Bab 4 | Ingin Berteman?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat makan siang, aku bergabung dengan Mia di mejanya. Dengan gemetar meletakkan makananku di atas meja, aku duduk menghadap ke arah Mia yang sedang tersenyum.  Dia mengerutkan kening ketika dia melihat ekspresiku yang tampak kebingungan. Aku tidak tahu apakah aku harus memberitahunya tentang peristiwa memalukan yang baru saja terjadi dengan Asher atau tidak. Dia pasti berpikir aku orang yang ceroboh.

Suara mengomel di kepalaku berteriak, kau memang ceroboh. Aku menggeram dalam benakku.

Segera, Mia Brookes tahu ada sesuatu yang baru saja terjadi.

"Apa yang terjadi? Wren?" tanyanya, meraih dan menyentuh pundakku.

"Tidak ada. Aku baik-baik saja," jawabku.

"Tidak. Tidak. Kau tidak baik-baik saja. Sekarang berhentilah mengalihkan pembicaraan, dan langsung ke intinya."

Aku melihat ke bawah, malu. "Aku terpeleset kulit pisang! Sayangnya, itu bahkan bukan bagian terburuknya. Aku hampir jatuh, tapi kemudian Asher menangkapku."

Mia menatapku dengan pandangan kosong dan kemudian dia mengerutkan bibirnya, jelas sekali sedang berusaha keras menahan tawanya.

"Asher yang kau maksud Asher Reed?" tanyanya.

"Memangnya ada Asher lain yang kau kenal di sekolah ini?" tanyaku, dengan sinis.

Lalu dia membuat suara mendengus dengan mulutnya yang lantas berevolusi menjadi letusan tawa. Setelah satu menit dia tertawa konyol dan aku menatapnya dengan ekspresi kesal, dia berhenti. Menyeka air mata yang tidak ada dari sudut matanya sebagai efek dramatis, dia berkata, "Apakah itu mungkin? Bukankah itu hanya terjadi di film?"

"Aku tahu," aku mengerang, "Ugh, tadi itu sangat memalukan! Kau seharusnya menghiburku, tapi kau malah melakukan yang sebaliknya!"

Dia memasukkan sepotong tomat dari salad ke mulutnya dan tersenyum di saat yang bersamaan.

"Itu bukan masalah besar, sungguh. Kau seharusnya senang karena Reed menangkapmu! Bagaimana rasanya berada dalam pelukan cowok terkeren di sekolah kita?" tanyanya, menggerakkan alisnya dengan sugestif.

Untuk itu, aku lagi-lagi mengeluh dalam hati. Tentu, aku tidak akan membantah fakta bahwa Asher sangat menarik. Namun rasanya aku sudah tahu terlalu banyak untuk terlibat dengan seorang laki-laki lagi—terutama yang dengan yang dikabarkan sebagai seorang player. Mereka berkata, 'Sekali digigitnya, dua kali malunya'.

"Mengerikan," gumamku tidak jelas, mengabaikan suara kecil di kepalaku yang ingin mengatakan, "Luar biasa."

"Hei," kata Mia, seolah berusaha mencari tahu sesuatu, "Bagaimana dia bisa mengenalmu?"

"Aku sepertinya mengasuh adik perempuannya..." jawabku, suaraku melengking tinggi pada kata 'sepertinya'.

Mata Mia melebar, "Apa?! Sejak kapan?"

"Kemarin."

"Wow," dia mengangguk, "Aku tidak tahu harus berkata apa. Maksudku, aku mengerti perasaanmu. Anak-anak sedikit nakal—"

"Tidak, sebenarnya Ever benar-benar manis, tidak seperti kakaknya." Aku membela gadis kecil itu, "Dan aku sungguh senang bersamanya."

Mia mengangkat alisnya, "Dari apa yang kudengar, Asher juga terdengar cukup baik."

Aku mengerutkan kening dan memikirkan pernyataannya sendiri. Sejujurnya, Asher tidak pendendam atau jahat, hanya sedikit menyebalkan. Aku mendengus, dan menjawab, "Terserahlah," menolak untuk membiarkan Mia mengaburkan penilaianku.

Sisa hari itu normal-normal saja, setidaknya sampai di batas tertentu.

● ● ●

Bel baru saja berdering. Untuk hari ini, aku punya banyak sekali PR dan materi yang harus dipelajari. Aku mungkin akan segera memulainya ketika sampai di rumah.

Sial.

Aku lupa kalau Ever akan datang hari ini. Aku kemudian memutuskan untuk menyiapkan film untuknya, membuat sesuatu untuk dia makan, dan nantinya duduk di meja makan untuk mengerjakan beberapa tugasku, lalu bergabung dengannya setelah itu.

Ketika sampai di rumah, aku langsung pergi mandi, dan berganti pakaian nyaman tetapi tetap sopan. Aku mengeluarkan beberapa cupcake dari oven, dan mulai memberinya icing pink cerah. Ever pasti akan menyukainya.

Tepat ketika aku selesai, aku mendengar bel pintu berbunyi. Itu mungkin Victoria. Aku langsung mengenakan sandal panda berbuluku, dan menuju ke pintu, berdoa agar dia tidak menyadarinya. Aku membuka pintu sedikit, mengintip dari celah.

Berdiri tepat di depanku seorang Monster Bermata Biru.

Mataku spontan melebar, menunjukkan keterkejutanku karena seringai bodoh itu merayap di wajahnya. Apakah dia tidak bisa melakukan hal lain selain menyeringai sepanjang hari? Ini serius, tetapi alangkah lebih baik kalau kau bisa melakukan hal lain daripada mengangguku. Aku kini berbicara pada diriku sendiri lagi. Bukankah aku sangat normal?

"Ehm," dia terbatuk, "Apakah kau tidak akan membiarkan kami masuk?" suaranya yang dalam menganggu lamunanku. Aku menarik napas dalam-dalam, mendorong pintu ke arah luar agar mereka bisa masuk. Begitu aku melakukannya, aku langsung diserang oleh sesuatu yang kecil dengan tutu: Ever. Sebelum aku menyadarinya, dia sudah berada di lenganku.

"Wrennie!" dia berteriak. Pada saat yang bersamaan, Asher sudah memasuki rumahku. Untungnya, Ibu tidak pernah pulang lebih awal. Aku balas memeluk Ever, sebelum meletakkannya di sofa, dan menyalakan TV.

Rasanya sekarang aku begitu ingin menyelenggarakan pesta untuk penemu televisi. Benda ini benar-benar membantuku saat sedang mengasuh anak. Ever sedikit kecanduan TV. Namun, aku pikir Victoria tidak akan membiarkannya menonton The Simpsons atau Family Guy. Uh oh.

Aku duduk di sofa double tempat Asher duduk, memposisikan diriku sejauh mungkin darinya. Aku tidak ingin dia terlalu nyaman... bukan karena dia ingin juga. Namun tetap saja, mengambil tindakan pencegahan diperlukan.

"Jadi..." aku memulai perbincangan, berusaha untuk membangun obrolan ringan.

Dia tersadar dari apa pun yang dia pikirkan, lantas menatapku.

"Aku pikir aku bisa tetap di sini untuk sementara waktu. Aku tidak memiliki hal lain yang lebih baik untuk dilakukan," jawabnya sekenanya lalu dia mulai menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki, dia terlihat terhibur.

"Ibumu membayarku untuk mengasuh satu orang anak, bukan dua," balasku, sambil cemberut. Dia tertawa karenanya, lalu bergerak mendekatiku. Aku bisa merasakan hawa panas memancar dari bajunya yang tipis, membuatku bingung dan telapak tanganku basah.

"Kalau begitu, bagaimana kalau aku yang membayar dua?" dia mengusulkan, mata birunya menelusuri wajahku, dan napasnya berhembus di pipiku. Aku menyeka tanganku yang lembab di kemejaku selembut mungkin, dan menghindari kontak mata.

"Tidak usah, terima kasih. Bisakah kau duduk di sini sebentar saja? Aku harus menyelesaikan beberapa PR-ku, tapi aku tidak ingin meninggalkan Ever sendirian. Karena kau di sini, kau bisa mengawasinya."

"Wow," katanya, "Gadis lain, Fuzzy, akan memberikan apa saja padaku hanya agar bisa duduk di sebelahku sebentar, dan kau menolak itu karena ingin mengerjakan PR?"

Fuzzy, dia memanggilku begitu karena sandal pandaku. Luar biasa. Aku memutar bola mataku, mengabaikan komentarnya, "Apa itu artinya kau setuju?"

"Ya, terserahlah." Dia mengedikkan bahunya dan wajahnya kini menatap kosong.

Aku berdiri dan menuju ke meja makan. Saat aku mengerjakan PR Matematikaku, aku dapat merasakan mata Asher mengawasiku. Tidak bisakah tidak terlalu mencolok?

Aku menghembuskan napas perlahan, dan menyelesaikan perhitungan terakhirku. Aku menutup semua bukuku dan mengepak barang-barangku di tasku untuk besok. Aku kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil cupcake buatanku yang nyaris saja terlupakan.

"Ever!" aku memanggilnya, sambil berjalan menuju ruang tempatnya menonton TV.

"Ya?" suaranya yang bernada tinggi menjawab, dengan sangat imut.

"Lihat apa yang kubuat untukmu!"

"Wow!" dia terkesiap, "Cupcake-nya sangat cantik!" katanya, langsung meraih salah satu kue manis itu. Aku terkejut sekali lagi saat dia memelukku. "Terima kasih!" serunya.

"Boleh aku minta juga?" si Monster Bermata Biru itu bertanya, mengalihkan perhatianku. Laki-laki paling tangguh di sekolah meminta cupcake berwarna merah muda, bukankah itu hal yang paling normal di dunia? Aku menyipitkan mataku, tetapi kemudian tetap saja menyerahkan cupcake ini padanya.

"Jadi, apakah kau sudah menyelesaikan PR-mu?" katanya, dengan mulut penuh cupcake.

"Yup," kataku, memberi penekan pada hurup 'p'.

"Adikku benar-benar jatuh cinta padamu," katanya dengan muram, sambil mengawasi adiknya yang sedang menjilat lapisan gula dari cupcake-nya.

"Tidak, aku baru bertemu dengannya kemarin, kau benar-benar berlebihan."

"Aku tidak melebih-lebihkan, Clumsy. Dia benar-benar mencintaimu," katanya dengan seringai di bibirnya yang kemerahan. Aku merasa ngeri ketika dia jelas-jelas mengarahkan pembicaraan ini pada momen memalukanku sebelumnya. Yang mana, ada banyak.

"Aku bukan clumsy, pisangnya saja yang jahat," aku mencibir, dengan sangat tidak sopan.

"Oke, aku akan pura-pura tidak mendengar itu," balasnya, dan aku menyipitkan mataku. "Kurasa aku hanya ingin tahu mengapa adikku sangat menyukaimu.

"Sungguh, aku tidak tahu," aku mengakui, "Aku bukan karakter yang suka bergaul."

"Hei, kau berbicara denganku tanpa gagal jantung atau kejang. Itu permulaan yang bagus."

Lalu aku hanya menatapnya datar.

"Apa maksudnya itu?" tanyaku, meskipun aku tahu persis apa yang dia maksud.

"Yang lain sering mengalami kesulitan berbicara padaku, kau tahu. Sepertinya memang akan sulit berbicara dengan laki-laki yang terlihat sekeren ini," saat selesai mengatakannya, dia menunjuk ke arah dirinya sendiri, lalu menyisir rambut pirang gelapnya yang jatuh ke dahi dengan tangan.

"Ya Tuhan, kau adalah makhluk paling narsis yang pernah kulihat," kataku, lantas memutar bola mataku.

"Adakah yang pernah memberitahumu bahwa kau terlihat lebih cantik ketika tersenyum? Kau harus melakukannya lebih sering," dia mengatakannya sangat tiba-tiba.

Jantungku berdetak kencang di bawah tulang rusukku, dan aku langsung menyembunyikan wajahku di bawah rambutku yang berantakan. Aku bukan orang yang dapat menerima pujian dengan mudah, terlebih karena aku jarang mendapatkannya.

Pernyataannya membawa aku kembali ke kenyataannya. Tiba-tiba, aku mengerti di mana posisiku berada, dan dengan siapa aku berbicara. Aku tidak menyadari bahwa aku sedang berbicara dengan Asher sebelumnya; semuanya berjalan dengan begitu natural. Bahkan sampai saat ini.

Aku berdiri, tidak ingin melakukan kontak mata dengan mata birunya yang tajam.

Namun, ketika aku berjalan selangkah, aku merasakan tangannya melingkari pergelangan tanganku, mengirimkan denyut listrik ke lenganku dan menghentikan aku untuk bergerak lebih jauh. Aku menatapnya, menarik tanganku menjauh dari pegangannya sementara dia kini menggigit bibir bawahnya.

"Hei, Cupcake," katanya, lalu berdiri. Sekarang dia menjulang di atasku, membuatku terpaksa mendongak untuk memandangnya. Wajahnya menunjukkan ekspresi kaku, tetapi mata birunya berkilau karena penasaran. "Mau berteman?"

Dan kemudian dia menyungingkan senyum sempurna miliknya, gigi khas Colgate dan segalanya, sambil mengulurkan tangan. Dia tidak tahu seberapa banyak kata-katanya itu telah mempengaruhiku. Aku menderita karena pertempuran internal tentang apakah aku harus meraih tangannya: untuk memercayainya. Jika aku percaya padanya, bahkan hanya dengan sesuatu sesederhana persahabatan, salah satu dari kami pasti nantinya akan terluka. Namun seketika aku teringat kata-kata ayahku.

Aku meraih tangannya. Hangat dan nyaman, tetapi kulitnya agak kasar.

"Jika suatu hari seseorang meminta pertemanan padamu, berikanlah itu kepada mereka. Di dunia esok yang luas dan tak terbatas, kita tidak akan pernah benar-benar tahu.

Kita tidak akan pernah benar-benar tahu apakah dan kapan sesuatu hal akan terjadi. Kita tidak akan pernah benar-benar tahu apakah masa lalu kita akan bersinar lebih terang daripada masa depan kita. Namun, satu hal yang kita tahu adalah bahwa jika kau memiliki teman sejati, kebahagiaan; atau rasa sakit, setidaknya akan terbagi."

Apa yang aku ambil dari pesan itu adalah: Wren, bertemanlah. Kau akan membutuhkannya di masa depan.

"Oke," kataku, dan aku bertanya-tanya apakah aku akan menyesali keputusan ini.

● ● ●

Pagi berikutnya berjalan seperti biasanya. Aku spontan mengenakan hoodie-ku ketika aku melihat Asher di lorong. Dia memberiku anggukkan kecil sebagai sapaan. Aku tidak tahu bagaimana caranya dia mengenaliku ketika aku mengenakan hoodie. Dia populer, dan aku tidak begitu. Mungkin karena kami sekarang berteman.

Namun bukan teman yang cukup dekat untuk berjalan bersama-sama di sekolah, kau tahu, kan? Ini lebih sebatas, kami saling mengenal.

Pelajaran di kelas semakin berat, diisi dengan lebih banyak tugas dari sebelumnya; yang juga berarti peningkatan jumlah PR. Hari-hari berlalu, dan aku kemudian diberi tahu oleh kepala sekolah kami di kantornya bahwa beliau sangat puas dengan kemajuanku sejauh ini.

Beliau ingin aku mengajukan beasiswa akademis ke lembaga-lembaga terkemuka, dan dia berkata bahwa dia yakin aku akan diterima oleh sebagian besar dari lembaga itu. Aku sungguh menantikannya.

Hari segera berakhir, dan kelegaan segera saja membanjiriku. Jumlah PR yang aku miliki saat ini begitu banyak.

Menunggu bus di bangku luar sekolah, aku melihat Faye Archer lewat dengan Mercedes peraknya. Aku bisa mendengar teriakan para pemain American football  di lapangan, dan aku asik memerhatikan mereka berlatih.

Bus tiba setengah jam kemudian, saat aku sedang duduk di bangku luar sekolah sambil membaca buku. Aku menghembuskan napas lelah, menaiki bus, dan tidak dapat merasakan apa pun kecuali rasa kasihan pada diriku sendiri.

Ketika aku sampai di rumah, aku berseru, "Bu, aku pulang!"

Dia berjanji akan pulang lebih awal hari ini untuk menemui Ever. Dia berjanji. Sayangnya, beberapa janji dimaksudkan untuk tidak pernah dipenuhi. Dia akan terlambat pulang lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro