Kecurangan dan Ketidakwajaran

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Wanita berkemeja navy masuk ke mobil dengan raut wajah kusut. Name tag bertuliskan Rani Danita yang ia pegang lantas dimasukkan ke laci dashboard dengan kasar. Ia menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya berteriak, "Kurang ajar! Arrghh! Kenapa juga gue harus honor di sekolah sampah kayak gini? Rasanya sia-sia gue kuliah!"

Wanita yang kerap disapa sebagai bu Rani itu memukul setir mobil. Napasnya naik turun, dengan amarah yang belum terselesaikan. Mendadak suara klakson terdengar dari belakang. Baru saja menoleh, suara klakson itu terdengar lagi. Seolah orang di sana tidak sabar ingin segera lewat.

"Apa, sih?" gumam Bu Rani dengan alis berkerut.

Ia membelokkan setir ke kanan. Tiba-tiba sesuatu menubruk mobilnya dari belakang. Bu Rani menahan sekuat tenaga untuk tak mengumpat dan langsung menoleh. Ada mobil lain berwarna hitam di sana yang sepertinya sengaja menabrak.

"Orang-orang pada kenapa, sih?" pekiknya dan langsung keluar dari mobil. Matanya menatap tajam seseorang yang berada di kendaraan roda empat lain. Tatapannya itu menyiratkan perintah agar sang pengemudi segera turun.

Sepersekian detik, keluar wanita tinggi semampai dengan blazer hitam yang membalut tubuhnya. Mata berbentuk almond eyes dan bibir tipis merah muda menjadi daya pikat dari wajah ovalnya. Dengan rambut hitam sebahu, wanita itu tampak sangat elegan.

Bu Rani berdecih. Itu Bu Eltra-salah satu guru yang mengajar di level Platinum. Entah apa motif wanita itu menabrak mobilnya.

"Untuk ganti rugi, nanti saya bayar. Next, jangan halangi jalan lagi kalau nggak mau ditabrak. Saya sibuk dan buru-buru. Nggak ada waktu buat nunggu guru honorer yang baru dipecat galau di parkiran."

Berkebalikan dari penampilannya, kata-kata yang meluncur dari mulut Bu Eltra tidak ada elegannya sama sekali. Mata Bu Rani langsung membulat begitu mendengar ucapan wanita di hadapannya barusan.

"Seenggaknya gue nggak jadi tangan kanan orang-orang busuk," ujar Bu Rani usai melirik koper hitam yang dipegang Bu Eltra. "Lo mau paksa orang tua Dara untuk nutup kasus ini, kan? Eltra, kita sepantaran, dan kita masih muda. Lo juga guru. Ya walau gue tau bukan honor kayak gue, seharusnya lo bisa lakuin hal bai-"

"Sepantaran bukan berarti sepemikiran," potong Bu Eltra. "Selagi hidup gue nggak terusik, itu bukan urusan gue, dan hidup gue bukan urusan lo."

Bu Eltra masuk ke mobil dan meninggalkan parkiran, serta Bu Rani yang masih menatapnya tak percaya. Tak mau tinggal diam, Bu Rani segera kembali ke mobilnya dan mulai menyetir. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu berencana untuk mengejar.

Bu Rani segera menginjak rem kala mobil yang dikendarai Bu Eltra tiba-tiba berhenti. Dapat ia lihat guru bahasa Inggris level Platinum itu diberhentikan oleh polisi yang ada di gerbang. Sepertinya guru-guru tidak boleh keluar saat pihak berwajib sedang melakukan penyelidikan. Terlebih guru level Platinum dan Ruby.

Bu Eltra tampak menjelaskan kalau ia sedang ada kepentingan lain. Akan tetapi, sang polisi tidak menerima alasannya dan tetap memerintahkan untuk putar balik. Bu Rani lebih dulu memutar balikkan mobilnya. Walau kesal karena tidak bisa cepat pergi dari sekolah, wanita itu tersenyum sinis. Setidaknya tujuan Bu Eltra dapat dihalangi saat ini.


• • • •


Suasana di gedung basket sangat kacau. Bercak dan genangan darah ada di mana-mana. Beberapa siswa Platinum mulai berperilaku tidak wajar, dan anggota tim basket banyak yang muntah darah disertai mimisan.

"Woy! Bantu gue!" teriak Gabriel sambil mengeratkan pegangannya pada gagang pel lantai. Napasnya mulai memburu karena gadis berkuncir kuda yang ia tahan tampak beringas ingin menyerang. Hal itu diperjelas dengan suara gerungan yang keluar dari mulutnya.

Gabriel terdorong mundur hingga punggungnya menubruk pembatas tribune dengan keras. Dia benar-benar terpojok sekarang. Kini jarak antara dia dan Aurel hanya sepuluh senti. Gabriel terpaku saat menatap netra Aurel berwarna putih dengan pupil yang mengecil, tidak seperti biasanya. Rekan setimnya itu juga terus memberontak dan berusaha menggigit. Bahkan tenaganya jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Aurel melirik tangan Gabriel yang memegang erat gagang pel. Gabriel yang menyadari itu turut melirik ke arah tangannya, dan kembali menatap Aurel. Sedetik setelahnya, Aurel langsung beralih dan melesat cepat untuk menggigit tangan kanan gadis di hadapannya.

Karena terkejut, Gabriel refleks menurunkan tangannya. Hal itu membuat pel lantai yang ia pegang terjatuh. Seketika serangan Aurel yang tadinya mengarah ke tangan, kini beralih ke leher.

Gabriel kewalahan menahan serangan Aurel. Ia melirik pel lantai yang ada di dekat kakinya. Mustahil untuk mengambil benda itu kembali. Dengan sisa tenaga, Gabriel menendang perut gadis di depannya dengan kuat. Hal itu membuat Aurel termundur beberapa langkah. Gabriel memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Dalam hitungan detik, Aurel langsung mengejar layaknya orang kesetanan.

Jarak sepuluh langkah ke depan, seorang cowok mendadak muncul. Dia berlari ke arah Gabriel dengan kursi lipat besi dan berteriak, "Tunduk!"

Gabriel langsung menunduk-lebih tepatnya berjongkok-saat jarak mereka tinggal beberapa senti. Cowok tadi lantas melayangkan kursi lipat yang ia pegang ke kepala Aurel, hingga akhirnya gadis itu ambruk.

Gabriel baru saja menoleh ke belakang saat beberapa guru dan anggota ekskul PMR memegangi tangan dan kaki Aurel, lalu mengikatnya. Jujur, dia terkejut. Bagaimana bisa Aurel tidak pingsan setelah dipukul menggunakan kursi besi dengan keras?

"Lo nggak papa? Aman?"

Perkataan pemuda yang berdiri di sebelahnya membuat Gabriel tersentak dan langsung bangkit. "Iya, gue aman. Makasih."

"Sebenarnya mereka kenapa?" tanya Gabriel sambil melirik papan nama cowok di sebelahnya yang bertuliskan Adrian Geovanno dan lambang kelas dua belas Platinum yang ada di lengan bajunya.

Cowok tadi mengedikkan bahu. "Nggak tau juga. Kesurupan mungkin. Almet gue belum ketemu, masalah lain udah muncul," ujarnya dan langsung berlalu begitu saja.

Perhatian Gabriel beralih pada Aurel yang diangkat dan dibawa keluar menggunakan tandu. Gadis itu turut melangkah ke pintu keluar setelah menyadari tim basketnya sudah tidak berada di sana. Gabriel sedikit emosi. Dia heran kenapa rekan setimnya tidak ada yang menolongnya dan malah sibuk menyelamatkan diri sendiri. Iya, dia tahu kalau mungkin mereka panik. Tetapi, bukankah itu agak keterlaluan?

Gabriel mengurungkan niatnya untuk pergi dan memutuskan menemani Aurel yang dibawa ke UKS khusus siswa Platinum. Bagaimanapun juga, mereka teman satu tim. Dia tidak tega meninggalkan Aurel sendirian.

Setibanya di UKS, Aurel dipindahkan ke ranjang. Gabriel menghela napas sambil menatap gadis itu lekat. Aurel masih sama agresifnya seperti tadi dan terus mengeluarkan suara gerungan yang aneh.

Ada suara gerungan lain di ruangan itu. Tampaknya berasal dari ranjang pojok yang tirainya tertutup. Di sana, ada dokter yang berdiri dan berbicara dengan seorang guru. Tak lama setelahnya, dokter itu melangkah ke arah Aurel dan mengambil sampel darah.

"Maaf, silakan keluar. Kami akan segara melakukan penanganan," kata pemuda jangkung berjas putih. Tertulis Rian William pada name tag yang terpasang pada jasnya.

Mendengar itu, Gabriel langsung keluar. Ia menoleh ke belakang sekilas, sepertinya Aurel dan siswa lainnya yang mengalami hal serupa akan dipindahkan ke klinik sekolah.

• • • •

Pintu ruangan mendadak dibuka secara kasar. Pak Hartono yang sedang bicara dengan salah satu wali murid dari level Platinum langsung berjengit kaget. Seorang pria berjas putih masuk dengan napas tersengal-sengal karena usai berlari.

"Maaf mengganggu, Pak. Tapi ... tapi ada yang harus saya laporkan ke Bapak," ujarnya sambil mengatur napas.

Urat-urat di wajah pak Hartono mulai terlihat, tanda pria itu kesal. "Apa yang mau disampaikan?"

"Banyak siswa Platinum yang sakit, mereka muntah darah dan mimisan. Saya mau minta izin untuk memindahkan penanganan pada pihak rumah sa-"

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, mendadak gadis beralmet Platinum di ruangan tersebut muntah darah. Sang ibu mulai panik, terlebih saat melihat anaknya mimisan.

"Cecil kamu kenapa? Cecil jawab Ibu! Dok, kok diam aja? Tolongin anak saya!" paniknya. "Sekolah ngasih makan apa ke anak saya? Kalau ada apa-apa, sekolah ini bakal saya tuntut!"

Mata pak Hartono membulat. "I-Ibu tenang dulu."

"Cecil! Cecil bisa dengar Ibu?"

Gadis yang dipanggil hanya diam. Sesekali dia menggelengkan kepala, mengusir rasa pusing yang menguasai. Hingga akhirnya dia berkata, "Bu, kenapa semuanya jadi merah? Mata Cecil kenapa?"

"Merah? Sebentar, sayang. Biar Ibu liat. Mata kamu kenapa, Nak?"

Mendadak Cecil menggigit dan mengoyak leher ibunya secara beringas, tak peduli walau wanita yang ia serang itu berteriak-teriak kesakitan. Darah dari leher sang ibu memuncrat dan mewarnai wajah Cecil.

Pria berjas putih yang berprofesi sebagai dokter di klinik sekolah itu langsung menarik Cecil agar menghentikan aksinya. Akan tetapi, gadis itu malah berbalik dan mencoba menyerangnya. Pria bernama Joshua itu mulai terpojok karena kalah tenaga. Bukannya membantu, Pak Hartono lebih memilih untuk lari meninggalkan ruangan, tak mempedulikan pria di dalam sana yang membutuhkan bantuannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro