Rahasia dan Tanda Tanya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bu Eltra bergegas menuju ruang kepala sekolah, sedangkan Bu Rani mengikuti dari belakang. Wanita itu sengaja ikut karena iseng ingin melihat reaksi Pak Hartono. Ia ingin mengejek bapak tua itu karena tak berhasil membungkam pihak keluarga Dara.

Langkah Bu Eltra terhenti kala orang yang ia cari mendadak berlari keluar dari ruangan dan langsung menutup pintu rapat-rapat. Bu Rani sendiri terkejut melihatnya. Alis wanita itu mengerut. Kenapa Pak Hartono kayak orang ketakutan? batinnya.

Bu Rani kembali melanjutkan langkahnya kala Bu Eltra maju dan menghampiri kepala sekolah.

"Pak? Kenapa?" Belum sempat Bu Eltra membuka mulut, Bu Rani langsung menyerobot dan bertanya. Ia memasang tatapan curiga pada pria di depannya, kemudian melirik pintu, menerka-nerka apa yang terjadi di dalam sana.

Mereka bertiga sontak terkesiap dan termundur saat sesuatu menabrak pintu. Pak Hartono semakin mengeratkan pegangannya pada pintu, bahkan berusaha menguncinya. Melihat itu, Bu Rani berkata, "Kali ini, apa lagi yang mau Bapak sembunyikan?"

Pak Hartono tidak menjawab. Dia hanya fokus menatap pintu dengan napas tak beraturan, layaknya habis melihat setan. Samar-samar terdengar suara teriakan laki-laki dari balik pintu. Mata Bu Rani membulat. Ia kembali bertanya dengan intonasi tidak bersahabat, "Pak! Jawab saya!"

"Kamu mau jawaban, kan? Kalau gitu kamu liat aja sendiri!"

Mendadak kepala sekolah membuka pintu dan mendorong Bu Rani masuk secara kasar, kemudian dengan cepat menutup pintu lagi. Wanita itu sampai jatuh tersungkur. Belum sempat mengeluarkan kekesalannya, indra penglihatannya disambut dengan cairan berwarna merah gelap yang berceceran di lantai.

Bu Rani melotot. Ia buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk dan menyeret tubuhnya ke belakang. Seolah tak diberi kesempatan untuk bernapas, mendadak seorang gadis berpapan nama Cecil datang entah darimana dan langsung berusaha menggigitnya.

Wajah gadis itu pucat, bahkan urat-uratnya sampai terlihat. Seragamnya penuh noda darah, begitu pun mulutnya yang meneteskan cairan merah berbau amis. Suara serak layaknya gerungan mampu membuat Bu Rani ketakutan setengah mati. Matanya yang hampir keseluruhan berwarna putih itu menatap Bu Rani layaknya hewan buas yang tengah mendapatkan mangsa.

Tak mau kehabisan tenaga, Bu Rani memutuskan untuk menendang Cecil. Rencananya untuk melarikan diri langsung gagal kala kakinya berhasil ditarik dan dia kembali terjatuh. Melihat Cecil yang hendak menyantap pergelangan kakinya, Bu Rani langsung gelagapan meraba sekitar, mencari sesuatu yang bisa dijadikan alat perlindungan diri.

Bu Rani bisa merasakan gigi Cecil di kakinya. Begitu tangannya meraih sesuatu, ia langsung menunduk dan memukul kepala siswi Platinum itu. Akan tetapi, pukulannya tidak berefek apa pun. Cecil merangkak dan bergerak cepat ingin mencabik leher Bu Rani, sedangkan orang yang jadi mangsanya tersebut menahan serangan Cecil dengan tangannya.

"Bunuh!" teriakan seorang pria di ruangan itu membuat Bu Rani terlonjak. "Untuk sekarang, bunuh kalau mau selamat!"

Seketika napas Bu Rani naik turun tak beraturan. Ia menatap siswi level Platinum di atasnya yang amat mengerikan, tidak seperti manusia normal. Kalah tenaga, Cecil berhasil mengikis jarak di antara mereka. Wanita itu sontak berteriak dan menusuk kepala Cecil dengan piala berujung runcing yang berhasil ia raih. Akan tetapi, siswi itu belum meregang nyawa juga.

Dia malah semakin beringas ingin menyerang, meski rambutnya sudah basah dan lengket karena darah yang bercucuran. Tidak punya pilihan lain, Bu Rani menancapkan benda itu berulang kali ke kepala Cecil hingga gadis itu terkapar tak bernyawa dengan wajah berlumuran darah.

"Siswa Platinum yang mengalami hal serupa harus diisolasi!" Dokter klinik sekolah bernama Joshua itu membuang jas putihnya yang kini dipenuhi bercak darah, kemudian berlari ke arah pintu. Berbeda dengan Joshua, Bu Rani masih terdiam di tempat. Ia sibuk menetralkan detak jantung sambil menatap sekitar, berusaha mencerna situasi. Wanita yang tampaknya menyerang Joshua tadi juga sudah tak bernyawa.

"Pak! Buka!" Joshua menggedor pintu sekuat tenaga. "Kalau Bapak nggak buka, nyawa kita semua bakal terancam!"

Bu Eltra yang tadinya diam kini menatap ke arah Pak Hartono. "Pak. Pikirkan hal apa yang harus dilakukan untuk saat ini. Bapak sudah dengar sendiri, kan? Ini situasi darurat."

Pak Hartono yang tadinya ingin tetap mengunci pintu akhirnya memutuskan untuk membukanya. Bu Eltra terkesiap melihat kondisi di dalam ruangan. Berantakan, banyak darah berceceran, dan Bu Rani yang terduduk diam sambil melihat ke arah seorang gadis yang terkapar.

"Bapak sangat manusiawi, ya," kesal Joshua saat berhadapan dengan Pak Hartono.

"Bereskan. Apa pun yang terjadi, jangan sampai siswa lain tau! Dan jangan biarkan media kembali meliput sekolah kita! Kita harus tangani semua kekacauan ini," ujar Pak Hartono tegas, kemudian menatap tajam Joshua. "Paham?"

• • • •

Matahari tumbang ke arah barat tepat dua jam yang lalu. Seluruh siswa berada di asrama. Frey duduk diam di atas kasur dengan kedua lutut tertekuk. Pikiran gadis berkacamata itu melalang buana. Yang dia rasakan hanyalah embusan dari kipas angin gantung yang terpasang di langit-langit kamar, hingga akhirnya ia tersentak karena gumpalan kertas yang mendarat di dahi.

"Daritadi dipanggilin nggak nyahut. Lo ngapain bersemedi di situ, sih? Buruan turun!"

Suara Ade terdengar sepersekian detik setelah Frey terkesiap. Ia melongokkan kepalanya ke bawah, menatap Ade, Aca, dan Lisa yang tengah duduk bersama. Gadis itu menghela napas dan segera turun dari ranjang susun, lalu turut bergabung dalam lingkaran kecil yang ketiganya buat.

"Ngomongin apa, sih?" tanya Frey sedikit berbisik pada Lisa.

Yang ditanya hanya menggeleng pelan dan mengeratkan selimut cokelat yang ia pakai hingga menutupi kepala, menyisakan wajah dengan ekspresi ngantuk bercampur pasrah. Dapat Frey tebak kalau gadis di sebelahnya itu ingin tidur, tetapi diseret paksa oleh Ade agar ikut mengobrol bersama mereka.

"Oke. Back to topic." Ade menepuk tangannya, membuat perhatian Frey beralih pada gadis berpiyama hijau itu.

"Sebenarnya sekolah kita kenapa? Kacau," desis Ade dengan wajah masam. "Tadi pagi tragedi lari dari gedung basket, habis itu tawuran antar kelas, terus kita disuruh balik ke asrama masing-masing. Mana nggak dikasih makan siang dan makan malam. Lama-lama gue bom juga ini sekolah."

Aca menyengir. "Yuk! Biar gue yang rakit bomnya."

Mendengar itu, Ade langsung mencibir sambil memicingkan mata. "Kalau lo yang rakit bom, belum juga itu benda dilempar, udah meledak duluan. Nyari penyakit itu namanya. Habis itu kita mati konyol."

Frey terkekeh, begitu pun dengan Aca yang sudah terbahak. Matanya menyipit, seolah hilang karena pipi chubby-nya yang mengembang. Lisa yang sudah tidak tahan memutuskan untuk naik ke kasur dan tidur. Hal itu membuat Ade menatapnya sinis.

"Lagi diajak diskusi malah tidur. Perasaan gue nggak dongeng," sindir Ade.

"Udah, biarin aja. Lisa kan emang nggak kuat begadang. Dia bakal mati-matian begadang kalau lagi marathon drama Korea aja," jelas Frey sambil mengubah posisi duduknya menjadi selonjoran.

"Tapi bener, deh. Untung aja kita ada jajan simpanan buat ganjal perut. Kalau nggak? Kelaparan." Raut wajah Ade kembali serius. Sorot matanya menyiratkan kekesalan luar biasa. Gadis itu memang tidak bisa mentoleransi sesuatu soal isi perut. Diskriminasi soal fasilitas pada level kelas saja membuatnya seolah punya dendam kesumat akan sekolah ini.

Frey mengangguk setuju, kemudian melirik laci-laci besar ranjang susun yang dijadikan tempat untuk stok minuman dan makanan ringan. Sekolah mogok ngasih makan siswa apa gimana, sih?

Suara dengung dari speaker yang terpasang di atas kanan sudut kamar membuat perhatian Aca, Ade, dan Frey teralihkan. Frey mengernyit, manik hitamnya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Jika speaker berdengung, itu tandanya akan ada sesuatu yang diumumkan. Akan tetapi, pengumuman jarang sekali diberikan pada malam hari.

Benar dugaan Frey. Suara seorang wanita mulai terdengar sepersekian detik kemudian. Pengumuman yang diberikannya sukses membuat suasana hati Ade semakin memburuk, Aca terheran-heran, dan alis Frey berkerut.

"Saya ulangi. Berkaitan dengan keributan yang terjadi tadi siang karena diketahui adanya kecurangan dalam ujian penempatan level, sekolah memutuskan untuk mengulang ujian tersebut. Ujian akan diadakan besok pagi. Siswa diharapkan berada di sekolah sebelum pukul delapan."

"Informasi tambahan, kepada anak-anak Ibu sekalian, mohon perhatian dan kerjasamanya. Untuk sementara, alat komunikasi kalian akan kami tahan sampai ujian penempatan level selesai. Hal ini untuk meminimalisir adanya kecurangan. Kami akan mengabari seluruh keluarga kalian untuk itu. Selamat malam, dan terima kasih."

Frey hanya bisa tercengang, begitu pun dengan Ade dan Aca. Apa-apaan? Bagaimana bisa sekolah mengadakan ujian penempatan level besok pagi? Itu terlalu mendadak. Setidaknya sekolah bisa mengadakan ujian lusa atau minggu depan agar bisa mempersiapkan diri.

"Ujian ulang? Besok?" beo Aca.

"Terus jadwal ujiannya gimana kalau HP kita disita? Lagian juga masa kita belajar sampai larut? Yang ada besok nggak fokus kerjakan ujian," sungut Frey yang mulai naik pitam.

Ade yang bersitatap dengan Frey mengangguk. "Bener, sih. Awas aja kalau besok ada mapel Matematika. Gue bom beneran ini sekolah!"

"Tapi tetap aja! Bisa mati kebosanan gue kalau Hp disita. Mana nggak ada televisi," dumel Ade lagi yang diangguki kedua gadis di depannya.

"Ada televisi, tapi di asrama Platinum."

Ade mendelik. "Ca, diem deh. Lo bikin gue tambah emosi tau nggak?"

Aca mengangguk cepat sambil menahan tawa. Berbeda dengan Frey, gadis itu sudah mengambil ponsel dan laptopnya. Tidak lupa dengan ponsel Lisa yang teregeletak di atas nakas.

"HP, tab, sama laptop kalian buruan disiapin," titahnya sambil kembali duduk dan memangku barang-barang yang ia ambil tadi.

"Ck! Lo nurut banget sih, Frey," ketus Ade sambil merotasikan bola matanya.

Frey mendengkus. "Ya emang lo mau berurusan sama guru? Kita yang diem gini aja masih di Silver. Apa kabar kalau nggak nurut dan berurusan sama guru? Bisa-bisa dipulangkan."

Ade bangkit dan mengambil ponsel serta tabnya sambil menggerutu. Gadis itu menghentak-hentakkan kakinya saat berjalan layaknya anak kecil yang sedang merajuk. Aca dengan ekspresi pasrahnya pun turut mengambil ponselnya.

Ketukan di pintu membuat pergerakan mereka terhenti. Ade memberi tab dan ponselnya pada Aca, kemudian buru-buru mensejajarkan matanya pada lubang intip. Terlihat dua guru perempuan berdiri sambil memegang kotak arsip berukuran sedang. Salah seorang di antara mereka tengah hamil tujuh bulan. Setahunya, guru yang tengah mengandung itu ialah Bu Eda-guru sejarah, sedangkan yang satunya lagi adalah Bu Arey-guru fisika.

"Kamar 3, ayo dibuka pintunya!" seru Bu Arey yang kembali mengetuk pintu.

Ade buru-buru memutar kenop dan menariknya, membuat pintu terbuka. Tidak menunggu lama, dua guru itu langsung masuk. Frey dan Aca meletakkan ponsel, tab, dan laptop milik mereka pada kotak arsip yang dipegang Bu Arey, sedangkan Bu Eda mulai menggeledah kamar untuk memastikan tidak ada alat komunikasi lain yang mereka sembunyikan. Bahkan, Lisa yang sudah terlelap pun dipaksa bangun karena tempat tidurnya harus diperiksa.

Setelah memastikan tak ada yang disembunyikan, Bu Arey menyerahkan selembar jadwal ujian dan keluar dari kamar, disusul Bu Eda yang sebelumnya mengatakan, "Kalian jangan begadang, ya. Jangan keliaran juga. Kalau ada yang nggak enak badan, segera antar ke UKS."

Ketiga gadis itu langsung berkumpul untuk melihat mata pelajaran yang akan diujiankan besok. Sontak ketiganya menjerit tertahan karena kaget, disusul embusan napas kasar.

"Fisika sama kimia? Serius?" Aca merosot terduduk di lantai dengan ekspresi tak semangat hidup.

Ade memijat pangkal hidungnya. "Mohon maaf. Ini sekolah mau nyiksa kita apa gimana, ya?"

"Jadi ... kita ngapain, nih? Kalian mau belajar?" tanya Frey sambil melirik Aca dan Ade. Tidak usah mempedulikan Lisa, sebab gadis itu sudah kembali terlelap.

"Tidur aja. Kalau begadang, ntar kita malah nyemil. Kita harus hemat, guys. Gue khawatir kondisi kayak gini terulang lagi. Kita bisa kelaparan kalau nggak dikasih jatah makanan sama sekolah," terang Ade lalu mulai memanjat tangga ranjang susun.

"Tidur, tidur. Apa itu belajar?" Aca turut naik ke kasurnya.

Frey menjadi orang terakhir yang menuju tempat tidur, oleh sebab itu ia yang bertanggungjawab untuk mematikan lampu.

• • • • •

Berbeda dengan Frey dan kawan-kawan yang sudah mulai terlelap, Gabriel masih terjaga dan menatap awas ke arah sekitar. Entah salah atau tidak keputusannya untuk joging di malam hari karena tidak bisa tidur dan kelaparan. Hal itu membawanya keluar dari kamar dan berakhir menyelinap di minimarket asrama yang sudah tutup. Ia melihat beberapa orang berjas putih lari melewati minimarket. Kalau tidak salah, itu dokter dari klinik sekolah.

Tak lama kemudian, mereka membawa beberapa siswa Platinum yang tampaknya sakit. Entah sakit apa, tapi masih dengan gejala yang sama seperti di gedung basket. Rata-rata muntah darah, pingsan, serta mimisan.

Manik hitamnya membulat saat melihat salah satu pemuda tiba-tiba berusaha menyerang sang dokter, dan dengan sigap dokter lainnya menyuntikkan sesuatu pada siswa tersebut hingga tak seagresif tadi. Ia diikat, kemudian dibawa menggunakan tandu.

Gabriel berbalik dan kembali duduk. Ia terdiam dengan tatapan menerawang. Mereka agresif dan beringas, sama kayak Aurel. Sebenarnya mereka sakit apa? Kenapa hampir semua siswa Platinum yang kena?

Suara benda jatuh membuat lamunannya buyar. Gabriel menatap sekitar sambil menajamkan pendengaran. Walau lampu minimarket padam, cahaya dari bulan purnama yang remang-remang cukup untuk menerangi sekitar.

Suara benda jatuh itu terdengar lagi. Kali ini Gabriel menerka asal suara itu dari rak yang tak jauh darinya. Gadis itu bangkit. Kesunyian malam membuat deru napas seseorang terdengar oleh rungunya. Dia tidak sendirian, ada orang lain di tempat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro