerhatikan diam-diam, tidak ingin mengganggu momen sentimental mereka.

Rasanya menarik memerhatikan perilaku Asher terhadap adiknya.  Itu tidak cukup membenarkan sifat berhati-dingin yang banyak dikatakan para perempuan.

"Ever," kataku, sekali lagi.

Aku mengulurkan tangan ke gadis kecil itu. Dalam telapak tanganku terdapat gelang mutiara kecil, cukup besar untuk bisa muat pada pergelangan tangan Ever. Pandangan kedua saudara itu tertuju pada tanganku.

"Ini untukmu, ini milikku dulu." Aku tersenyum sopan, mengabaikannya ketika aku memakaikan gelang tersebut ke tangan Ever. Ever langsung menyentuh dan menatap kagum pada harta karun kecil yang baru saja dia temukan.

Aku dapat merasakan tatapan lekat Asher berpindah padaku, dari sudut mataku. Dia terus memerhatikanku tanpa malu, tidak mau repot-repot menghalangi mata birunya agar tidak bergerak liar. Dia akhirnya berhenti, dan menggendong adik perempuannya, lalu berkata dengan nada rendah, "Oke, waktunya pergi, Ever."

Ever menatapnya dengan tatapan memelas, "Aku mau tinggal di sini, Ash," katanya pelan.

"Jangan khawatir," dia meyakinkannya, dan aku masih saja diam, "kau mungkin akan kembali lagi ke sini besok."

Dia mulai berjalan menuju pintu, dan aku menghentikannya, meletakkan tanganku pada pundak yang tegang. Dia berbalik, dan aku mengalihkan pandanganku ke tempat lain selain matanya, menurunkan tatapanku ke bibirnya. Ide buruk.

"Ya?" tanyanya.

"Aku um... aku..." Aku memulai, tapi langsung berubah pikiran, menyelesaikannya dengan, "Tolong berkendaralah dengan pelan, Ever baru saja akan tidur. Kupikir tidak ada yang menginginkan kecelakaan terjadi," kataku, mengedik ke arah Ever yang terlihat mengantuk.

Gambaran-gambaran muncul di dalam benakku dengan usapan yang liar, aku berusaha semampuku untuk mengenyahkan pikiran mengganggu itu dari kepalaku. Tidak membantu. Mereka justru bermunculan.

Dia tertawa kecil padaku dan wajahnya terlihat sama bingungnya seperti pagi ini. Dia memerhatikanku seolah aku adalah soal matematika yang perlu dipecahkan.

"Tentu saja," katanya.

Aku balas menatapnya dan tidak memperlihatkan humor atau apa pun, kujaga wajahku tetap sedatar mungkin.

Pertama kalinya, aku mengumpulkan cukup keberanian untuk balas menatap matanya, dan aku nyaris terlonjak ketika di sana terlihat kesedihan, aku menyadari  gelombang rasa sakit mengitari lingkaran biru terang yang kemudian terserap pada pupil hitamnya.

Aneh.

Dia mengangguk sekilas ke arahku, membuka kendaraannya, dan meletakkan Ever di kursi belakang mobilnya. Dia merenung sesaat di luar kendaraanya, dan menyusupkan tangan ke rambut gelapnya yang berantakan.

Aku menutup pintu, dan merosot ke permukaan kayu, terjatuh pelan ke lantai. Aku menatap kosong ke depan ketika ketika gambaran-gambaran melambung, terbang, dan merajut jalan mereka ke dalam pikiranku dengan paksa atau pun secara kebetulan.

Aku melihat Emma, muda dan kecil serta terlalu cantik untuk meninggal, berlumur darah dan keringat serta air mataku.

Aku melihat Ever, tertawa dan tersenyum tanpa peduli pada dunia, kepolosan bersembunyi pada matanya yang berwarna cokelat.

Aku melihat Asher, dengan lautan kesedihan menggenang di matanya dan terpancar dari wajahnya, gelombang yang awalnya melintas, dan kemudian menghancurkan dengan kejam sepanjang irisnya.

Kutarik lututku ke dalam rengkuhan tanganku, aku menangis pelan, dan kain dari pakaianku yang menyerap air mata.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro