Bab 3 | Pisang yang Jahat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Setelah aku menyelesaikan PR, aku mengganti celana jeans dan atasanku dengan piama, kejadian di hari ini mendera pikiranku.

Aku tidak percaya jika dalam satu hari, seluruh hidupku akan mengalami revolusi. Aku pernah berhubungan dengan seorang laki-laki sekali seumur hidupku dan luka yang ditinggalkannya tidak dapat disembuhkan.

Memang benar kalau perubahan adalah satu-satunya hal yang konstan dalam hidup, tetapi bagaimana kalau kau belum siap dengan perubahan? Aku ingin menjauh dari orang-orang, tetap menjadi pribadi sederhana.

Sejujurnya aku tidak tahu bagaimana semua ini bisa terjadi, saat kau mengasuh adik dari laki-laki paling populer di sekolahmu, dan kau membuat laki-laki paling populer nomor dua di sekolahmu mendapat masalah, dalam satu hari.

Mereka jelas kini akan menyadari keberadaanku. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, karena selama ini hanya hoodie-kulah yang selalu melindungiku dari kekejaman akibat menjadi bagian tidak populer secara sosial di sekolah, begitu juga dengan rasa sakit dan penghinaan.

Aku menghela napas pelan dan meringkuk ke atas kasur, membalut diriku dalam selimut warna-warni nenekku. Aku tidak akan bisa tidur tanpa ini.

● ● ●

Seperti biasa, aku berpakaian pagi ini untuk pergi ke sekolah. Aku menggunakan atasan tak berlengan berwarna pastel-merah muda dengan jeans hitam dan sepatu putih docksides untuk melengkapi pakaian sederhanaku. Aku bergegas ke lantai bawah, menuju ke dapur, di mana aku disambut oleh Ibu.

"Hai, Sayang! Kau terlihat cantik hari ini. Maaf aku pulang terlambat kemarin malam, hanya saja pekerjaan menjadi sangat berat di waktu-waktu seperti ini, kau tahu, kan?"

"Bu, kau tidak perlu bekerja sangat keras. Sungguh. Aku tidak tahan ketika kau terlalu memaksa dirimu sendiri," balasku, memutar bola mataku pada kantung mata Ibu yang sering menghitam.

Dia selalu menggunakan alasan yang sama bahwa pekerjaan menjadi sangat 'berat' di waktu-waktu seperti ini. Ibuku, Claire Rose, adalah seorang perawat. Dia bekerja di Rumah Sakit dan Pusat Penelitian Altemore, berjarak dua puluh menit dari rumah kami.

Dia sering merawat pasien yang harus bermalam, dan juga mereka yang masa pemulihannya membutuhkan waktu yang lama, dia juga terkadang ditugaskan untuk membantu di ICU. Dia adalah wanita paling penurut sedunia, dan dia sering kesulitan untuk menolak ketika seseorang memintanya untuk tinggal hingga malam dan merawat pasien tertentu.

"Aku menyayangimu, Wren. Aku akan pastikan kau mendapat yang terbaik dari yang terbaik. Dan jika itu berarti aku harus bekerja keras dan menjadi budak di tempat kerja dari senja hingga fajar, maka akan kulakukan," dia berargumen, tegas.

Aku sangat menyayangi wanita ini, hingga sulit diterka lagi bagaimana bentuknya. Dia melakukan banyak hal untukku, dan itu tidak pernah berhenti membuatku takjub bagaimana satu orang dapat memancarkan kebaikan dan cinta sebanyak ini.

"Aku lebih menyayangimu, Bu," kataku, sembari memberikannya pelukan yang hangat dan tulus. Aku melepas pelukanku dan mengambil sebuah apel dari keranjang buah di meja dapur, "Sampai jumpa lagi nanti!"

"Aku akan lihat bila aku bisa pulang cepat hari ini, oke? Sampai jumpa, Sayang!"

Dia tidak pulang cepat hari ini. Tidak pernah. Aku menunggu beberapa saat di luar, ketika aku memutuskan untuk memeriksa ponselku untuk mencari pesan yang ditinggalkan Mia. Namun tidak ada. Aku baru akan menghubungi Mia untuk memastikan bila dia akan menjemputku hari ini, aku mendengar suara mesin. Itu dia.

Mia melihat ke arahku dengan senyum lebar, dan mengisyaratkan kepadaku untuk 'ayo naik, payah'. Aku ingat kalimat itu dari Mean Girls, salah satu film kesukaanku.

Aku membalas gerakannya, melempar tas selempangku ke kursi belakang mobil. Perjalanan menuju ke sekolah diisi dengan Mia dan aku berdiskusi apakah dia harus berkencan dengan salah satu dari banyak laki-laki yang mengajaknya berkencan:

"Katakan ya pada laki-laki malang itu, dia juga lumayan manis!" seruku, memerhatikan pemandangan dari jendela mobil di sebelahku yang kabur menjadi banyak warna, sebagian besar berwarna hijau gelap.

"Tidak mungkin, Wren, apa kau gila? Laki-laki itu aneh sekali!" Mia mengerang, dan aku tahu dia benar karena itu aku tidak membantahnya soal yang satu ini.

"Jahat. Bagaimana dengan Michael? Dia manis, dan memperlakukan orang lain dengan baik," saranku, memerhatikan bagaimana alis Mia yang dibentuk sempurna mengkerut ketika dia memberengut.

"Aku tidak yakin, dia seperti tipe player."

"Uh, begitu juga dengan Zack," kataku langsung. Dia terlihat meringis.

"Diamlah, Wren! Aku masih menyukainya. Lagi pula, kau sudah keluar dari topik pembahasan. Dia tidak mengajakku berkencan."

Mia sangat menyukai Zack. Dia perlu membuat laki-laki itu melihat keberadaannya, atau biar aku yang melakukannya untuk dia. Mereka akan menjadi pasangan yang sangat manis, sebenarnya.

Jadi aku mengancam, "Aku akan meninggalkan pesan kepada Zack yang mengatakan kalau kau mencintainya, dan menuliskan namamu di pesan itu." Kemudian aku terkikik, yang tentu saja untuk membuatnya kesal. Aku tidak benar-benar akan melakukannya. Aku tidak punya keberanian.

Dia melotot ke arahku dengan 'tatapan' yang dia berikan ketika dia siap membunuh, tapi kemudian ekspresinya melembut berubah menjadi puas, "Kau tidak akan melakukan itu, Wren. Kau terlalu baik. "

Perkataannya tepat sasaran.

"Oh, kau tunggu dan lihat saja, Nona. Aku akan memastikan kau dan Zachary Chandler menjadi sesuatu," aku meyakinkannya.

"Oke," dia menghela napas, mengetuk-ngetuk jarinya ke stir mengemudi dengan irama yang pasti, "Bukan masalah untukku."

● ● ●

Aku mengenakan hoodie-ku, dan sedang berjalan melewati jalan masuk, menuju pelajaran ketigaku, bahasa Inggris. Untungnya bagiku, Asher tidak ada di pelajaran pertama dan keduaku. Aku melakukan kerja bagus dengan mengabaikannya hari ini, khususnya ketika dia datang ke sekolah pagi ini.  

Aku bisa melihat dari sudut mata ketika sedang memasukkan buku-buku ke dalam lokerku kalau dia sedang melihat ke arahku. Akan tetapi selain kejadian itu, aku belum melihatnya lagi.

Sebenarnya, aku tidak bisa menghakiminya berhubung aku belum pernah benar-benar memiliki percakapan dengannya. Aku juga ragu hal itu akan terjadi, karena dia mungkin berpikir kalau aku agak terlalu absurd.

Ketika aku menyibukkan diriku sendiri dengan pikiranku, aku menyadari Faye berjalan melewatiku dengan kelompoknya. Dia sangat cantik dan helai rambut merahnya jatuh dalam ikal longgar yang sempurna.

Aku selalu menginginkan rambut yang menarik, tapi malah terjebak dengan warna rambut kecokelatan mengerikan, dan berbonggol. Mungkin akan terlihat lebih baik jika aku benar-benar berusaha untuk menyisirnya sesekali, tapi aku sangat malas, jadi kurasa hal itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Faye tidak menutupi hal tentang 'kekayaan', dia justru melakukan hal sebaliknya. Dia sangat kaya; menggunakan kacamata hitam Oakley, sebuah mantel berbulu berwarna pastel.

Tidak ada yang tahu apakah selama ini dia memiliki kekasih atau tidak. Dia selalu bersama orang baru. Beberapa orang takut padanya, beberapa lagi mengaguminya.  Secara pribadi, aku belum pernah melihat seorang gadis yang memancarkan kepercayaan diri begitu besar.

Aku memalingkan wajahku ketika pandangan Faye mengarah kepadaku, dan mulai berjalan-cepat ke arah kelas bahasa Inggris. Dia tidak begitu mengenalku, tapi aku kenal dia. Aku tahu banyak soal dia, hal yang bahkan 'sahabat' tidak akan pernah tahu.

Aku disambut senyum hangat dari Mrs. Hutchinson. Dia mengenal dan mulai menyukaiku karena kelas Pengayaan bahasa Inggris yang diadakan setelah sekolah. Aku menikmati Sastra Inggris, jadi aku memutuskan untuk mengambil kelas tambahan yang dia tawarkan, tahun lalu. Dia menunjuk ke arah bangku, memberi isyarat agar aku segera duduk.

Aku sadar kalau aku orang pertama di kelas ini. Surprise, surprise. Aku duduk di kursi yang terletak di tengah kelas, di dekat dinding. Sadar kalau aku masih memiliki waktu lima menit sampai pelajaran dimulai, aku memasang earplug di telingaku, dan memutar 'Do I Wanna Know' oleh Arctic Monkeys.

Aku dapat mendengar suara kegaduhan dan tawa yang datang dari luar pintu, dan di sanalah Asher, Zack dan Brody, trio populer.

Zack dan Brody mengabaikanku, mereka duduk di kursi mereka di baris belakang kelas. Asher memberi salam kepada Mrs. Hutchinson. Tunggu dulu, apa? Sejak kapan Tuan Angkuh itu memberi salam kepada guru?

Dia kemudian berbalik dan pandangannya jatuh kepadaku, tapi aku melihat ke bawah dan bertingkah seolah aku sedang asyik dengan musikku. Aku mengintip sedikit dari balik hoodie dan aku dapat melihat kekecewaan tersirat di matanya. Tetapi dia menutupinya dengan tatapan kegembiraan, dan ketika seorang lak-laki melakukan itu, kau tahu tidak ada hal bagus yang terjadi dari sana.

Seperti yang sudah kuprediksikan, dia melakukan hal yang tidak terpikirkan. Belum pernah terjadi. Menakutkan.

Dia tersenyum ke arahku, berjalan ke arahku, dan duduk di kursi yang bersebelahan dengan aku.

Mataku tanpa sadar melebar karena gelagatnya yang tiba-tiba, sementara dia pura-pura tidak menyadarinya. Kemudian, siswa lain mulai masuk ke ruang kelas, dan Mrs. Hutchinson berjalan ke depan kelas dari mejanya, menghentikan pikiran anehku. Saat siswa mulai duduk, Mrs. Hutchinson tersenyum.

Dia berusia awal tiga puluhan, memiliki kulit pucat yang tak bercela dan rambut hitam lurus dengan lipstick gelapnya yang terkenal, serta senyum yang manis. Dia satu-satunya orang yang kukenal yang bagus menggunakan warna seperti itu.

Aku melihat Asher menatap ke depan, dan wajahnya berubah menjadi sesuatu seperti... konsentrasi? Dia mungkin sangat suka bahasa Inggris. Aku juga menatap ke depan sebelum dia menyadari kalau aku memerhatikannya.

"Baiklah kelas," Mrs. Hutchinson berkata, "Aku harus berbicara dengan kalian mengenai sesuatu." Dia melihat ke sekeliling. Aku menurunkan hoodie-ku, karena dia tidak suka ketika aku mencoba untuk menutup diriku. Aku bisa merasakan mata Asher tertuju pada wajahku, dan aku mengabaikannya, kuusapkan tangan ke rambut berwarna cokelat milikku.

Kelas terus berlangsung dan Mrs. Hutchinson. mengumumkan bahwa kami memiliki esai deskriptif yang tenggat penyelesaiannya dua minggu. Dia memberikan kami tugas untuk dikerjakan lalu duduk kembali di mejanya. Aku merasakan sesuatu menarik jaketku, yang saat ini melilit di pinggangku. Aku melihat ke samping ke arah Asher, yang untuk sesaat kulupakan.

"Apa?" desisku, terdengar sedikit lebih dingin dari yang kuinginkan.

"... aku masih tidak tahu namamu." Wow, dia tidak tahu namaku! Oh iya, Aku belum mengatakan kepadanya. Dia memanggilku Little Red. Aku harus memberinya pujian, nama itu lumayan orisinal.

"Namaku Beyoncé."

Dia menatapku tanpa ekspresi. Pada akhirnya, aku memutuskan akan lebih baik jika dia memanggil dengan nama asliku, dan pembicaraan ini mulai melelahkan. Aku menghela napas.

"Namaku Wren."

Pelajaran berakhir dan aku mengambil barang-barangku, memasukkannya ke dalam tas selempangku. Aku melangkah keluar dari bangku, dan menuju ke, tunggu dulu... sebuah kulit pisang yang licin.

Sangat klise, dan hampir mustahil.

Biar kuberitahu kau soal Pisang. Pertama, mereka terasa seperti bubur kardus lembek, dan kedua, yah, cuma itu yang bisa kukatakan. Jadi, teman-teman, jika kau belum pernah mencoba makan pisang, aku menyarankan kepadamu untuk tidak memikirkannya. Pisang adalah hal paling mengerikan, hal yang keberadaannya keji yang pernah ada.

Aku menjerit kecil sebelum jatuh pada kehancuranku. Oke, sedikit terlalu dramatis. Aku tidak menghantam lantai; aku mendarat pada pelukan yang hangat, dan erat milik Asher Reed.

Dan dia tersenyum kepadaku dengan mata biru lautnya menembus masuk ke jiwaku yang kebingungan. Aku bisa saja pingsan di sini, tapi itu berarti aku pingsan di tangannya, yang tidak akan menyenangkan.

Ya, jika kau belum menyadarinya, dia memiliki rupa yang sangat menarik, yang hanya akan menambah egonya. Dengan kikuk aku melepaskan diri dari pelukannya, dan melihat teman-temannya, Zack dan Brody, asyik tertawa. Mrs. Hutchinson tidak lagi di mejanya, untungnya.

"Terima kasih!" kataku dengan suara gemetar pada Asher, tapi aku terdengar seperti Alvin the Chipmunk mabuk helium.

Tidak baik, tidak baik sama sekali.

Dia menyusupkan tangannya ke dalam kantong celana jeansnya lalu menyeringai dan aku dapat melihat perasaan geli terlintas di mata biru miliknya. Aku mengambil tasku secepat yang aku bisa dan bergegas keluar kelas, benar-benar malu. Bagaimana bisa kulit pisang bisa ada di sana?

Tentu saja, aku tahu jawaban pertanyaan itu.

Pisang yang jahat.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro